DEMOKRASI DAN KEADILAN SOSIAL

Hadi Wahono

Pemahaman tentang adanya hubungan antara masalah ekonomi rakyat dan politik, atau antara kesejahteraan rakyat dengan politik, atau lebih khas lagi antara persamaan atau perbedaan penguasaan ekonomi yang berlangsung dalam suatu masyarakat dengan masalah politik, telah dikenal lebih dari dua ribu lima ratus tahun yang lalu. Hubungan masalah ini paling tidak sudah dikenal pada masa negara kota Athena pada lebih kurang tahun 500 sebelum Masehi ketika Solon (638 - 558 sebelum Masehi) memegang jabatan sebagai Archon (semacam perdana menteri) Athena. Pengangkatannya sebagai Archon memberinya kekuasaan penuh untuk melakukan pembenahan kehidupan kenegaraan yang nampaknya mulai mengalami kemerosotan. Yang menarik dari perombakan yang dilakukan oleh Solon (638 - 558 sebelum Masehi) ketika mulai memegang jabatan sebagai Archon adalah selain diselenggarakan perombakan dalam sistem ketatanegaraan, juga dibuatnya aturan-aturan kearah perbaikan perekonomian. Aturan yang terpenting dalam soal perekonomian ialah aturan Seisachtheia, yang artinya menghapuskan segala beban. Beban-beban yang dihapuskan adalah, yang pertama, segala hutang, baik yang kepada negara maupun yang kepada perseorangan. Kedua jenis hutang ini dinyatakan hapus. Yang kedua, orang tidak boleh menjadi hamba sahaya (mirip budak, tetapi tidak berstatus sebagai budak) karena hutang. Ketiga, jumlah bunga dari pinjaman diturunkan. Keempat, hal mata uang diatur kembali. Kelima, soal tanah diatur kembali. Aturan Seisachtheia itu berakibat bahwa orang-orang yang dahulu menggadaikan tanahnya, dapat mengambil kembali tanahnya tanpa harus membayar pinjamannya. Orang-orang yang menjadi hamba karena hutang menjadi orang bebas tanpa membayar hutangnya. Solon juga membatasi luas tanah yang boleh dimiliki seseorang. Maksudnya ialah mencegah tumbuhnya orang-orang yang terlalu kaya disamping orang yang menjadi miskin.
Ada dua alasan mengapa orang-orang kaya Athena tidak menentang aturan Solon tersebut. Yang pertama, disebabkan oleh kepatuhan mereka pada keputusan yang dibuat berdasarkan kesepakatan. Mereka memandang bahwa Solon memang sudah diberi kewenangan penuh untuk memperbaiki berbagai keadaan masyarakat, karena itu, keputusan-keputusannya dalam rangka memperbaiki kehidupan rakyat harus dipatuhi.[1] Yang kedua, karena Solon dapat meyakinkan orang-orang kaya, bahwa peraturannya tersebut sesungguhnya untuk kepentingan mereka juga, karena kalau kemiskinan dalam masyarakat itu tidak dicegah, maka tidak lama lagi pasti akan timbul pemberontakan rakyat miskin. Jika pemberontakan demikian terjadi, maka orang-orang kaya tidak hanya akan kehilangan kekayaannya, tetapi bisa saja kehilangan seluruh keluarganya. Selain aturan-aturan seisachtheia, Solon juga membuat berbagai aturan untuk memperbaiki ekonomi negara dengan usaha meningkatkan produksi minyak zaitun dan anggur yang saat itu sudah terkenal di mancanegara, perbaikan perusahaan-perusahaan kerajinan, dan peternakan lebah. Menurut Solon, kemajuan ekonomi masyarakat Athena adalah syarat mutlak untuk mengatasi segala kesulitan didalam negeri.
Selain Solon, yang merupakan seorang praktisi kenegaraan (negarawan), Plato, seorang filsof masa Yunani kuno, juga sudah menyadari pengaruh masalah ekonomi masyarakat pada masalah politik suatu negara. Menurut Plato, semangat golongan dan kepartaian di negara kota Athena pada masa hidupnya (pada lebih kurang tahun 400 sebelum Masehi), menyebabkan ketidak stabilan politik. Adanya semangat golongan dan kepartaian tersebut, menurut Plato disebabkan oleh adanya pertentangan yang bersifat ekonomis antara mereka yang kaya dan mereka yang miskin.
Golongan oligarki menghendaki perlindungan terhadap miliknya serta penagihan hutang-hutangnya, bagaimanapun beratnya arti beban ini untuk kaum miskin. Sementara itu, golongan demokrat lebih condong terhadap rencana untuk membantu warganegara yang miskin dan menganggur atas biaya pemerintah, yang artinya dengan memungut uang dari orang-orang kaya. Dengan demikian, kata Plato, didalam negara yang bagaimanapun kecilnya, sesungguhnya ada dua negara, yaitu negara golonga yang kaya, dan negara golongan yang miskin, yang terus menerus berada dalam keadaan perang antara satu dan lainnya (Sabine, G.H., 1992: 45).
Karena itu, untuk menghilangkan faksionalisme dalam negara kota, Plato mengusulkan untuk menghapuskan milik pribadi sama sekali bagi mereka yang memegang kepemimpinan negara dan tentara, baik itu berupa rumah, tanah, maupun uang. Karena itu, mereka harus hidup dalam asrama, dan makan bersama-sama. Karena mereka tidak mempunyai milik, maka bagi mereka perkawinan monogami juga harus dihapuskan, dan digantikan dengan perkawinan sistem promiskuitet (berganti-ganti pasangan antara banyak laki-laki dengan banyak perempuan).
Plato bukanlah satu-satunya yang percaya bahwa pertentangan ekonomis antara para warganegara merupakan suatu keadaan politik yang berbahaya. Menurut G.H. Sabine:
Pada umumnya orang-orang Yunani bersikap terus terang untuk mengakui bahwa motif ekonomis berpengaruh besar terhadap politik dan kerjasama politik. Lama sebeum terbitnya buku “republik” karya Plato, Euripides telah membagi warganegara dalam tiga golongan yaitu golongan kaya tetapi tidak berguna yang senantiasa menginginkan lebih banyak, golongan miskin yang tidak punya apa-apa yang terus menerus diliputi perasaa iri hati, dan goongan menengah yang terdiri dari orang-orang kuat yang menyelamatkan negara.
Bagi orang Yunani negara oligarki adalah suatu negara yang diperintah oleh dan untuk kepentingan golongan bangsawan, dimana milik bersifat turun temurun, sedang negara demokrasi adalah suatu negara yang diperintah oleh dan untuk orang banyak, yang tidak mempunyai kelahiran maupun milik (SabineG.H., 1992: hal 58).
Aristoteles, murid Plato, juga merupakan filsof yang memandang bahwa masalah ekonomi berpengaruh pada masalah politik suatu negara. Bahkan, menurut Aristoteles, bentuk pemerintahan suatu negara ditentukan oleh kekayaan pemegang jabatan pemerintahan. Dalam membedakan bentuk-bentuk pemerintahan, Aristoteles menggunakan dasar jumlah orang yang memegang pemerintahan dan golongan mereka dalam ekonomi masyarakat (golongan kaya, atau golongan miskin). Bahkan, menurut Aristoteles, kekayaan pemegang kekuasaan lebih berpengaruh pada bentuk pemerintahan dari pada jumlah orang pemegang kekuasaan pemerintahan. Menurut Aristoteles, tirani merupakan pemerintahan oleh satu orang dari asosiasi politik dalam garis despotisme, sedang oligarki ada jika dalam masyarakat yang bersangkutan kekuasaan yang berdaulat dipegang oleh orang kaya, dan demokrasi jika kekuasaan dipegang oleh orang-orang miskin. Menurut Aristoteles, ketiga sistem tersebut tidak memungkinkan negara untuk berlangsung dengan baik, tak akan ada kerukunan didalamnya, dan akibatnya negara tidak akan dapat bertahan lama, dan akan segera mengalami kehancuran, karena dalam tirani dan oligarki, orang-orang miskin tersingkir dari pemerintahan, dan pada negara demokrasi, orang-orang miskin akan berusaha merampas harta orang-orang kaya untuk dibagikan diantara mereka. Hal ini akan mengakibatkan perpecahan dan kehancuran negara yang bersangkutan. Dari pandangannya inilah kemudian Aristoteles, sebagaimana halnya konsep Euripides,  mengusulkan bahwa pemerintahan suatu negara seharusnya dipegang oleh kelas menengah masyarakat negara yang bersangkutan, karena hanya negara yang kekuasaannya dipegang oleh kelas menengah saja yang dapat menjadi negara yang stabil dalam pemerintahannya, karena kelas ini dapat menjadi penyeimbang antara kepentingan warganegara yang miskin dengan warganegara yang kaya.
Pemikiran yang sama juga dianut oleh para pendiri negara Republik Indonesia (the Founding Fathers). Para pendiri negara Indonesia menganut pemikiran bahwa negara tidak hanya berfungsi sebagai penjaga malam, tetapi harus terlibat didalam masalah perekonomian dan kesejahteraan warganya. Bahkan kesejahteraan rakyat menjadi tujuan pembentukan negara ini. Hal ini nampak jelas dari bunyi alinea keempat pembukaan UUD RI. Disamping itu, dari alinea keempat pembukaan UUD juga dengan jelas dinyatakan bahwa tujuan negara yang berupa memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa harus didasarkan pada prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan akan dicapai melalui sistem pemerintahan yang demokratis. Prinsip-prinsip ini kemudian ditegaskan kembali dalam batang tubuh UUD. Dengan demikian, didalam UUD 1945 baik didalam pembukaan maupun batang tubuhnya, telah dicanangkan secara lengkap mengenai tujuan negara dan prinsip dasar tujuan yang dimaksud, bersamaan dengan cara pencapaiannya, yaitu untuk memajukan kesejahteraan umum yang berlandaskan pada prinsip keadilan sosial yang harus dicapai melalui cara-cara yang demokratis. Dengan demikian, maka berarti negara Indonesia bukan hanya dituntut untuk terlibat didalam urusan ekonomi rakyatnya, tetapi bahkan dituntut untuk secara aktif memajukan kesejahteraan rakyatnya, karena kesejahteraan rakyat tersebutlah yang menjadi tujuan didirikannya negara Indonesia.
Faham mengenai kleterlibatan negara dalam urusan ekonomi rakyatnya atau lebih tepatnya kesejahteraan rakyatnya, sebagaimana yang dianut oleh para pendiri Negara Republik Indonesia, paling tidak menimbulkan dua jenis pertanyaan, yaitu, yang pertama, apakah keterlibatan negara didalam berbagai kegiatan kesejahteraan masyarakat dapat dilaksanakan melalui sistem demokrasi? Atau dengan kata lain, apakah demokrasi merupakan sistem yang sesuai, yang dapat digunakan untuk melaksanakan tujuan memajukan kesejahteraan rakyat? Apakah sistem demokrasi tidak malah akan menghambat pencapaian tujuan tersebut? Sementara itu, pertanyaan yang kedua adalah, apakah keterlibatan negara dalam masalah kesejahteraan masyarakat tidak malah akan merugikan pelaksanaan demokrasi? Dengan kata lain, apakah keterlibatan negara dalam urusan kesejahteraan rakyatnya tidak akan mengakibatkan sulitnya pelaksanaan demokrasi, bahkan akan mengakibatkan semakin tidak demokratisnya penyelenggaraan kehidupan bernegara?
Atas pertanyaan tersebut, banyak pemikir kenegaraan yang memandang bahwa keterlibatan negara dalam menyelesaikan masalah ekonomi rakyatnya, khususnya didalam memajukan kesejahteraan rakyatnya, akan merupakan fungsi yang merugikan bagi penyelenggaraan demokrasi, dan sebaliknya, demokrasi akan dapat merugikan usaha negara didalam usahanya untuk memajukan kesejahteraan rakyatnya. Mereka menganggap bahwa antara penyelenggaraan sistem demokrasi dengan keterlibatan negara dalam usaha memajukan kesejahteraan rakyatnya dipandang sebagai dua sistem yang saling bertentangan, dimana keberadaan yang satu akan melemahkan yang lainnya. Pandangan demikian dianut oleh teoritisi demokrasi liberal (klasik). Bagi mereka keterlibatan negara didalam urusan ekonomi rakyat dapat merugikan demokrasi karena keterlibatan negara tersebut akan dapat mengakibatkan tak terhindarkannya lagi kondisi semakin meluasnya dan semakin rumitnya urusan pemerintahan negara, yang berarti juga semakin membesarnya birokrasi pemerintahan. Kondisi pemerintahan demikian ini dipandang akan merugikan penyelenggaraan demokrasi karena dengan semakin meluasnya dan semakin rumitnya urusan pemerintahan negara, yang berarti juga semakin membesarnya birokrasi pemerintahan akan semakin mempersulit peran rakyat untuk berpartisipasi didalam penyelenggaraan negara, baik partisipasi dalam pemerintahan langsung maupun sekedar untuk melakukan pengawasan atas penyelenggaraan negara dan melakukan pemilihan pemimpin negara yang dapat menjamin baik kesejahteraan rakyat maupun keberlangsungan demokrasi dengan baik. Kontrol atas kegiatan pemerintahan yang sangat luas dan rumit akan menjadi suatu usaha yang sangat sulit, yang seringkali berada diluar jangkauan rakyat untuk melakukannya. Karena itu, para penganut teori demokrasi liberal klasik memandang bahwa negara tidak seharusnya terlibat didalam usaha kesejahteraan rakyatnya, bahkan tidak seharusnya ikut campur didalam urusan ekonomi rakyatnya. Bagi mereka, negara seharusnya hanya berfungsi sebagai penjaga malam, yaitu berfungsi didalam menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat semata, sementara urusan ekonomi harus dibiarkan diurus oleh rakyat sendiri tanpa campur tangan negara (laissez faire).
Menurut teoritisi demokrasi liberal, campur tangan negara didalam urusan ekonomi rakyat bukannya akan memperbaiki perkembangan ekonomi tetapi malah akan memperburuk keadaan, karena ekonomi masyarakat memiliki hukum-hukumnya sendiri. Hukum-hukum ekonomi masyarakat tidak akan membiarkan ekonomi masyarakat berlangsung timpang, karena pasar akan membangun keseimbangannya kembali melalui tangan-tangan yang tak kelihatan (invisible hand). Tangan-tangan yang tak kelihatan yang berupa hukum-hukum ekonomi inilah yang akan turut campur dalam urusan ekonomi masyarakat secara sesuai dengan prinsip dasar ekonomi. Karena itu, campur tangan pihak diluar entitas ekonomi, yang dalam hal ini adalah negara, bukannya akan memperbaiki kondisi ekonomi masyarakat, malah sebaliknya akan merusakkan hukum-hukum ekonomi yang ada. Dengan adanya tangan-tangan yang tak kelihatan yang turut campur didalam masalah ekonomi rakyat, ekonomi akan berlangsung dalam keseimbangan permanen menuju pada kemakmuran bersama. Bahkan mereka memandang negara, yang mempunyai kecenderungan semakin menumpuk kekuasaan pada dirinya, yang pada akhirnya akan beresiko membatasi kebebasan orang, sebagai sesuatu yang jahat, yang buruk, tetapi yang dibutuhkan (the needed evil). Karena itu, bagi mereka, kewenangan negara harus dibatasi seminimal mungkin.
Para pengkritik liberalisme klasik tidak hanya datang dari kelompok kiri (Marxis, Sosialis, Komunis), tetapi juga datang dari para pendukung liberalisme (modern) sendiri (sekedar untuk membedakannya dari teoritisi liberal klasik, tetapi juga berbeda dengan kaum neoliberal). Hal ini disebabkan karena sejarah telah membuktikan bahwa lepas tangannya negara dari bidang ekonomi mengakibatkan kehidupan ekonomi yang memburuk. Revolusi industri di Inggris memberi gambaran buruk mengenai usaha ekonomi yang bebas sebebas-bebasnya. Masyarakat kelas bawah yang tidak memiliki apa-apa selain tenaganya (proletar) harus hidup ditempat-tempat kumuh yang tak layak huni, anak-anak dibawah usia 12 tahun harus bekerja selama lebih dari 16 jam sehari tanpa jaminan apapun juga. Kemiskinan merajalela diantara sedikit orang yang sangat kaya raya. Dari sudut ekonomi, perusahaan-perusahaan yang bersaing dengan bebas mengakibatkan mereka yang kecil, yang lemah, harus gulung tikar digilas oleh yang kuat. Akibatnya, yang terjadi kalau tidak monopoli adalah oligopoli. Kondisi ini jelas menunjukkan tidak bekerjanya “invisible hand” dalam bidang ekonomi.
Berdasarkan realitas kehidupan ekonomi bebas yang sebebas-bebasnya ini, baik kaum Marxis, Sosialis, Sosial Demokrat, Komunis, Liberal (modern), menyetujui berperannya negara dalam urusan ekonomi rakyat. Perbedaan mereka adalah dalam soal seberapa jauh negara berperan dalam masalah ekonomi rakyat. Bagi teoritisi liberal modern, negara dituntut perannya didalam pengaturan, sehingga tidak terjadi persaingan yang curang, yang tidak sehat, dan tidak timbul monopoli, dan sebagainya. Disamping itu, negara juga berperan dimana rakyat sendiri tidak dapat melakukannya atau tidak dapat melakukan dengan baik.
Persamaan Ekonomi dan Demokrasi
Dalam hubungan dengan keterlibatan negara dalam ekonomi rakyatnya, khususnya yang menganut prinsip keadilan sosial, ada yang memandang bahwa prinsip keadilan sosial sebagai prinsip memajukan kesejahteraan umum mempunyai makna persamaan ekonomi rakyat. Bahkan ada yang memandang bahwa adanya persamaan dalam bidang ekonomi rakyat bukan saja merupakan persyaratan penting dari pelaksanaan yang ideal sistem demokrasi, tetapi bahkan merupakan persyaratan mutlak yang tak dapat ditawar-tawar lagi (conditio sine qua non)[2]. Tanpa persamaan ekonomi, demokrasi yang berarti pemerintahan rakyat, hanya akan menjadi khayalan semata. Dalam keadaan ketidak samaan dalam bidang ekonomi, khususnya bila terjadi gap yang menyolok antara mereka yang kaya dan yang miskin, maka yang akan terjadi adalah oligarkhi, karena ketidak merataan dalam bidang ekonomi akan menimbulkan ketidak merataan dalam segala bidang kehidupan. Pendidikan yang dikenyam oleh orang kaya akan jauh berbeda dengan orang miskin. Anak-anak orang kaya akan bersekolah disekolah-sekolah yang terbaik sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi, sementara anak orang miskin akan dimasukkan kesekolah yang paling murah dan kemungkinan kecil untuk melanjutkan pendidikannya hingga kejenjang perguruan tinggi. Bahan bacaan yang dibaca oleh anak-anak orang miskin akan berbeda dengan yang dibaca oleh anak-anak orang kaya, bahkan mungkin anak-anak orang miskin hampir-hampir tidak pernah membaca buku diluar pelajaran sekolahnya, itupun kalau mereka memilikinya. Kalaupun mereka mempunyai minat membaca, kesempatan untuk itu sering juga tidak mereka miliki, karena mereka seringkali harus membantu orang tua untuk mengasuh adik, membantu usaha rumah tangga orang tua, membantu urusan rumah tangga, mencari rumput dan menggembalakan ternak (bagi anak-anak desa), bahkan tak jarang yang harus bekerja untuk membantu ekonomi orang tua. Sementara itu, anak orang kaya mempunyai kesempatan sepenuhnya untuk bermain dan membaca, bukan saja karena mereka memiliki buku bacaan yang mereka butuhkan, tetapi juga karena mereka memiliki banyak waktu dan kesempatan. Kondisi demikian sangat berpengaruh pada perkembangan anak dimasa mendatang, karena kehilangan kesempatan ini hampir-hampir tak dapat diperbaiki lagi pada masa dewasanya.
Ada juga keahlian lainnya yang esensial bahkan untuk pekerjaan yang relatif kasar pun yang diperlajari seorang anak dengan memainkan mainannya. Seorang anak yang menyusun potongan-potongan atau bagian-bagian dari sebuah mainan sedang mempelajari keahlian yang harus dipelajari oleh anak-anak lainnya kemudian. Seorang anak dari daerah miskin mungkin belum pernah melihat cermin dan karenanya ia tidak mengenal wajahnya sendiri sebagai individu. Pengaruh dari hal-hal ini terhadap kehidupan seorang anak dapat besar sekali, dan kita tidak tahu pasti apakah pengaruh tertentu dapat bertahan untuk anak yang telah memasuki pendidikan. Jadi anak-anak pada usia 5 atau 6 tahun dapat menghadapi hambatan-hambatan yang tidak akan pernah dapat diatasinya lagi. Mereka mungkin telah kehilangan kesempatan untuk mengembangkan potensi mereka secara penuh. Memang ada perkecualian. Ada anak-anak yang dilahirkan dalam bentuk kemiskinan ini yang mampu mengatasi hambatan tersebut. Namun mayoritas tidak dan dalam semua kemungkinan tidak dapat, karena mainan-mainan dan buku-buku tadi hanyalah dimiliki oleh anak-anak dari orang tua yang mampu dan punya waktu untuk bermain dengan mereka (Sargent, Lyman Tower, 1987: 35).

Perbedaan kesempatan dalam berbagai hal antara anak-anak orang miskin dengan anak-anak orang kaya dan elit masyarakat tidak hanya berhenti pada masa kanak-kanak, tetapi terus berlanjut hingga masa dewasa mereka. Ketika semua pemuda direkruit menjadi militer untuk berperang (khususnya di negara-negara yang mengenal wajib militer), anak-anak orang kaya bisa dengan berbagai cara menghindari peperangan. Hal ini terjadi misalnya pada diri George Walker Bush, yang konon kabarnya, ketika terkena wajib militer bisa bergabung dengan Pasukan Keamanan Nasional (Garda Nasional), yang jelas tidak akan dikirim untuk berperang keluar negeri, bahkan kabarnya sering mangkir tanpa mendapatkan hukuman. Sementara itu, anak-anak orang miskin harus berperang di Korea, Vietnam, atau Irak, atau menghadapi hukuman pidana jika menolak (Mohammad Ali, seorang petinju legendaris, harus mendekam dipenjara selama lima tahun karena menolak berperang di Vietnam).
Ketika mereka memasuki partai politik, mereka akan dengan mudah memasuki elite partai, karena orang tuanya mempunyai hubungan baik dengan para petinggi partai, atau bahkan salah satu pimpinan partai. Sementara orang-orang miskin harus berjuang dari bawah, dan tampaknya hampir-hampir tidak mungkin untuk naik kejenjang atas, karena dibarisan elite telah dipadati olah anak-anak elite. Mereka tidak mungkin naik jenjang lebih dari pada menjadi pengikut (kecuali bila mereka memasuki partai baru, yang belum mendapat dukungan banyak elite politik). Bagi anak-anak orang miskin, untuk mencapai jenjang kepemimpinan partai mungkin diperlukan waktu hingga dua atau tiga generasi, itupun kalau masing-masing mereka memiliki kemampuan yang luar biasa, sehingga setiap generasi terus menerus mengalami kenaikan jenjang kepemimpinan.
Ketika tiba masa pemilihan umum, suara orang-orang miskin, khususnya ketika mereka sudah terhimpit kebutuhan hidup yang mendesak, akan sangat mudah dibeli. Kalaupun tidak dapat dibeli, pilihan mereka tidak didasarkan pada pertimbangan yang memadai, karena informasi yang mereka miliki tidak cukup akurat, karena mereka hanya mampu membaca koran dan majalah bekas. Sementara itu, orang-orang kaya, bukan hanya mampu membeli berita, tetapi bahkan untuk membuat berita. Kalau ingin mempengaruhi pendapat umum, mereka bahkan bisa membuat penerbitan, atau pemancar radio atau bahkan televisi. Sementara itu, orang miskin, untuk membuat selebaran foto copy-an pun tidak mampu.
Bahkan disparitas yang mencolok dalam bidang ekonomi akan sangat berpengaruh bukan saja pada pelaksanaan sistem demokrasi, tetapi juga mempunyai pengaruh besar pada bidang-bidang kehidupan masyarakat yang lain. Dalam hubungan dengan ketidak adilan ekonomi ini, Jeffrey H. Reimann, dari School of Justice of American University, Washington D.C., telah melakukan peninjauan yang mendetail (dengan menyajikan data-data pendukung yang banyak) mengenai hubungan antara orang-orang dari berbagai kelas sosial di Amerika Serikat dengan kemungkinan penangkapan, pengadilan, dan hukuman, jika mereka dituduh melakukan tindak pidana. Kesimpulannya adalah:
Untuk tingkah laku kriminal yang sama, orang-orang miskin lebih mungkin ditangkap; jika ditangkap, mereka lebih mungkin dikenai tuduhan; jika dikenai tuduhan, mereka lebih mungkin disidangkan dipengadilan; jika disidangkan, mereka lebih mungkin dikenai hukuman penjara; dan jika dihukum penjara, mereka lebih mungkin dikenai masa hukuman yang lebih lama dari pada anggota kelas menengah dan kelas atas.
Pemuda anak orang kaya yang telah dituduh melakukan tindakan kriminal seringkali hanya ditahan dikantor polisi hingga anak muda tersebut dapat dilepaskan kepada orang tua walinya; sementara itu, pemuda anak orang miskin yang telah melakukan kejahatan yang sama, lebih sering langsung dilakukan pendakwaan dan dikirim ke pengadilan anak-anak (Tischler, Whitten, dan Hunter, 1986: 292).
Studi ini menunjukkan bahwa perbedaan perlakuan, baik oleh aparat maupun masyarakat terhadap orang kaya yang berbeda dengan terhadap orang miskin tidak hanya terjadi dinegeri kita, tetapi juga dinegeri yang katanya paling demokratis, yang sering kita gunakan sebagai acuan didalam memahami demokrasi yang benar. Perbedaan perlakuan akan berarti perbedaan kesempatan yang tersedia, yang mereka miliki dan yang diberikan oleh masyarakat. Karena itu, banyak pemikir demokrasi yang memasukkan persamaan ekonomi kedalam persyaratan demokrasi. Menurut mereka, tanpa persamaan, tidak akan pernah ada demokrasi.
Gambaran diatas memperkuat apa yang telah disinyalir oleh teoritisi elit lebih dari seratur tahun yang lalu. Salah satu dari teoritisi elit tersebut adalah Gaetano Mosca (1858  1941). Mosca adalah seorang profesor hukum tatanegara (Constitutional Law) pada berbagai universitas Itali, ahli sosiologi dan salah seorang pemikir politik yang menonjol dari aliran teori elit. Mosca mendapati bahwa semua masyarakat dapat dibagi kedalam dua kelas atau kelompok, yaitu kelas atau kelompok penguasa dan kelompok yang dikuasai. Pembagian ini tidak hanya terbatas pada masyarakat dan lembaga non-demokratis, tetapi juga dapat dikenali dibawah naungan lembaga-lembaga demokrasi. Gejala fundamental dari kehidupan politik adalah kekuasaan minoritas atas mayoritas, bukannya sebaliknya. Pemilihan tidak mengubah posisi, karena minoritas mengorganisir pemilihan, mengajukan calon dan mempengaruhi massa. Karena itu, bagi Mosca, sesungguhnya hanya ada satu bentuk pemerintahan, yaitu Oligarki (meskipun berbaju demokrasi).
Kelas penguasa, yang jumlahnya lebih sedikit memegang semua fungsi politik, memonopoli kekuasaan dan menikmati keuntungan-keuntungan yang didapatnya dari kekuasaan. Sementara kelas yang kedua, yaitu kelas yang dikuasai, yang jumlahnya lebih besar, diatur dan dikontrol oleh kelas penguasa, dengan cara yang saat ini dipandang kurang lebih legal, terwakili, dan mensuplai kebutuhan kelas penguasa, paling tidak pada saat kemunculannya, dengan instrumen-instrumen yang penting bagi vitalitas organisme politik. Menurut Mosca, semakin besar suatu masyarakat politik, akan semakin kecil kesempatan dan proporsi mereka yang diperintah untuk mengatur mereka yang memerintah, dan semakin sulit bagi mayoritas untuk mengorganisir reaksi mereka terhadap kelompok minoritas tersebut.
Yang membedakan sedikit orang yang menduduki posisi sebagai elite dari massa adalah bahwa elite mempunyai kemampuan yang lebih dari pada massa. Mereka adalah orang-orang superior. Menurut Mosca ada empat faktor yang menjadi dasar sosial dari kekuasaan suatu kelas, yaitu kekayaan, kelahiran, kemampuan militer, dan pengetahuan. Kekayaan telah menjadi karcis untuk memasuki kelas penguasa baik didalam oligrarki Yunani kuno dan didalam masyarakat barat modern yang merupakan masyarakat kapitalis. Dengan kekayaan, orang dapat membeli kekuatan militer dan mencari pengetahuan yang paling tinggi, atau paling tidak membeli orang-orang yang memiliki pengetahuan untuk mereka gunakan.
Karena itu, walaupun ada kebebasan memilih dan dipilih, kebebasan pers, dan berbagai kebebasan yang lain, pada akhirnya yang dapat tampil kedepan hanya mereka yang kaya. Apalagi, realitas pemilihan umum dalam masyarakat modern, terlebih lagi pemilihan presiden, memerlukan dana yang sangat besar. Bahkan, di Indonesia beberapa partai politik mensyaratkan bahwa hanya mereka yang mampu menyediakan (yang mereka istilahkan sebagai) “amunisi” untuk partai yang berhak mencalonkan diri dalam pemilihan umum dari partai yang bersangkutan. Kita ingat, alasan pengunduran diri salah seorang calon presiden dari konvensi salah satu partai politik adalah karena dia tidak mampu menjawab pertanyaan mengenai seberapa besar “amunisi” yang bisa dia sediakan bagi partai yang bersangkutan untuk mengusungnya dalam bursa pencalonan presiden. Akibatnya, yang terjadi bukannya sistem demokrasi, tetapi oligarki.
Dalam pidatonya dalam rangka kursus Pancasila di istana negara pada tanggal 3 September 1958, bung Karno, menjelaskan bekerjanya sistem demokrasi liberal, dan kemudian dengan mengutip Jean Juarez, seorang tokoh Demokrasi Sosial, mengatakan:
Semua harus ikut, sekarang harus dengan bermusyawarah. Dan “liberale politiek” boleh tiap-tiap orang mengusulkan, boleh tiap-tiap orang pidato, boleh tiap-tiap orang dipilih.
Kelanjutan daripada revolusi Perancis, rakyat jelata terpukul. Saudara-saudara akan bertanya: kalau begitu bagaimana, pengusaha-pengusaha itu kan kalah dengan rakyat jelata? Kan maksudnya pengusaha-pengusaha ini mau mengadakan hukum-hukum, peraturan-peraturan, wet-wet, yang cocok dengan kepentingan sipengusaha, mau mengadakan hukum-hukum, peraturan-peraturan, wet-wet, untuk menjadi bumi subur bagi “Kapitalismus im aufstieg”. Tapi kalau rakyat jelata semuanya diperbolehkan masuk parlemen, boleh memilih dan dipilih, kan kalah “stem” kaum pengusaha?
Tidak saudara-saudara, didalam prakteknya mereka telah mengetahui lebih dulu, bahwa pemilihan parlemen itu selalu dengan “campagne”, dengan “propaganda”, dan mereka sudah tahu: kami yang memegang alat-alat propaganda kami yang bisa membiayai surat-surat kabat, kami yang bisa membiayai segala alat-alat yang lain. Bahkan kami kaum pengusaha itu membiayai sekolah-sekolah, universitas-universitas.
................  “Didalam parlementaire democratie tiap-tiap orang bisa menjadi raja. Tiap-tiap orang bisa memilih, tiap-tiap orang boleh dipilih. Tiap-tiap orang bisa memupuk kekuasaan untuk menjatuhkan menteri-menteri dari singgasananya”. Dan memang, didalam parlementaire democaratie, menteri yang sudah kuasa itu, didalam perlementaire demoratie bisa dijatuhkan oleh si jembel, wakil-wakilnya yang duduk dalam parlemen itu. Menteri yang berkuasa dijatuhkan oleh anggota-anggota parlemen.
Dibidang politik tiap-tiap kita adalah laksana raja. Tetapi di bidang ekonomi tidak demikian. Si kaum buruh yang pada hari ini didalam parlemen adalah seorang raja, besok pagi didalam pabriknya ia bisa dilempar keluar dari pabriknya itu menjadi orang yang tiada bekerja. Si kaum buruh yang menjadi anggota parlemen ini hari bisa menjatuhkan menteri, tetapi kembali didalam pabrik dia adalah buruh dibawah kekuasaan sang majikan, bisa dilepas bisa dijadikan orang yang “op de koelien”, hidup sengsara.
Oleh karena itu, Juarez pada permulaan abad ke-20 itu tahun 1903, dia sudah menjatuhkan “vonnis” kepada demokrasi parlementer. Ia menghendaki politiek economische democratie, demikian pula Liebnecht, demikian pula banyak pemimpin-pemimpin lain. (dikutip dengan penyesuaian ejaan dari: Karno, bung, 1960: 121 – 124).
Persamaan Ekonomi Tidak Menyelesaikan Masalah
Ada dua alasan yang dapat dikemukakan untuk menentang pandangan bahwa persamaan ekonomi merupakan persyaratan bagi upaya mendemokratisasi kehidupan kenegaraan masyarakat. Yang pertama, persamaan ekonomi bukan merupakan satu-satunya faktor penyebab munculnya oligarki (dalam sistem yang demokratis sekalipun). Sebagaimana yang dikemukakan oleh Gaetano Mosca, ada empat faktor yang menyebabkan sedikit orang (elit) memiliki kemampuan untuk menguasai banyak orang (massa). Faktor-faktor tersebut, selain faktor ekonomi adalah faktor keturunan, faktor penguasaan pengetahuan, dan faktor kekuatan militer.
Faktor keturunan merupakan realitas yang tak terhindarkan yang menentukan posisi seseorang dalam meraih kekuasaan, khususnya dalam masyarakat modern yang sudah tidak menggunakan sistem undian didalam mendudukkan warganya pada jabatan-jabatan pemerintahan. Bagaimanapun, keturunan seorang pejabat penting (dalam masyarakat yang ekonominya sangat merata sekalipun), akan mempunyai kesempatan yang lebih daripada anak orang-orang yang tidak pernah menduduki jabatan. Sejak kecil, mereka telah menjadi sorotan publik, mereka telah menjadi bagian dari berita, yang sesungguhnya semua itu merupakan iklan gratis bagi pencalonannya kelak jika dia mau memasuki kancah politik negerinya. Apalagi anak seorang pemimpin kharismatik yang memukau, oleh massa di Asia dipandang akan mewarisi sebagian kharisma orang tuanya. Keluarga Nehru di India merupakan salah satu contoh bagaimana kharisma Yawaharlal Nehru dapat memancar hingga kepada cucu-cucunya. Di Pakistan kita mengenal nama Benazir Bhuttho, yang adalah anak Zulfikar Ali Bhuttho, Perdana Menteri Pakistan yang pada tahun 1977 digulingkan dalam suatu kudeta militer oleh Jendral Zia ul-Haq. Di Indonesia kita mengenal anak Soekarno, seorang pemimpin kharismatik yang memukau, bukan saja rakyat Indonesia, tetapi masyarakat dunia ketiga. Mungkin beberapa tahun lagi kita akan membaca nama anak Soeharto sebagai calon presiden.
Faktor penguasaan pengetahuan juga merupakan faktor penentu bagi seseorang untuk menduduki posisi tertentu didalam masyarakat, baik masyarakat modern maupun masyarakat tradisional yang masih bersifat sangat egaliter sekalipun. Dalam kondisi persamaan ekonomi yang cukup ekstreem, selain keturunan, pengetahuan merupakan karcis terpenting untuk naik kejenjang kepemimpinan. Dalam masyarakat yang masih sangat bersahaja, seseorang yang mempunyai pengetahuan obat-obatan akan menduduki posisi sebagai elit masyarakat. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Tuchydides, demokrasi Yunani sesungguhnya dikuasai oleh para pemimpin yang memiliki kemampuan mempengaruhi orang banyak. Pericles, walaupun seorang panglima perang, sesungguhnya adalah pemimpin negara kota Yunani, hanya karena kecerdasannya yang mampu mempengaruhi dewan eksekutif (Boule) dan Dewan Rakyat (Ekklesia). Karena itu, orang mengatakan bahwa pengetahuan adalah kekuasaan. Masalahnya, apakah untuk menghindari oligarki maka setiap orang juga tidak boleh memiliki pengetahuan yang lebih daripada orang lain atau masyarakat kebanyakan? Sesuatu yang tidak mungkin.
Sementara itu, kekuatan militer yang dapat digunakan untuk naik kejenjang kekuasaan negara dapat kita lihat bertebaran diseantero dunia ketiga. Hampir semua diktator naik ketampuk kekuasaan melalui kekuatan militer. Bahkan, Julius Caesar, melalui kemenangan-kemenangan militer yang memukau Senator-Senator Romawi, hingga secara resmi diangkat sebagai diktator untuk 10 tahun. Demikian juga halnya dengan Napoleon Bonaparte, yang bisa menduduki jabatan konsul karena kemampuan militernya yang mengagumkan, hingga pada akhirnya memproklamirkan dirinya (secara resmi dengan restu Paus) sebagai kaisar Perancis.
Alasan yang kedua, menurut mereka yang menentang persyaratan persamaan ekonomi bagi berlangsungnya sistem demokrasi, membangun masyarakat dengan persamaan ekonomi tidak mungkin dapat dilaksanakan secara demokratis. Satu-satunya jalan adalah melalui kediktatoran. Hal ini disadari oleh Lenin, pemimpin Komunis pendiri negara Uni Soviet (almarhum). Sebelum mencapai masyarakat komunis yang sesungguhnya, menurut Lenin, harus didahului dengan sistem diktator, yang dia sebut sebagai diktator proletariat. Sistem pemerintahan diktator proletariat tersebut penting, khususnya dalam masa peralihan ketika masyarakat baru mulai menghapuskan kapitalisme dalam rangka menuju masyarakat komunis, dan sekaligus sebagai upaya untuk mencegah hidup kembalinya kapitalisme. Tetapi, menurut Millo von Jilas, didalam bukunya “the new class”, realitas politik yang terjadi di Uni Soviet bukannya hilangnya kelas, tetapi munculnya kelas baru, yaitu kelas pemimpin-pemimpin partai komunis. Usaha melakukan persamaan kelas dalam ekonomi menghasilkan kelas lain yang didasarkan pada penguasaan pengetahuan (dan didukung dengan kekuatan militer). Realitasnya, dalam sejarah belum pernah ada masyarakat atau negara yang mampu menghilangkan sama sekali perbedaan ekonomi masyarakatnya. Karena itu, tak salah kalau Plato pernah mengatakan, bahwa “setiap kota, bagaimanapun kecilnya, pada hakekatnya adalah terpecah menjadi dua, yaitu kota orang miskin dan kota orang kaya” (Sabine, GH., terjemahan, 1992: 19)[3].
Milton Friedman (Budiardjo, Miriam, Penyunting, 1984: 38 - 39) memberikan gambaran hipotetis mengenai bagaimana kesulitan penyelenggaraan demokrasi di negara yang menganut sistem persamaan ekonomi (yang dia sebut sebagai sistem sosialis), dan membandingkannya dengan sistem pasaran bebas. Menurut friedman, salah satu ciri masyarakat yang bebas adalah:
Adanya kebebasan orang untuk menganjurkan dan mempropagandakan secara terbuka perubahan radikal di dalam struktur masyarakat – selama anjurannya itu terbatas pada persuasi dan tidak mencakup paksaan.
Menurut Milton Friedman, didalam negara sosialis (yang dimaksudkan adalah negara komunis yang menganut sistem persamaan ekonomi dengan cara dimana semua kegiatan ekonomi dilaksanakan oleh pemerintah secara terpusat), akan tidak mungkin, paling tidak akan sangat sulit, bagi seseorang untuk secara bebas menganjurkan dianutnya sistem kapitalisme. Menurut Friedman, untuk dapat menganjurkan sesuatu, yang dalam hal ini adalah sistem kapitalisme, seseorang harus mempunyai cukup uang untuk keperluan menyelenggarakan pertemuan, untuk menerbitkan pamflet, surat kabat, majalah, atau buku, dan untuk membeli jam siaran radio atau televisi. Sementara itu, untuk mendapatkan dana dari orang yang mempunyai uang, hampir-hampir tidak mungkin, karena dalam negara dengan sistem ekonomi yang tidak bebas, orang-orang yang mempunyai uang adalah para pejabat negara, yang tidak mungkin bersedia untuk membiayai kegiatan subversif yang menghancurkan sistem yang mereka anut sendiri. Jika saja rencana tersebut diajukan kepada pegawai bawahan, masih besar kemungkinannya mereka menyetujui program demikian, tetapi pegawai bawahan bisa dipastikan tidak akan memiliki uang yang cukup untuk membiayai berbagai kegiatan dalam rangka menganjurkan untuk melakukan perubahan sistem tersebut.
Kalaupun, lanjut Friedman, penganjur perubahan sistem ekonomi menjadi sistem kapitalisme tersebut bisa memperoleh uang entah dari mana, persoalannya masih akan rumit, karena untuk menyelenggarakan penerbitan dia tidak bisa membeli kertas dipasar bebas. Orang tersebut harus meminta pada pabrik kertas milik negara, yang besar kemungkinannya tidak akan bersedia menjual kertas untuk kegiatan subversi tersebut. Seandainyapun orang tersebut bisa membeli kertas, untuk mencetaknya dia harus membujuk pimpinan percetakan yang dimiliki oleh negara untuk mencetak anjurannya yang menentang sistem tersebut, dan hal ini bisa dipastikan akan tidak berhasil, dan demikian seterusnya untuk semua kegiatan yang lainnya.
Menurut Milton Friedman, masalahnya akan berbeda jika anjuran untuk melakukan perubahan sistem tersebut, misalnya orang yang ingin menganjurkan untuk merubah sistem kapitalisme menjadi sistem komunisme, yang dilakukan dinegara yang menganut sistem ekonomi pasara bebas. Dalam masyarakat dengan sistem pasara bebas, si penganjur dapat meyakinkan orang kaya yang bukan pejabat negara yang jumlahnya banyak, atau mencari dana dari lembaga-lembaga penyandang dana swasta non-profit yang banyak terdapat di negara-negara yang menganut sistem pasara bebas. Atau, bahkan si penganjur dapat tanpa menunjukkan baiknya sistem atau ide yang akan dianjurkannya, dia dapat membujuk pemilik modal untuk menanamkan dananya didalam bisnis penerbitannya (baik surat kabar, majalah, atau buku-buku) yang berisi anjuran untuk merubah sistem kapitalisme menjadi komuisme, selama dia bisa meyakinkan pemilik modal, bahwa penerbitannya akan memberikan keuntungan finansial. Dalam masyarakat yang menganut sistem pasara bebas, para pemilik modal tidak akan perduli apakah isi majalah atau buku yang di jual tersebut sesuai dengan pemikirannya atau tidak, atau apakah sesuai dengan sistem yang berlaku atau bertentangan atau bahkan menentang sistem yang berlaku atau tidak. Bagi pemilik modal, yang penting dia merasa yakin bahwa usaha penerbitan tersebut akan menguntungkan, maka dia akan bersida untuk membiayainya. Jika dia telah memiliki modal, dia dapat dengan mudah menyelenggarakan penerbitan, karena setiap usaha percetakan akan dengan senang hati mencetak buku, majalah atau surat kabarnya, asal saja pembayaran yang ditawarkan orang tersebut menguntungkan bagi mereka. Juga jika dia akan mencetaknya sendiri, maka dia tidak akan kesulitan untuk membeli kertas guna mencetak buku atau majalahnya, karena semua leveransir kertas akan menjual kertas dagangannya dengan sama bersemangatnya kepada siapapun, baik kepada surat kabar “Daily Worker” yang komunis, maupun kepada “Wall Street Journal” yang kapitalis.
Boleh jadi ada beberapa cara untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ini dan memelihara kebebasan di dalam masyarakat sosialis. Tidak dapat dikatakan bahwa hal ini mustahil sama sekali. Akan tetapi yang jelas adalah bahwa ada kesulitan-kesulitan yang nyata di dalam mendirikan lembaga-lembaga yang akan secara efektif memelihara kemungkinan untuk berbeda pendapat (Budiardjo, Miriam, Penyunting, 1984: hal 39).
Gambaran tersebut diatas memberikan dasar yang kuat bagi mereka yang menentang persamaan ekonomi sebagai usaha mendemokratisir masyarakat. Konsep persamaan ekonomi, yang oleh para pengkritiknya dipandang hanya mungkin dilaksanakan dalam masyarakat dimana semua kegiatan ekonomi dilaksanakan oleh negara, dianggap tidak akan mendukung realisasi demokrasi, bahkan sebaliknya malah akan akan merugikan demokrasi. Alih-alih masyarakat menjadi semakin demokratis, malah akan terjadi kediktatoran. Oligarki tetap tak terhindarkan. Karena itu, sebagian dari mereka yang menentang persamaan ekonomi mengembangkan konsep “negara kesejahteraan.”
Daftar Pustaka
1.     Sabine, G.H., terjemahan Drs. Soewarno Hadiatmodjo, Teori-Teori Politik, jilid 1 dan 2, Penerbit Binacipta, 1992.
2.     Sargent, Lyman Tower, terjemahan A.R. Henry Sitanggang, Ideologi-Ideologi Politik Kontemporer, Penerbit Erlangga, 1987.
3.    Karno, bung, Pantjasila Dasar Filsafat Negara, Yayasan Empu Tantular, 1960.
4.  Budiardjo, Prof. Miriam, editor, Masalah Kenegaraan, Gramedia 1982



[1] Kepatuhan akan keputusan yang didasarkan pada kesepakatan merupakan salah satu kunci dari berlangsungnya system demokrasi. Tak adanya kepatuhan inilah yang membuat kita tidak pernah bisa melaksanakan demokrasi dengan baik. Sebagai contoh, ketika mencalonkan diri, seorang calon, misalnya calon bupati, tentunya sudah menyetujui prosedur yang harus dilalui dalam penentuan hasil pemilihan. Tetapi ketika mereka kalah, mereka mengerahkan pendukung mereka untuk membatalkan pemilihan. Inilah yang selalu merusak upaya kita untuk mengembangkan demokrasi. Bisa jadi system yang kita gunakan mempunyai banyak kelemahan, tetapi begitu kita sudah sepakat untuk mengikuti system yang lemah tersebut, maka menjadi kewajiban kita untuk mentaatinya, apapun hasilnya.
[2] Namun demikian, walaupun ada kecenderungan semakin terjadinya pengerucutan pandangan, sampai saat ini pandangan mengenai persamaan ekonomi sebagai persyaratan demokrasi masih mendapatkan tantangan besar dan masih menjadi perdebatan panjang yang tak berkesudahan. Karena itu banyak orang yang menghindari perdebatan masalah ini, termasuk Lyman Tower Sargent yang menganggap pembahasan masalah persamaan ekonomi dalam demokrasi sebagai subyek yang “agak membosankan untuk dibahas” (Sargent, Lyman Tower, 1987: 34).

[3] Karena itu, Plato mengusulkan agar hak milik dihapuskan, sehingga bisa menghapuskan perbedaan ekonomi dalam masyarakat.


HAK RECALL: MENAGIH JANJI KAMPANYE

Hadi Wahono

Sebagai akibat luasnya daerah dan banyaknya jumlah penduduk suatu Negara, hampir semua Negara modern yang menerapkan sistem pemerintahan demokrasi, termasuk Indonesia, tidak ada yang menerapkan system demokrasi langsung, melainkan demokrasi perwakilan. Dalam demokrasi perwakilan, rakyat tidak langsung ikut didalam membuat keputusan-keputusan publik. Wewenang tersebut diserahkan kepada parlemen, yang anggota-anggotanya dipilih oleh rakyat, yang karena itu disebut sebagai wakil rakyat.
Sehubungan dengan sistem demokrasi perwakilan, sebetulnya hampir semua orang sepakat bahwa kehendak tidak mungkin dapat diwakilkan. Berdasarkan kenyataan tersebut, maka Max Weber berpendapat  bahwa demokrasi harus dipandang hanya sebagai sarana yang berfungsi untuk memilih para pemimpin politik, dan bukan sebagai rejim dimana terdapat semacam pemerintahan langsung oleh rakyat. Sementara itu, demokrasi langsung hanya dapat diterapkan didalam masyarakat yang kecil dan relatif sederhana, sedangkan di luar ini, yaitu didalam masyarakat yang telah menjadi besar, kompleks dan lebih beragam khususnya di masyarakat modern – pemerintahan langsung oleh rakyat berada diluar jangkauan. Ia digantikan oleh demokrasi perwakilan, dan ini berarti – menurut Weber – bahwa rakyat berhenti mempunyai pengawasan nyata atas keputusan-keputusan politik yang telah menjadi prerogatif atau hak istimewa administrasi birokratis, disatu pihak, dan para pemimpin partai politik, dipihak yang lain. Bagi Weber nilai demokrasi perwakilan terletak pada fakta bahwa demokrasi memungkinkan pemilihan pemimpin-pemimpin politik secara efektif, serta memberikan suatu latihan bagi masyarakat. Dibawah kondisi yang berlangsung dalam masyarakat industri, dengan adanya partai-partai massa, satu-satunya tipe demokrasi yang dapat hidup hanyalah “presbiterian leader democracy”, dimana para pemimpin kharismatik merumuskan tujuan-tujuan yang kemudian ditawarkan kepada rakyat melalui mesin partai, dan kemudian diterapkan dengan bantuan birokrasi pemerintahan (Tom Bottomore, 1983: 8 – 9).
Karena pemilihan umum sesungguhnya adalah penawaran dari para kontestan mengenai program dan tujuan-tujuan mereka, maka dibanyak negara maju, kampanye dalam pemilihan umum tidak hanya diisi dengan acara-acara hura-hura sebagaimana yang terjadi dinegeri kita hingga saat ini, tetapi dengan berbagai pidato dan perdebatan antar  calon, termasuk pemaparan rencana program jika nanti mereka terpilih (walaupun kenyataannya tidak semua yang hadir berkepentingan dengan isi pidato atau perdebatan terbuka). Rakyat, khususnya mereka yang belum menentukan pilihan karena tidak berafiliasi pada partai politik tertentu, akan menyimak dengan serius berbagai perdebatan dan rencana program para calon, karena penilaian mereka atas hasil perdebatan dan pemaparan program tersebutlah yang akan menentukan pilihan mereka kelak. Berdasarkan gambaran proses pemilihan yang demikian ini, banyak ahli ilmu politik, khususnya para penganut aliran pluralisme dalam politik, yang menggambarkan hubungan antara partai poltik dengan pemilihnya seperti hubungan penjual dengan konsumen dipasar. Partai-partai dalam kehidupan politik demokratis, tulis Anthony Downs, adalah sama dengan wiraswastawan dalam suatu ekonomi yang memburu laba. Seperti halnya mengusahakan laba, mereka merumuskan politik apapun yang mereka yakini akan meraih suara terbanyak, persis seperti para pedagang yang berusaha menghasilkan produk-produk yang diyakininya akan memberikan keuntungan yang tertinggi dengan alasan yang sama. (S.P Varma: 215). Dengan kata lain, partai politik sebagai penjual, menawarkan program-programnya didalam pemilihan umum (yang merupakan pasarnya), sementara konsumen (yang dalam hal ini adalah para pemilih) memilih barang (yang berupa program) sesuai dengan kebutuhannya atau keinginannya dan membayar pilihannya (dalam bentuk pemberian suara).
Sebagaimana halnya kalau kita membeli barang dipasar, seringkali barang yang kita beli mutunya tidak sesuai dengan yang dijanjikan oleh penjualnya. Pedagang barang seringkali menawarkan barang dagangannya dengan cara melebih-lebihkan kemampuan barang dagangannya diatas kemampuan nyatanya, dan bersamaan dengan itu menutup-nutupi kelemahan atau cacat barang yang mereka jual. Hal yang sama juga bisa terjadi pada kampanye calon-calon wakil rakyat. Pada masa kampanye, ketika mereka menawarkan barang-barang dagangannya yang berupa program-program yang akan mereka laksanakan jika kelak mereka memenangkan pemilihan umum, banyak yang bersifat berlebihan, sehingga ketika mereka betul-betul memenangkan pemilihan, janji-janji yang telah mereka umbar pada masa kampanye sama sekali tidak terlaksana.
Peristiwa sebagaimana digambarkan diatas tidak hanya terjadi di Indonesia atau dinegeri-negeri terbelakang saja, tetapi juga banyak terjadi dinegara-negara maju. Sekedar sebagai contoh, pada paruh pertama tahun 1980-an, dalam kampanye pemilihan presiden Perancis, salah satu calon dari partai Sosialis, Francois Mitterand yang berkoalisi dengan partai Komunis, menjanjikan untuk menasionalisasi banyak perusahaan-perusahaan besar. Bahkan didalam kampanye mereka, mereka telah membuat dartar definitif mengenai perusahaan-perusahaan yang akan dinasionalisasi. Tetapi ketika mereka memenangkan pemilihan umum dan Francois Mitterand menjadi Presiden perancis, janji nasionalisasi tak pernah terlaksana. Juga banyak terjadi, para wakil rakyat membuat keputusan yang bukan saja bertentangan dengan kehendak rakyat, tetapi bahkan merugikan rakyat kebanyakan, seperti misalnya menyetujui kenaikan harga BBM atau tarif dasar listrik, dan sebagainya. 
Dengan banyaknya peristiwa kampanye yang tidak dilaksanakan maupun pembuatan kebijakan yang bertentangan dengan kehendak para pemilih mereka sebagaimana yang terjadi di Perancis dan tentu saja lebih banyak lagi yang terjadi di Indonesia, masalahnya kemudian adalah, apakah yang dapat dilakukan oleh pemilih yang telah merasa dibohongi oleh para calon yang mereka dukung? Dengan kata lain, apa yang dapat dilakukan oleh para pemilih jika ternyata nantinya wakil-wakil yang telah mereka pilih memegang kekuasaan, tetapi tidak melaksanakan program-programnya sebagaimana yang telah mereka janjikan didalam kampanye?
Jika hal ini terjadi di Indonesia, dan kenyataannya memang sudah sangat sering terjadi, kita sebagai pemilih yang merasa dibohongi tidak dapat melakukan apapun, sebagaimana juga para pemilih di Perancis, karena mekanisme untuk mengambil tindakan memang tidak ada. Dalam keadaan demikian, para pemilih paling-paling hanya bisa memaki-maki mereka dijalanan dan diwarung-warung kopi. Upaya beberapa LSM untuk mengadakan perjanjian tertulis dengan para calon dalam kampanye sebagaimana yang terjadi dalam kampanye pemilihan anggota badan legislatif tahun 2004 yang lalu, tidak akan banyak mempunyai pengaruh, karena hampir-hampir tidak mungkin bagi rakyat untuk menuntut anggota legislatif ke depan pengadilan berdasarkan janji kampanye, meskipun janji tersebut telah dibuat secara tertulis. Masalah keputusan di badan legislatif adalah masalah politis yang bisa dipastikan akan sangat sulit bagi hakim untuk membuat keputusan berdasarkan pertimbangan yang baik berdasarkan hukum yang berlaku.
Untuk mengatasi kesulitan tersebut, beberapa negara bagian Amerika Serikat mengembangkan mekanisme untuk menurunkan para wakil rakyat yang ingkar janji dan yang menyetujui keputusan yang merugikan konstituen mereka, yang mereka sebut sebagai hak “recall.” Hak recall adalah hak untuk menarik seorang wakil dari jabatannya sebelum berakhirnya masa jabatan wakil yang bersangkutan, karena mereka dipandang tidak melaksanakan tugasnya dengan baik. Sebetulnya pemikiran mengenai adanya hak recall dari para pemilih ini didasarkan pada teori mandat dalam perwakilan, dimana para wakil rakyat adalah corong bicara para pemilih mereka, bukannya teori independen sebagaimana yang dikemukakan oleh Edmund Burke. Hak recall ini pernah kita kenal di Indonesia, tetapi yang mempunyai hak bukannya rakyat pemilih, tetapi partai politik dari sang wakil itu sendiri. Cara ini mengandaikan bahwa wakil rakyat adalah wakil partai politik, bukannya wakil rakyat. Pengandaian ini jelas tidak benar, karena realitasnya para pemilih wakil rakyat lebih banyak yang berasal dari luar partai politik dari pada anggota partai politik yang bersangkutan.
Hak recall partai politik biasanya digunakan oleh elite partai yang bersangkutan untuk mendisiplin anggotanya yang duduk dalam jabatan wakil rakyat, atau untuk mempertahankan kesetiaan para wakil rakyat pada para elite partai politik yang bersangkutan. Kalau hak recall oleh partai politik dapat dilaksanakan, mengapa hak recall oleh rakyat tidak bisa? Bisa dipastikan, tak akan ada alasan kesulitan teknis mengenai masalah ini.
Hak recall yang dilaksanakan dibeberapa negara bagian Amerika Serikat bukan hak recall oleh partai politik, tetapi hak recall oleh rakyat pemilih dari distrik pemilihan yang bersangkutan. Dibeberapa negara bagian Amerika Serikat[1] yang melaksanakan sistem hak recall ini, hak recall dilaksanakan dengan cara mengajukan petisi yang menuntut dilaksanakannya pemilihan ulang atas jabatan wakil rakyat yang bersangkutan. Jumlah tandatangan pemilih yang dibutuhkan sebagai syarat sahnya suatu petisi recall berbeda-beda dari negara bagian yang satu dengan negara bagian yang lain. Jika petisi yang diajukan memenuhi syarat, maka jabatan yang bersangkutan dikosongkan dan dilakukan pemilihan ulang atas jabatan yang dimintakan recall tersebut, atau dilakukan penunjukan oleh pejabat tertentu atau oleh suatu badan tertentu.
Hak recall sebagaimana yang diuraikan diatas merupakan hak recall atas pejabat-pejabat daerah (Negara bagian), baik anggota parlemen daerah maupun gubernur, walikota atau jabatan lain yang penempatannya dipilih oleh rakyat. Untuk pejabat tingkat federal tidak dikenal hak recall dalam konstitusi Amerika serikat. Namun demikian, walaupun tidak memiliki kewenangan konstitusional, dua negara bagian Amerika Serikat, yaitu Arizona dan North Dakota telah mengupayakan untuk menerapkan hak recall pada para pejabat federal. Mereka mencoba menerapkan hak recall ini pada hakim federal, senator dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Calon untuk Congress sebelum pemilihan diminta untuk menandatangani pernyataan untuk patuh pada penentuan suara recall untuk merecall mereka jika mereka membuat keputusan yang tidak sesuai dengan janji kampanye mereka. Untuk memperkuat perjanjian tersebut, hakim federal yang bertugas dinegara bagian yang bersangkutan akan diminta untuk menandatangani kepatuhan pada hasil penentuan pemilihan recall. Tampaknya, maksud penandatanganan oleh hakim federal yang bertugas dinegara bagian yang bersangkutan adalah untuk mengantisipasi kemungkinan tuntutan yang timbul dari hak recall yang tidak konstitusional tersebut. Dengan telah menandatangani pernyataan persetujuannya, jika kelak ada perkara, hakim akan memutus berdasarkan pernyataan persetujuan yang telah ditandatanganinya tersebut.
Mengenai berlakunya hak recall di beberapa negara bagian Amerika Serikat ini tentunya memerlukan beberapa penyesuaian tertentu kalau ingin diterapkan di Indonesia, karena adanya perbedaan sistem pemilihan umum. Di Amerika Serikat, sistem pemilihan umum menganut sistem distrik dengan sistem perwakilan “the winner take all”, sementara Indonesia menganut sistem perwakilan “proporsional”. Dalam system distrik dengan system the winner take all, wakil dari suatu distrik berasal dari satu partai. Karena mereka berasal dari satu partai, maka kalau ada suara dari distrik tersebut yang tidak sesuai dengan kehendak rakyat di distrik yang bersangkutan, maka partai yang memiliki wakil dari distrik yang bersangkutan harus bertanggungjawab. Berbeda dengan system proporsional, akan sulit menentukan, siapa yang akan di recall? Apakah semua wakil rakyat dari distrik yang bersangkutan atau hanya satu partai yang wakilnya menyuarakan pendapat yang tidak sesuai dengan kehendak rakyat didistrik pemilihannya, atau bahkan hanya satu orang wakil, yang secara jelas menyuarakan pendapat atau pandangan atau menyetujui keputusan yang merugikan pemilih di distrik yang bersangkutan. Perbedaan sistem pemilihan ini perlu mendapat pertimbangan yang cermat sebelum hak recall (jika mungkin) diterapkan di Indonesia.
Hak recall sebagaimana yang diterapkan dibeberapa Negara bagian Amerika Serikat tersebut akan menguntungkan pelaksanaan pemerintahan rakyat, dalam arti semakin mendekatkan sistem demokrasi perwakilan kepada rakyat. Bagaimanapun, adanya lembaga ini akan memungkinkan terjadinya pengawasan yang terus menerus oleh para pemilih terhadap pejabat-pejabat publik. Disamping itu, hak recall ini dapat mengeluarkan para pejabat yang dipilih dari tempat berlindung pada partai yang mencalonkan mereka, dan memaksa mereka untuk berdiri diatas kemampuan mereka sendiri.
Sementara itu, mereka yang menentang sistem ini beralasan bahwa sistem ini memberikan senjata yang ampuh pada minoritas dan kelompok-kelompok sempalan untuk digunakan pada mereka yang dianggap remeh atau dipandang enteng yang digunakan dengan maksud mencari keuntungan politis. Dengan hak recall ini kelompok-kelompok sempalan dapat mengusahakan untuk melakukan recall dalam rangka mengupayakan untuk mengganti kedudukan mereka yang sedang berkuasa. Keberatan yang lain adalah bahwa hak ini akan melemahkan keberanian dan kebebasan pejabat publik yang dipilih, karena dengan adanya hak ini menjadikan pejabat rentan pada serangan kemarahan publik yang sesat.
Kedua keberatan tersebut memang cukup beralasan, karena itu, baik buruknya pemanfaatan hak recall sangat tergantung pada kesadaran dan daya kritis politik rakyat, sehingga mereka dapat membedakan, mana upaya recall yang hanya digunakan oleh sekelompok orang untuk mencari keuntungan, dan mana yang memang murni untuk kepentingan rakyat banyak.  Kiranya perlu diingat bahwa lembaga inisiatif, referendum, dan recall adalah lembaga kenegaraan yang dimaksudkan untuk menampung kebutuhan rakyat untuk ikut berpartisipasi didalam menentukan jalannya pemerintahan negara. Karena itu, sebagai salah satu lembaga demokrasi, ketiga lembaga tersebut tidak dengan sendirinya akan mengakibatkan bahwa demokrasi akan berlangsung dengan lebih baik. Bahkan, bisa jadi lembaga hak recall tersebut malah akan menjadi bumerang bagi praktek demokrasi, karena lembaga tersebut hanya akan berguna jika digunakan oleh rakyat yang memiliki pengetahuan dan informasi yang cukup tentang masalah yang dihadapi.
Keputusan yang diambil oleh rakyat tanpa pertimbangan yang didasarkan pada pengetahuan dan informasi yang cukup, akan mengakibatkan rakyat salah dalam mengambil keputusan, dan hal ini berarti malah akan merugikan rakyat sendiri. Karena itu, dalam keadaan masyarakat yang tidak memiliki cukup pengetahuan dan informasi, ketiga lembaga demokrasi tersebut akan dapat dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok yang kalah untuk mendapatkan keuntungan bagi diri dan kelompok mereka, atau dapat digunakan untuk kepentingan kelompok-kelompok tertentu yang mampu mempengaruhi pilihan rakyat. Bahkan, pemahaman rakyat akan berbagai permasalahan kenegaraan dan kemampuan berfikir kritis merupakan syarat mutlak bagi bermanfaatnya lembaga recall rakyat. Pada masyarakat yang pemahamannya masih rendah, bersifat paternalistik, dan/atau mudah disuap, akan menjadikan keberadaan lembaga recall rakyat  menjadi sia-sia, bahkan dapat digunakan untuk kepentingan kelompok tertentu yang dapat mengelabuhi rakyat.

Daftar Pustaka
1. Bottomore, Tom, terjemahan Sahat Simamora, Sosiologi Politik, P.T. Bina aksara, 1983.
2. Varma, S.P., (terjemahan), Teori-Teori Politik Modern, Rajawali Pers.
      3.  Ferguson, John H. dan Dean E. McHenry, The American Federal Government, McGraw Hill Book Company Inc, 1961.




[1] Mengenai hak recall di Amerika Serikat, lihat: Ferguson and McHenry, 1961: 232 – 233.

KEBEBASAN PERS

Hadi Wahono

Demokrasi perwakilan menyandarkan diri pada persetujuan mereka yang diperintah, atau paling tidak pada keputusan dari mereka yang diperintah mengenai siapa yang akan dipilih untuk mewakili mereka (yang sesungguhnya adalah memilih mereka yang akan memerintah). Untuk dapat menyatakan kehendaknya dan memilih orang-orang yang terbaik yang dianggap akan mewakili rakyat (pemilih), maka rakyat dalam negara demokrasi harus memiliki berbagai informasi yang penting, yang benar, lengkap dan akurat, baik mengenai issue yang menyangkut kepentingan pemilih maupun mengenai baik buruknya (track record) mereka yang mencalonkan diri sebagai wakil rakyat. Dalam kerangka inilah maka Pers memainkan peran penting didalam demokrasi. Untuk dapat memainkan peran inilah maka pers harus mempunyai kebebasan untuk memperoleh dan menyebarkan informasi yang selengkap-lengkapnya dan seakurat mungkin pada masyarakat mengenai berbagai isue yang dipandang penting oleh masyarakat. Hanya dengan penguasaan informasi yang lengkap dan akuratlah masyarakat dapat membuat keputusan yang cerdas dan benar.
Pasal 1 sub 1 Undang-Undang no. 40 tahun 1999 tentang Pers, merumuskan apa yang dimaksud dengan istilah pers, yaitu:
Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.

Dalam rangka masalah kebebasan pers dinegara-negara demokrasi, paling tidak ada lima masalah penting yang perlu mendapat perhatian. Kelima masalah tersebut menyangkut masalah perijinan penerbitan, lembaga sensor, lembaga pembredelan, pembagian perolehan dari iklan, dan kemudahan untuk memperoleh informasi.
1.      Tak Adanya Perijinan Penerbitan
Para pendukung sistem demokrasi memandang adanya ketentuan perijinan penerbitan disuatu negara sebagai salah satu pertanda tidak demokrasinya negara tersebut. Dalam faham demokrasi, kebebasan pers berarti kebebasan bagi siapa saja untuk menyelenggarakan penerbitan dan pemerintah tidak boleh menghalang-halangi keinginan warganegara untuk menyelenggarakan penerbitan. Berdasarkan pemikiran ini, maka adanya lembaga perijinan dipandang dapat menghalang-halangi pelaksanaan kebebasan, karena bisa saja pemerintah atau pemegang kekuasaan perijinan tidak akan memberi ijin pada penerbitan yang diusahakan oleh orang-orang atau kelompok yang tidak mereka senangi, atau yang dipandang bisa menentang atau mengganggu kekuasaan mereka.
Adanya lembaga perijinan ini pernah kita alami pada masa Orde Baru, dimana setiap orang yang ingin menyelenggarakan penerbitan harus meminta ijin pada pemerintah, yang dalam hal ini adalah Departemen Penerangan. Dalam hal ini, Departemen Penerangan dapat menolak permohonan ijin mendirikan perusahaan penerbitan tanpa harus memberikan penjelasan apapun juga, atau dapat tidak melakukan apapun (tidak secara tegas mengijinkan dan juga tidak menolak), yang maknanya sama dengan tidak mengijinkan. Sementara itu, celakanya, pada masa Orde Baru, Menteri Penerangan dipegang oleh pimpinan salah satu surat kabar. Akibatnya, ada kecenderungan pada Menteri Penerangan untuk mencegah semakin bertambahnya penerbitan surat kabar, atau bahkan ada kecenderungan untuk semakin terus mengurangi jumlah surat kabar yang ada, demi untuk menghindari persaingan dengan surat kabar yang dipimpinnya. Disamping itu, dari pengalaman yang terjadi pada masa itu, lembaga perijinan juga sering dimanfaatkan sebagai alat pemerasan bagi mereka yang ingin meminta ijin usaha penerbitan, dengan mengenakan biaya-biaya tambahan yang tidak jelas bagi mereka yang ingin mendirikan perusahaan penerbitan. Karena itu, dalam setiap negara demokrasi, tidak adanya lembaga perijinan untuk menyelenggarakan penerbitan surat kabar, majalah, dan sebagainya merupakan persyaratan mutlak. Kalaupun pemerintah ingin mengetahui penerbitan yang ada, misalnya untuk penarikan pajak bagi penerbitan komersial, maka mereka yang akan menerbitkan majalah atau surat kabar bisa saja diwajibkan untuk melakukan pemberitahun mengenai penerbitan yang mereka selenggarakan, tetapi kewajiban untuk menyampaikan pemberitahuan ini tidak bisa digunakan untuk mengenakan larangan bagi seseorang atau suatu lembaga masyarakat untuk menyelenggarakan penerbitan.  Dengan kata lain, mereka yang akan mengusahakan penerbitan cukup melakukan pemberi tahuan, misalnya dengan mengisi formulir, dan dengan telah diterimanya formulit tersebut oleh pejabat yang mengurusinya, maka orang atau kelompok tersebut dapat menyelenggarakan penerbitan.
Tentu saja, kebebasan sebagaimana yang diuraikan dalam hal penerbitan pers tersebut tidak bisa dikenakan kepada usaha penyiaran, baik radio maupun televisi, karena kedua media massa ini menyangkut penggunaan ruang yang terbatas, yang harus diatur. Karena itu, lembaga perijinan menjadi tak terhindarkan dalam hal penyelenggaraan siaran. Namun demikian, untuk menjaga fairnya pengaturan penyiaran, dalam negara-negara demokrasi, pemberian ijin dan penentuan gelombang siaran, dan sebagainya dipegang oleh lembaga yang independen.
Setelah reformasi dan dilakukannya empat kali amandemen atas UUD RI., masalah kebebasan pers di indonesia mendapatkan kemajuan yang cukup berarti.  Didalam UUD RI (hasil amandemen) masalah kebebasan untuk berkomunikasi dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia, diatur didalam pasal 28F dan pengaturan yang lebih detail terdapat didalam UU. No. 40 tahun 1999. Terlepas dari banyak kelemahan dalam kedua ketentuan tersebut, masalah kebebasan pers di Indonesia telah mengalami banyak kemajuan dibanding dengan masa Orde Baru.
Didalam UUD RI memang tidak ada ketentuan yang jelas yang mengatur masalah perijinan usaha pers. Masalah perijinan pers, kemudian diatur didalam pasal 9 dan pasal 12 Undang-Undang no. 40 tahun 1999 tentang Pers, yang pada prinsipnya menentukan bahwa setiap warganegara Indonesia berhak mendirikan perusahaan pers, tetapi harus berbadan hukum, dan wajib mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan; khusus untuk penerbitan pers ditambah nama dan alamat percetakan.
Pasal 9 dan 12 UU no. 40 tahun 1999 tersebut tidak menentukan secara tegas bahwa untuk mendirikan perusahaan pers harus mendapatkan ijin khusus. Namun demikian, dari pengaturan yang bisa bersifat mendua tersebut, dapat kita simpulkan secara sebaliknya, yaitu karena tidak adanya ketentuan yang mengatur keharusan pendirian perusahaan pers harus meminta ijin pada pemerintah, maka berarti bahwa untuk mendirikan perusahaan pers tidak disyaratkan harus mendapat ijin (dari penguasa sebagaimana yang terjadi pada masa Orde Baru).
2.      Tak Adanya Lembaga Sensor
Pasal 1 sub 8 Undang-Undang no. 40 tahun 1999 tentang Pers, mengartikan sensor sebagai penghapusan secara paksa sebagian atau seluruh materi informasi yang akan diterbitkan atau disiarkan, atau tindakan teguran atau peringatan yang bersifat mengancam dari pihak manapun, dan atau kewajiban melapor, serta memperoleh izin dari pihak berwajib, dalam pelaksanaan kegiatan jurnalistik.
Sensor, yang merupakan pelarangan atas penerbitan atau penyiaran sebelum dilakukannya penerbitan atau penyiaran, biasanya dilakukan dinegara-negara yang penguasanya bersifat otoriter. Alasan penyensoran biasanya adalah demi mencegah tulisan, berita, atau siarah lain yang dapat mengganggu atau membahayakan ketertiban umum, keamanan nasional, atau paling tidak dapat menimbulkan keresahan masyarakat atau berbagai alasan muluk-muluk yang lain. Padahal, alasan yang sesungguhnya adalah mencegah penerbitan dan penyiaran yang dapat membongkar kebobrokan penguasa, kegagalan program penguasa, dan berbagai berita dan siaran yang dapat merugikan atau membahayakan kekuasaan penguasa. Karena itu, prinsip demokrasi melarang pengenaan sensor oleh negara.
Pasal 1 sub 8 Undang-Undang no. 40 tahun 1999 tentang Pers, mengartikan sensor sebagai penghapusan secara paksa sebagian atau seluruh materi informasi yang akan diterbitkan atau disiarkan, atau tindakan teguran atau peringatan yang bersifat mengancam daripihak manapun, dan atau kewajiban melapor, serta memperoleh izin dari pihak berwajib, dalam pelaksanaan kegiatan jurnalistik.
UUD RI tidak mengatur secara tegas mengenai masalah penyensoran. Yang ada adalah ketentuan dalam pasal 28F yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoeh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Masalah penyensoran kemudian mendapatkan kejelasannya didalam pasal 4 ayat (2) Undang-Undang no. 40 tahun 1999 tentang Pers, yang menyatakan bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran. Dengan adanya ketentuan dalam undang-undang tersebut maka kita tidak lagi mengenal lembaga penyensoran, bahkan didalam pasal 18 ayat (1) UU. No. 40 tahun 1999 ditentukan bahwa setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi ketentuan pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
3.      Tak Adanya Pembredelan
Pasal 1 sub 9 Undang-Undang no. 40 tahun 1999 tentang Pers, mengartikan pembredelan atau pelarangan penyiaran adalah penghentian penerbitan dan peredaran atau penyiaran secara paksa atau melawan hukum. Pembredelan yang intinya adalah pelarangan terbit pers (surat kabar, tabloid, majalah, dan sebagainya) atau pencabutan ijin penyiaran, biasanya terjadi sebagai  akibat penerbitan atau usaha penyiaran tersebut menerbitkan atau menyiarkan bahan-bahan yang melanggar larangan atau pelanggaran lain yang ditentukan oleh penguasa. Pembredelan dilakukan tanpa melalui proses pengadilan dan biasanya dilakukan oleh penguasa-penguasa yang otoriter sebagai ancaman bagi usaha penerbitan dan penyiaran untuk tidak melakukan kritik, membuka kebobrokan mereka, dan sebagainya. Pada negara-negara demokratis, tidak berarti penerbitan boleh menerbitkan apa saja sesuka mereka. Ada beberapa batasan yang biasanya dikenakan pada penerbitan dan penyiaran, seperti misalnya atas materi yang mengancam keamanan negara (membuka rahasia negara), pornografi anak-anak, fitnah, dan sebagainya. Hanya saja, didalam negara demokrasi, pelanggaran hukum yang dilakukan melalui penerbitan atau penyiaran hanya dapat dikenai hukuman melalui tuntutan pengadilan, bukannya atas keputusan sewenang-wenang dari aparat pemerintah.  Dalam peristiwa demikian, hukuman tidak dapat dikenakan pada usaha penerbitan atau penyiaran, tetapi kepada redaksi, wartawan atau bahkan (jika secara sukarela menghendakinya), narasumber berita yang menjadi permasalahan tersebut, bukannya dengan mengenakan larangan terbit pada surat kabar, majalah, tabloid atau usaha penyiaran yang bersangkutan.
Sebagaimana telah dikutip diatas, berdasarkan ketentuan dalam pasal 4 ayat (2) Undang-Undang no. 40 tahun 1999 tentang Pers, sekarang kita telah tidak mengenal lagi lembaga sensor dan pembredelan maupun pelarangan penyiaran. Bahkan dengan adanya pasal 18 ayat (1), sebagaimana telah dikutip diatas, pelaku pembredelan dikenai ancaman pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
Ketentuan dalam pasal 18 ayat (1) tersebut berlaku bagi pejabat negara yang melakukan pembredelan, maupun kepada orang-orang, yang bukan pejabat negara, yang menghalang-halangi atau menghentikan penerbitan dan peredaran atau penyiaran secara paksa, misalnya sekelompok orang yang menduduki kantor penerbitan pers yang mengakibatkan terhentinya penerbitan.
Kiranya perlu dicatat disini bahwa sebetulnya, isi pengaturan dalam UU. No. 40 tahun 1999, khususnya pasal 4 ayat (2) mengenai larangan penyensoran dan pembredelan atau pelarangan penyiaran telah cukup memadai didalam menjamin kebebasan pers, tetapi sayang pengaturan mengenai masalah kebebasan yang penting ini tidak dilakukan didalam UUD., sehingga akan lebih mempunyai kekuatan, baik secara politis maupun secara hukum.
4.      Pembatasan Penghasilan Dari Iklan
Yang seringkali luput dari perhatian banyak orang dalam hubungan dengan kebebasan pers ini adalah masalah iklan, khususnya kalau pemerintah memiliki penerbitan dan/atau stasiun penyiaran sendiri (baik radio maupun televisi). Dalam keadaan demikian, para pendukung demokrasi menghendaki agar penerbitan dan stasiun penyiaran yang dimiliki oleh pemerintah dibatasi penerimaan iklannya. Masalah pembatasan iklan pada penerbitan maupun stasiun penyiaran pemerintah ini penting, karena hidupnya penerbitan pers maupun penyiaran adalah dari iklan yang mereka peroleh. Tanpa pembatasan, pers dan stasiun siaran milik pemerintah dapat menjadi sangat kuat, dan sebaliknya, pers dan stasiun siaran yang dikelola swasta akan dapat menjadi sangat lemah. Bahkan melalui iklan ini, dengan berbagai cara, dapat digunakan oleh pemerintah untuk mematikan penerbitan atau stasiun siaran yang tidak mereka sukai.
Mengenai masalah ini, baik didalam UUD RI maupun UU no. 40 tahun 1999 tidak ada ketentuan sama sekali. Bagi Indonesia saat ini, ketentuan demikian memang belum merupakan masalah penting, karena stasiun siaran pemerintah di Indonesia saat ini tidak mampu bersaing dengan stasiun siaran (baik televisi maupun radio) swasta. Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan stasiun siaran pemerintah menjadi stasiun siaran yang sangat berpengaruh, seperti BBC (Inggris); ABC (Australia), Deutche Welle (Jerman) dan sebagainya. Dalam keadaan demikian, ketentuan batas perolehan iklan dari siaran pemerintah menjadi sangat penting untuk hidupnya stasiun-stasiun swasta.
  1. Adanya Kebebasan Memperoleh Informasi
Untuk dapat melaksanakan fungsinya dengan baik, yaitu menyebarkan informasi penting yang dibutuhkan masyarakat sebanyak-banyaknya, selengkap-lengkapnya, dan seakurat-akuratnya, maka pers juga harus bisa menjangkau sumber informasi, khususnya informasi yang dimiliki oleh pemerintah. Dalam hal ini, seringkali pemerintah banyak melakukan usaha untuk menutup-nutupi banyak informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Untuk dapat melaksanakan fungsinya dengan baik, yaitu menyebarkan informasi penting yang dibutuhkan masyarakat sebanyak-banyaknya, selengkap-lengkapnya, dan seakurat-akuratnya, maka pers juga harus bisa menjangkau sumber informasi, khususnya informasi yang dimiliki oleh pemerintah. Dalam hal ini, seringkali pemerintah banyak melakukan usaha untuk menutup-nutupi banyak informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Mengenai hak untuk mencari dan memperoleh informasi, didalam UUD RI diatur didalam pasal 28F yang selengkapnya berbunyi:
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoeh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Hak untuk mencari dan memperoleh informasi sebagaimana yang dirumuskan dengan kalimat yang sangat panjang tersebut sesungguhnya tidak berisi apapun. Yang pertama, setiap orang berhak untuk berkomunikasi. Masalah ini tidak perlu dirumuskan sebagai hak, karena berkomunikasi sudah menjadi fitrah manusia, yang tidak mungkin dilarang, kecuali ketika kita naik bis, dahulu sering ada tulisan yang berupa larangan: “dilarang berbicara dengan sopir ketika bis berjalan.” Apakah perlindungan atas larangan demikian ini yang dimaksudkan? Pasti bukan! Yang kedua, dari rumusan tersebut kita tidak dapat mengetahui misalnya, siapa yang berkewajiban untuk mewujudkan hak untuk mencari dan memperoleh informasi. Apakah ini berarti kalau orang mencari informasi kepada pejabat negara maka pejabat negara wajib memberikan informasi yang dimilikinya? Tampaknya juga tidak. Karena tak ada anak kalimat yang berbunyi: “mewajibkan pejabat untuk memberi informasi.” Padahal, dalam rangka mencari informasi, urusan dengan pejabat ini yang paling sulit. Perumusan yang hanya menyebutkan hak tanpa kejelasan siapa yang berkewajiban, menjadi hampir-hampir tidak berguna. Tampaknya masalah kebebasan untuk memperoleh informasi masih perlu mendapatkan catatan tersendiri dalam sistem demokrasi kita.
Sekedar sebagai sebuah pembanding, di Amerika Serikat, pada tahun 1966 presiden Johnson menandatangani “Freedom of Information Act,” yang menandai mulai dilindunginya dengan ketentuan hukum kebebasan untuk memperoleh informasi dari lembaga pemerintah. Didalam peraturan hukum ini ditentukan bahwa cabang eksekutif federal dan lembaga pengaturan (regulatory agency[1]) harus menyediakan informasi yang diperlukan bagi wartawan dan orang-orang lain yang memerlukan, kecuali jika informasi yang dibutuhkan tersebut termasuk dalam salah satu dari kategori kerahasiaan. Sebagai contoh, yang dibebaskan dari keharusan untuk disediakan sebagai informasi yang terbuka adalah informasi keamanan nasional, file pribadi, catatan-catatan penyelidikan, dan dokumen internal dari lembaga yang bersangkutan (Cummings and Wise, 1985: 106). Namun demikian, di Amerika Serikat pun, meskipun sudah ada Freedom of Information Act, berdasarkan catatan sub-komite House of Representative, birokrasi pemerintah sering menghambat pemberian informasi yang dibutuhkan oleh wartawan atau orang-orang lain dengan cara bekerja lamban (foot dragging), atau bahkan menolak untuk memberikan informasi, sehingga harus dipaksa melalui tuntutan pengadilan, sementara tuntutan pengadilan membutuhkan dana yang cukup banyak dan waktu yang tidak sedikit (Cummings and Wise, 1985: 106).
Mengenai publikasi file pribadi, ada ketentuan didalam Privacy Act dari tahun 1974 yang menentukan bahwa pemerintah tidak boleh mempublikasikan file yang dimilikinya mengenai catatan-catatan individu, seperti catatan-catatan medis, keuangan, kriminal, atau pekerjaan, tanpa persetujuan tertulis dari orang yang bersangkutan. Hukum demikian biasanya juga disertai dengan hak bagi warganegara untuk memperoleh informasi dari file yang dimiliki oleh pemerintah mengenai dirinya sendiri (Cummings and Wise, 1985: 107). Sebagai contoh file pribadi, misalnya berdasarkan file medis, ternyata A menderita HIV/aid. Tanpa persetujuan A pemerintah tidak boleh memberitahu siapapun mengenai penyakit yang diderita oleh A tersebut dengan alasan apapun juga.

Daftar Pustaka
Cummings, Milto C. dan David Wise, Democracy Under Pressure, Harcourt Brace Jovanovich Publishers, 1985




[1] Regulatory agency adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan quasi judicial dan quasi legislative. Secara administrative mereka tidak tergantung baik kepada presiden maupun kepada Congress. Tetapi secara politis mereka tergantung kepada keduanya.