VILFREDO PARETO


Hadi Wahono


Sebagaimana telah pernah diungkapkan dalam beberapa postingan yang lalu, banyak ahli ilmu politik yang tidak percaya akan feasibilitas system yang namanya demokrasi yang diartikan sebagai pemerintahan (seluruh atau sebagian besar) rakyat. Bagi mereka, demokrasi  yang asal katanya berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata demos, yang berarti rakyat, dan kratein yang berarti pemerintahan, yang awalnya selalu diartikan sebagai pemerintahan rakyat, yang oleh Abraham Lincoln dirumuskan sebagai pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat, adalah suatu sistem yang tidak realistis. Mereka menolak kemungkinan rakyat untuk sungguh-sungguh memerintah, baik dalam sistem pemerintahan demokrasi langsung sebagaimana yang pernah dipraktekkan dinegara kota Athena maupun demokrasi perwakilan sebagaimana yang banyak diterapkan dinegara-negara demokrasi modern. Menurut mereka yang menentang konsep demokrasi yang diartikan sebagai pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat, ide tentang sistem tersebut dipandang sebagai ide yang sama sekali tidak sesuai dengan realitas kehidupan politik masyarakat. Salah satu kelompok ahli yang berpandangan demikian adalah kelompok yang biasanya dikategorikan kedalam teoritisi elit kekuasaan. 
Teori ini awalnya dikembangkan oleh ahli-ahli teori politik Eropa pada akhir abad ke sembilan belas dan awal abad keduapuluh. Tokoh-tokoh pencetus teori ini adalah Vilfredo Pareto (1848 - 1923), Gaetano Mosca (1858 - 1941), Roberto Michels (1876 - 1936), dan Ortega Y. Gasset (1833 - 1955). Pada masa modern, teori ini dianut antara lain oleh James Burnham, Joseph Scumpeter, C. Wright Mills, dan Anthony Downs. Teori ini pada prinsipnya memandang bahwa setiap masyarakat dari masa kapanpun dan dimanapun, selalu terbagi kedalam dua kelas, yaitu kelas elit, yaitu kelas yang jumlahnya sedikit tetapi memimpin kelas massa yang jumlahnya banyak.
Mulai sejak postingan ini saya akan berusaha mempostingkan catatan saya atas tokoh teori elit, yang walaupun dalam ilmu politik tidak pernah mendapat tempat yang tinggi, tetapi buat saya teori ini bersama dengan teori kelompok (yang juga tidak pernah mendapat tempat yang memadai dalam ilmu politik) merupakan teori yang paling mendekati realitas kehidupan politik.Untuk yang pertama ini, saya akan mengungkapkan catatan saya mengenai Pareto.
Vilfredo Feredrigo Marchese Pareto (15 July 1848 – 19 August 1923) lahir denga nama Wilfried Fritz Pareto; seorang Itali, menempuh pendidikan sebagai ahli tehnik, kemudian menjadi ahli ekonomi, sosiologi, ilmu politik dan filsafat. Dia mencoba menerapkan methode matematika dan fisika pada ilmu sosial. Dia adalah anggota dari aliran  matematik dalam ekonomi dan menguraikan fungsi ekonomi tidak hanya untuk sistem kapitalis liberal, tetapi juga untuk sistem monopolistis dan kolektifis.
Pareto lahir pada tahun 1848 sebagai anggota keluarga bangsawan Genoa yang mengasingkan diri ke Paris, yang saat itu merupakan pusat revolusi rakyat. Ayahnya, Raffaele Pareto (1812 – 1882) adalah seorang bangsawan dan ahli tehnik sipil Itali yang meninggalkan Itali bersama-sama para nasionalis Itali pada masa itu. Ibunya, Marie Metenier, adalah seorang wanita Perancis yang sangat terpengaruh dengan revolusi Jerman tahun 1848.
Masa kecil Pareto dihabiskan dilingkungan kelas menengah dan menerima pendidikan dengan standard yang tinggi. Pada tahun 1870 dia lulus sebagai ahli tehnik dari Universitas di Turin,  yang sekarang dikenal sebagai Universitas Politekhnik Turin. Dalam beberapa tahun setelah lulus, Pareto bekerja sebagai ahli tehnik sipil, yang pertama pada perusahaan kereta api milik Negara dan kemudian pada perusahaan swasta. Pareto baru mulai menggeluti masalah ekonomi secara serius pada usia pertengahan empat puluhan.
Pada tahun 1885 Pareto diangkat sebagai pengajar bidang ekonomi dan menejemen pada Universitas Florence. Selama tinggal di Florence dia banyak terlibat dalam kegiatan politik, yang sesungguhnya lebih didorong oleh kekecewaan pribadinyanya pada para pembuat kebijakan pemerintah. Pada tahun 1889 setelah kematian orang tuanya, Pareto merubah gaya hidupnya, keluar dari pekerjaannya dan menikahi seorang gadis Rusia yang bernama Alessandrina Bakunin, yang kemudian meninggalkan Pareto bersama seorang pelayan muda.
Pada tahun 1893 Pareto diangkat sebagai pengajar ekonomi pada sebuah Universitas di Lausanne, Swis, dimana dia tinggal disana selama sisa hidupnya. Pada tahun 1906 dia mempublikasikan hasil penelitiannya yang menyatakan bahwa dua puluh persen penduduk memiliki 80 persen kekayaan di Itali, yang kemudian digeneralisasi oleh Joseph M. Juran menjadi prinsip Pareto (juga sering diistilahkan sebagai hukum 80 – 20 atau prinsip 80 - 20). Pada tahun 1909 dia mempublikasikan karyanya yang menunjukkan bahwa prinsip Pareto mengenai bagaimana kekayaan didistribusikan berlaku didalam seluruh kehidupan masyarakat manusia dari dahulu hingga sekarang dan berlaku didalam masyarakat manapun, Negara manapun.
Dibidang ilmu ekonomi Pareto memberikan beberapa kontribusi penting, terutama dalam studi mengenai distribusi pendapatan dan dalam analisis mengenai pilihan individu. Pareto juga dipandang sebagai orang pertama dan yang mempopulerkan penggunaan istilah elit didalam analisis sosial. Banyak ahli ekonomi sangat memuji Pareto, karena warisannya dalam bidang ekonomi sangat mendalam, dimana dia dipandang sebagai salah satu ahli yang membawa lapangan ilmu ekonomi keluar dari cabang filsafat moral dengan memasukkan data lapangan yang intensif dan persamaan matematis kedalam penelitian ekonomi secara ilmiah. Bukunya tampak jauh lebih modern, mirip dengan buku-buku ekonomi modern dibandingkan dengan kebanyakan buku-buku ekonomi pada masanya. Buku ekonominya dipenuhi dengan table statistic dari seluruh dunia dan masa, barisan tanda-tanda integral dan persamaan, chart dan grafik yang rumit.
Secara pribadi Pareto berhubungan baik dengan kaum sosialis, tetapi secara teoritis, dia menganggap bahwa ide-ide ekonomi kaum sosialis sama sekali cacat. Namun kemudian dia menjadi curiga dengan motif kemanusiaan mereka dan mencela para pemimpin sosialis sebagai “perampok aristocrat” yang mengancam akan merampas negeri. Pareto juga mengkritik pemerintahan Giovani Giolitti yang tidak mengambil sikap dan tindakan yang keras terhadap pemogokan buruh. Pergolakan buruh di Itali yang semakin meningkat membuat Pareto menjadi seorang anti sosialis dan anti demokrasi.
Penolakannya pada sosialisme dia tulis dalam sebuah buku kritis yang berjudul Les systemes socialistes (1902). Kajian ini membawa Pareto pada sosiologi dan teori politik umum dimana dia juga mengusahakan untuk menerapkan metode empiris dan posivistis, yang untuk beberapa tingkatan mengikuti comte dan Spencer, tetapi dia mencapai kesimpulan yang sangat berbeda. Teorinya diterangkan didalam karya besarnya, Trattato di sociologia generale (1916), yang dalam judul bahasa Inggris dikenal sebagai The Mind and Society. Walaupun Pareto menolak sosialisme dan demokrasi, tetapi sikapnya terhadap fasisme pada masa akhir hayatnya masih merupakan masalah yang controversial. Pada tanggal 19 Agustus tahun 1923 Pareto meninggal dunia di Jenewa, Swis. 
Teori Politik Pareto
Menurut Pareto, setiap masyarakat selalu terbagi kedalam dua golongan atau kelas, yaitu elite, atau kelas penguasa, yang jumlahnya sangat sedikit, dan massa, yaitu orang banyak yang dikuasai. Didalam suatu masyarakat hanya elite, kelompok pemimpin, yang nyata-nyata penting; massa hanya mengikuti. Para elit adalah orang yang mempunyai kualitas-kualitas yang diperlukan yang mendukung kehadiran mereka pada kekuasaan sosial dan politik yang penuh. Mereka yang bisa menjangkau pusat kekuasaan adalah selalu merupakan yang terbaik. Merekalah yang dikenal sebagai elit. Elit merupakan orang-orang yang berhasil, yang mampu menduduki jabatan tinggi dalam lapisan masyarakat. Mereka terdiri dari para pengacara, mekanik, bajingan atau para gundik. Pareto juga percaya bahwa elit yang ada pada pekerjaan dan lapisan masyarakat yang berbeda itu umumnya datang dari kelas yang sama, yaitu orang-orang yang kaya dan juga pandai yang mempunyai kelebihan dalam matematika, bidang musik, karakter moral dan sebagainya. Selanjutnya, oleh Pareto, elite dibedakan kedalam elite yang memerintah (governing elite) dan elite yang tidak memerintah (non-governing elite). 
Untuk memahami pandangan Pareto didalam menjawab pertanyaan, mengapa elite yang jumlahnya sedikit bisa berkuasa atas massa yang jumlahnya banyak, ada baiknya kita memahami dahulu konsep Pareto mengenai kualitas yang dipunyai oleh orang-orang yang bisa menduduki posisi elit. Pareto mengembangkan konsep yang membedakan “tingkah laku logis” dari “tingkah laku non-logis” dari individu-individu dalam kehidupan sosialnya. Bagian terbesar dari tingkah laku manusia adalah non-logis; ini adalah kenyataan mendasar pertama dari politik. Menurut Pareto, yang terjadi dalam kehidupan manusia bukanlah orang bertindak karena mereka berfikir; tetapi mereka berfikir karena mereka bertindak.
Tingkah laku non-logis diatur  oleh dua faktor, yaitu yang satu konstan, yang disebut “residu”, dan yang satu variable, yang disebut “derivasi”. Residu adalah instink dan sikap fundamental tertentu yang nampak didalam berbagai-bagai selubung pada seluruh waktu, didalam semua masyarakat, dan didalam semua sistem politik. Derivasi adalah selubung, kerang teori dan prinsip-prinsip sekitar inti residu-residu. Derivasi ini berbeda dari waktu ke waktu, dari masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain, tetapi maksudnya atau maknanya tetap sama, yaitu untuk memberi pembenaran yang bersifat pseudo-logis pada residu yang didalam dirinya sendiri non-logis. Yang termasuk derivasi antara lain adalah agama, filsafat, tahyul, konvensi, taboo, teori-teori dan prinsip-prinsip politik, program-program, isme-isme, dan sebagainya. Dalam istilah modern kita mungkin menyebutnya sebagai “rasionalisasi”, yaitu rasionalisasi atas tindakan yang didasarkan pada residu yang sesungguhnya non-logis. Untuk mendukung teorinya,  Pareto mendaftar beribu-ribu contoh sejarah dari berbagai-bagai masyarakat mengenai tindakan manusia yang merupakan manifestasi luar dari sentiment manusia, dan mengklasifikasinya dalam enam kelompok, yang disebutnya sebagai “residu”. Menurut Pareto, keenam residu tersebut terdapat dalam keseluruhan kehidupan kemanusiaan, tetapi residu-residu tertentu bercokol secara lebih menonjol pada individu-individu tertentu. Dengan kata lain, walaupun keenam residu tersebut selalu ada dalam sejarah kehidupan manusia, tetapi secara individual, manusia digerakkan oleh residu-residu yang berbeda dari individu lainnya. Keenam residu tersebut adalah, yang pertama, yang oleh Pareto juga disebut sebagai residu kelas I adalah residu kombinasi, yang mengandalkan pada kapasitas untuk berfikir dan mengorganisir. Residu ini merupakan manifestasi sentiment dalam individu dan dalam masyarakat yang cenderung mengarah pada kemajuan, penemuan, dan keinginan untuk bertualang. Residu kelas II adalah residu yang oleh Pareto disebut sebagai residu “pemeliharaan agregasi atau bisa juga disebut sebagai residu keuletan kelompok (group persistence), atau instink kohesi, yang meliputi sisi alamiah manusia yang lebih conservative, termasuk kesetiaan pada lembaga masyarakat yang berlangsung lama, seperti keluarga, gereja, komunitas, bangsa, dan keinginan untuk keabadian dan keamanan. Residu kelas III adalah residu abstraksi permanen yaitu kebutuhan abadi seseorang untuk memiliki pemahaman dan simbol-simbol abstrak. Dengan kata lain, residu ini tumbuh dari perasaan adanya kebutuhan untuk mengekspresikan perasaan melalui tindakan-tindakan yang nampak keluar dalam bentuk-bentuk simbolik, seperti upacara keagamaan, upacara patriotic dan berbagai upacara yang dilaksanakan oleh kaum pagan, yang muncul dalam bentuk penghormatan bendera, berpartisipasi dalam pelayanan komini gereja, ikut berbaris dalam parade militer, dan sebagainya. Residu kelas IV adalah residu instink sosial, yang meliputi manifestasi perasaan yang mendukung disiplin individual dan sosial yang tak terhindarkan (sangat diperlukan) dalam memelihara struktur sosial. Dalam residu ini termasuk gejala seperti pengorbanan diri demi kepentingan keluarga dan komunitas, dan konsep seperti susunan hirarkis masyarakat. Residu kelas V adalah kualitas dalam masyarakat yang menekankan integritas individual dan integritas atas kepemilikan dan alat perlengkapan kehidupan. Residu ini berkontribusi pada stabilitas sosial. Contoh yang paling jelas adalah system hukum pidana dan sistem hukum perdata. Yang terakhir, residu kelas VI adalah instink seksual, atau kecenderungan untuk melihat kejadian-kejadian sosial dalam terminology seksual. 
Untuk merasionalisasi penggerak tindakan yang didasarkan pada sentiment yang sesungguhnya non-logis tersebut (residu), orang sering menggunakan pembenar dalam bentuk pernyataan-pernyataan atau ajaran yang seolah-olah logis, yang disebutnya sebagai “derivasi” (yang dapat di Indonesiakan sebagai “penyerapan”). Termasuk kedalam derivasi antara lain adalah agama (semua agama), filsafat, tahyul, konvensi, taboo, teori-teori dan prinsip-prinsip politik, program-program, isme-isme, dan sebagainya, yang sesungguhnya bukan apa-apa atau tak berarti apa-apa, tetapi dianggap sebagai superstruktur logis dari residu yang ada didalam sentiment individu. 
Menurut Pareto ada empat kelas utama dari derivasi, yaitu yang pertama, derivasi pernyataan. Kedalam derivasi ini termasuk pernyataan-pernyataan yang bersifat dogmatis atau ajaran-ajaran, seperti “raja adalah wakil Tuhan di dunia”, atau pernyataan Louis XIV yang menyatakan “l’tat ses moi” atau “Negara adalah saya”, dan sebagainya. Derivasi kedua oleh Pareto disebut sebagai derivasi Otoritas, atau merupakan referensi untuk kewenangan, yang merupakan pikatan dalam bentuk seruan pada rakyat yang berupa konsep-konsep yang dijunjung tinggi oleh tradisi, seperti “mengabdi pada bangsa dan negara tanpa pamrih”, “penguasa adalah orang-orang yang mendapat wahu” (dalam tradisi Jawa), dan sebagainya. Derivasi yang ketiga adalah pernyataan yang sesuai dengan perasaan dan prinsip-prinsip umum. Derivasi yang ketiga ini berhubungan dengan seruan seperti “menjunjung tinggi kehendak rakyat’, “demi kepentingan umum”,  “demi kepentingan bangsa dan negara”, dan sebagainya. Derivasi yang keempat merupakan pernyataan sebagai bukti ferbal, biasanya dalam bentuk metafora, alegori, dan sebagainya, yang seolah-olah merupakan bukti dengan cara menggunakan istilah yang membingungkan maupun logika salah yang lain, seperti “hubungan pemimpin dengan rakyat seperti hubungan bapak dan anak”, dan sebagainya. Kemampuan dari derivasi-derivasi tersebut tidak tergantung pada nilai logis mereka, karena derivasi-derivasi tersebut sesungguhnya juga tidak logis, tetapi pada kemampuan derivasi tersebut untuk memikat insting dan sentimen pengikut (massa).
Dalam hubungan dengan perebutan kekuasaan, yang paling penting adalah residu kombinasi dan residu keuletan kelompok (group persistence). Penanggung residu kombinasi dapat digambarkan sebagai “rubah”, yang berkuasa melalui kecerdikan, sementara penanggung residu keuletan kelompok dapat digambarkan sebagai “singa,” yang berkuasa melalui kekuatan. Mereka yang memiliki salah satu atau kedua residu inilah yang akan menjadi penguasa, menjadi elit. Disamping itu, kekuasaan mereka diperkuat dengan derivasi, yang berupa agama, filsafat, tahyul, konvensi, taboo, teori-teori dan prinsip-prinsip politik, program-program, isme-isme, dan sebagainya, yang mereka ciptakan untuk mengelabuhi massa guna membenarkan dan mendukung kekuasaan, serta memperalat mereka.
Dalam kehidupan sosial tidak ada kemajuan, tetapi yang terjadi sesungguhnya hanya merupakan siklus abadi. Berawal dari dugaan-dugaan ini, Pareto mengembangkan teori siklus perubahan sosial (siklus pergantian elit). Karena terjadinya pergantian elite dalam menduduki posisi memerintah yang terus menerus tersebut, maka Pareto mengemukakan suatu ungkapan, bahwa sejarah merupakan pekuburan aristokrasi. Didalam menjelaskan proses pergantian elite ini, menurut Pareto, ada dua residu yang saling bergantian secara ritmis didalam elite: “residu kelas I”, insting kombinasi, dan “residu kelas II”, kegigihan kelompok (group persistence). Nasib masyarakat tergantung pada distribusi residu ini didalam elite.
Distribusi berbeda-beda dengan “sirkulasi elite” yang abadi yang merupakan proses sosial yang paling penting. Ketika komunitas dibentuk, hal ini awalnya diperintah oleh pendukung dari residu Kelas II, orang-orang dengan insting pejuang, orang-orang yang setia, mereka yang tidak pernah bertanya, hanya bertindak. Ini mewakili kualitas yang perlu untuk mendasari negara atau tatanan sosial baru. Namun demikian, keperluan pemerintah didalam waktu normal, memerlukan pekerjaan dari penanggung residu Kelas I, “rubah” yang berbeda dengan “singa” dari Kelas II. Mereka adalah orang-orang yang pandai, orang-orang praktis, orang-orang kombinasi. Tetapi residu ini tidak mencukupi sebagai daya hidup yang memerlukan kekuatan yang instingtif. Secara berangsur-angsur Kelas I meningkat didalam elite, sementara Kelas II menurun. Secara bersamaan Kelas II bertimbun didalam massa yang sikapnya bagaimanapun diperintah atau dipengaruhi oleh residu group persistence (keuletan kelompok) atau residu kelas II. Elite yang mengandalkan pada residu kelas I (residu kombinasi) kemampuannya menjadi menurun, menjadi lemah dan korup, terus menerus semakin mengandalkan diri pada kombinasi, yang berupa tipu daya, dan tawar-menawar, kehilangan kehendak dan kemampuan untuk menggunakan kekuatan. Mereka diserang dan digulingkan oleh elite baru, yang sementara itu telah terbentuk diatas dasar residu Kelas II didalam rakyat dan menjelmakan kembali sifat aslinya. Kemudian, siklus kembali baru.
Menurut Pareto, pergantian elite itu dapat terjadi dalam bentuk: (1) diantara kelompok-kelompok elite yang memerintah itu sendiri, dan (2) diantara elite dengan penduduk lainnya. Pergantian yang terakhir itu bisa berupa pemasukan: (a) individu-individu dari lapisan yang berbeda kedalam kelompok elite yang sudah ada, dan/atau (b) individu-individu dari lapisan bawah yang membentuk kelompok elite baru dan masuk kedalam suatu kancah perebutan kekuasaan dengan elite yang sudah ada.
Pareto mengajukan pertanyaan, apakah sirkulasi elite ini tak dapat secara sadar dikendalikan sehingga berlangsung tanpa bencana periodik. Menurut Pareto, “revolusi” merupakan akibat adanya akumulasi dalam masyarakat kelas atas – baik karena seretnya sirkulasi dalam kelas maupun sebab lain yang menyangkut unsur-unsur yang merosot dan tidak lagi memiliki residu yang memadai guna menjag kekuasaan mereka, atau berkurangnya penggunaan kekerasan; smentara pada waktu yang bersamaan dalam elemen-elemen masyarakat strata bawah yang menyangkut kualitas superior mulai maju dan berkemauan untuk menggunakan kekerasan. Karena itu, menurut Pareto, rancang bangun sistem kenegaraan yang paling baik adalah untuk mengamankan sepenuhnya sirkulasi elit secara bebas, mengijinkan individu yang paling sesuai untuk muncul kedalam elite pada suatu waktu, sementara jenis-jenis yang kurang sesuai akan tenggelam kembali kedalam massa. Namun demikian, model ini seringkali dicegah oleh kecenderungan yang ada pada elite yang ‘tertutup”, yang menganut prinsip-prinsip aristokratis yang eksklusif dan bersifat pewarisan, yang menghasilkan keuntungan bagi  mereka, tetapi yang pada akhirnya juga mengalami kemerosotan. Model yang paling diharapkan untuk terjadinya sirkulasi elit yang relatif damai adalah sebagai berikut: (1) residu dari Kelas II tersebar luas didalam rakyat (percaya pada ideologi integrasi, solidaritas kelompok, kesiapan untuk pengorbanan fisik), (2) residu Kelas I (kecerdasan, kecakapan kombinasi) terkonsentrasi pada elite, (3) Kelas II juga terwakili dengan kuat didalam elite, dan (4) elite adalah “terbuka” sejauh hal itu mungkin sehingga sejumlah besar dari sirkulasi dapat secara konstan berlangsung. Masyarakjat demikian terbukti telah paling lama bertahan didalam sejarah, kata Pareto, dan lembaga politik yang memajukan keadaan semacam ini adalah yang paling ideal.
Pareto tetap seorang liberal ekstrim didalam ekonomi diseluruh hidupnya, tetapi secara politis cenderung kearah konservatisme. Dia dipandang sebagai teoritisi fascisme dan sistem-sistem politik yang sejenis. Mussolini memujanya dan menganugerahinya kehormatan negara fasis padanya selama satu tahun dimana Pareto masih hidup setelah naiknya fasisme pada tampuk kekuasaan di Itali. Pareto menerima kehormatan tersebut, tetapi sesungguhnya tak ada yang dapat diketahui mengenai adanya hubungan antara pemikirannya dan fasisme. 
Bahwa Pareto bukan seorang fasis dapat terlihat dari ketegasannya untuk mempertahankan hak mogok dan konsistensinya pada kebebasan mengemukakan pendapat sebagai hal yang esensial bagi pencarian kebenaran. Dia juga pengritik imperialisme, dan mempersalahkan bangsa-bangsa Eropa atas kepalsuan mereka ketika mereka mengklaim diri untuk berindak demi kebaikan negara jajahannya dengan cara menindas ataupun menghancurkannya. Sang kucing menangkap tikus lalu memakannya, tulis Pareto, tetapi tidak menunjukkan suatu kebaikan juga bagi si tikus.

HUKUM DAN KEKUASAAN


Hadi Wahono


Dalam kehidupan keseharian kita, mulai sejak kita bangun tidur hingga kita tidur lagi, hidup kita selalu berhubungan dengan hukum. Bahkan didalam keseluruhan kehidupan kita, dari sejak kita lahir hingga kita meninggal dunia, hidup kita tak pernah lepas dari jerat hukum. Dengan kata lain, hukum mengatur hidup kita sejak dari buaian hingga liang lahat (from cradle till the grave). Dari sejak kita dilahirkan, hukum sudah mengatur mengenai siapa yang berstatus sah sebagai ibu kita dan siapa ayah kita, bahkan hukum juga tidak perduli kalau kita mengatakan bahwa anak yang dilahirkan oleh ibu A sebetulnya adalah anak dari hubungan dengan seorang laki-laki bernama B, sehingga anak yang dilahirkan oleh ibu A sebetulnya ayahnya adalah B bukannya C sebagaimana yang ditentukan oleh hukum. Hukum tidak perduli dengan realitas mengenai siapa yang membuahi indung telur seorang wanita sehingga menghasilkan seorang anak. Hukum menentukan sendiri siapa ayah sah tersebut berdasarkan jalan pikiran hukum sendiri, yang dalam hal ini, siapa suami legal seorang ibu, dialah ayah sah dari anak yang dilahirkan oleh ibu tersebut dalam masa perkawinan mereka. Yang menjadi masalah adalah, apakah hukum itu, kok dia mengatur hidup kita, bahkan dalam banyak kasus bertentangan dengan keinginan kita? Mengapa kita tidak dibiarkan untuk mengatur hidup kita sendiri? Siapa sebenarnya yang membuat hukum sehingga kita terpaksa mentaatinya, walaupun sering kali kita tidak menyukainya?
Secara sederhana, hukum dapat diartikan sebagai seperangkat peraturan yang mengatur kehidupan manusia dalam hubungan dengan manusia lain dalam suatu masyarakat. Dari rumusan sederhana ini, dapat kita tengarai, adanya beberapa unsur yang memungkinkan sesuatu bisa kita sebut sebagai hukum. Unsur yang pertama adalah bahwa hukum adalah peraturan. Saya kira masalah ini tidak perlu lagi kita persoalkan, karena saya yakin semua kita sepakat bahwa hukum adalah peraturan. Unsur yang kedua, peraturan hukum adalah peraturan yang mengatur kehidupan manusia. Hukum selalu mengatur menusia, atau dengan kata lain, subyek peraturan hukum adalah manusia. Binatang dan benda tidak pernah bisa menjadi subyek hukum, kecuali ada beberapa lembaga hukum yang oleh hukum dipandang sebagai subyek hukum, seperti Perusahaan Terbatas (PT), Negara, Pemerintah, yang karena itu dapat menuntut dan dituntut didepan pengadilan. Meskipun ada subyek hukum yang bukan manusia, tetapi sesungguhnya pen-subyekan lembaga-lembaga hukum tersebut bersifat derivative, bukan bawaan asli, tetapi hasil pemberian, hasil penentuan oleh hukum. Disamping itu, pemberian status sebagai subyek hukum pada lembaga non manusia hanya bersifat pengecualian, dan sesungguhnya pandangan tersebut hanya bersifat pengandaian, karena pada akhirnya, dibelakang subyek hukum yang bukan manusia tersebut adalah manusia juga. Pada akhirnya, tindakan, hak, kewajiban, dan tanggung jawab yang dipikul oleh subyek hukum yang bukan manusia tersebut adalah manusia juga, yang ada dibelakang subyek hukum yang bukan manusia tersebut. Karena itu, menurut saya, pemberian status sebagai subyek hukum kepada lembaga-lembaga hukum yang bukan manusia tersebut hanya merupakan khayalan hukum semata, dengan maksud agar hukum dapat memberi sanksi kepada subyek hukum non-manusia tersebut, misalnya sanksi denda (yang tinggi, yang sulit untuk dikenakan kepada manusia pribadi), ganti rugi, dan pembubaran lembaga yang bersangkutan.
Unsur yang ketiga adalah, hubungan dengan orang lain didalam masyarakat. Manusia yang hidup sendiri, yang tidak berhubungan dengan manusia lain, tidak memerlukan hukum. Dia dapat melakukan apa saja sesuka hatinya tanpa ada yang akan dirugikan dan tanpa ada orang yang akan merugikan kepentingannya. Karena itu, orang yang hidup sendiri, yang tidak mempunyai keluarga, tidak mempunyai tetangga (misalnya hidup disuatu pulau yang diluar dirinya tidak ada kehidupan lain), orang tersebut tentunya sama sekali tidak memerlukan peraturan hokum yang mengatur mengenai apa yang menjadi haknya, apa yang boleh dan/atau tidak boleh dilakukannya, dan sebagainya. Hanya orang-orang yang hidup bersama orang lain, yang dalam kehidupan kesehariannya berinteraksi dengan orang lainlah yang membutuhkan peraturan hukum sehingga tindakannya tidak merugikan kepentingan orang lain dan tindakan atau perbuatan orang lain tidak merugikan dirinya.
Yang menjadi masalah dari rumusan kita tentang hukum tersebut adalah, mengapa manusia yang hidup dengan manusia lain khususnya dalam kehidupan bermasyarakat harus diatur dengan peraturan yang disebut hukum? Apakah orang yang hidup dengan orang lain khususnya dalam suatu masyarakat dibiarkan bebas mengatur diri mereka sendiri saja?
Roscue Pound, seorang filsof hukum Amerika menganggap bahwa pada diri setiap orang ada dua jenis dorongan, yaitu dorongan untuk mementingkan kepentingan pribadi dan dorongan sosial. Kedua dorongan atau tendensi tersebut bersifat bawaan, sehingga ada pada setiap manusia. Dorongan untuk mementingkan kepentingan pribadi adalah dorongan yang muncul dalam bentuk tindakan-tindakan yang mencari keuntungannya sendiri dengan tidak memperdulikan nasib orang lain. Bahkan dorongan memenuhi kepentingan pribadi yang agresif dapat muncul dalam bentuk dimana untuk mencapai kepentingan atau keinginannya, manusia tersebut mengupayakan dengan cara mengorbankan orang lain, baik dalam hal kepentingan orang lain maupun kehidupan orang lain (misalnya dengan melakukan pembunuhan). Perebutan warisan yang mengakibatkan terjadinya pembunuhan merupakan wujud paling jelas dari dorongan untuk mementingkan diri sendiri yang agresif.
Sementara itu, dorongan sosial adalah dorongan untuk hidup bersama, untuk membangun kelompok, untuk membangun perkawanan, untuk membangun keluarga. Dorongan sosial ini menimbulkan adanya keluarga, rasa cinta kasih, dan menimbulkan kehidupan bersama dalam suaru masyarakat. Tanpa dorongan sosial yang ada dalam diri manusia, mustahil masyarakat dapat terbentuk. Walaupun ada dua dorongan atau tendensi bawaan dalam kehidupan manusia yang nampaknya saling berlawanan tersebut, tetapi sesungguhnya tidak pada setiap saat dan setiap waktu kedua dorongan atau tendensi tersebut terus menerus bertentangan didalam diri manusia. Keberadaan kedua dorongan tersebut sesungguhnya saling cakup mencakupi, saling mengatasi, dan kenyataannya yang paling sering muncul adalah dorongan sosial, sehingga dimungkinkan munculnya kehidupan bersama manusia. Karena itu, oleh Aristoteles manusia di gambarkan sebagai mahluk sosial, atau mahluk politik (zoon politikon). Namun demikian, walaupun manusia membutuhkan kehidupan bersama, membutuhkan kehidupan sosial, membutuhkan teman, kelompok, dan sebagainya, tetapi realitas kehidupan sosial manusia bukan kehidupan yang selalu diwarnai dengan kehidupan yang damai, yang dihidupi oleh cinta kasih sesamanya. Ketika segala kebutuhan manusia tersedia secara melimpah, dorongan untuk mementingkan kepentingan pribadi besar kemungkinannya tidak muncul, karena tidak ada relevansinya sama sekali. Ketika apa yang menjadi kepentingan seseorang, apa yang menjadi kebutuhan seseorang dapat terpenuhi dengan cukup, maka manusia tak perlu harus berebut dengan manusia lain yang mengakibatkan timbulnya pertengkaran, perkelahian, bahkan peperangan. Tetapi ketika banyak kebutuhan kehidupan manusia semakin terbatas untuk bisa dinikmati secara merata dan dapat memuasi kebutuhannya, maka  dorongan untuk mementingkan kepentingan pribadi akan muncul dengan kuat, bahkan seringkali dalam bentuknya yang paling agresif. Akibatnya, realitas kehidupan sosial manusia, dipenuhi dengan pertengkaran, percekcokan, perebutan dan bahkan pembunuhan atau peperangan. Pada banyak masyarakat, perang antar suku antar daerah dan sebagainya sesungguhnya didorong oleh keinginan untuk mendapatkan sumber kehidupan yang lebih baik, yang lebih banyak. Perebutan daerah adalah dalam rangka memperoleh ruang hidup (liebensraum) yang lebih luas, yang lebih memungkinkannya memperoleh sumber kehidupan yang lebih baik.
Adanya pendidikan, termasuk agama, dimaksudkan untuk mengendalikan dorongan untuk mementingkan kepentingan pribadi, sehingga tidak muncul dalam bentuknya yang agresif. Karena itu, pendidikan (bukan pelajaran yang bersifat teknis dan keilmuan) dan agama selalu mengajari kita tentang cinta kasih, saling hormat menghormati antara sesame manusia, saling tolong menolong, dan sebagainya. Ajaran pendidikan dan agama yang demikian jelas dimaksudkan untuk mencegah munculnya dorongan-dorongan atau tendens-tendens manusia yang mementingkan dirinya sendiri, paling tidak untuk mencegah kemunculan dorongan tersebut dalam bentuknya yang agresif, sehingga kehidupan bersama manusia dapat dipertahankan dan dikembangkan. Namun demikian, realitasnya baik dorongan sosial, pendidikan dan agama tampaknya tidak cukup kuat untuk mengendalikan dorongan untuk mementingkan kepentingan pribadi. Akibat terbatasnya barang barang kebutuhan hidup menimbulkan ketakutan manusia akan kekurangan dan kesulitan hidup dimasa depan, ketakutan akan tidak terpenuhinya dan terpuasinya keinginan-keinginannya, mengakibatkan dorongan untuk mementingkan kepentingan pribadi menjadi demikian kuat dan dan semakin sering muncul, bahkan dalam bentuknya yang agresif dengan mengalahkan baik dorongan sosial, pendidikan dan agama. Karena dorongan sosial yang melekat dalam kehidupan setiap manusia maupun pendidikan dan agama yang ditanamkan dari luar diri manusia seringkali tidak mampu menahan munculnya secara agresif dorongan untuk mementingkan kepentingan pribadinya, maka dibutuhkan bentuk tekanan yang lain, yang dipandang akan mampu untuk mengendalikan munculnya dorongan untuk mementingkan kepentingan pribadi pada setiap manusia, paling tidak mengendalikan kemunculannya yang bersifat agresif.
Karena didalam masyarakat yang sumberdayanya semakin terbatas dorongan untuk mementingkan kepentingan pribadi akan semakin mudah dan semakin sering muncul dengan kuat dan agresif, maka pengendalinya juga harus cukup kuat untuk menekan kemunculan dorongan tersebut. Tugas tersebut jatuh pada hukum, yang merupakan peraturan yang disertai sanksi yang nyata, yang berupa hukuman badan, sehingga diharap dapat membuat manusia menjadi takut atau jera untuk mengumbar dorongan mementingkan kepentingan pribadinya.
Dalam hubungan dengan sanksi, agama memang juga memberi sanksi kepada pelanggarnya, tetapi sanksi agama yang berupa hukuman neraka besok jika sang pelanggar telah meninggal dunia, bagi mereka yang tidak percaya atau yang kepercayaannya tidak sangat kuat, tidak mencukupi sebagai pengendali dorongan untuk mementingkan kepentingan pribadi. Berbeda dengan peraturan hokum. Sanksi peraturan hukum adalah nyata, dapat dilihat dan dirasakan sekarang juga dalam kehidupan saat ini. Karena sanksi yang berupa hukuman badan yang dikenakan langsung kepada pelaku pelanggaran, maka diharap hokum akan mampu mengendalikan dongan manusia untuk mementingkan kepentingan pribadinya secara agresif, tanpa memperhatikan kepentingan orang lain.
Sampai disini, yang menjadi masalah adalah, siapakah yang membuat hokum? Apakah pembuat hokum adalah Tuhan, atau dewa, atau manusia dari jenis yang tertentu yang tidak sama dengan manusia biasa yang lainnya? Jawabnya pasti tidak. Pembuat hokum adalah manusia biasa juga, manusia yang seperti halnya manusia yang dikenai peraturan hokum, juga mempunyai dorongan yang sama dengan manusia lain, yaitu dorongan sosial dan dorongan untuk memenuhi kepentingan pribadinya. Pembuat hokum juga manusia sebagaimana manusia lainnya, juga mempunyai kekuatiran akan kehidupannya dimasa depan sehingga harus mengamankan sumberdaya yang ada pada dirinya atau mengumpulkan sebanyak mungkin sumberdaya yang ada didalam tangannya. Srmrntara itu, pembuat hokum, sebagaimana manusia biasa yang lain, adalah juga manusia yang tahu dan sadar akan adanya keterbatasan sumberdaya untuk memenuhi keinginan, kebutuhan dan kepentingannya.
Yang menjadi permasalahan sekarang adalah, kalau manusia pembuat hokum adalah manusia biasa yang sebagaimana manusia lainnya mempunyai dorongan untuk mementingkan kepentingan pribadinya, bahkan yang juga dimungkinkan untuk memunculkan kepentingan pribadinya secara agresif, apakah hokum yang dibuat oleh manusia yang diberi atau mempunyai kekuasaan untuk membuat hokum tidak akan berupa hokum yang mengabdi sepenuhnya kepada kepentingan sang pembuat hokum itu sendiri? Apakah hokum yang dibuat oleh pembuat hokum yang adalah manusia biasa tersebut, yang bukan manusia setengah dewa, tidak akan menghasilkan hokum yang hanya akan menguntungkan si pembuat hokum semata? Apapun alasannya, jawabannya pasti: “YA.” Hukum yang dihasilkan oleh orang yang mempunyai dorongan untuk memenuhi kepentingan pribadinya dan yang kepentingan pribadinya cukup banyak, akan cenderung, bahkan mungkin selalu, merupakan hokum yang sepenuhnya mengabdi pada kepentingan pembuat hokum tersebut. Hukum yang muncul pastilah hokum yang hanya akan menguntungkan kepentingan si pembuatnya semata-mata. Sampai disini kita bisa memahami konsep selibat bagi pimpinan agama dalam agama Katholik Roma, dan konsep Plato mengenai raja filsof atau filsof raja, terlepas dari benar tidaknya, tepat tidaknya konsep-konsep tersebut. Kedua konsep tersebut merupakan upaya untuk mengatasi dorongan yang ada dalam diri para pembuat hokum (dan pemimpin agama) yang berupa dorongan untuk mementingkan kepentingan pribadinya, sehingga kepemimpinannya (baik dalam hal agama atau Negara pada konsep Plato) akan menjadi kepemimpinan yang adil, yang bijaksana, yang mementingkan kepentingan masyarakatnya.
Sebagaimana diketahui, dalam agama Katholik Roma, konsep selibat muncul ketika mulai disadari bahwa banyak terjadi berbagai kejahatan, khususnya korupsi dan keserakahan kekayaan yang dilakukan oleh pimpinan agama. Karena keserakahan muncul akibat seorang pimpinan agama yang membangun rumah tangga dan memiliki kekayaan pribadi, maka pimpinan agama yang tidak berkeluarga dan tidak mempunyai milik pribadi dipandang tidak akan terpengaruh oleh dorongan untuk mementingkan kepentingan pribadinya, khususnya atas harta kekayaan. Dari pemikiran tersebut,muncullah konsep selibat bagi pimpinan agama Katholik Roma.
Demikian juga halnya dengan Plato. Karena itu, Plato menyarankan seorang raja haruslah juga filsof atau filsof yang harus menjadi raja. Kalau seorang raja adalah filsof, atau filsof yang menjadi raja, maka dia akan mengatur masyarakat dengan kebijaksanaan sebagai seorang filsof. Namun demikian, karena seorang filsof juga manusia, yang manakala memiliki kekuasaan akan dapat dengan mudah untuk mengumbar kepentingan pribadinya, maka raja filsof dalam konsep Plato bersifat komunal. Artinya, raja filsof bukan terdiri dari satu orang, tetapi dari banyak filsof yang diberi kewenangan memimpin Negara. Agar mereka tidak terbebani dengan dorongan mementingkan kepentingan pribadinya, maka raja filsof tersebut juga tidak boleh terbebani dengan kekayaan dan keluarga. Dalam konsep Plato, raja filsof tidak boleh mempunyai kekayaan pribadi dan tidak boleh memiliki keluarga yang bersifat pribadi. Keluarga pada konsep raja filsof Plato bersifat komunal. Bagi raja filsof, disediakan perempuan-perempuan yang menjadi isteri bersama, sehingga mereka tidak akan mengetahui apakah mereka mempunyai anak atau tidak, apakah anak yang bernama si A adalah anaknya atau bukan. Dengan konsep ini, diharapkan dorongan untuk mementingkan kepentingan pribadi pada penguasa akan hilang, sehingga kekuasaan tidak akan digunakan untuk kepentingan pribadinya, tetapi di abdikan untuk kepentingan masyarakat.
Terlepas dari benar tidaknya, tepat tidaknya atau akan berhasil atau tidaknya konsep selibat dalam agama Katholik dan konsep filsof rajanya Plato, realitasnya pemimpin atau penguasa Negara dari dahulu sampai sekarang, bahkan dinegara-negara komunis sekalipun, selalu adalah orang-orang yang mempunyai harta pribadi dan keluarga pribadi. Bahkan, kalau kita akan mencoba menerapkan konsep Plato mengenai raja filsof, akan ditentang habis-habisan oleh orang yang beragama, yang akan dipandang sebagai konsep yang amoral. Karena itu, kita harus tunduk pada realitas, bahwa para penguasa Negara yang nota bene adalah pembuat hokum dinegaranya masing-masing adalah manusia-manusia yang mempunyai dorongan yang sama kuatnya dengan manusia lain untuk mementingkan kepentingan pribadi mereka. Akibatnya, hokum yang muncul dari orang-orang yang mempunyai kekuasaan untuk membuat hokum selalu hokum yang akan melindungi kepentingan penguasa. Tesisnya, semakin besar kekuasaan yang dimiliki oleh penguasa yang berwenang membuat hokum, maka hokum yang dibuat adalah hokum yang sepenuhnya diabdikan pada kepentingan penguasa. Sampai disini kita bisa memahami adagium yang dikemukakan oleh Lord Acton yang berbunyi: “Power tend to corrupt and absolute power corrupt absolutely”.
Sampai disini, yang menjadi masalah adalah, bagaimana mengendalikan kekuasaan, sehingga kekuasaan akan diabdikan untuk kepentingan masyarakat, bukan untuk kepentingan segelintir penguasa itu sendiri saja? Jawaban yang diberikan oleh Gaetano Mosca adalah “kekuasaan”. Artinya, kekuasaan hanya dapat dikendalikan oleh kekuasaan juga. Dengan demikian, jawaban Gaetano Mosca tersebut juga dapat diartikan bahwa  rakyat yang menjadi subyek hokum atau yang dikenai oleh peraturan hokum harus juga mempunyai kekuasaan (kekuatan) yang oleh elit penguasa cukup diperhitungkan, dalam arti kalau tidak diperhitungkan atau dipenuhi minimal sebagian,  akan membahayakan kekuasaan para elit penguasa tersebut.
Dalam hal ini perlu dicatat, bahwa sebetulnya Gaetano Mosca tidak pernah percaya pada adanya kekuatan atau kekuasaan rakyat banyak. Baginya, kekuasaan hanya akan ada pada kelas elit penguasa. Keberadaan para elit penguasa tersebut tidak terhindarkan dalam seluruh bentuk kehidupan bersama masyarakat, baik dalam organisasi, dalam komunitas, dalam masyarakat, dalam Negara, baik pada masyarakat yang autokratis maupun yang demokratis sekalipun. Karena keberadaan elit yang berkuasa atas sebagian besar masyarakat lainnya yang dikuasai tersebut selalu ada dan muncul dalam bentuk kehidupan bersama yang bagaimanapun juga, term,asuk dalam system yang formalnya demokratis sesungguhnya oligarkis, maka Robert Michel membuat adagium bahwa keberadaan elit penguasa yang berkuasa atas massa sebagaimana kekuasaan oligarkh tersebut sebagai “hokum besi oligarki” (the iron law of oligarchy). Artinya, keberadaan elit penguasa yang berjumlah sedikit yang menguasai, mengendalikan dan mengatur massa (masyarakat) yang berjumlah banyak tersebut merupakan keadaan yang sudah menjadi kepastian yang tak dapat dirubah. Karena adanya hokum besi oligarki, maka menurut Gaetano Mosca, hokum dan keadilan “relative” hanya akan ada dalam masyarakat dimana elitnya berjumlah banyak dan mereka saling bersaing.
Dari sini dapat di buat tesis hubungan antara hokum dan kekuasaan, yaitu dimana kekuasaan elit penguasa sangat besar, sementara kekuasaan rakyat lemah, atau tidak adanya elit kekuasaan pesaing yang kuat yang membutuhkan dukungan rakyat, maka hokum yang muncul adalah hokum yang sepenuhnya mengabdi pada kepentingan penguasa. Sementara itu, dimasyarakat dimana kekuasaan penguasa cukup kuat dan rakyat juga mempunyai kekuasaan, atau ada elit kekuasaan pesaing yang cukup kuat yang membutuhkan dukungan rakyat, namun yang oleh elit penguasa dipandang tidak cukup kuat untuk merobohkan kekuasaan mereka, maka hokum yang terbentuk akan bersifat manipulative. Sementara itu, didalam Negara dimana rakyat oleh elit penguasa dipandang mempunyai kekuasaan atau kekuatan yang dapat mengancam kekuasaan elit penguasa, maka hokum yang terbentuk akan mengabdi pada kepentingan bersama masyarakat, walaupun tetap ada manipulasi, tetapi dalam bentuknya yang paling halus.
Sebagai contoh tesis kedua, dimana hukum yang terbentuk bersifat manipulative adalah perundang-undangan Landreform Indonesia, yang sejak lahirnya telah memiliki cacat bawaan sehingga hampir-hampir tidak mungkin untuk dilaksanakan. Sebagaimana diketahui, pada saat itu (tahun 1960-an) Landreform di Indonesia hanya didukung oleh PKI; sementara elit partai-partai lain yang memenangkan Pemilu tahun 1955 mempunyai kepentingan yang bertentangan dengan Landreform (khususnya elit PNI dan NU sebagian besar adalah para tuan tanah pedesaan atau mereka yang mempunyai tanah luas secara guntai di pedesaan). Karena pendukung program landreform walaupun cukup kuat dan dengan mencanangkan program landreform akan mendapat dukungan masyarakat luas tetapi yang tidak memungkinkan untuk menggulingkan kekuasaan elit-elit penentangnya, maka yang muncul adalah perundang-undangan Landreform Indonesia yang merupakan perundang-undangan Landreform seolah-olah, dalam arti seolah-olah ada Landreform (tetapi yang sesungguhnya tidak dapat dilaksanakan). Secara formal, landreform Indonesia pada waktu itu didukung juga oleh PNI dan NU yang sesungguhnya mempunyai kepentingan yang berbeda. Karena itu, dukungan yang diberikan hanya merupakan dukungan yang seolah-olah, sekedar untuk menunjukkan kepada masyarakat miskin pedesaan akan keberpihakan mereka. Tetapi karena kepentingan yang sesungguhnya berbeda, maka keberpihakan kepada rakyat miskin pedesaan tersebut hanya bersifat seolah-olah juga (untuk masalah Landreform Indonesia, lihat beberapa postingan berkategori Agraria). Akibatnya segalanya hanya bersifat seolah-olah.

Sementara itu, sebagai bukti awal untuk tesis ketiga adalah keluarnya aturan hokum Solon mengenai masalah hutang dan perhambaan di Yunani kuno (untuk masalah ini, lihat postingan berjudul “Demokrasi dan Keadilan Sosial”). Akibat ketakutan para elit kekuasaan Negara Athena, mereka bersedia menyetujui program yang dikemukakan oleh Solon, yang sesungguhnya sangat merugikan kepentingan ekonomi para elit kekuasaan tersebut. Dari sini nampak, bahwa hanya dengan kekuatan yang mampu mengancam kekuasaan para elit penguasalah hokum yang “relative” adil dapat diwujudkan.

TANAH GUNTAI: Contoh Kasus Politisnya Landreform


Hadi Wahono



KEWAJIBAN PEMILIK TANAH GUNTAI
ALAT PELANGGARAN YANG LEGAL
PENGECUALIAN YANG TIDAK TEPAT
PERLUASAN PENGECUALIAN
TEROBOSAN YANG SEMAKIN LUAS




Pasal 3 ayat (1) PP. No. 224 tahun 1961 menentukan bahwa pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal di luar kecamatan tempat letak tanahnya, dalam jangka waktu 6 bulan wajib mengalihkan hak atas tanahnya kepada orang lain di kecamatan tempat letak tanah itu atau pindah ke kecamatan letak tanah tersebut. Berdasarkan ketentuan pasal 3 ayat (1) PP. No. 224 tahun 1961 tersebut, maka pemilikan tanah guntai dapat diartikan sebagai pemilikan tanah yang terletak diluar kecamatan tempat tinggal sipemilik. Berdasarkan ketentuan ini maka secara yuridis batas wilayah untuk menentukan apakah tanah yang dimiliki seseorang tersebut merupakan tanah guntai atau bukan adalah kecamatan, bukan kabupaten atau kelurahan sebagaimana sering kita baca dalam berbagai tulisan mengenai masalah penguasaan tanah.
Dasar pelarangan pemilikan tanah pertanian secara guntai/absentee tersebut adalah ketentuan dalam pasal 10 UUPA yang mewajibkan setiap orang yang mempuynyai suatu hak atas tanah pertanian diwajibkan untuk mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif dengan mencegah cara-cara pemerasan. Pemerintah sebagai pembentuk PP. No. 224 tahun 1961 memandang bahwa orang-orang yang tinggal diluar kecamatan dimana tanah pertanian miliknya terletak, tidak mungkin untuk mengerjakan atau mengusahakan sendiri tanah pertanian miliknya tersebut secara aktif (penjelasan atas pasal 3). Karena dasar pelarangan pemilikan tanah pertanian secara guntai adalah tidak mungkinnya orang yang tinggal diluar kecamatan dimana tanah pertanian miliknya terletak, maka larangan tersebut tidak berlaku bagi pemilik tanah pertanian yang tinggal diluar kecamatan letak tanahnya, jika jarak antara tempat tinggal si pemilik dengan tanah pertaniannya  masih memungkinkannya untuk mengerjakan tanah pertanian miliknya tersebut secara aktif (pasal 3 ayat 2), misalnya jika tanah pertanian dan tempat tinggal sipemilik tersebut terletak didekat perbatasan dua kecamatan.
            Sebagaimana sudah dibahas diatas, pasal 3 ayat (1) PP. No. 224 tahun 1961 menentukan bahwa seseorang atau satu keluarga yang memiliki tanah guntai atau absentee, dalam jangka waktu 6 bulan wajib mengalihkan hak atas tanahnya kepada orang lain di kecamatan tempat letak tanah itu atau pindah ke kecamatan letak tanah tersebut. Yang dimaksud dengan jangka waktu 6 bulan dalam pasal 3 tersebut adalah 6 bulan setelah berlakunya PP. No. 224 tahun 1961 pada tanggal 19 September 1961. Ketentuan waktu 6 bulan sebagaimana yang diatur didalam pasal 3 ayat (1) tersebut berlaku bagi mereka yang pada saat berlakunya PP. No. 224 tahun 1961 telah memiliki tanah guntai. Bagi mereka yang memiliki tanah guntai setelah berlakunya PP. tersebut, misalnya karena pindah atau memperoleh warisan, berlaku ketentuan yang berbeda.
            Bagi mereka yang setelah berakunya PP. no. 224 tahun 1961 berpindah tempat tinggal selama dua tahun berturut-turut sehingga menimbulkan pemilikan tanah pertanian secara gunati, maka berdasarkan ketentuan pasal 3 ayat (3)-nya orang tersebut dalam jangka waktu 2 tahun diwajibkan untuk mengalihkan pemilikan tanah tersebut kepada orang lain yang bertempat tinggal di tempat tanahnya tersebut terletak. Ketentuan ini kemudian dengan PP. no. 41 tahun 1964 diperdetail dan jangka waktu pemindahan haknya juga di perpanjang. Dalam pasal 3a ayat (1) PP. no. 41 tahun 1964 ditentukan bahwa jika pemilik tanah pertanian yang berpindah tempat atau meninggalkan tempat kediamannya keluar kecamatan tempat letak tanah itu selama dua tahun berturut-turut, sedang ia melaporkan kepada pejabat setempat yang berwenang, maka dalam waktu satu tahun terhitung sejak berakhirnya jangka waktu dua tahun tersebut ia diwajibkan untuk memindahkan hak milik atas tanahnya kepada orang lain yang berttempat tinggal di kecamatan letak tanah itu. Tetapi jika orang yang berpindah tersebut tidak melapor, maka berdasarkan ketentuan pasal 3a ayat (2) ketentuan dalam ayat (1) tersebut tidak berlaku. Orang yang berpindah tempat tinggal tanpa melapor tersebut, dalam jangka waktu 2 tahun tetap harus mengalihkan hak miliknya tersebut kepada orang lain yang memenuhi syarat.
            Sementara itu, pasal 3c PP. no. 41 tahun 1964 menentukan bahwa orang yang memperoleh warisan yang menimbulkan pemilikan tanah guntai (menerima warisan tanah yang terletak diluar kecamatan sipenerima warisan tersebut), dalam jangka waktu satu tahun wajib mengalihkan hak milik yang diperoleh dari warisan tersebut, atau pindah ke daerah dimana tanah yang diterima dari warisan tersebut terletak.
            Pasal 3d pp. no. 41 tahun 1964 menentukan bahwa semua bentuk pemindahan hak yang menimbulkan pemilikan tanah guntai dilarang. Sanksi pelanggaran larangan pemilikan tanah guntai, sebagaimana ditentukan didalam pasal 3 ayat (5) dan (6) PP. no. 224 tahun 1961 adalah pengambil alihan tanah guntai tersebut dengan ganti kerugian, yang kemudian akan dibagikan kepada petani tak bertanah.
PERLINDUNGAN BAGI PEJABAT NEGARA
Pasal 3 ayat (1) PP. no 224 tahun 1961 menyatakan bahwa pemilik tanah yang bertempat tinggal di luar kecamatan tempat letak tanahnya, dalam waktu enam bulan wajib mengalihkan hak atas tanahnya kepada orang lain di kecamatan tempat letak tanah itu atau pindah ke kecamatan letak tanah tersebut. Tetapi terhadap larangan pemilikan tanah guntai, ada pengecualiannya sebagaimana yang diatur didalam ayat (4)-nya yang berbunyi:
Ketentuan dalam ayat (1) dan (3) pasal ini tidak berlaku bagi mereka yang mempunyai tanah dikecamatan tempat tinggalnya atau di kecamatan sebagai yang dimaksud dalam ayat (2) pasal ini, yang sedang menjalankan tugas negara, menunaikan kewajiban agama, atau mempunyai alasan khusus lannya yang dapat diterima oleh Menteri Agraria. Bagi pegawai-pegawai negeri dan pejabat-pejabat militer serta yang dipersamakan dengan mereka, yang sedang menjalankan tugas negara, kekecualian tersebut pada ayat ini terbatas pada pemilikan tanah pertanian sampai seluas 2/5 dari luas maksimum yang ditentukan oleh daerah yang bersangkutan menurut UU. No. 56 Prp. Tahun 1960.
 Menurut interpretasi penulis, bunyi pasal 3 ayat (4) PP. No. 224 tahun 1961 tersebut dapat diartikan bahwa ada dua jenis pengecualian, yaitu yang pertama, pengecualian bagi mereka yang sedang menjalankan tugas negara atau sedang menunaikan kewajiban agama, dan yang kedua adalah pengecualian bagi para pegawai negeri dan pejabat militer yang dipersamakan dengan mereka. Untuk pengecualian yang pertama, yaitu mereka yang sedang menjalankan tugas negara (tetapi bukan pegawai negeri, misalnya seorang yang berasal dari daerah menjadi anggota DPR), mereka diberi dispensasi untuk memiliki tanah secara guntai hingga batas maksimum pemilikan tanah didaerah letak tanah miliknya.[1] Sedang pegawai negeri dan pejabat militer diperbolehkan untuk memiliki tanah guntai yang luasnya dibatasi, yaitu maksimal 2/5 bagian dari batas maksimum yang ditentukan untuk daerah yang bersangkutan.
            Yang menjadi masalah sehubungan dengan pemberian dispensasi bagi pegawai negeri dan anggota angkatan bersenjata untuk memiliki tanah secara guntai adalah, apakah seorang pegawai negeri dan anggota angkatan bersenjata tetap boleh memiliki tanah secara guntai apabila dia ditempatnya bekerja telah mempunya tanah? Sebagai contoh, misalnya seorang pegawai negeri yang bernama A bekerja dan tinggal didaerah B yang berdasarkan ketentuan didalam UU. No. 56 Prp. Tahun 1960 tersebut tergolong sebagai daerah yang kurang padat (batas maksimum penguasaan tanahnya adalah 9 hektar tanah sawah). Ditempat tinggalnya tersebut, A memiliki tanah sawah seluas 7 hektar. Tetapi disamping memiliki tanah seluas 7 hektar tersebut, A masih memiliki tanah sawah didaerah asalnya yang merupakan daerah yang tergolong sangat padat, seluas 2 hektar.
            Kalau kita mengacu pada ketentuan yang ada, pemilikan tanah sebagaimana yang dipunyai oleh A tesebut sama sekali tidak melanggar larangan apapun, karena sebagai orang yang tinggal didaerah yang kurang padat, seseorang boleh menguasai tanah sawah sampai 9 hektar. Sementara itu, sebagai pegawai negeri A dibenarkan oleh pasal 3 ayat (4) PP. no. 224 tahun 1961 untuk memiliki tanah pertanian secara guntai seluas 2/5 dari batas maksimum tanah didaerah yang bersangkutan, yang berarti 2/5 X 5 hektar (batas maksimum sawah untuk daerah yang sangat padat) sama dengan 2 hektar.
            Tetapi kalau kita mengkajinya berdasarkan pertimbangan dispensasi bagi pegawai negeri (dan anggota angkatan bersenjata) untuk memiliki simpanan yang berupa tanah seluas satu atau dua hektar adalah untuk kepentingan hari tua mereka, maka pemlikan tanah guntai oleh A dalam contoh kita diatas, jelas tidak dapat dibenarkan, karena pemilkan tanah didaerah tempat tinggalnya yang mencapai luas 7 hektar telah lebih dari cukup untuk persediaan hari tuanya kelak. Tetapi hal ini sama sekali tidak mendapat pengaturan yang jelas didalam pasal 3 PP. no. 224 tahun 1961 maupun PP. no. 41 tahun 1964. Akibatnya, pemberian dispensasi bagi pegawai negeri untuk memilikii tanah guntai hanya melegalkan pemilikan tanah oleh bukan petani.
            Masalah lain sehubungan dengan pemberian dispensasi bagi pejabat pegawai negeri dan militer untuk memiliki tanah guntai adalah menyangkut bunyi bagian akhir ketentuan pasal 3 ayat (4) PP. no. 224 tahun 1961 khususnya anak kalimat “luas maksimum yang ditentukan untuk daerah yang bersangkutan” (untuk jelasnya, harap pasal 3 ayat (4) PP no. 224 tahun 1961 sebagaimana yang dikutip diatas, diperhatikan kembali). Pasal tersebut nampaknya sangat jelas, tetapi sesungguhnya menyisakan permasalahan, khususnya yang menyangkut anak kalimat “seluas 2/5 dari luas maksimum yang ditentuan untuk daerah yang bersangkutan menurut UU. No. 56 Prp tahun 1960”. Anak kalimat tersebut membawa masalah, yaitu batas maksimum daerah yang mana yang digunaan jikalau tanah yang dimiliki oleh pegawai negeri atau anggota angkatan bersenjata tersebut tidak berada di satu daerah yang kebetulan juga golongan kepadatannya tidak sama. Sebagai contoh misalnya, seorang pegawai negeri yang bernama A yang karena pekerjaannya bertugas didaerah B, yang kepadatan penduduknya berdasarkan UU. No. 56 Prp. Tahun 1960 digolongkan kedalam daerah yang tidak padat, dmana batas maksimum pemilikan tanah sawahnya adalah 15 hektar. Didaerah B yang merupakan tempatnya bekerja (dan sekaligus juga daerah dimana saat ini dia bertempat tinggal) A memiliki tanah sawah seluas 10 hektar. Selain itu, didaerah C yang merupakan daerah kelahirannya, yang penggolongan kepadatan penduduknya digolongkan sebagai daerah yang sangat padat, dia memiliki tanah sawah seluas 5 hektar. Dalam kasus ini, daerah mana yang diigunakan untuk menentukan batas maksimum pemilikan tanah guntai yang bisa dipunyai oleh A?
            Kalau pemilikan tanah A tersebut kita tinjau dari batas maksimum tanah yang boleh dimiliknya di daerah dimana dia bekerja saat ini, maka A sama sekali tidak melanggar ketentuan batas maksimum pemilikan tanah pertanian maupun ketentuan pelarangan pemilikan tanah guntai, karena tanah yang dimiliki A seluruhnya (baik yang dimiliki didaerah tempatnya bekerja maupun yang dimilikinya secara guntai) adalah 15 hektar. Selain itu, walaupun A memiliki tanah guntai hingga 5 hektar, tetapi karena sebagai pegawai negeri dia boleh memiliki tanah guntai seluas 2/5 dari batas maksimum daerah yang bersangkutan, dimana kalau daerah yang bersangkutan kita artikan daerah dimana dia bertempat tinggal, maka berarti dia boleh memiliki tanah guntai seluas 6 hektar (2/5 X 15 hektar = 6 hektar). Tetapi kalau yang dimaksud dengan kata daerah yang bersangkutan adalah daerah dimana tanah tersebut terletak, maka tanah tanah guntai yang dimiliki  A (seluas 5 hektar) melebihi batas maksimum tanah guntai yang boleh dimilikinya, karena tanah yang dimiliki secara guntai tersebut terletak didaerah yang digolongkan sebagai daerah yang sangat padat (batasnya 2/5 X 5 hektar = 2 hektar).
            Tetapi dengan ketentuan yang tidak jelas tersebut, seseorang juga dapat mmiliki tanah guntai hingga seluas 6 hektar tanpa melanggar ketentuan apapun juga. Sebagai contoh, misalnya A yang pegawai negeri tersebut, karena tugas pekerjaannya tinggal di daerah B yang kepadatan penduduknya digolongkan sebagai daerah yang tidak padat (dengan batas maksimum pemilikan tanah sawah seluas 15 hektar). Ditempatnya bekerja tersebut, yang sekaligus juga tempat tinggalnya saat ini, A memliki tanah sawah seluas 9 hektar. Tetapi disamping itu, dia juga memiliki tanah sawah di daerah C yang merupakan daerah tempat asalnya, yang tegolong sebagai daerah yang kurang padat (batas maksimum tanah sawah adalah 10 hektar), dia memiliki tanah sawah seluas 4 hektar. Sementara itu didaerah D yang merupakan daerah tempat asal isterinya, yang digolongkan sebagai daerah yang sangat padat (batas maksimum tanah sawah 5 hektar), isteri A tersebut memiliki tanah sawah seluas 2 hektar. Kalau kita menggunakan penggolongan daerah B yang merupakan tempat tinggal A sekarang sebagai dasar untuk menentukan seberapa luas tanah yang boleh dipunyai oleh keluarga A, maka karena dia tinggal didaerah yang tergolong tidak padat, dia berhak untuk mempuynyai tanah sawah seluas 15 hektar. Berdasarkan perhitungan ini, berarti seluruh sawah yang dimilikinya, termasuk yang dimilikinya secara guntai, belum melampaui batas maksimum (seluruh tanah yang dimilikinya adalah 9 hektar + 4 hektar + 2 hektar = 15 hektar). Sementara itu, tanah yang dimilikinya secara guntai didaerah C dan D seluas 4 hektar dan 2 hektar juga belum melanggar larangan pemilikan tanah guntai, karena sebagai pegawai negeri dia berhak memiliki tanah guntai seluas 2/5 bagian dari luas maksimum daerah yang bersangkutan, yaitu 2/5 X 15 hektar = 6 hektar. Sementara itu, kalau batas pemilikan tanah guntai dihitung berdasarkan daerah dimana tanah guntai tersebut terletak, maka A tetap tidak melanggar ketentuan pelarangan pemilikan tanah guntai, karena tanah yang dimiliki oleh keluarganya didaerah C seluas 4 hektar masih memenuhi ketentuan daerah C yaitu 2/5 X 10 hektar = 4 hektar dan tanah guntai yang dimiliki isterinya didaerah D juga tidak melanggar ketentuan batas maksimum tanah guntai untuk daerah tersebut (2/5 X 5 hektar = 2 hektar). Dengan demikian, A bisa memiliki tanah guntai hingga seluas 6 hektar dan sebagian terletak didaerah yang sangat padat, tetapi tanpa melanggar ketentuan apapun.
            Masalah lain yang mengkedepan sehubungan dengan pengecualian atas pelarangan pemilikan tanah guntai ini adalah soal sistem pangawasan, yang karena tidak melibatkan masyarakat luas, menjadi sulit untuk dilakukan. Padahal, tanpa system pengawasan yang baik, seorang pegawai negeri dapat memiliki tanah sangat luas secara guntai, dengan cara memiliki tanah guntai di banyak daerah, dimana dimasing-masing daerah hanya memiliki tanah seluas 2/5 dari ketentuan batas maksimum untuk daerah yang bersangkutan, sehingga tanah-tanah guntai tersebut kalau dilihat satu persatu dari masing-masing daerah tidak nampak melanggar pelarangan pemilikan tanah guntai. Sebagai gambaran, seorang pegawai negeri bisa saja memliki tanah ditempat tinggalnya saat ini yang juga merupakan tempatnya bekerja, misalnya seluas batas maksimum yang ditentukan untuk daerah tersebut. Disamping itu, dia masih memliki tanah pertanian yang terletak didaerah asalnya seluas batas maksimum tanah guntai yang dibolehkan untuk daerah tersebut, juga memiliki tanah guntai ditempat asal isterinya, juga seluas batas maksimum tanah guntai yang dibolehkan untuk daerah setempat, kemudian juga memiliki tanah ditempat lain, yang merupakan tempat dimana dia pernah menjabat, dan seterusnya. Tanpa system pengawasan yang memadai, hal itu bisa terjadi, apalagi suap masih terbuka untuk dilakukan di negeri ini.
            Masalah lain yang mengkedepan sehubungan dengan pemberian dispensasi bagi pegawai negeri yang dibolehkan untuk memiliki tanah guntai adalah, apakah pemberian dispensasi kepada pegawai negeri tersebut telah tepat? Orang sering mengira bahwa pengecualian atas pelarangan pemilikan tanah guntai sebagaimana yang ditentukan didalam pasal 3 ayat (4) PP. no. 224 tahun 1961 tersebut dapat dicarikan landasannya pada penjelasan umum II angka (7) UUPA. Kalau melihat bunyi pasal 3b PP no. 224 tahun 1961 (yang merupakan tambahan dari PP. no. 41 tahun 1964) yang menyatakan bahwa mereka yang telah berhenti dalam menjalankan tugas negara dan yang mempunyai hak milik atas tanah pertanian diluar kecamatan tempat tinggalnya dalam waktu satu tahun terhitung sejak ia mengakhiri tugasnya tersebut diwajibkan pindah kekecamatan letak tanah itu atau memindahkan milik atas tanahnya kepada orang lain yang bertempat tinggal di kecamatan dimana tanah itu terletak, nampak bahwa diberikannya dispensasi tersebut memang untuk persediaan hari tua mereka, sehingga seolah-olah berlandaskan pada penjelasan umum II angka (7) UUPA. Tetapi kalau kita lihat dari kalimat penjelasan umum II angka (7) UUPA itu sendiri, nampak bahwa pasal 3b tersebut tidak bisa dilandaskan kepadanya. Untuk jelasnya didalam membahas masalah ini, maka ada baiknya kalau penjelasan umum II angka (7) UUPA tersebut kami kutip disini:
Dalam keadaan susunan masyarakat kita sebagai sekarang ini maka peraturan pelaksanaan itu[2], nanti kiranya masih perlu membuka kemungkinan diadakannya dispensasi. Misalnya seorang pegawai negeri yang untuk persediaan hari tuanya mempunai tanah satu atau dua hektar dan berhubung dengan pekerjaannya tidak mungkin dapat mengusahakannya sendiri kiranya harus dimungkinkan untuk terus memiliki tanah tersebut.
Dari bunyi penjelasan umum II angkat (7) UUPA tersebut nampak bahwa yang dimaksudkan untuk diberi dispensasi bukanya pemilikan tanah secara guntai, tetapi lebih pada penggarapannya secara aktif. Karena seorang pegawai negeri (walaupun dia tinggal didaerah kecamatan dimana tanah miliknya terletak), sebagai akibat kesibukannya sebagai pegawai, tidak memungkinkan-nya untuk mengerjakan sendiri tanah pertaniannya secara aktif. Sementara itu pasal 10 UUPA menghendaki agar semua pemilik tanah mengerjakan sendiri tanah pertanannya secara aktif dengan mencegah cara-cara pemerasan. Berdasarkan ketentuan pasal 10 tersebut, maka pegawai negeri yang tidak bisa mengerjakan sendiri tanah pertaniannya secara aktif tersebut diberi dispensasi, agar selama dia menjadi pegawai negeri tidak diharuskan untuk mengerjakan sendiri tanah pertaniannya, tetapi dibolehkan untuk menyerahkannya kepada orang lain dalam hubungan sewa atau perjanjian bagi hasil. Jadi penjelasan umum II angka (7) UUPA tersebut bukan ditujukan untuk memberi dispensasi bagi pegawai negeri dan anggota angkatan bersenjata untuk memiliki tanah secara guntai. Dalam hal ini, jelas pasal 3 ayat (4) PP. no. 224 tahun 1961 tersebut tidak memiliki pijakan dasar pada peraturan yang lebih tinggi yang dalam hal ini adalah UUPA (dan UU.no. 6 Prp. Tahun 1960).
            Kalau saja alasan diberinya dispensasi pada pegawai negeri dan anggota angkatan bersenjata untuk memiliki tanah secara guntai adalah untuk memberi kesempatan kepada pegawai negeri dan anggota angkatan bersenjata untuk memiliki persediaan tanah untuk hari tua mereka, maka sebetulnya mengistimewakan mereka tidak memiliki dasar sama sekali. Kalau dibandingkan dengan pegawai negeri, apakah pegawai swasta atau bahkan buruh pabrik tidak lebih lagi memerlukan persediaan tanah untuk hari tua mereka, kususnya setelah mereka tidak lagi bisa diterima bekerja? Tentunya lebih membutuhkan pekerja swasta atau buruh pabrik yang tidak memperoleh pensiun dari pada seorang pegawai negeri atau anggota angkatan bersenjata yang nota bene menerima pensiun dihari tuanya. Karena itu, kalau memang tujuannya adalah untuk memberi kesempatan kepada bukan petani untuk memiliki persediaan tanah untuk hari tua mereka, seharusnya yang mendapat dispensasi bukannya pegawai negeri dan pejabat militer, tetapi sebaliknya adalah para pekerja diperusahaan swasta dan wiraswasta yang tidak mendapat pensiun untuk hari tuanya. Tampaknya, pengecualian bagi pegawai negeri dan pejabat mliter lebih bersifat politis.
Pada tahun 1977 dengan PP. No. 4 tahun 1977 pengecualian sebagaimana yang diatur didalam PP. No. 224 tahun 1961 yo. No. 41 tahun 1964 diperluas, bukan saja bagi pegawai negeri, tetapi juga pensiunan pegawai negeri dan janda pensiunan pegawai negeri selama tidak menikah lagi dengan seorang bukan pegawai negeri atau pensiunan pegawai negeri (pasal 2 ayat (1)). Dengan adanya ketentuan ini, maka dengan sendirinya pasal 3b PP. No. 224 tahun 1961 yo. PP. No. 41 tahun 1964 mengenai keharusan bagi pegawai negeri dan angkatan bersenjata yang telah selesai melaksanakan tugas yang memiliki tanah guntai/absentee untuk dalam jangka waktu satu tahun pindah kekecamatan letak tanah miliknya atau menjualnya, menjadi tidak bermakna, karena dengan PP. No. 4 tahun 1977 tersebut, pensiunan pegawai negeri dan anggota angkatan bersenjata tetap diperbolehkan untuk memilki tanah secara guntai atau absentee. Dengan adanya perluasan subyek pengecualian pelarangan pemilikan tanah guntai sebagaimana yang diatur dalam pasal 2 ayat (1) PP. No. 4 tahun 1977 tersebut, timbul masalah, apakah ketentuan tersebut secara rasional tepat, dalam arti masih sesuai dengan jalan pikiran dan tunjuan landreform?
            Kalau pelarangan pemilikan tanah guntai didasarkan dan mengacu pada salah satu azas landreform, yaitu tanah pertanian untuk petani penggarap, atau setiap pemilik tanah pertanian harus mengerjakan tanah miliknya secara aktif dengan mencegah cara-cara pemerasan, sementara itu pengecualian pemilikan tanah guntai bagi pegawai negeri dan angggota angkatan bersenjata (anggap saja) adalah untuk tabungan hari tua mereka, maka perluasan pengecualian pelarangan pemilikan tanah guntai oleh pensiunan pegawai negeri, janda pegawai negeri dan janda pensiunan pegawai negeri, sama sekali tidak memiliki dasar. Kalau dibilang untuk tabungan hari tua, mereka sendiri telah tua, sementara itu, kalau dengan alasan sedang menjalankan tugas negera, mereka telah tidak  menjalankan tugas negara, sehingga tidak ada halangan untuk mengerjakan tanah pertanian miliknya secara aktif, sebagaimana yang dikehendaki oleh pasal 10 UUPA.
PP. no. 4 tahun 1977 bukan saja memperluas subyek yang diperbolekan untuk memiliki tanah pertanian secara guntai, bahkan pasal 4 PP tersebut mengatur secara lebih jauh lagi, yaitu dengan membatalkan penguasaan tanah oleh petani yang telah menerima tanah redistribusi bekas tanah guntai, meskipun penerimaan tanah tersebut berdasarkan keputusan pejabat yang berwenang. Petani yang telah terlanjur menguasai tanah bekas tanah guntai milik pensiunan pegawai negeri atau janda pegawai negeri atau janda pensiunan pegawai negeri tersebut harus mengembalikan kepada pemilik semula, dan selama tanaman yang ada belum dipanen, dia dipandang sebagai penggarap dalam perjanjian bagi hasil hingga tanaman yang ada selesai dipanen. Dengan demikian petani penggarap tersebut tidak boleh memiliki seluruh hasil panennya, tetapi separoh atau dua pertiga bagian, sebagaimana yang telah diatur didalam Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil (UUPBH), UU. No. 2 tahun 1960. Untuk jelasnya, ada baiknya bunyi pasal 4 ayat (1) PP. No. 4 tahun 1977 tersebut kami kutip disini:
(1)   Jika pada saat mulai berlakunya peraturan Pemerintah ini tanah yang tersebut pada pasal 2 digarap oleh orang lain berdasarkan keputusan pejabat yang berwenang, maka orang tersebut tetap berhak terus menggarapnya dalam hubungan perjanjian bagi hasil dengan pemiliknya menurut ketentuan UU. No. 2 tahun 1960 (lembaran Negara tahun 1960 no. 2). Hubungan perjanjian tersebut berlangsung sampai tanaman yang ada selesai dipanen.

Permasalahan yang muncul dalam hal ini adalah, apakah ketentuan tersebut secara substantif tidak menimbulkan masalah keadilan, dan secara yuridis formal, apakah peraturan yang pada hakekatnya memberlakukan ketentuannya secara berlaku surut tersebut sah?[3]
            Ditinjau dari segi hukum saja, ketentuan dalam pasal 4 ayat (1) no. 4 tahun 1977 tersebut jelas tidak dapat dibenarkan, karena memberlakukan peraturan secara berlaku surut. Seharusnya apa-apa yang sudah terjadi, yang sudah dilaksanakan berdasarkan peraturan yang berlaku sah pada masanya, tidak bisa dibatalkan oleh peraturan yang berlaku kemudian. Dari sini saja, sudah nampak ketidak adilan dari ketentuan tersebut, karena sama sekali tidak melindungi penerima redistribusi yang beritikat baik, yang mungkin telah melakukan berbagai upaya untuk menambah kesuburan tanah. Permasalahan akan bertambah rumit manakala hak atas tanah tersebut telah berpindah kepada orang lain melalui jual beli.
            Berdasarkan pertimbangan diatas, maka pemberian dispensasi bagi pegawai negeri dan anggota angkatan bersenjata (apalagi pensiunan dan jandanya) untuk memiliki tanah guntai sebetulnya bukan saja sama sekali tidak beralasan dan tidak memiliki pijakan dasar dalam peraturan undang-undang (baik UUPA maupun UU. No. 56 Prp. Tahun 1960) tetapi juga menimbulkan banyak permasalahan. Karena itu, seluruh ketentuan mengenai pengecualian terhadap pelarangan pemilikan tanah secara guntai sebaiknya dihapuskan saja. Dengan dihapuskannya pengecualian pelarangan pemilikan tanah secara guntai akan mengurangi jumlah tanah pertanian yang dimiliki oleh bukan petani.
Kalau melihat masalah yang diatur dan cara pengaturannya, baik yang menyangkut masalah perluasan pengecualian pemilikan tanah guntai hingga pada pensiunan pegawai negeri dan anggota angkatan bersenjata dan janda-jandanya sebagaimana pengecualian yang diberikan bagi pegawai negeri dan ketentuan untuk mengembalikan tanah yang telah diredistribusikan dalam rangka landreform, tampak muatan kepentingan penguasa, baik muatan ekonomi maupun politis. Secara politis, tampaknya pengundangan PP. No. 4 tahun 1977 tersebut ada hubungannya dengan upaya Golkar untuk meraih suara para pensiunan pada pemilu tahun itu, yang sudah sulit diikat, tidak sebagaimana halnya pegawai negeri aktif. Sebagai catatan, perlu dikemukakan disini bahwa PP. No. 4 tahun 1977 diundangkan tanggal 2 Februari 1977, yang berarti sekitar 2 bulan menjelang pemilu ke dua masa Orde Baru.
Sebetulnya pada tahun 1974 telah keluar ketentuan yang memungkinkan bagi pemilik tanah yang melebihi batas maksimum dan pemilik tanah guntai untuk menyelamatkan diri dari larangan tersebut. Ketentuan tersebut terdapat didalam pasal 2 ayat (4) dan pasal 3 PMDN. No. 15 tahun 1974. PMDN tersebut memberi peluang kepada pemilik tanah absentee/guntai maupun mereka yang mempunyai tanah yang luasnya melebihi batas maksimum untuk mengalihkan hak atas tanahnya tersebut dengan hak yang sesuai (misalnya hak guna usaha atau hak pakai) walaupun pemberian hak baru tersebut (khususnya untuk hak guna usaha) diberikan untuk jangka waktu yang sangat terbatas, yaitu untuk waktu 25 (dua puluh lima) tahun atau 35 (tiga puluh lima) tahun, dan setelah itu tidak dapat diperpanjang lagi. Namun demikian, walaupun jangka waktunya terbatas, penguasaan tanah dengan hak baru tersebut memberi kesempatan kepada pemegang haknya untuk menjual tanah tersebut kepada orang lain (yang berarti akan menjadi hak guna usaha biasa, yang bisa diperpanjang terus-menerus, atau (jika tidak dijual), dikemudian hari bisa dibagi-bagikan kepada anak-anaknya yang telah dewasa sebagai warisan. Jangka waktu 25 tahun memberi peluang waktu hingga anak-anaknya menjadi dewasa dan membentuk keluarga sendiri.
Berbagai Peraturan perundang-undangan sebagaimana yang telah kita bahas tersebut diatas nampak sama sekali tidak memiliki dasar hokum maupun dasar rasional, bahkan nampak bertentangan dengan pikiran wajar kita (common sense). Jelas peraturan mengenai pengecualian tanah guntai sangat bersifat politis, demi mempertahankan kesetiaan pegawai negeri dan pensiunan pegawai negeri pada penguasa.




[1] Pembedaan dua jenis pengecualian tersebut memang tidak secara jelas dan tegas diatur didalam PP. no. 224 tahun 1971 maupun PP. no. 41 tahun 1964. Tetapi dari bunyi ketentuan dalam pasal 3 ayat (4) PP. no. 224 tahun 1961 dan penjelasan atas pasal 3 tersebut, dapat kita interpretasikan sebagai demikian.
[2] peraturan pelaksanaan yang dimaksud adalah peraturan pelaksanaan atas azas Landreform yang menyatakan bahwa tanah pertanian harus dikerjakan secara aktif oleh pemiliknya sendiri, sebagaimana yang termuat didalam pasal 10 UUPA – penulis.
[3] Sebetulnya membahas masalah ini sudah tidak memiliki nilai praktis lagi, karena ketentuan tersebut secara substantif berlaku hanya untuk satu kali (einmalig), setidak-tidaknya untuk jangka waktu yang sangat terbatas. Bahkan kalaupun peraturan tersebut ternyata memiliki kelemahan-kelemahan yuridis, membatalkan peraturan tersebut juga bisa membawa kekacauan. Namun demikian, karena dia adalah bagian dari peraturan landreform. ada baiknya ketentuan tersebut kita bahas disini.