Hadi
Wahono
Kalau di Eropa sejak tahun
500 sebelum Masehi masyarakatnya telah mengenal sistem demokrasi, tidak
demikian halnya dengan masyarakat Indonesia. Ide demokrasi, yang merupakan ide dimana rakyat
jelata memiliki kekuasaan tertinggi, baru masuk kedalam pemikiran bangsa
Indonesia pada masa modern. Bahkan, ide tersebut hanya ada dan hidup disekitar
kaum terpelajar, yang pada masa pra-kemerdekaan jumlahnya sangat sedikit.
Bahkan, perhatian para pelajar Indonesia dalam sistem ketatanegaraan juga tidak
cukup besar. Mereka terlalu di nina bobokkan oleh khayalan kebesaran masa lalu,
yang seringkali lebih bersifat legenda daripada realita. Para pelajar Indonesia
masa pra-kemerdekaan lebih berminat pada masalah ekonomi rakyat dari pada
mengkaji sistem pemerintahan dan sejarah empiris pemerintahan kerajaan-kerajaan
di Indonesia. Karena itu, ketika bangsa Indonesia mulai merdeka, bayangan
tentang sistem yang namanya demokrasi tidak difahami dengan cukup memadai. Hal
ini nampak misalnya dalam pemikiran Soepomo, yang pada masa pra-kemerdekaan
telah menjadi profesor ilmu hukum pada Rechts Hoogeschool di Jakarta. Hal yang
sama juga dapat kita baca dari tulisan para pelajar mengenai demokrasi
Indonesia, sebagaimana tulisan Mr. Koesnoe, Mr. Mohammad Yamin, dan sebagainya,
yang banyak dipengaruhi oleh romantisme kaum orientalis Belanda. Hal ini
mempunyai pengaruh besar pada para pendiri negara, khususnya mereka yang duduk
didalam lembaga bentukan Jepang, yaitu Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yang dipimpin oleh DR. Rajiman Wediodiningrat,
dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI), yang dipimpin oleh Ir. Soekarno.
Pada tanggal 18 Agustu 1945,
sehari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI), yang dipimpin oleh Ir. Soekarno, yang merupakan kelanjutan
dari Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yang
dipimpin oleh DR. Rajiman Wediodiningrat, telah berhasil melaksanakan tugasnya
merumuskan dasar negara, yaitu Pancasila, dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia, yang diberlakukan sehari sudah diproklamasikannya Negara Republik
Indonesia oleh Ir. Soekarno dan Drs.
Muhammad Hatta. Karena kondisi saat itu yang sangat mendesak, yang perlu segera
dikeluarkannya sebuah Undang-Undang
Dasar Negara yang akan menjadi dasar penyelenggaraan negara yang baru saja
diproklamasikan, maka para pembentuk UUD menyadari bahwa mereka belum
memungkinkan untuk membuat Undang-Undang yang bersifat definitif. Mereka merasa
terlalu riskan jika negara didasarkan pada UUD yang dibuat dengan sangat
tergesa-gesa. Disamping itu, mereka juga berfikir untuk menyerahkan penetapan
Undang-Undang Dasar yang definitif kepada lembaga yang lebih mempunyai
legitimasi, yang menurut UUD yang mereka bentuk sendiri adalah Majelis
Permusyawaratan rakyat, yang merupakan lembaga hasil pilihan rakyat sebagai
pemegang kedaulatan rakyat. Karena itu, mereka dengan sadar menyatakan bahwa
UUD yang mereka hasilkan masih bersifat sementara, yang diharapkan jika keadaan
telah memungkinkan, kehidupan kenegaraan telah tenang, akan dimungkinkan untuk
mengganti Undang-Undang dasar yang bersifat sementara tersebut. Hal ini nampak
dari ketentuan ayat 2 aturan tambahan yang menyatakan:
Dalam enam bulan sesudah Majelis Permusyawaratan Rakyat dibentuk,
Majelis itu bersidang untuk menetapkan Undang-Undang Dasar.
Karena keadaan yang
terburu-buru, selain mereka menyadari sifat kesementaraan UUD yang mereka
rumuskan, mereka juga menyadari bahwa mereka tidak mungkin untuk merumuskan isi
UUD yang cukup pasti. Karena itu, mereka membuka peluang seluas-luasnya bagi
penyelenggara negara untuk menyesuaikan diri dengan keadaan yang sangat cepat
berubah, terutama dalam masa revolusi pada waktu itu. Karena itu, mereka
merumuskan UUD dengan rumusan yang sangat longgar, sangat sumir, hanya bersifat
pokok-pokoknya saja, sehingga akan menjadi sebuah UUD yang lentur, yang
fleksibel, yang mudah disesuaikan dengan keadaan. Karena itu, UUD yang
dihasilkan menjadi sangat singkat, hanya terdiri dari 37 pasal dan empat pasal
aturan peralihan dan satu pasal aturan tambahan.
Namun demikian,
kenyataannya, UUD yang bersifat sementara tersebut malah dipandang sebagai UUD
yang paling sempurna, justru karena fleiksibelnya. Fleksibilitas UUD jelas
sangat menguntungkan para pemegang kekuasaan negara, karena dengan fleksibelnya
UUD memungkinkan mereka untuk menyesuaikan dengan kebutuhan dan kepentingan
mereka, khususnya kepentingan untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Hal ini
terjadi baik pada masa presiden Soekarno pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959,
yang menelurkan model demokrasi terpimpin, maupun masa rejim Orde Baru, yang
menelurkan sistem yang oleh rejim disebut sebagai Demokrasi Pancasila.
Dari ketentuan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 (pra-amandemen) yang
menyatakan bahwa kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, menunjukkan bahwa para pendiri bangsa,
sejak sebelum kemerdekaan Indonesia diproklamirkan telah sepakat bahwa negara
yang akan dibentuk nantinya setelah kemerdekaan adalah negara demokrasi. Mereka
mengartikan demokrasi sebagai negara dimana kedaulatan, atau kekuasaan
tertinggi dalam negara, berada ditangan rakyat. Namun demikian keinginan para
pendiri bangsa ini sesungguhnya bersifat mendua, dimana disatu sisi, mereka
menginginkan membentuk negara demokrasi, negara dimana kedaulatan berada
ditangan rakyat, tetapi pada waktu yang sama, mereka juga tidak percaya
sepenuhnya kepada rakyat. Oleh karena itu, pasal 1 ayat (2) sebagaimana dikutip
diatas dilanjutkan dengan anak kalimat: “dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat,” sehingga bunyi selengkapnya menjadi “Kedaulatan adalah
ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.”
Penambahan anak kalimat “dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis permusyawaratan
Rakyat” tersebut sesungguhnya menunjukkan ketidak percayaan para pendiri negara
terhadap rakyat. Karena itu, mereka mengalihkan kedaulatan dari tangan rakyat,
dengan cara mengkhayalkan seolah-olah rakyat menyerahkan kedaulatannya kepada
lembaga negara yang disebut sebagai Majelis Permusyawaratan Rakyat. Menurut
pandangan mereka, sebagaimana yang ditunjukkan didalam penjelasan UUD 1945[1],
yang penting adalah semangat penyelenggara negaranya. Untuk mudahnya, ada
baiknya penjelasan atas UUD 1945 tersebut kami kutip disini:
Yang
sangat penting, dalam pemerintahan dan dalam hidup negara, ialah semangat,
semangat para penyelenggara Negara, semangat para pemimpin pemerintahan.
Meskipun dibikin Undang-Undang Dasar yang menurut kata-katanya bersifat
kekeluargaan apabila semangat para penyelenggara negara, para pemimpin
pemerintahan itu bersifat perseorangan, Undang-Undang Dasar tadi tentu tidak
ada artinya dalam praktek. Sebaliknya, meskipun Undang-Undang Dasar itu tidak
sempurna, akan tetapi jikalau semangat para penyelenggara pemerintahan baik,
Undang-Undang Dasar itu tentu tidak akan merintangi jalannya Negara. Jadi, yang
paling penting ialah semangat. Maka semangat itu hidup, atau dengan lain
perkataan dinamis.
Dari pernyataan tersebut
nampak bahwa para pendiri negara lebih percaya kepada para pemegang kekuasaan
pemerintahan (penyelenggara negara atau para pemimpin pemerintahan) dari pada
kepada rakyat. Hal ini menunjukkan pandangan yang elitis dari para pendiri
negara, yang pada saat itu, para pendiri negara tersebut memang merupakan,
maupun berasal dari, kalangan elit-elit masyarakat Indonesia.
Ketidak percayaan kepada
rakyat tersebut nampaknya memang merupakan ciri khas elit politik dimanapun.
Karena ketidak percayaan kepada rakyat tersebut ternyata bukan hanya terjadi
pada para pendiri negara kita, tetapi juga pernah terjadi pada para pendiri
negara Amerika serikat. Mengenai hal ini, Cumming and Wise menulis:
Argumen yang seringkali dikemukakan adalah bahwa Konstitusi (Amerika
Serikat) dikerangkakan untuk melindunginya terhadap demokrasi rakyat dan
kekuasaan mayoritas yang tak terkontrol. “Keburukan yang kita alami memancar
dari ekses demokrasi,” kata Elbridge Gerry dari massachusetts kepada Konvensi
(pertemuan pembentuk “Konstitusi”).
Kata “demokrasi” saat ini pada umumnya mempunyai arti yang diterima dan
didukung, tetapi bagi perancang Konstitusi, ini merupakan istilah cemoohan.
“Ingatlah,” John Adams memperingatkan, “demokrasi tidak pernah berumur panjang.
Dia segera tak terpakai, sia-sia, dan membunuh dirinya sendiri. Tak pernah ada
demokrasi yang tidak melakukan bunuh diri.
............. (karena itu) para perancang Konstitusi (Amerika Serikat)
dengan sengaja menghindari pemilihan langsung bagi senator, karena senat
dilihat sebagai kontrol atas orang banyak. Medison meyakinkan para peserta
Konvensi bahwa Senat akan melangkah “dengan dingin, dengan lebih sistematis,
dan dengan lebih bijaksana, dari pada cabang rakyat.” Dan tentu saja Konstitusi
menyisipkan electoral college[2]
diantara pemberi suara dan Presiden.
Dua kasus para pendiri
negara yang sebetulnya tidak bersedia dengan sukarela menyerahkan kekuasaan
mereka pada rakyat, memperkuat argumen teori elit yang pada prinsipnya
menyatakan bahwa dengan berbagai cara, elit masyarakat akan berusaha
mempertahankan posisinya termasuk membangun konsep kelembagaan sebagai pemegang
kuasa kedaulatan.
Kembali kepada permasalahan
kita diatas, khususnya mengenai ketentuan dalam pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang
menyatakan bahwa “kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya
oleh Majelis Permusyawaratan rakyat,” mengandaikan seolah-olah rakyat telah
mewakilkan atau bahkan menyerahkan penggunaan kedaulatannya kepada MPR.
Masalahnya, apakah mungkin untuk mewakilkan kedaulatan?
Bisa dipastikan tidak akan
ada yang meragukan, bahwa mewakilkan kedaulatan sesungguhnya adalah sesuatu
yang tidak mungkin. Karena, begitu suatu kedaulatan diserahkan kepada orang
lain, baik dengan maksud untuk mewakili dirinya sekalipun, maka sipemegang
kedaulatan yang telah menyerahkan kedaulatannya tersebut berarti telah
kehilangan kedaulatannya. Karena itu, penyerahan kekuasaan untuk melakukan
kedaulatan kepada MPR sebetulnya sama artinya dengan mencabut kedaulatan dari
tangan rakyat. Mengenai hal ini Rousseaou berpendapat:
Kedaulatan (sovereignty) tak dapat diwakilkan, berdasarkan alasan yang sama
bahwa kedaulatan tak dapat dicabut. Intinya adalah kehendak umum, dan kehendak
tak dapat diwakilkan: yang ada hanyalah dilaksanakan sendiri, atau tidak ada
sama sekali; tidak ada jalan tengah (Rousseau, 1974: 79).
Ketidak percayaan pada
rakyat tersebut juga nampak pada ketentuan mengenai keanggotaan Majelis
Permusyawaratan Rakyat, yang merupakan lembaga yang melaksanakan kedaulatan
rakyat, sebagaimana yang termuat didalam pasal 2 ayat (1) UUD 1945 (sebelum
amandemen) yang menyatakan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas
anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan-utusan dari
daerah dan golongan-golongan menurut aturan yang ditetapkan dengan
undang-undang.
Dari ketentuan pasal 2 ayat
(1) UUD 1945 tersebut dalam MPR ada dua unsur anggota yang merupakan unsur
tambahan dari Dewan Perwakilan rakyat, yaitu unsur utusan daerah dan golongan.
Unsur utusan daerah, bisa saja dibentuk melalui pemilihan umum, sebagaimana
halnya dengan senator, sementara anggota golongan, tidak mungkin merupakan
hasil pilihan, karena secara teknis akan sulit untuk melakukan pemilihan umum
bagi golongan. Kalau golongan juga mengikuti pemilihan umum, lalu, apa bedanya
golongan tersebut dengan partai politik? Celakanya, UUD 1945 juga tidak
menentukan sama sekali berapa jumlah utusan daerah dan golongan, bagaimana cara
pemilihannya, mereka mewakili daerah tingkat apa, dan ketentuan mengenai apa
yang dimaksud dengan golongan. Sementara itu, bagaimana cara pengangkatan
anggota Dewan Perwakilan rakyat, juga tidak diatur didalam UUD. Yang lebih
celaka lagi, mengenai berbagai hal tersebut ditentukan akan diatur didalam
undang-undang. Ini merupakan pengaturan yang sungguh aneh, karena dalam
struktur kenegaraan berdasarkan UUD 1945 MPR berkedudukan diatas Dewan
Perwakilan Rakyat, tetapi keanggotaan dan berbagai hal mengenai MPR diatur oleh
undang-undang yang sesungguhnya disusun oleh lembaga yang berkedudukan
dibawahnya. Akibatnya, pada akhirnya, semua itu ditentukan sendiri oleh siapa
saja yang kebetulan berkuasa berdasarkan kepentingan sang penguasa itu sendiri.
Hal inilah yang terjadi pada masa Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru.
AMANDEMEN UUD: Mengembalikan
Kedaulatan Ketangan Rakyat?
Setelah tumbangnya rejim Soeharto pada tahun 1998 yang didahului dengan
demonstrasi mahasiswa secara besar-besaran, sejak tahun 1999 hingga tahun 2002
telah dilakukan empat kali amandemen terhadap UUD 1945 (yang selanjutnya dalam
tulisan ini UUD pasca amandemen akan disebut sebagai UUD RI). Keempat amandemen
tersebut merubah banyak hal, mulai dari sistem pemerintahan hingga
dimasukkannya beberapa ketentuan Hak Azasi Manusia kedalam UUD RI. Termasuk
yang mengalami perubahan adalah pasal 1 ayat (2) yang dirobah melalui amandemen
ke tiga.
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945
yang semula menyatakan bahwa kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan
sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, dengan amandemen ketiga, pasal
tersebut dirubah hingga berbunyi:
“Kedaulatan berada
ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”
Dengan berubahnya bunyi
pasal 1 ayat (2) tersebut maka MPR bukan lagi pemegang kedaulatan rakyat, bukan
lagi sebagai lembaga pelaksana kedaulatan rakyat, atau lembaga yang melakukan
kedaulatan (atas nama) rakyat. Kadaulatan tetap berada ditangan rakyat, hanya
saja pelaksanaan kedaulatan tersebut (oleh rakyat) harus menurut Undang-Undang
Dasar. Sesungguhnya, anak kalimat terakhir ini sangat aneh. Bagaimana mungkin
kedaulatan rakyat dibatasi oleh kebijakan yang merupakan produk dari wakil
rakyat? Apakah ini berarti kalau rakyat menghendaki perombakan sistem
kenegaraan, tetapi jika para wakil rakyat tidak menghendakinya, maka perubahan
tidak boleh dilakukan? Pertanyaan ini muncul karena dalam pasal 3 ayat (1)
ditentukan bahwa yang berwenang mengubah Undang-Undang Dasar adalah Majelis
Permusyawaratan Rakyat. Bahkan didalam pasal 37 ayat (5) ditentukan bahwa khusus
tentang bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan
perubahan. Ini berarti, bahwa walaupun rakyat menghendaki perubahan, kalau MPR
tidak menghendaki, maka perubahan tidak boleh dilakukan. Bahkan, jika rakyat
menghendaki dilakukannya perubahan bentuk negara, karena hal itu telah dilarang
oleh Undang-Undang Dasar, maka tetap saja perubahan tersebut tidak boleh
dilakukan (tentusaja secara konstitusional, bukan melalui jalan revolusi
rakyat).
Sampai disini, pertanyaan
yang layak untuk diajukan adalah, apakah berdasarkan UUD RI hasil amandemen,
sesunguhnya rakyat masih memiliki kedaulatannya? Jawabnya bisa dipastikan
tidak, karena, sebagaimana yang juga dinyatakan oleh Rousseau, kedaulatan tidak
bisa dibatasi. Pilihannya hanyalah ada atau tidak ada. Tidak ada jalan tengah.
Artinya, kedaulatan yang dibatasi sama artinya tidak memiliki kedaulatan.
Berdasarkan alasan tersebut diatas, nampak betapa elit kekuasaan masih tetap
terus berusaha untuk membatasi kedaulatan rakyat. Mereka memiliki keyakinan,
bahwa rakyat tidak mungkin dapat menggunakan kedaulatannya dengan benar, karena
itu harus diatur dan dibatasi, yang sesungguhnya sama artinya dengan dirampas.
Kalau negara Indonesia masih
ingin mengakui kedaulatan rakyat, maka anak kalimat akhir dalam pasal 1 ayat
(2) UUD RI yang berbunyi: “dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar,” harus
dihilangkan. Sementara itu, pasal 37 ayat (5) sama sekali harus dihilangkan,
karena selain berarti merampas kedaulatan rakyat, juga tidak berguna sama
sekali. Bagaimanapun juga, karena kewenangan untuk mengubah UUD ada ditangan
MPR., yang berarti termasuk juga mengubah pasal 37 ayat (5) (harap diingat,
pasal 3 ayat (1) berlaku untuk semua pasal, karena tidak mengecualikan pasal 37
ayat (5)), maka adanya ketentuan dalam pasal 37 ayat (5) yang berupa larangan
untuk mengubah bentuk negara kesatuan republik Indonesia menjadi tidak berguna.
Larangan dalam ayat tersebut merupakan kesia-siaan, yang hanya akan menambah
bunyi-bunyian tanpa makna, dan menambah tinta untuk menulis kalimat yang tak
berarti.
Daftar Pustaka
- Cummings, Milto C. dan David Wise, Democracy Under Pressure, Harcourt Brace Jovanovich Publishers, 1985.
- Rousseau, The Essensial Rousseau, Penterjemah: Lowell Bair, The New American Library Inc, 1974.
[1] Sebetulnya
merupakan kejanggalan, bahwa sebuah UUD diberi penjelasan resmi. Kejanggalan
ini sebetulnya bukan bawaan, karena awalnya UUD dirumuskan oleh PPKI tanpa
penjelasan. Penjelasan UUD diberikan oleh Mr. Soepomo, yang saat itu menjabat
sebagai Menteri Kehakiman, dengan maksud untuk memberi penjelasan kepada
masyarakat, tetapi yang kemudian digunakan secara resmi sebagai bagian dari
UUD.
[2]
Electoral College adalah suatu badan yang terdiri dari para pemilih dari kelima
puluh negara bagian, yang secara formal mempunyai kekuasaan untuk memilih
presiden dan wakil presiden Amerika Serikat. Masing-masing negara bagian
mempunyai sejumlah pemilih yang sama jumlahnya dengan jumlah senator dan
anggota House of representative dari negara bagian yang bersangkutan. Dalam sistem
ketatanegaraan Amerika Serikat, para pemilih sesungguhnya memilih anggota
Electoral college tersebut, dan anggota electoral college inilah yang memilih
presiden.
Game of Thrones (유피망 블랙 잭 apk free 코인카지노 코인카지노 happyluke happyluke 465Т토토토토토토토 관 토토토 솠토 토토 관 토토 토솠시버요
BalasHapus