LANDREFORM: Lebih Berdasar Pertimbangan Politik Dari Pada Keadilan Sosial


Hadi Wahono


Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu pada bulan September 1945, Sekutu, khususnya Amerika Serikat memaksa Jepang untuk menyelenggarakan program landreform. Secara sepintas, pernyataan ini nampaknya sangat aneh, karena selama ini program landreform banyak dipandang sebagai program Kommunis. Menjadi aneh jika Amerika Serikat yang merupakan negara pembela kapitalisme paling utama memaksa negeri yang baru saja ditaklukkannya untuk melaksanakan program landreform. Pertanyaan sederhananya, sejak kapan kapitalis berfikir tentang pemerataan?
Jawab atas pertanyaan tersebut adalah, tidak pernah. Landreform yang dipaksakan pelaksanaannya di Jepang saat itu lebih mempunyai makna politis dan kepentingan ekonomi Amerika dari pada keadilan dan pemerataan. Menurut penulis, ada empat hal yang mendorong Amerika Serikat untuk memaksa Jepang melaksanakan landreform. Yang pertama, untuk memperbanyak jumlah rakyat Jepang yang memiliki daya beli yang memadai. Setelah kehancuran industri Jepang sebagai akibat Perang Dunia Kedua, Jepang yang berpenduduk cukup besar merupakan pasar barang-barang produk industri Amerika Serikat yang lumayan besar. Namun demikian, jumlah penduduk yang besar tanpa daya beli yang memadai tidak akan ada gunanya bagi pemasaran barang-barang industri maju. Untuk itu, jumlah rakyat Jepang yang memiliki daya beli yang memadai yang memungkinkan untuk membeli barang-barang import harus ditingkatkan jumlahnya. Salah satu caranya adalah dengan memeratakan pemilikan tanah, yang pada waktu itu dikuasai oleh penguasa-penguasa feodal daerah (para warlord), yang jumlahnya sangat sedikit. Melalui landreform, jumlah rakyat yang memiliki daya beli yang memadai akan bertambah berlipat-lipat ganda, yang pada akhirnya akan menjadi pasar yang cukup besar bagi barang-barang produk Amerika Serikat.
Yang kedua, untuk melumpuhkan kekuatan para bangsawan Jepang, khususnya para warlord, yang kekuatannya ditumpu oleh penguasaan atas tanah luas. Warlord yang mempunyai kekuatan akan menjadi ancaman paling berbahaya bagi kepentingan Amerika Serikat di Jepang. Bagaimanapun, kekuatan Warlord dapat menjadi tumpuan harapan rakyat Jepang untuk mengembalikan impian bangsa Jepang atas kejayaan lama mereka. Dengan membagi tanah-tanah yang dikuasai oleh para Warlord, bukan saja mereka akan kehilangan kekuatan ekonominya, tetapi juga pengaruh dan kekuatan politiknya, setidak-tidaknya pada para petani penggarap diwilayah kekuasaannya, yang selama ini bergantung hidupnya (melalui tanah garapan) dari para Warlord.
Yang ketiga, didasarkan pada keinginan untuk menciptakan ketenangan dan ketertiban didaerah pedesaan. Sejarah telah mencatat bahwa kemiskinan pedesan dan ketidak adilan dalam masalah pertanahan akan menjadi faktor pendorong pemberontakan petani. Sesungguhnya sejarah memang telah mencatat bahwa huru-hara besar yang dipelopori oleh petani memang tidak pernah ada. Namun demikian, tidak bisa dikatakan bahwa petani tidak pernah ikut ambil bagian dalam banyak huru-hara besar dalam sejarah dunia. Yang sering terjadi adalah, jika momentumnya telah tepat, maka petani akan segera memanfaatkan momentum tersebut untuk ambil bagian didalam berbagai huru-hara dan pemberontakan yang biasanya di dorong oleh ketidak adilan dalam penguasaan tanah. Sebagai contoh, peran petani dalam Revolusi Perancis.
Revolusi Perancis[1] yang ditandai dengan jatuhnya penjara (yang semula adalah benteng) Bastille pada tanggal 14 Juli 1789 merupakan revolusi borjuasi didalam menumbangkan feodalisme. Selama ini yang diajarkan pada kita dalam buku-buku sejarah untuk sekolah menengah hanyalah peristiwa pergolakan politik disekitar istana Versailes dan kota Paris. Padahal, walaupun dalam kondisi kesulitan komunikasi, semangat Revolusi Perancis menyebar hingga kepelosok-pelosok pedesaan di Perancis. Permasalahan utama didaerah pedesaan adalah masalah tanah.
Pada masa sebelum revolusi, seluruh tanah di Perancis hanya dikuasai oleh Raja, kaum bangsawan dan Gereja. Ketiga kelompok dalam masyarakat Perancis tersebut, yang dalam terminologi politik Perancis saat itu disebut sebagai golongan pertama (raja dan kaum bangsawan) dan golongan kedua (Gereja) menguasai tanah yang sangat luas. Sebagian dari tanah-tanah tersebut dikerjakan oleh orang-orang (sebagai buruh) yang langsung berada dibawah pengawasan raja atau bangsawan atau gereja penguasa tanah. Sebagian lain dikerjakan oleh petani dengan kewajiban untuk membayar pajak tanah garapan, baik berupa uang maupun in-natura (hasil panen).
Hanya satu bulan berselang setelah jatuhnya penjara Bastille, tepatnya pada bulan Agustus 1789, petani-petani pedesaan bangkit. Dengan bersenjatakan senapan, sabit dan pentungan, para petani pedesaan tersebut menyerbu istana-istana para bangsawan dan Gereja-gereja. Istana dan Gereja diporakporandakan, dan sejak itu para petani menolak untuk membayar pajak atas tanah garapan. Tanah-tanah garapan para bangsawan diambil alih oleh para petani penggarap.
Pengambil alihan tanah-tanah garapan milik para bangsawan dan gereja pada masa awal revolusi tersebut mempunyai pengaruh besar atas dukungan masyarakat desa pada Napoleon Bonaparte ketika ia melarikan diri dari pembuangannya dari pulau Elba. Sebagai orang buangan, dalam pelariannya dari pulau Elba, Napoleon hanya disertai oleh 1100 tentara, yang itupun terdiri dari 800 orang veteran yang setia mengawalnya dalam pembuangan, dan 300 orang yang sebetulnya adalah garnisun pulau Elba. Dengan tentara yang sedemikian sedikitnya, tidak mungkin bagi seorang Napoleon untuk memenangkan peperangan melawan raja dinasti Bourbon yang telah menggantikannya sebagai raja Perancis. Disamping terjadinya demoralisasi militer di Perancis, juga hanya berkat dukungan para petani dari daerah-daerah yang dilaluinya dari pulau Elba ke Paris yang memungkinkan Napoleon memenangkan peperangan dan mengambil alih kembali kekuasaan atas perancis. Dukungan petani terhadap Napoleon tersebut tidak lepas dari masalah ketidak adilan dalam pertanahan sebelum revolusi. Para petani tidak mau kalau tanah-tanah yang telah mereka kuasai diambil kembali oleh para bangsawan rejim lama dan Gereja.
Pelajaran sejarah yang berharga ini tentuna tidak pernah dilupakan oleh Amerika Serikat ketika memenangkan perang dengan Jepang pada Perang Dunia ke Dua. Bagaimanapun, huru-hara pedesaan bisa menimbulkan berbagai kemungkinan akibat. Ada kemungkinan akan berakibat rusaknya masyarakat Jepang, atau kemungkinan lain berupa kembalinya kekuatan lama para Warlord yang menginginkan kembalinya kejayaan militer Jepang. Paling tidak, huru-hara pedesaan akan merepotkan Amerika yang menjadi protektor Jepang setelah Perang Dunia kedua usai. Apapun hasil akhirnya, huru-hara pedesaan bukan saja akan menjadi bencana bagi masyarakat Jepang, tetapi juga bisa menjadi ancaman bagi masyarakat barat.
Alasan keempat dipaksakannya penyelenggaraan landreform di Jepang adalah untuk membendung perkembangan Komunisme di Jepang. Kekhawatiran ini muncul, karena sampai setelah Perang Dunia ke Dua, landreform identik dengan Komunis. Dengan kata lain, komunislah yang merupakan kekuatan yang berkehendak untuk menyelenggarakan landreform. Bagi masyarakat yang hidup dialam feodalisme, dimana tanah-tanah pertanian dikuasai oleh kaum feodal dan para petani tidak memiliki hak atas tanah, pemahaman tersebut mengakibatkan dukungan penuh masyarakat pedesaan atas berbagai pemberontakan Komunis. Contoh yang masih segar dalam ingatan setiap orang setelah berakhirnya PD II adalah keberhasilan Longmarch yang dilakukan oleh Partai komunis Cina pada tahun 1934 – 1935 dibawah pimpinan Mao Tse Tung[2]. Longmarch Partai komunis yang menyingkir dari daerah selatan ke Utara tersebut berhasil berkat dukungan para petani didaerah-daerah yang dilaluinya, yang merasakan ketidak adilan dalam penguasaan tanah.
Sebagaimana daerah-daerah kekuasaan feodal yang lain, tanah-tanah pertanian di Cina pada waktu itu dikuasai seluruhnya oleh kaum feodal (yang dalam hal ini adalah para “warlord”). Sebagaimana halnya kaum bangsawan Jawa masa mataram, para Warlord di Cina juga tidak hanya menarik pajak dari para penggarap, tetapi juga mewajibkan semua laki-laki dewasa yang kuat untuk bekerja pada para Warlord, terrmasuk untuk menjadi tentara sang Warlord. Akibatnya, kehidupan masyarakat desa menjadi sangat berat dan sangat miskin. Kehidupan berat dibawah para Warlord inilah yang mendorong mereka mendukung pemberontakan terhadap para Warlord, tak peduli apapun ideologi dan program politiknya. Buat kaum tani penggarap, yang penting mereka bisa terlepas dari penindasan para Warlord.
Dari kaum tani miskin inilah Partai Komunis Cina pimpinan Mao Tse Tung tersebut merekrut pasukannya. Bahkan sering terjadi, peperangan antara tentara Partai Komunis dengan tentara Warlord yang mencegat perjalanan Longmarch, tidak dilakukan dengan bersungguh-sungguh. Para tentara Warlord yang direkruit dari petani miskin yang harus bekerja tanpa dibayar tersebut justru mengharapkan kemenangan berada dipihak Partai Komunis, dan hal itu akhrnya memang terjadi.
Amerika Serikat tentunya tidak ingin pengalaman Cina tersebut terulang kembali di Jepang. Karena itu, Landreform di Jepang menjadi suatu keharusan yang tak terhindarkan. Bahkan, dengan menyelenggarakan landreform di jepang, Amerika Serikat yakin akan memperoleh sekaligus banyak keuntungan. Sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui.
Dari gambaran diatas nampak watak politisnya program landreform yang diselenggarakan di Jepang, khususnya setelah Perang Dunia Kedua. Tetapi sesungguhnya, program landreform dimanapun selalu merupakan program yang tidak pernah lepas dari berbagai perhitungan dan kepentingan politik. Demikian juga halnya dengan landreform indonesia, khususnya program landreform yang dilancarkan pada tahun 1960-an.

LANDREFORM YANG GAGAL

Kalau melihat perkembangan pengaturan masalah landreform yang dari tahun ketahun terus bertambah jumlahnya, seharusnya pengaturan landreform akan semakin sempurna. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Keberadaan perundang-undangan landreform yang terus menerus bertambah sedemikian banyak tersebut, yang kelihatannya berkembang terus menerus dari tahun ketahun tersebut, tidak berarti landreform bisa berlangsung dengan mulus. Sejarah landreform Indonesia menunjukkan bahwa tak satupun ketentuan dalam perundang-undangan yang ada dapat dilaksanakan dengan konsekwen. Bahkan bertambah banyaknya peraturan perundang-undangan landreform tersebut sesungguhnya bukannya semakin mendukung dan menyempurnakan program landreform, tetapi malah membuatnya semakin mandul. Kegagalan landreform dapat kita lihat dari hasil sensus pertanian tahun 1973 yang dibandingkan dengan hasil sensus pertanian tahun 1963. Dari kedua hasil sensus yang dilaksanakan pada awal pelaksanaan program landreform dan yang dilaksanakan pada masa awal rejim Orde Baru, dimana landreform sudah tidak dilaksanakan lagi, menunjukkan tidak adanya perubahan struktur penguasaan tanah pertanian.
Data mikro dari beberapa desa juga menunjukkan gagal totalnya landreform. Dari tabel 3.1. yang merupakan hasil penelitian tahun 1973 – 1974 di tiga desa di Kediri menunjukkan tidak berubahnya struktur penguasaan tanah pedesaan. Di desa A sebanyak 23 orang dari 23 orang pemilik tanah, atau 72,2 persennya hanya menguasa tanah pertanian kurang dari 1 hektar, sementara  ada 2 orang atau 6,2 persen yang menguasai tanah lebih dari 5 hektar. Di desa B sebanyak 38 orang dari 45 orang yang memiliki tanah pertanian, atau 84,4 persen menguasai tanah pertanian kurang dari 1 hektar. Sementara mereka yang menguasai tanah lebih dari 5 hektar ada 4 orang atau sama dengan 8,8 persen dari seluruh pemilik tanah. Di desa C ada 55 orang penduduk dari 69 pemilik tanah, atau 79 persen hanya menguasai tanah pertanian kurang dari 1 hektar. Yang menarik dari tabel 2.1 tersebut adalah terdapatnya 2 orang yangmenguasai tanah pertanian antara 5 – 10 hektar, 3 orang yang menguasai tanah pertanian antara 10 – 15 hektar, bahkan ada satu orang yang menguasai tanah lebih dari 15 hektar. Karena ketiga desa penelitian tersebut terletak di Kediri, maka jelas keenam orang tersebut telah melanggar ketentuan batas minimum penguasaan tanah pertanian.

TABEL 3.1.

PEMILIKAN TANAH DITIGA DESA DI Kediri tahun 1973 – 1974

Pembagian luas tanah milik
Persentase Rumah Tangga
(dalam hektar)
Desa A
Desa B
Desa C
Lebih dari 15
0
1
0
10 – 15
1
2
0
5 – 10
1
1
0
2 – 5
3
1
4
1 – 2
5
2
10
0,5 – 1
5
10
10
Kurang dari 0,5
17
28
45
Jumlah
32
45
69
Dikutip dari: Svein Aass, dalam Sediono M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (penyunting), 1984, hal. 139

Booth menggunakan data statistik resmi tingkat kecamatan dari satu bagian yang berpenduduk sangat padat di Jawa Tengah, mencatat bahwa dua per-tiga dari 225.238 rumah tangga desa di Kecamatan Klaten pada tahun 1971 tidak memiliki tanah. Husken mencatat prosentase yang sama di desa di Jawa Tengah pada tahun 1976, dan Siahaan menunjukkan bahwa 71% dari 728 rumah tangga di desa lain pada tahun 1876 tidak bertanah.
Tentu saja tingkat ketunakismaan berbeda-beda diwilayah yang berbeda. Studi dinamika Pedesaan di lembah sungai Cimanuk di Jawa Barat, sebagai contoh, mencatat bahwa 70% rumah tangga di dataran rendah di Kecamatan Cirebon pada tahun 1973 tak bertanah, sementara di kecamatan dataran tinggi Sumedang hanya 29%. Collier memperkirakan separoh rmah tangga di wilayah padat penduduk tidak memiliki tanah, dan seperempatnya memiliki tanah sempit (Joan Harjono, 1993, hal. 4)
HASIL SEBUAH KOMPROMI POLITIK
Kemacetan landreform Indonesia memang seharusnya sudah dapat diramal sejak awal, karena sudah sejak kelahirannya, berbagai ketentuan dalam perundang-undangan landreform membawa cacat bawaan yang tidak memungkinkannya untuk dilaksanakan. Hal ini disebabkan karena sejak proses penyusunannya sudah menimbulkan tarik menarik berbagai kepentingan dari berbagai kelompok dan kekuatan politik yang demikian kerasnya.  Menurut Margo L Lyon sebetulnya perhatian Indonesia pada landreform sudah dimulai dalam masa revolusi pada waktu masalah ini dibahas untuk pertama kalinya. Menurutnya, berdasarkan satu informasi, sejak tahun 1956 hingga tahun 1960 saat diundangkannya UUPA, kemungkinan terdapat sepuluh sampai dua belas konsep undang-undang pokok.  Berdasarkan keterangan dari sumber lain mengatakan bahwa beberapa masalah tertentu dalam konsep undang-undang pokok mengalami perdebatan politis yang cukup berarti di Departemen Agraria dan di Dewan Pertimbangan Agung (DPA), sehingga undang-undang yang akhirnya berlaku merupakan serangkaian kompromi dari berbagai  kepentingan. Masalah utama yang menjadi bahan perdebatan tersebut adalah menyangkut prinsip bahwa pemilik tanah pertanian harus mengerjakan sendiri tanahnyta secara aktif, yang jika prinsip ini diterapkan, maka berarti tak seorang atau keluargapun yang dapat memiliki tanah kecuali bila mereka menggarapnya sendiri. Hal ini secara efektif akan menghilangkan sistem bagi hasil, dan mengancam para tuan tanah dan pemilik tanah guntai yang tidak menetap ditanahnya (absentee owners). Ini juga berati bahwa sejumlah pegawai negeri dengan gaji kecil yang mendapat nafkah dari tanah yang tidak digarapnya sendiri, harus mengembalikan tanahnya kepada desa. Kompromi diadakan atas masalah ini dan masalah-masalah lainnya oleh dua klompok yang sangat bertentangan, salah satu mewakili kepentingan tuan tanah dan kelompok agama (sejumlah besar golongan santri merupakan pemilik tanah yang relatif kaya). Kompromi yang dicapai berarti bahwa tanah milik diakui akan tetapi sampai suatu batas maksimum, tanpa menghiraukan apakah pemilik tanah itu menggarap tanahnya sendiri atau tidak. Ini membuka jalan untuk menghindari landreform dengan berbagai cara dan oleh karenanya menjadi sumber persengketaan lebih lanjut antara berbagai kelompok (Margo L. Lyon, dalam Sediono M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (penyunting), 1984: 196 – 197).
Mengenai kerasnya tarik menarik berbagai kekuatan politik dalam soal landreform pada waktu itu, Selo Soemardjan menulis, bahwa Dengan pecahnya revolusi Indonesia dalam bulan Agustus 1945 timbullah suatu keinginan yang kuat diantara pemimpin politik Indonesia untuk mengubah sistem agraria kolonial, yang dibuat untuk memenuhi kebutuhan perusahaan pertanian Balanda, dengan suatu struktur agraria nasional, yang akan lebih memperhatikan dan melindungi kepentingan bangsa Indonesia. Tetapi perbedaan yang besar dari berbagai partai politik menghalangi Dewan Perwaklan Rakyat (DPR) untuk mencapai suatu keputusan mengenai berbagai rencana undang-undang  yang diajukan oleh beberapa kabinet secara berturut-turut. Akhirnya, barulah dengan permulaan sistem demokrasi terpimpin (setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959), dimana presiden menarik kekuasaan untuk memutuskan soal-soal yang diserahkan kepadanya oleh DPR karena DPR tidak mencapai suatu keputusan yang bulat, maka golongan fungsional dan politik dalam badan legislatif mencapai kompromi untuk menerima Undang-undang Pokok Agraira Indonesia, UU. No. 5 tahun 1960 (Selo Soemardjan, dalam Sediono M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (penyunting), 1984: 103).
Kerasnya tarik menarik kekuatan-kekuatan politik pada waktu itu yang mengakibatkan sulitnya diundangkannya perundang-undangan agraria nasional juga dapat kita simak dari sambutan akting Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (Haji Zainul Arifin) didalam sidang DPR-GR tanggal 14 September 1960 atas disetujuinya RUU Pokok Agraria oleh DPR-GR:
Saudara-saudara, jika kita pada detik ini bertegun sejenak dan menoleh kebelakang, tampaklah pada kita bagaikan fatamorgana titik-titik sejarah tentang rancangan undang-undang Pokok Agraria yang telah diperundingkan dimasa yang lampau antara pemerintah dan Dewan P)erwakilan Rakyat yang lama.
Rancangan Undang-Undang Pokok Agraria ditanah air kita ini bukan saja baru sekarang kita selesaikan, tetapi sudah lama diusahakannya. Dewan perwakilan Rakyat yang dahulu dibawah pimpinan saudara Mr. Sartono yang kita muliakan, bersama-sama dengan Panitia Ad hoc-nya, dengan bantuan Universitas Gajah Mada dan Ketua Mahkamah Agung serta lainnya, telah banyak berjasa dalam mengumpulkan bahan-bahan untuk menyusun rancangan Undang-Undang Pokok Agraria. Dan rancangan Undang-Undang itu telah pernah pula diperundingkan dalam rapat pleno Dewan Perwakilan Rakyat dengan tngkat pembicaraan pemandangan umum babak pertama.
Tetapi apa hendak dikata, maksud hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai. Sampai akhir tugasnya Dewan Perwakilan Rakyat lama itu belum juga dapat mensahkan rancangan Undang-Undang itu sebagai Undang-Undang. (Boedi Harsono, 1982, 1990, 2000: 64)
Karena itu, tak anehlah jika tarik menarik yang sedemikian alot dengan banyak kompromi-kompromi yang menyertainya menghasilkan undang-undang yang pada hakekatnya  mendukung vested interest dengan mensupport ketidak adilan dengan berbagai cara, seperti penetapan luas maksimum yang terlalu luas, sehingga hampir-hampir tak ada tanah yang bisa disita untuk dibagikan kepada petani miskin. Dalam hal pelarangan tanah guntai, diadakan berbagai pengecualian yang sekaligus membuka peluang pegawai negeri untuk memiliki tanah pertanian luas tanpa harus mengerjakannya sendiri, pengebirian panitia landreform dari dalam panitia itu sendiri, dan berbagai kelemahan lain yang mengakibatkan perundang-undangan yang sedemikian banyak tidak dapat dilaksanakan sama sekali (mengenai masalah ini akan kita bahas secara mendetail didalam bab 3 sampai dengan bab 8 buku ini).
Adanya pertentangan yang keras dalam pengundangan UUPA tersebut sebetulnya juga dapat dilihat dari sejarah kelahiran perndang-undangan landreform sendiri, khususnya kelahiran UUPA dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang no. 56 tahun 1960. Sebagaimana diketahui, UUPA diundangkan pada tanggal 24 September 1960 sementara itu, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) no. 56 tahun 1960 diundangkan pada tanggal 29 Desember 1960, yang berarti hanya berselang tiga bulan setelah diundangkannya UUPA. Tampaknya, draft isi Perpu no. 56 tahun 1960 yang mengatur secara lebih mendetail peraturan landreform Indonesia tersebut telah disiapkan sejak sebelum diundangkannya UUPA, bahkan telah jadi bersamaan dengan diajukannya UUPA kepada DPR. Tetapi pengaturan lebih lanjut mengenai landreform, yang kemudian menjadi Perpu no. 56 tahun 1960 tersebut dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu memang sengaja tidak dimasukkan dalam UUPA. Hal ini tampak jelas dari jawaban Pemerintah atas pemandangan umum anggota DPR-GR yang diucapkan oleh Menteri Agraria Mr. Sadjarwo didalam sidang DPR-GR tanggal 14 September 1960. Didalam persidangan DPR-GR tersebut Menteri Agraria, Mr. Sadjarwo menyatakan:
Tentang batas maksimum dan batas minimum, yang oleh saudara Mr. Soebagio dan oleh Saudara Nungtjik A.R. diusulkan agar dicantumkan dalam rancangan Undang-undang ini juga, yaitu dalam pasal 17, Pemerintah menerangkan, bahwa sekalipun Pemerintah sependapat dengan Saudara Mr. Soebagio dan Saudara Nungtjik tersebut ntuk mencantumkan angka-angka sevara konkrit, namun Pemerintah setelah mendengarkan saran-saran dari golongan-golongan lain, menganggap lebih bihjaksana untuk mengatur maksimum dan batas minmum itu dalam peraturan perundangan lain. (Boedi Harsono, SH. 1982, 1990, 2000: 58)
Dari jawaban pemerintah tersebut nampak bahwa pengundangan peraturan landreform secara lebih rinci didalam peraturan tersendiri, yaitu Perpu no. 56 Tahun 1960 bukan disebabkan karena materi pengaturannya yang belum siap, tetapi disengaja berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Pertimbangan tertentu tersebut nampaknya bersifat politis, yaitu untuk memudahkan diundangkannya UUPA dan sekaligus diundangkannya ketentuan landreform. Pengundangan UUPA menjadi lebih mudah, karena dengan tanpa mengatur secara mendetail masalah landreform, persetjuan DPR lebih mudah diperoleh. Sementara pengaturan secara detail dimuat didalam  Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, yaitu sebuah peraturan yang dibuat oleh presiden sendiri (tanpa persetujuan DPR) tetapi yang berkedudukan setara dengan undang-undang. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang dinyatakan tidak berlaku jika satu tahun setelah diundangkan, DPR menyatakan tidak setuju atau tidak menguatkannya menjadi undang-undang. Dengan cara ini, sebetulnya pemerintah membeli waktu (satu tahun), karena dengan diundangkannya suatu peraturan melalui peraturan pemerintah pengganti undang-undang, ada waktu satu tahun untuk melihat dukungan masyarakat atas peraturan yang bersangkutan.
            Dengan membeli waktu satu tahun, dan ternyata Peraturan pemerintah tersebut dalam waktu satu tahun itu mendapat dukungan dari massa tani, mau tidak mau kekuatan-kekuatan politik lain, yang juga mengandalkan suara dari massa tani, terpaksa mendukung ketentuan dalam landreform yang tertuang didalam Perpu no. 56 tahun 1960 tersebut Dengan dukungan kekuatan-kekuatan politik besar dalam parlemen, maka pada tahun 1961 dengan Undang-Undang no, 1 tahun 1961 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang no. 56 tahun 1960 ditingkatkan statusnya menjadi undang-undang (sehingga menjadi UU. No. 56 Prp. Tahun 1960). . Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan selama masa satu tahun tersebut telah terjadi tawar-menawar politik dibalik pemberlakuan dan dukungan berbagai kekuatan politik tersebut, mengingat perndang-undangan yang dihasilkan setelah UU. No. 56 Prp. tahun 1960 bukanya memperkuat, tetapi malah lebih banyak memperlemah undang-undang tersebut.
MENUAI KONFLIK PEDESAAN
            Perundang-undangan yang cacat sejak lahirnya tersebut mengakibatkan banyak kesulitan dalam pelaksanaannya. Semua pihak dapat menggunakan peraturan perundang-undangan yang sama untuk melegalkan tindakannya yang saling bertentangan. Akibat lambannya pelaksanaan program landreform, PKI dengan BTI-nya mengupayakan desakan pelaksanaan landreform dengan melakukan aksi sepihak. Tetapi bersamaan dengan itu, para pemilik tanah luas, yang biasanya adalah elite-elite desa yang bergabung dengan PNI atau NU, juga melakukan aksi sepihak. Sementara aksi sepihak para pemlik tanah luas adalah mengupayakan untuk menghindari pendistribusian tanah dan tuntutan petani atas pembagian tanah sebagaimana yang dijanjikan oleh Undang-Undang Landreform, aksi sepihak yang dilakukan oleh petani, yang biasanya mendapat dukungan PKI atau BTI, ditujukan untuk mendorong percepatan proses pembagian tanah. Taktik yang digunakan oleh petani adalah dengan menduduki sebidang tanah tertentu yang dipandang melanggar perundang-undangan landreform. Dengan menduduki tanah tersebut petani ingin menunjukkan bahwa tanah yang bersangkutan merupakan obyek landreform yang harus segera diambil alih dan dibagikan. Cara ini untuk memaksa panitia landreform segera membuat keputusan mengenai permasalahan tersebut.Yang sering menyulitkan, anggota-anggota BTI yang menduduki tanah yang akan dibagikan tersebut seringkali bukan orang yang menduduki prioritas dalam ketentuan penerima pembagian tanah. Dalam banyak kasus, BTI membela anggotanya yang demikian dengan mengalahkan petani anggota partai lain, yang biasanya partai kecil. Hal ini sering menimbulkan konflik yang sangat keras.
            Mengenai terjadinya konflik landreform, Utrecht memberi contoh kasus (Geritt Huizer):
 1.    Ketika seorang pemilik tanah mengetahui bahwa buruhnya atas inisiatif sendiri ata atas dorongan dari BTI meminta pada panitia daerah untuk bisa mendapatkan hak atas tanah yang digarapnya. Mengetahui permintaan buruhnya pada panitia landreform, tanpa menunggu keputusan panitia, pemilik tanah berusaha untuk mendepak buruhnya yang membahayakan keselamatan tanah miliknya tersebut. Jika petani yang didepak tersebut bukan anggota BTI dia bisa meminta bantuan BTI untuk membelanya. Kemudian pemiloik tanah melaporkannya kepada Petani (organisasi tani PNI). Petani menasehati pemilik tanah untuk mengultimatum buruhnya agar segera meninggalkan tanahnya dalam waktu yang telah ditentukan. Tetapi disuatu pagi, sebelum habis waktu dalam ultimatum, pemilik tanah mendapati lebih dari 100 orang anggota BTI berada disawahnya sedang bekerja bersama-sama dengan bersenjatakan tongkat, cangkul, dan arit. Mengetahui keadaan tersebut, pemilik tanah langsung berlari menemui pengurus Petani setempat, dan selang beberapa waktu kembali lagi dengan dikawani oleh sekelompok anggota Petani yang juga bersenjata dan jumlahnya sama besar atau bahkan lebih besar dari pada anggota BTI yang membantu petani mengerjakan ladangnya. Akhirnya terjadi perkelahian dan banyak korban berjatuhan oleh tusukan pisau atau peluru polisi yang datang melarai.
2.    Seorang buruh tani mengira bahwa sebagai penggarap bagi hasil dia memiliki hak atas tanah yang digarapnya yang telah diajukannya pada panitia landreform setempat. Tanpa menunggu keputusan panitia, dia langsung menolak untuk menyerahkan sebagian hasil panennya kepada pemilik tanah. Tak jarang peristiwa demikian terjadi atas anjuran BTI.Pemiloik tanah yang didukung oleh Petani kemudian mencoba untuk mengusir buruhtani tersebut dengan ancaman. Massa BTI datang membantu buruh tani, dan terjadilah perkelahian.
3.    Seorang pemilik tanah menunggu keputusan panitia landreform mengenai kasus sebidang tanah yang sedang dihadapinya.  Dia yakin akan memenangkan perkara, baik berdasarkan landasan fakta dan hukum, atau karena dia merasa yakin akan dukngan beberapa anggota panitia yang cukup berpengaruh yang mempunyai hubungan kesamaan partai atau keluarga. Dalam hal demikian, sang buruh tani, yang didorong dan didukung oleh BTI melakukan pendudukan atas tanah yang menjadi sengketa tersebut.
Aksi sepihak dalam kasus landreform tidak hanya dilakukan oleh BTI tetapi bisa dilakukan oleh kedua belah pihak, baik oleh petani maupun pemilik tanah luas, yang biasanya tidak bersedia menunggu putusan panitia landreform, yang dalam banyak kasus memang bekerja sangat lamban dan berpihak.
            Karena itu, tak mengejutkan jika penerapan pasal-pasal redistribusi didalam peraturan perundang-undangan landreform Indonesia jauh dari harapan semula. Ladejinsky yang diundang oleh Menteri Agraria untuk menilai capaian program landreform pada tahun 1963 menyimpulkan bahwa perkiraan awal atas tanah yang melampaui batas maksimum telah direvisi dan direndahan di semua provinsi, hanya meninggalkan tanah dalam jumlah relative sedikit untuk di redistribusi. Prosedur administrasi sangat lamban dan complex dan pejabat local menunjukan kurangnya perhatian untuk menjalankan tugasnya (dalam menjadikan pekerjaan dilaksanakan). Tambahan, komite yang dibangun di tingkat desa untuk melaksanakan redistribusi mewakili kepentingan pemilik tanah. Mereka yang memperoleh tanah dalam banyak kasus adalah saudara pemilik tanah atau anggota komite. Kenyataan bahwa ganti rugi jika dibayarkan, sangat tidak memadai yang mengakibatkan usaha tersebut gagal sejak awal. Akibatnya, banyak pemlik tanah yang kehilangan sebagian tanahnya memperolehnya kembali setelah huru-hara politik tahun 1965 (Joan Harjono, 1993: 8-9).

Daftar Pustaka
  1. Furet, Francois dan Denis Richet, Revolusi Perancis, Gajahmada University Press, Yogyakarta, 1989.
  2. Hardjono, Joan, Land, Labour and Livelihood In a West Java Vilage, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1993.
  3. Harsono, Boedi, SH., Hukum Agraria Indonesia: Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Jambatan, Jakarta, 1982, 1990, 2000.
  4. Tjondronegoro, Sediono M.P. dan Gunawan Wiradi (penyunting), Dua Abad Penguasaan Tanah, PT. Gramedia, Jakarta, 1984






[1] Lihat Francois Furet dan Denis Richet, 1989.
[2] Lihat: Edgar Snow, dalam Red Star Over China.

NATION AND CHARACTER BUILDING


Hadi Wahono


Frasa “Nation and Character Building” merupakan frasa yang sering diungkapkan oleh Bung Karno, presiden pertama Republik Indonesia. Saya sengaja menggunakan judul ini, dengan mengingat situasi dan kondisi masyarakat, khususnya sebagian besar elite-elite bangsa kita yang sudah sedemikian runyamnya. Para elite bangsa ini dengan menghalalkan berbagai cara berusaha untuk menduduki kursi kepemimpinan pemerintahan, yang pada akhirnya melakukan berbagai tindak koruptif untuk memperkaya diri, keluarga, dan (kadang-kadang) golongan. Banyak kalangan elit yang mengupayakan untuk menduduki kursi kepemimpinan kenegaraan dengan berbagai cara yang tidak relevan dalam hubungannya sebagai pemimpin bangsa, seperti melalui pencitraan diri (dan sekedar hanya citra), pembelian suara pemilih, yang buntut-buntutnya biaya besar yang sudah dikeluarkannya harus dikembalikan melalui korupsi jika nanti mereka berkuasa.
Jika mereka bertengkar, bukan karena mereka berebut ingin menerapkan konsep atau ideology, atau apapun namanya, yang berbeda satu sama lain, tetapi hanya untuk memperebutkan kursi kepemimpinan. Sekali lagi, tidak lebih hanya untuk memperebutkan kursi kepemimpinan, yang seringkali tidak ada relevansinya dengan kehidupan rakyat banyak. Saat ini, kepemimpinan sudah tidak lagi dilihat sebagai amanat dari Yang Maha Kuasa, atau paling tidak sebagai mandat rakyat untuk membawa bangsa ini kearah kehidupan yang lebih baik, tetapi lebih sebagai karcis untuk meraih kekayaan yang melimpah dan kehormatan semu.
Sementara itu, non-governing elite (elit yang tidak memegang kekuasaan pemerintahan secara langsung), hanya memikirkan kepentingan mereka sendiri, bisnis mereka sendiri, dan hidup dalam hedonisme, tanpa memperdulikan nasib rakyat yang hidupnya semakin sulit. Saya khawatir, bangsa yang demikian sudah semakin mendekatkan diri pada jurang kehancurannya.
Pernyataan terakhir tersebut bukannya tanpa alasan, karena lebih dari dua ribu tahun yang lalu pernah dialami oleh sebuah imperium yang bernama Kartago. Sebagai sebuah imperium yang pada masanya sangat besar, yang meliputi wilayah Afrika Utara hingga Spanyol dan Portugis, dapat dihancurkan oleh kekuatan Romawi yang baru tumbuh, yang bahkan pada perang Punisia ke tiga, Kartago dibakar habis dan semua penduduknya, khususnya laki-laki yang kuat, dijadikan budak, sementara perempuannya kalau tidak dijadikan budak, diperkosa atau dibunuh. Padahal saat itu, sekitar tahun 200 sebelum Masehi, Kartago selain merupakan imperium besar, juga mempunyai seorang jenderal yang mempunyai nama besar, yaitu Hannibal, seorang panglima perang yang oleh banyak ahli sejarah militer disejajarkan dengan Alexander Agung, Julius Caesar, Scipio dan Pyrrhus dari Epirus. Napoleon Bonaparte memandangnya sebagai ahli strategi besar, yang menurut  Norman Schwarzkopf, komandan pasukan koalisi dalam perang Teluk, walaupun peralatan perang sudah berubah secara luar biasa, tetapi prinsip-prinsip pertempuran yang diterapkan pada jaman Hannibal masih diterapkan hingga hari ini. Padahal, karena kehebatan strategi dan taktik perang Hannibal, tentara Kartago (yang sebagaian besar, mulai dari perwira rendah hingga prajuritnya adalah tentara bayaran), pernah menguasai dan malang melintang di hampir seluruh daerah Itali selama 15 tahun. Dari kisah sejarah dua kekuatan besar dunia pada masanya tersebut, Kalau kita coba bandingkan keduanya, ada beberapa hal yang menarik untuk disimak, khususnya sehubungan dengan kekalahan Kartago atas Romawi, yang saat itu belum merupakan imperium besar.
Yang pertama, Elit penguasa Kartago, yang saat itu menganut system pemerintahan republic (atau lebih tepatnya Aristokratik) mengalami perpecahan, sehingga kemenangan Hannibal tidak mendapat sambutan baik, malah mengakibatkan kekhawatiran elit diluar kelompok Hannibal. Mereka takut, kemenangan Hannibal akan memperkuat pengaruh kelompoknya didalam negari, hingga usaha Hannibal untuk menaklukkan Romawi tidak pernah mendapat dukungan dari negerinya, baik financial, tenaga militer, maupun peralatan perang, bahkan sering mengalami penghianatan dari dalam, khususnya dari kelompok-kelompok elit yang tidak menyukai kemenangan Hannibal, sebagai akibat perebutan pengaruh didalam negeri. Disamping itu, rakyat Kartago sama sekali sudah tidak bisa berperang, mereka merasa hidup aman, dan cenderung hedonis.
Sementara itu, elit Romawi selama peperangan melawan Kartago selalu bersatu, tidak pernah ada kudeta, tidak pernah ada huru-hara, tidak pernah ada penghianatan. Para Elit Romawi selalu berebut, tetapi bukan sekedar berebut kursi kepemimpinan, mereka berebut untuk memimpin pasukan melawan Hannibal, walaupun sudah banyak konsul dan diktaror dan panglima-panglima perang Romawi yang gugur dimedan perang melawan pasukan Hannibal. Dalam perang Punisia ke dua, meskipun mereka sudah terdesak, bahkan pasukan Hannibal telah mengepung kota Roma, namun demikian elit Romawi tidak pernah berfikir untuk menyerah atau mengadakan perjanjian perdamaian sebagai pihak yang kalah perang. Bahkan mereka tidak pernah menarik pasukan mereka yang berada diluar Itali untuk memperkuat Roma. Tekat mereka bulat, menang atau hancur sama sekali.  Akibatnya, dalam keadaan kota Roma terkepung, pasukan Romawi yang ada di Afrika mampu melakukan usaha serangan balik dengan mengepung kota Kartago. Celakanya, elit Kartago langsung merasa ketakutan ketika pasukan Romawi mendekati kota Kartago, hingga memanggil pulang Hannibal. Untuk jelasnya dalam memperbandingkan mental kedua bangsa tersebut, dapat dibaca pada website tentang Hannibal dan link didalamnya yang banyak memuat kisah Hannibal secara cukup lengkap).

Dari perbandingan tersebut nampak betapa kemengangan hanya dapat diraih oleh bangsa yang elit-elitnya maupun masyarakatnya mempunyai mental yang baik, mental yang mementingkan kebesaran dan kejayaan bangsanya, bukannya (meminjam istilah Bung Karno) bangsa tempe. Dari sini Nampak pentingnya seruan Bung Karno mengenai Nation and Character Building untuk tidak hanya diserukan kembali, tetapi diupayakan oleh masyarakat yang menyadari runyamnya bangsa ini dan karena itu, perlunya dilakukan upaya dalam rangka meningkatkan pembangunan karakter bangsa.


JOKOWI PRESIDEN?


Hadi Wahono


Wacana mengenai usulan untuk mencalonkan Jokowi, Gubernur DKI, sebagai presiden terus bergulir. Yang terakhir diusulkan oleh para facebooker yang menggelar pertemuan di Bandung, yang menamakan diri sebagai “Gerakan Mendukung Jokowi Presiden 2014”. Selain dukungan dari para facebooker, nama Jokowi sebagai calon kuat Presiden memang telah menggema, berbagai jajak pendapat menunjukkan bahwa pilihan sebagian besar rakyat untuk calon Presiden mendatang jatuh kepadanya. Tak kurang Dahlan Iskan, menteri BUMN menyatakan bahwa Jokowi merupakan calonpresiden potensial pada pemilihan Presiden tahun 2014 mendatang. Bahkan dia mengingatkan kepada orang yang ingin mencalonkan diri pada Pemilihan Presiden tahun 2014 agar berfikir dengan sungguh-sungguh sebelum mencalonkan diri, dari pada nanti kehilangan banyak uang.
Sosok Jokowi saat ini memang merupakan sosok dambaan rakyat kecil, yang merindukan seorang presiden yang jujur, yang lugu, yang tidak gila kekuasaan, yang tidak jaim, yang mau bersentuhan langsung dengan mereka dan mendengarkan keluhan-keluhan mereka. Mereka sudah tidak perduli, apakah Jokowi mempunyai kapasitas untuk memimpin Negara atau tidak, mereka tidak perduli akan keberhasilan Jokowi memimpin Jakarta. Masyarakat tampaknya betul-betul sudah muak dengan orang-orang pintar yang pada akhirnya hanya memintari rakyat, orang pintar yang korup, yang karena pintarnya, tidak bisa dijangkau oleh hokum yang berlaku, yang tampak baik hanya berkat olahan media dengan mengandalkan pencitraan semata. Pilihan rakyat atas Jokowi yang tidak peduli apakah Jokowi pintar atau tidak, apakah telah menunjukkan hasil dalam memimpin Jakarta atau belum, yang penting dia sosok yang jujur, yang lugu, untuk saat ini adalah pilihan yang paling rasional. Indonesia membutuhkan orang-orang semacam Jokowi. Tedtapi masalahnya, apakah Jokowi mungkin untuk dicalonkan pada pemilihan Presiden tahun 2014?
Kalau kita mengamati kiprah Jokowi di DKI; tampak keberhasilan Jokowi tidak lepas dari wakilnya, Ahok (Tjahaja Purnama). Secara tipologis, Jokowi merupakan tipe pemimpin, bukan tipe menejer. Kiprahnya banyak diluar, mendengarkan keluhan masyarakat, melihat langsung permasalahan masyarakat, dan memikirkan bagaimana memecahkan masalah masyarakat, seperti kemiskinan, kampong kumuh, biaya kesehatan masyarakat, kemacetan lalulintas, banjir, dan bahkan yang terakhir mempunyai ide untuk menjadikan ulang tahun Jakarta sebagai pesta rakyat. Dari segi waktu dan tenaga, tak mungkin buat seorang Jokowi untuk juga memenej secara detail masalah administrasi dan keuangan Jakarta, yang sebelumnya memang sudah terlanjur amburadul. Untuk masalah tersebut tampaknya sepenuhnya diserahkan kepada Ahok, yang secara tipologis bercirikan seorang menejer. Perpaduan antara seorang yang bertipe pemimpin dan yang bertipe menejer inilah yang menjadi kekuatan duet Jokowi - Ahok saat ini. Karena Jokowi tidak berniat untuk memainkan Anggaran Daerah, dia, tidak sebagaimana kebanyakan gubernur atau bupati yang lain yang langsung mengurusi sendiri anggaran daerah, dengan sukarela mempercayakan sepenuhnya masalah tersebut kepada wakilnya, yang ternyata memang bisa dipercaya dan sama-sama tidak dikuasai oleh keinginan untuk memainkan anggaran bagi kepentingan pribadinya. Inilah yang menjadi kekuatan mereka. Karena kekuatan kepemimpinan Jokowi saat ini berkat duetnya dengan Ahok sebagai Wakil Gubernur, akan sulit dibayangkan, bagaimana kalau Wakil Gubernurnya orang yang tidak dapat dipercaya sepenuhnya untuk memenej administrasi dan keuangan daerah. Hal ini juga berlaku bagi pencalonan Jokowi sebagai calon Presiden.
Nah, masalahnya, kalau Jokowi dicalonkan menjadi Presiden RI dan ternyata terpilih, siapakah orang kedua yang akan mendampinginya? Apakah Ahok akan mendampingi Jokowi sebagai wakil presiden? Kalau itu terjadi, bagaimana dengan nasib Jakarta? Kalau bukan Ahok, siapa yang akan mendampingi Jokowi sebagai Wakil Presiden? Sampai saat ini saya tidak memiliki nama elit politik kita yang memungkinkan untuk mendampingi Jokowi, yang dapat berduet sebagaimana saat ini dia berduet dengan Ahok. Kalau Jokowi tidak mempunyai pendamping yang bisa dia percaya penuh dan memang betul-betul dapat bekerjasana dengan baik untuk memegang urusan-urusan penting kenegaraan sebagaimana saat ini dia berduet dengan Ahok, saya yakin ceritanya akan jauh berbeda, dan bahkan bisa jadi akan sebaliknya. Nah, kalau sudah demikian, apakah masih realistis untuk mencalonkan Jokowi sebagai Presiden pada pemilihan Presiden tahun 2014 mendatang?

Tentu saja, kalau kita bisa menemukan orang yang layak mendampingi Jokowi pada pemilihan Presiden mendatang, maka saya akan ikut menjadi pendukung fanatiknya. Kita memang sudah butuh pemimpin yang jujur, lugu, tidak jaim, yang mau menyapa rakyat secara langsung, mendengarkan permasalahan rakyat kecil dan memikirkan jalan untuk menyelesaikannya.


LANDREFORM: Relevansinya Saat ini

Hadi Wahono

Sebagaimana telah disinggung didalam postingan terdahulu, dalam judul UUPA: Faktor Pendorong Pembentukannya, pemerintah Indonesia pada masa awal kemerdekaannya selain dihadapkan pada masalah kemiskinan, terutama kemiskinan pedesaan yang serius, juga masalah pertanahan, khususnya tanah pertanian.  Dalam rangka memecahkan masalah kemiskinan pedesaan, ada tiga pola pembangunan pedesaan yang bisa dipilih oleh pemerintah, yaitu yang pertama, berupa kebijakan-kebijakan yang berdasarkan strategi pertumbuhan dalam bentuk usaha peningkatan produktifitas petani dan buruh tani disektor pertanian. Menurut pandangan ini daerah pedesaan didiami oleh petani-petani besar maupun kecil yang tetap miskin akibat teknologi primitif, tidak tersedianya irigasi dan lain-lain prasarana pedesaan, kekurangan input pelengkap seperti pupuk dan kredit dan struktur harga serta insentif yang tidak layak. Karena itu, tugas pembangunan pedesaan pada dasarnya adalah menyediakan input-input dan insentif yang tidak ada tersebut. Proses modernisasi pertanian tradisionil ini diharapkan dapat meningkatkan produktifitas pertanian dan pendapatan pedesaan serta melancarkan pertumbuhan pertanian atas daya sendiri, yang kemudian akan dapat menyediakan sumber-sumber daya untuk menggerakkan industri. Keberhasilan program pembangunan pedesaan dengan pola ini membutuhkan dukungan paket-paket pendukung yang berupa kredit lunak, subsidi pupuk dan berbagai input pertanian (saprotan) lainnya.
            Yang kedua, mengupayakan pemerataan melalui pola pendekatan kelompok sasaran, dimana kelompok sasaran (masyarakat miskin desa) yang secara langsung akan menerima keuntungan dari paket-paket pembangunan yang dikembangkan. Dengan kata lain, paket-paket pembangunan harus ditujukan secara langsung kepada kaum miskin pedesaan yang merupakan kelompok sasaran (target group) program yang bersangkutan. Pola ini dilandasi pemikiran bahwa paket program yang ditujukan pada masyarakat petani secara umum dan tidak pilih-pilih (sebagaimana pola pembangunan pedesaan yang pertama) seringkali tidak berhasil mengurangi kemiskinan pedesaan, karena seringkali hanya masyarakat kelas atas desa yang mampu memanfaatkannya, sementara masyarakat miskinnya tetap tertinggal. Hal ini bisa menimbulkan gap kaya miskin yang cukup lebar, yang dalam rangka kehidupan masyarakat pedesaan bisa mengakibatkan terjadinya pemiskinan lanjutan akibat pemerasan oleh mereka yang kaya terhadap yang miskin.
            Yang ketiga adalah pembangunan dengan pemerataan asset. Dalam produksi pertanian, tanah pertanian merupakan faktor produksi utama. Karena itu, pembangunan dengan pemerataan asset berarti pembangunan dengan pemerataan atas penguasaan dan pemilikan tanah pertanian. Pola ini menghendaki pembangunan pedesaan yang didahului dan didasarkan pada landreform.
Dari pemahaman pemerintah pada masa akhir tahun 1950-an, kemiskinan, khususnya kemiskinan pedesaan disebabkan oleh ketimpangan penguasaan tanah dan penggunaan tanah sebagai alat pemerasan. Karena itu, pada tahun 1960 dalam sistem pemerintahan yang menamakan dirinya sebagai Demokrasi Terpimpin, pemerintah memilih pembangunan model ketiga, yaitu pembangunan pedesaan dengan didahului dengan Landreform. Ada tiga tujuan yang ingin dicapai dari pilihan model ini, yaitu:
  1. Memberantas kemiskinan pedesaan.
  2. Mengurangi ketidak adilan penguasaan sumber daya terpenting dalam sistem produksi masyarakat desa, yaitu tanah.
  3. Menghapuskan penggunaan tanah sebagai alat pemerasan.
Tetapi upaya Landreform yang dilancarkan oleh pemerintah Orde Lama tersebut mengalami kegagalan. Hingga berakhirnya pemerintahan Orde Lama yang didahului dengan huru-hara tahun 1965, Landreform sama sekali tidak dapat dilaksanakan. Penyebab kegagalan landreform Indonesia tahun 1960 adalah karena tak adanya cukup dukungan politik dari kekuatan-kekuatan politik yang ada saat itu. Akibatnya, sebagai hasil kompromi dari tarik-menarik berbagai kepentingan elite politik dan masyarakat, perundang-undangan landreform yang dihasilkan juga sangat tidak memadai. Terlalu banyak cacat-cacat bawaan yang mengakibatkan tidak memungkinkannya perundang-undangan yang ada untuk dilaksanakan.
Rezim Orde Baru, sebagai pengganti Orde Lama, walaupun tidak secara terang-terangan, tidak memberlakukan lagi program landreform, memilih pola pembangunan pedesaan yang pertama, yaitu usaha peningkatan produktifitas petani dan buruh tani disektor pertanian melalui program intensifikasi pertanian. Saat itu pilihan ini tampaknya sangat realistis karena upaya meningkatkan intensifikasi pertanian mendapatkan materinya dari Revolusi Hijau yang sedang dipromosikan dengan gencarnya pada saat itu. Dari sinilah Revolusi Hijau masuk dalam kosa kata bahasa Indonesia.
Meskipun rejim Orde Baru sama sekali tidak memberlakukan landreform, tetapi mereka juga tidak pernah mencabut berbagai peraturan perundang-undangan landreform. Cara Orde Baru tidak memberlakukan landreform adalah dengan membuat peraturan atas nama pelaksanaan landreform, tetapi yang sesungguhnya memandulkan sama sekali program landreform.
Ada tiga alasan yang dipakai Orde Baru sebagai dasar penolakan secara diam-diam program landreform. Yang pertama, landreform secara ekonomis dipandang tidak tepat. Dalam kondisi kelangkaan tanah, pembagian tanah hanya akan mengakibatkan pemerataan kemiskinan. Pandangan ini didukung oleh hasil Sensus Pertanian tahun 1973 dimana tergambar betapa sempitnya rata-rata penguasaan tanah pertanian usaha tani di Indonesia. Dari hasil Sensus Pertanian tahun 1973 nampak untuk seluruh Indonesia, rata-rata usaha tani hanya menguasai tanah pertanian seluas 0,98 ha dengan jumlah usaha tani sebanyak 14.373.000  Sementara untuk Jawa dan Madura, usaha tani sebanyak 8.665.000 (yang merupakan 60% dari seluruh usaha tani di Indonesia) penguasaan rata-rata tanah pertaniannya hanya 0,64 ha. Bahkan Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi yang pulaunya demikian luas dan jumlah usaha taninya relatif sedikit (masing-masing 19,8%, 4,8%, dan 7,7% dari seluruh usaha tani di Indonesia), luas rata-rata lahan yang dikuasai hanya 1,34 ha untuk Sumatra, 2,71 ha untuk Kalimantan, dan 1,52 ha untuk Sulawesi.

TABEL 2.1.
JUMLAH DAN LUAS RATA-RATA USAHA TANI, 1973
Pulau
Luas rata-rata (ha)
Jumlah Usaha Tani
(ribuan)
Persen
Jawa – Madura
0,64
8.665
60,3
Sumatra
1,34
2.846
19,8
Kalimantan
2,71
689
4,8
Sulawesi
1,52
1.102
7,7
Nusa Tenggara
1,37
951
6,6
Maluku
2,17
120
0,8
Indonesia
0,98
14.373
100,0
Sumber:         BPS, Sensus Pertanian, 1973
Dikutip dari:   Mubyarto, 1982, hal 18
Dengan dukungan data yang menunjukkan luas rata-rata penguasaan tanah usaha tani di Indonesia dan diberbagai pulau sangat sempit, penguasa menganggap landreform sangat tidak rasional dan hanya akan mengakibatkan pemerataan kemiskinan semata.
Dengan nada yang sama, Joan Harjono menulis: “Walaupun merupakan kebenaran yang meyakinkan bahwa keadilan yang lebih besar dalam distribusi akses sumberdaya baik secara global maupun regional akan meningkatkan standard hidup orang-orang miskin secara memadai, pencapaian tujuan keadilan tidak dengan sendirinya menjamin standar hidup yang lebih tinggi jika sumberdaya itu sendiri tetap terbatas” (Joan Harjono, hal. 1).
Dalam rangka membantah pandangan bahwa landreform yang dilaksanakan dalam masyarakat yang mengalami kelangkaan tanah pertanian hanya akan berarti pembagian kemiskinan, Eddy Lee menyangkal dengan menyatakan bahwa argumen kelangkaan tanah biasanya didukung oleh perhitungan sederhana dengan maksud untuk menunjukkan bahwa seluruh areal tanah yang tersedia, bila dibagi sama diantara penduduk yang memenuhi syarat, akan menghasilkan usaha-usaha tani dibawah ukuran yang bisa hidup (minimum viable size). Beberapa bantahan kiranya dapat diajukan terhadapnya. Pertama, hanya sedikit sekali negara dimana bukti perhitungan seperti itu berlaku, namun bukti itu diajukan sebagai dasar penolakan terhadap kemungkinan land reform dimanapun. Kedua, tersedianya tanah hanya ditentukan sehubungan dengan tingkat teknologi sekarang ini sehingga ukuran yang dapat hidup (minimum viable size) bukan merupakan data yang tidak dapat ditawar lagi. Kenyataannya tingkat teknologi itu sendiri merupakan akibat ketimpangan pembagian tanah yang memperlambat kemajuan teknis perluasan tanah. Ketiga, terdapat suatu paradoks dalam argumen itu. Jumlah produksi pangan di daerah-daerah yang bahkan kekurangan tanah adalah ditingkat dimana tersedianya pangan per jiwa melebihi kebutuhan gizi minimum. Karena tiada dis-ekonomi skala, tetapi sebaliknya seluruh faktor produktivitas lebih tinggi dalam unit-unit yang lebih kecil, maka tidak dapat dikatakan bahwa landreform akan menghasilkan suatu situasi dimana penghidupan minimum tidak dapat diperoleh semata-mata karena kelangkaan tanah. Mungkin juga dapat ditanyakan mengapa dalam suatu situasi sesudah reform dimana ketidak sempurnaan pasar telah disingkirkan, perangsang-perangsang baru diberikan dan tersedia jumlah tanah dan tenaga kerja yang sama, hasilnya harus lebih rendah dan nasib buruh tani harus lebh buruk. Yang keempat adalah bantahan pengalaman; Cina dan Korea Selatan mencapai sukses dalam land reform dalam keadaan kelangkaan tanah yang lebih hebat dari pada di negara-negara seperti India dimana argumen kelangkaan tanah diterapkan. Akhirnya, hambatan ukuran minmum, bahkan kalau berlaku, hanya akan mengikat kalau usaha tani perorangan adalah sat-satunya pilihan yang mungkin. Itu jelas tidak benar, landreform dapat disusul dengan pembentukan usaha-usaha tani kolektif atau kelompok-kelompok yang lebih luwes dalam penyerapan tenaga kerja dan pembagian pendapatan. Momok “massa buruh tani tanpa tanah yang terlalu banyak” dapat diatasi dengan inovasi pengaturan kelembagaan (Eddy Lee, Analisa no. 3 tahun 1981, hal 199 – 200).
            Alasan yang kedua atas penolakan pelaksanaan program landreform adalah karena program Landreform dipandang akan menghambat pembangunan. Alasan ini dilandasi pemikiran bahwa dalam upaya membawa masyarakat desa memasuki era modernisasi dan pembangunan, keberadaan orang-orang kaya desa menjadi sangat penting dan dibutuhkan. Pandangan ini dilandasi asumsi yang salah, yang menganggap masyarakat desa, khususnya masyarakat kelas bawah desa, adalah masyarakat yang kolot, yang selalu berpegang pada tradisi, tidak rasional[1],  dan karenanya tidak mau menerima inovasi. Berlandaskan pada asumsi yang salah ini, muncul pandangan bahwa untuk memperlancar dan mempercepat proses pembangunan desa yang memerlukan masuknya banyak inovasi kedesa, diperlukan orang-orang kaya desa sebagai wahana penyebaran inovasi. Pemikiran ini didasarkan pada pandangan bahwa masyarakat desa yang kaya adalah masyarakat yang relatif modern, yang telah bersentuhan secara luas dengan dunia luar, yang karenanya mudah menerima berbagai pembaharuan. Karena itu, gangguan terhadap asset orang kaya desa dipandang tidak akan menguntungkan, malah sebaliknya akan menjadi kontra produktif.
            Pembagian kekayaan yang berupa tanah yang akan menimbulkan pemilikan dan penguasaan tanah sempit dipandang tidak menguntungkan pembangunan. Pada masa penyitaan dan pembagian tanah (redistribusi) akan terjadi kekacauan pedesaan yang dapat dipastikan akan berimbas pada kekacauan usaha pertanian. Setelah masa pembagian tanah selesai, yang akan terjadi adalah bahwa kebanyakan petani hanya menguasai lahan pertanian yang sempit. Penguasaan lahan pertanian yang sempit tidak memungkinkan berkembangnya pertanian modern (mekanisasi pertanian), dan petani berlahan sempit tidak akan terangsang untuk menanam tanaman yang laku dipasaran internasional. Petani berlahan sempir akan cenderung untuk melaksanakan pola pertanian subsisten. Hal ini tidak menguntungkan dari sudut ekonomi makro karena tidak bisa mengharap perolehan devisa dari sektor pertanian.
            Disamping itu, yang merupakan pemikiran yang tidak pernah diungkapkan secara terang-terangan, adalah bahwa ketunakismaan dan kemiskinan sebagian besar masyarakat desa merupakan faktor yang menguntungkan dalam mempercepat proses industrialisasi yang sedang giat-giatnya diupayakan pada awal tahun 1970-an. Masyarakat desa yang miskin dan tak bertanah merupakan sumber buruh murah bagi industri diperkotaan yang baru tumbuh tersebut. Ironisnya, dalam rangka menarik minat investor asing menanamkan modalnya di Indonesia, melimpahnya buruh murah ini oleh penguasa Orde Baru tanpa malu-malu selalu didengung-dengungkan, dan dipandang sebagai keuntungan komparative[2].
Argumen yang nampaknya demikian kuat, ternyata tidak didukung oleh bukti empiris. Pengalaman banyak negara yang melaksanaan landreform dengan baik malah menunjukkan bukti sebaliknya.  Hal ini terbukti dari pengalaman negara-negara di Asia Timur yang melaksanakan program pembangunan pedesaan yang didahului dengan landreform yang luas, yang berhasil membagikan tanah secara lebih merata kepada para petani yang menggarap tanah, juga berhasil didalam program pembangunan pedesaannya.
Salah satu pengalaman pelaksanaan landreform yang menunjukkan bukti sebaliknya, yaitu berhasilnya pembangunan setelah pelaksanaan landreform, adalah Taiwan. Salah satu penyebabnya adalah bahwa dengan reforma agraria, penyebaran pendapatan menjadi lebih merata dan produktifitas meningkat. Bahkan, produktifitas tanah yang tertinggi terdapat pada usaha-usaha tani yang luasnya dibawah 0,5 hektar (Gunawan Wiradi, dalam Sediono M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (penyunting), 1984: 321). Pengalaman Taiwan ini memberi pelajaran berharga pada kita bahwa penguasaan tanah yang sempit tidak mengakibatkan penggarapan tanah yang tidak efisien, tetapi yang terjadi malah sebaliknya.
Cina, negara dengan jumlah penduduk yang terbesar di dunia, yang dalam jangka waktu sedikit kurang daripada satu generasi telah berhasil dalam memenuhi kebutuhan dasar dari mayoritas besar dari penduduknya, malahan mungkin seluruh penduduknya. Khususnya didaerah-daerah pedesaan dimana lebih dari tiga perempat penduduk Cina masih bermukim, Cina selama tahun-tahun 1950-an telah berhasil meningkatkan pendapatan 20 persen dari golongan termiskin penduduk pedesaan dengan hampir 90 persen, dibanding dengan pendapatan riil mereka pada tahun-tahun 1930-an. Mekanisme utama yang dipakai untuk mencapai redistribusi ini adalah landreform konvensional yang dilaksanakan selama awal dasawarsa 1950-an. (DR. Thee Kian Wie (1) hal 29 – 30).
Hambatan pembangnan terjadi bukan akibat pembagian tanah yang mengakibatkan rata-rata penguasaan tanah pertanian menjadi sempit, tetapi malah sebaliknya, hambatan pembangunan akan terjadi jika terdapat ketimpangan penguasaan tanah pertanian. Ketimpangan penguasaan tanah (kekayaan) yang besar, yang berarti juga terdapatnya ketimpangan kekuasaan di pedesaan akan menghambat pembangunan pedesaan dengan berbagai cara. Pertama, dalam konteks pertumbuhan penduduk pedesaan di negara-negara yang terbatas tanah pertaniannya, meningkatnya pemusatan pemilikan tanah dan/atau membekunya kemungkinan mendapat tanah berarti pemecahan milik-milik tanah dan marginalisasi petani. Kedudukan tanpa tanah adalah akibat langsung dari pemusatan pemilikan tanah. Kedua, mengingat eratnya kaitan antara kekuatan ekonomi dan kekuatan politik, ketimpangan melestarikan dan memperkuat kepentingan-kepentingan yang mapan. Sebagai contoh, landreform dan pembaruan sistem sewa di blokir dengan menggunakan kekuatan politik; kebijaksanaan pajak dan harga dimanipulasikan oleh tuan-tuan tanah dan petani-petani kaya, dan keuntungan pemberian kredit dan koperasi sebagian disadap sebelum sampai pada kaum miskin. Ketiga, distorsi-distorsi pasar yang serius menghambat perataan rangsangan-rangsangan pembangunan. Pemasukan teknik biasanya meningkatkan ketimpangan karena petani-petani kaya berada dalam kedudukan yang lebih menguntungkan untuk menyambut teknologi baru dan adanya distorsi pasar dapat menjurus ke mekanisasi yang menggeser tenaga kerja. Terakhir, penting dicatat bahwa bermacam-macam mekanisme saling memperkuat dan tidak dapat dipatahkan dengan campur tangan selektif pemerintah. Inilah salah satu sebab utama mengapa bermacam-macam perubahan paket pembangunan gagal semuanya untuk melakukan terobosan yang diharapkan dalam pembangunan pedesaan yang menyeluruh. Pemberian modal, teknologi baru dan pelayanan baru saja ternyata tidak memadai untuk mengurangi kemiskinan massa, bila tidak ada instrumen untuk mempengaruhi pembagian akhirnya dalam ekonomi pedesaa (Eddy Lee, Analisa, 190).
Bagaimanapun juga, program pembangunan pedesaan baru akan efektif dan berhasil jika bantuan dan fasilitas yang disediakan oleh pemerintah tidak hanya terbatas pada para petani yang lebih berada, tetapi juga terjangkau oleh kalangan petani yang luas, termasuk petani-petani kecil. Dengan demkian maka program pembangunan pedesaan yang didahului dengan landreform yang efektif bukan saja akan berhasil mewujudkan pembagian kekayaan dan pendapatan yang lebih merata, tetapi juga merupakan sumber pertumbuhan ekonomi yang pesat, karena berhasil mendorong proses industrialisasi yang pesat, yang terutama diarahkan kepada kebutuhan dasar rakyat, dan bukan saja kepada kebutuhan golongan atasan yang berada. (DR. Thee Kian Wie (1) halaman 56).
Dalam hubungan dengan pengaruh program landreform terhadap pembangunan, kiranya perlu disebut pekerjaan kelompok bersama dari Bank Dunia dan Lembaga Studi Pembangunan pada Universitas Sussex. Pekerjaan kelompok ini kemudian dimuat dalam terbitan bersama IBRD/IDS, yaitu Redistribution With Growth (Redistribusi dengan Pertumbuhan Ekonomi) yang disunting oleh Hollis Chenery at.al. Dalam buku ini disajikan empat cara untuk meningkatkan kesejahteraan golongan miskin melalui redistribusi dengan pertumbuhan (RWG), yaitu dengan jalan memaksimalkan pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan tabungan serta alokasi sumber-sumber daya yang lebih efisien yang menguntungkan seluruh golongan masyarakat, tetapi khususnya golongan-golongan yang berpendapatan rendah, terutama melalui realokasi dana investasi yang menguntungkan golongan-golongan ini, dan redistribusi harta (assets) produktif (misalnya landreform) serta redistribusi pendapatan, melalui sistem fiskal atau alokasi barang-barang konsumsi yang langsung kepada golongan-golongan ini. (DR. Thee Kian Wie (1) hal. 26 – 27).
Pertumbuhan ekonomi yang pesat dan pemerataan hasil-hasil pembangunan tidak selalu saling bertentangan. Walaupun di kebanyakan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, pertumbuhan ekonomi yang pesat dibarengi oleh pembagian pendapatan yang makin timpang, dibeberapa negara berkembang lainnya seperti Korea selatan dan Taiwan, pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat (malah termasuk yang paling pesat diantara negara-negara berkembang) dibarengi oleh pembagian pendapatan yang makin merata. Bukan itu saja, tetapi pemerataan hasil-hasil pembangunan juga dibarengi oleh perbaikan dalam mutu hidup (quality of life) di negara-negara tersebut, seperti terlihat dari beberapa indikator, misalnya angka pengangguran yang relatif rendah dan angka kematian yang relatif rendah, harapan hidup (life expectancy) yang tinggi, dan lain-lain.
Penelitian yang dilakukan oleh profesor Harry Oshima, guru besar tamu pada Universitas Filipina, menunjukkan bahwa negara-negara kawasan Asia Timur, yang meliputi Jepang, Taiwan, Korea Selatan, dan Hong Kong, selama kurun waktu 1950 – 1975 mengalami kenaikan dalam GNP per kapita yang rata-rata berjumlah 6 persen setahun. Dilain pihak negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand, selama kurun waktu yang sama mengalami kenaikan dalam GNP per kapita sebanyak 3 persen setahun, sedangkan negara-negara Asia Selatan, termasuk India, Pakistan, Bangladesh, dan Nepal, telah bertumbuh dengan lebih lamban lagi, yaitu rata-rata hanya 1,5 persen setahun.
            Walaupun negara-negara Asia Timur bertumbuh dengan paling pesat, namun dalam hal pembagian pendapatan memperlihatkan pola yang lebih merata daripada negara-negara Asia tenggara dan Asia Selatan. Angka indeks Gini, yang merupakan salah satu indeks dari ketimpangan pembagian pendapatan, untuk negara-negara Asia timur adalah 0,4, sedangkan untuk negara-negara Asia Tenggara dan Asia Selatan adalah lebih tinggi, yaitu 0,5.
            Dengan demikian maka pengalaman dari negara-negara Asia Timur memperlihatkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang pesat tidak otomatis bertentangan dengan pemerataan hasil-hasil pembangunan. (DR. Thee Kian Wie (1) halaman 55).
Alasan yang ketiga dalam menolak program Landreform adalah bahwa program landreform secara politis dianggap sebagai program yang kontra produktif, yang lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Kerusuhan-kerusuhan pedesaan pada masa awal hingga pertengahan tahun 1960-an sebagai akibat konflik-konflik landreform selalu dijadikan alasan pembenar atas penolakan program landreform. Dengan nada yang sedikit berbeda, DR. A.T. Birowo menulis bahwa pilihan (pembangunan) yang menyangkut kebijaksanaan yang berorientasikan pemerataan dan mencakup redistribusi kekayaan dan pendapatan sangat sukar dilaksanakan karena menyangkut perubahan-perubahan dalam struktur kekuasaan yang ada sekarang. Landreform dan agrarian reform telah dikumandangkan sejak tahun 1960-an, tetapi hasilnya boleh dikatakan mengecewakan (A.T. Birowo, Prisma no. 10 tahun 1982, hal. 40).
            Dasar alasan yang pertama yang menggunakan pengalaman landreform Indonesia tahun 1960 jelas tidak dapat dibenarkan. Kerusuhan-kerusuhan pedesaan yang terjadi pada tahun 1960-an sebagai akibat konflik masyarakat dalam soal pelaksanaan landreform sesungguhnya disebabkan karena landreform yang tidak dilaksanakan, bukannya sebagai akibat pelaksanaan landreform itu sendiri. Bahkan, hingga akhir kekuasaan rejim Orde Lama, landreform boleh dikata belum pernah dilaksanakan dengan bersungguh-sugguh. Hambatan malah muncul dari panita landreform dan penguasa sendiri, yang berkerjsama dengan para pemilik tanah luas di desa dan orang-orang kota pemilik tanah guntai. Bahkan para anggota panita pelaksana itu sendiri atau keluarga mereka seringkali adalah pemilik-pemilik tanah luas atau tanah guntai.
            Kalau di negara-negara lain, seperti Rusia, Cina, Cuba, Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Mesir, dan masih banyak lagi negara-negara yang melaksanakan landreform tanpa harus mengalami huru-hara pedesaan sebagaimana yang pernah kita alami pada tahun 1960-an yang berujung pada huru-hara besar tahun 1965, mengapa pada masa Indonesia modern kita tidak dapat mengikuti jejak negara-negara lain yang telah melaksanakan landreform tanpa harus mengalami huru-hara besar?
Alasan yang kedua, bahwa landreform sangat sukar dilaksanakan karena menyangkut perubahan-perubahan dalam struktur kekuasaan yang ada sekarang, tidak dapat dijadikan alasan penolakan program landreform. Bagaimanapun, masalah ini sangat tergantung sepenuhnya pada goodwill penguasa. Yang harus dipertanyakan adalah, apakah penguasa Indonesia saat ini betul-betul mempunyai kehendak untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur, atau hanya ingin mempertahankan kekuasaan dan kekayaannnya semata-mata? Kalau di Rusia, Cina, Jepang, taiwan dan Korea Selatan dan diberbagai negara lain penguasa negara bisa melaksanakan landreform, mengapa penguasa Indonesia tidak bisa?
Berdasarkan ketiga alasan tersebut oleh penguasa Orde Baru program landreform dihentikan sama sekali. Tetapi penghentian dan penolakan program landreform hanya dilakukan secara diam-diam, tidak pernah dinyatakan secara terbuka. Penguasa Orde Baru tetap mengesankan kepada masyarakat miskin desa yang jumlahnya memang sangat besar, bahwa mereka masih memiliki komitmen dengan upaya mencapai keadilan sosial yang salah satunya diupayakan melalui landreform.
LANDREFORM, PEMBANGUNAN, DAN KEADILAN SOSIAL
Dari uraian diatas sebetulnya sudah nampak jelas hubungan landreform, keberhasilan pembangunan dan terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan. Landreform yang mampu menyediakan dan meningkatkan penguasaan faktor produksi utama bagi golongan miskin pedesaan yang berupa tanah, bisa dipastikan akan menggerakkan suatu rantai perubahan positif dalam skala luas. Pendapatan buruh tani dan petani berlahan sempit yang berjumlah sangat banyak akan meningkat. Menurut pengalaman, sebagaimana yang terjadi di Taiwan, usaha-usaha petani kecil mempunyai faktor produktivitas yang lebih tinggi daripada usaha-usaha tani besar. Ini berarti program landreform yang menimbulkan perubahan ke arah lebih banyak unit-unit produksi yang lebih kecil dengan semakin meningkatnya jumlah pemilik tanah yang semula adalah petani tak bertanah, akan meningkatkan jumlah produktivitas pertanian. Meningkatnya produktifitas pertanian yang berarti meningkatnya daya beli sangat banyak penduduk pedesaan akan memungkinkan masyarakat pedesaan untuk menyerap hasil produksi teknologi perkotaan (teknologi modern).
Pemilikan tanah rata-rata yang lebih kecil juga mencegah mekanisasi prematur yang menggeser tenaga kerja. Lebih dari itu, perataan kemajuan teknis dan keuntungan-keuntungan investasi pemerintah yang lebih luas dimungkinkan oleh penyingkiran distorsi-distorsi pasar dan rintangan-rintangan politik maupun ekonomi yang menghambat kemajuan dibawah pola pemilikan tanah yang sangat terpusat. Dengan meratakan pembagian kekayaan, landreform menghilangkan ketergantungan, mengurangi pemerasan dan menciptakan prasyarat-prasyarat bagi partisipasi massa pedesaan yang sungguh-sungguh dalam kehidupan politik dan ekonomi. Diatas semuanya itu, landreform menciptakan dasar bagi pertumbuhan dalam pertanian yang tidak mengakibatkan kemiskinan pedesaan yang endemis. Ini akan berlaku apakah sistem agraris sesudah reform akan mengambil bentuk pertanian kolektif atau pertanian sama rata (egaliterian); unsur kuncinya ialah bahwa penduduk desa sama-sama dapat menguasai tanah. Persamaan penguasan ini adalah jaminan terbaik dalam menghadapi marginalisasi dan pemiskinan. Bahkan kalau pola pertumbuhan sesudah reform itu lebih mengutamakan sektor industri, beban sektor pedesaan akan dibagi lebih luas dan pembagiannya tidak terpusat dalam bentuk kesengsaraan golongan miskin pedesaan. Pengalaman pertanian kolektif di Cina dan pertanian sama rata di Korea Selatan merupakan ilustrasi kebenaran rumus ini (Eddy Lee, Analisa no. 3 tahun 1981). Satu hal yang pasti, program landreform yang memungkinkan terjadinya pembagian yang merata atas sumberdaya utama pertanian (tanah) akan sangat mengurangi ketimpangan kekayaan dan pembagian pendapatan masyarakat.
Pada dasarnya ketimpangan dalam pembagian pendapatan mencerminkan kepincangan dalam pembagian harta (assets), baik harta fisik (modal, mesin, dan sebagainya) maupun harta bukan fisik, yaitu ketrampilan manusia. Harta ini menghasilkan pendapatan (income-earning assets), sehingga makin banyak seseorang memiliki harta, makin tinggi pendapatannya. Pola pembagian pendapatan yang sangat timpang untuk sebagian besar disebabkan oleh ketimpangan besar dalam pembagian harta. Sebaliknya ketimpangan yang relatif rendah dalam pembagian pendapatan di Indonesia pada tahun 1969 mencerminkan pula pola konsentrasi harta yang relatif rendah, sedikit-sedikitnya jika dibandingkan misalnya dengan India atau Filipina. Dibanding dengan kedua negara diatas, maka di Indonesia golongan pemilik tanah yang besar atau golongan pengusaha/industrialis yang besar masih relatif kecil.
            Jika pembagian harta banyak menentukan pembagian pendapatan, maka hal ini berarti bahwa usaha pemerataan pendapatan hanya dapat digarap secara efektif dengan usaha pemerataan pembagian harta, baik harta fisik maupun harta bukan fisik. Pengalaman di negara-negara lain telah menunjukkan bahwa usaha pemerataan pendapatan melalui pajak progresif dan pembayaran transfer (subsidi) kepadaa golongan miskin termasuk apa yang dinamakan kebijaksanaan lunak (soft policies) yang dalam jangka panjang tidak banyak berhasil untuk mengadakan perubahan yang berarti daam pembagian pendapatan. Dengan demikian maka usaha sungguh-sungguh untuk memeratakan pendapatan mau tidak mau memerlukan kebijaksanaan keras (hard policies) yang ditujukan pada redistribusi harta, baik harta fisik maupun harta bukan fisik. (DR. Thee Kian Wie (1) halaman 70 – 71). Salah satu bentuk hard polcies tersebut adalah program landreform.

Kepustakaan
  1. Mubyarto, Pengantar Ekonomi Pertanian, LP3ES, Jakarta, 1982.
  2. Hardjono, Joan, Land, Labour and Livelihood In a West Java Vilage, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1993.
  3. “Analisa”, majalah, no. 3 tahun 1981
  4. Tjondronegoro, Sediono M.P. dan Gunawan Wiradi (penyunting), Dua Abad Penguasaan Tanah, PT. Gramedia, Jakarta, 1984
  5. Prisma no. 10 tahun 1982



[1] Pandangan demikian jelas salah, karena sulitnya mereka menerima inovasi sebetulnya menunjukkan bahwa mereka sangat rasional. Mereka tidak mudah tergiur oleh sesuatu yang baru, yang belum tentu hasilnya akan lebih baik dari apa yang selama ini mereka jalani. Kegagalan akibat terburu-burunya menerima sesuatu yang baru akan berarti kematian bagi mereka, sebagai akibat kondisi ekonomi mereka yang telah mendekati ambang batas kehancuran. 
[2] Yang patut dipertanyakan adalah, keuntungan untuk siapa? Yang pasti, bagi petani dan rakyat Indonesia pada umumnya, kemiskinan bukanlah keuntungan, tetapi merupakan kerugian dan penderitaan.