Hadi Wahono
Masyarakat modern sudah tidak
mengenal system pemerintahan demokrasi langsung sebagaimana yang pernah
berlangsung di Negara kota Athena lebih kurang dua ribu lima ratus tahun yang
lalu. Hampir semua system demokrasi dinegara-negara modern dilaksanakan melalui
system perwakilan, dimana rakyat tidak lagi langsung ikut ambil bagian didalam
pemerintahan, tetapi memilih orang-orang yang dipandang akan mewakili mereka
didalam membuat keputusan-keputusan public bagi mereka. Dalam hubungan dengan sistem demokrasi perwakilan ini,
pertanyaan yang mengkedepan adalah, apakah kehendak (rakyat) dapat diwakilkan?
Kalaupun para wakil rakyat tersebut betul-betul berkeinginan untuk mewakili
kehendak para pemilih mereka, yang menjadi pertanyaan, apakah ada cara untuk
mengetahui kehendak para pemilih mereka? Kalaupun ada cara untuk mengetahui
kehendak para pemilih mereka, apakah kehendak para pemilih mereka dapat
dikenali? Kalau dapat dikenali, apakah kehendak para pemilih yang banyak
tersebut merupakan satu kesatuan yang bulat dan sama dalam suatu isu tertentu?
Karena dalam demokrasi perwakilan wewenang
rakyat dilaksanakan oleh wakil, maka masalah penting lain yang mengkedepan dalam sistem perwakilan ini adalah, seberapa
besar wewenang mereka yang disebut sebagai wakil rakyat tersebut untuk membuat
keputusan secara bebas? Atau dengan kata lain, bagaimana hubungan antara wakil
rakyat dengan rakyat yang mereka wakili? Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan
tersebut, ada baiknya kita coba memahami apa makna istilah “wakil rakyat”.
Dari arti katanya, Lyman Tower Sargent
membedakan adanya paling tidak tiga pengertian yang dapat difahami dari istilah
mewakili yang dapat kita gunakan untuk membantu kita memahami permasalahan ini.
Yang pertama, kita sering mengatakan sesuatu mewakili sesuatu lainnya bila ia
merupakan suatu reproduksi atau kopi persis dari aslinya. Yang kedua, kita
menggunakan istilah mewakili untuk sesuatu yang melambangkan sesuatu lainnya.
Yang ketiga, kita menggunakan istilah mewakili dalam arti seorang pengacara
bertindak untuk dan atas nama kliennya (Sargent, Lyman Tower, 1987: 43).
Sebagai contoh dari pengertian mewakili yang pertama, yaitu reproduksi atau
kopi persis dari yang diwakili, misalnya reproduksi lukisan Affandi dalam
bentuk foto yang sama ukuran dengan aslinya. Hasil foto yang biasanya disebut
sebagai reproduksi ini, bisa dikatakan mewakili lukisan Affandi yang difoto
tersebut (tetapi tidak mewakili seluruh lukisan afandi). Jika lukisan Affandi
aslinya hilang, hal yang sering terjadi pada benda-benda seni yang telah
menjadi antik, maka untuk memamerkan seluruh karya lukisan yang pernah
dihasilkan oleh Affandi, misalnya dalam rangka memperingati meninggalnya sang
maestro lukisan tersebut, reproduksi lukisan tersebut dapat digunakan untuk
mewakili lukisan Affandi. Atau, jika suatu buku
misalnya dicetak 1.000 eksemplar, maka satu buku dapat mewakili keseluruhan
buku.
Sebagai contoh pengertian mewakili yang kedua,
yaitu sesuatu yang melambangkan sesuatu lainnya, misalnya, kursi, yang
pengertiannya adalah tempat duduk yang berkaki empat dan bersandaran, maka satu
tempat duduk yang berkaki empat dan bersandaran dapat dinyatakan mewakili apa
yang disebut sebagai kursi. Sedang pengertian mewakili yang ketiga, yaitu dalam
arti seorang pengacara bertindak untuk dan atas nama kliennya, dapat dijelaskan
demikian: Didalam sidang yang tidak bersifat pidana, para pihak didalam perkara
dapat tidak menghadiri persidangan sama sekali, selama kehadirannya diwakili
oleh seorang pengacara. Pengacara ini, walaupun mewakili kliennya, dan dalam
persidangan selalu dianggap bertindak untuk dan atas nama kliennya (walaupun
kliennya tidak hadir), tetapi apa yang dikatakan, apa yang dilakukan, biasanya
sama sekali tidak didekte oleh kliennya. Dia akan melakukan apa saja yang
dipandangnya perlu dan merupakan langkah yang terbaik untuk mewakili
kepentingan kliennya, walaupun kliennya tidak menentukan langkah-langkah yang
harus diambilnya. Bahkan biasanya memang klien dari seorang pengacara tidak
tahu apa yang harus dilakukan, karena justru pengacara inilah yang dianggap
lebih tahu dari pada klien yang diwakilinya akan apa yang harus dilakukan untuk
kepentingan sang klien. Karena itu seorang klien akan selalu menyerahkan
permasalahan yang dihadapinya dan langkah-langkah apa yang akan diambil,
termasuk apa yang akan dikatakan dimuka sidang pengadilan (jika perkaranya
disidangkan di pengadilan), sepenuhnya diserahkan ketangan sang pengacara.
Kembali pada permasalahan pokok kita diatas,
khususnya dalam masalah peran wakil rakyat, ada dua teori yang saling
bertentangan, yaitu teori mandat dan teori independen. Menurut teori mandat,
wakil rakyat (yang dipilih oleh rakyat) adalah alat yang pasif dari para
pemilihnya. Para wakil tersebut semata-mata merupakan agen atau jurubicara bagi
mereka yang diwakilinya. Kalau kita hubungkan dengan ketiga pengertian istilah
wakil ini, maka menurut teori ini, wakil adalah kopi atau duplikat yang sama
persisi dengan mereka yang diwakilinya. Dasar pemikiran teori ini adalah bahwa
para wakil ini dianggap sebagai pencerminan dari perwujudan keinginan para
pemilihnya. Dalam rangka untuk mewujudkan keinginan para pemilihnya itulah maka
mereka mendapatkan mandat atau serangkaian perintah-perintah yang harus diserap
dari para pemilihnya. Maka, dalam hal para wakil rakyat tersebut tidak
menyuarakan kehendak, keinginan atau pemikiran para pemilihnya, maka mereka
dapat ditarik kembali (recall) oleh pemberi suara, sebagai pihak yang
mewakilkan suaranya kepada mereka. Karena itu, menurut teori ini, seharusnya
ada mekanisme untuk menarik mereka kembali dari jabatannya, yang sayangnya,
biasanya kewenangan ini dipegang oleh partai politik dari mana sang wakil itu
berasal. Cara recall oleh partai politik ini sebetulnya tidak tepat, karena
partai politik tidak dapat dikatakan mencerminkan suara pemilih, karena pemilih
seorang wakil rakyat tidak terbatas pada aktifis partai saja, tetapi (bahkan
sebagian besar) para pemilihnya adalah orang-orang tak berpartai (massa
mengambang).
Para pendukung teori independen menganggap
teori mandat sebagaimana diuraikan diatas tidak tepat, karena hanya menganggap
para wakil rakyat tidak lebih sebagai pesuruh (kacung) yang terhormat, bukan
seorang pemimpin dan negarawan yang mengupayakan berlangsungnya pemerintahan
secara baik dan efektif. Disamping itu, mewakili kehendak rakyat banyak
hampir-hampir tidak mungkin (sekedar untuk tidak mengatakan sama sekali tidak
mungkin), karena pendapat orang banyak tidak mungkin padu, tidak mungkin selalu
sama dalam segala hal. Bahkan perbedaan pendapat merupakan ciri kehidupan
bersama yang tak terhindarkan. Bahkan kepentingan mereka dalam isue-isue
tertentu seringkali saling bertentangan. Kalau pendapat rakyat atau pendapat
sebagian rakyat tidak padu, tidak sama, bahkan seringkali saling
bertentangan dalam berbagai isue, maka
permasalahannya, pendapat yang mana yang
harus diwakili oleh seorang wakil rakyat?
Berdasarkan pemikiran ini, maka para pendukung
teori independen mengemukakan teori sebagaimana yang diungkapkan oleh salah
seorang pelopornya, yaitu Edmund Burke (1729 – 1797) seorang politisi dan
pemikir kenegaraan dari Inggris, yang didalam sebuah pidatonya yang terkenal
menyatakan:
Menyampaikan pendapat adalah hak seriap orang;
pendapat para pemilih merupakan pendapat yang berbobot dan terhormat, yang
harus didengar oleh para wakilnya, dan seyogyanya dipertimbangkan dengan
sungguh-sungguh. Akan tetapi, semua instruksi yang bersifat otoritatif, yang
berupa mandat yang dikeluarkan, yang harus dipatuhi, dipilih dan diperdebatkan
secara membabi-buta dan implisit oleh para wakil rakyat, sekalipun bertentangan
dengan keyakinan kata putus (judgement) dan hati nuraninya – secara keseluruhan
jelas tidak dikenal dalam undang-undang di negeri ini, dan timbul dari kesalahan
mendasar dari keseluruhan tatanan dan ajaran Konstitusi kita.
Parlemen bukannya merupakan kongres para dutabesar
dari berbagai kepentingan yang berbeda dan berlawanan; yang masing-masing
kepentingan tersebut harus dipertahankan, sebagai agen dan pembela, melawan
agen dan pembela yang lain; Tetapi Parlemen adalah dewan pertimbangan dari
suatu negara nasional, dengan satu kepentingan, yang merupakan kepentingan
keseluruhan, dimana tak ada tujuan lokal, prasangka lokal, yang harus
membimbingnya, melainkan kebaikan umum yang dihasilkan dari pemikiran akal
sehat semua orang. Sesungguhnya anda memilih seorang anggota parlemen (wakil
rakyat); tetapi bila anda telah memilihnya ia bukan lagi anggota Bristol,
tetapi sudah menjadi anggota Parlemen. Apabila para pemilih lokal membentuk
pendapat gegabah yang terbukti bertentangan dengan kemaslahatan umum, anggota
tersebut harus berusaha keras untuk tidak mewujudkan kepentingan pribadi itu.
(dikutip dari Sargent, Lyman Tower, 1987: 44).
Edmund Burke yakin bahwa suatu usaha untuk
mengikat tangan para wakil dengan perintah-perintah yang dimandatkan akan
bertentangan dengan fungsi keseluruhan dewan perwakilan, yaitu untuk menemukan
kebaikan bersama dengan pertimbangan dan perundingan yang bebas. Karena itu,
peran perwakilan adalah untuk secara bebas melaksanakan penyelidikan dalam
rangka mengupayakan cara demi untuk kebaikan bersama. Peran demikian
mengharuskan mereka untuk tetap bebas dan mempergunakan kebijaksanaan mereka
dengan sebaik-baiknya. Dia harus menguji hati nuraninya, bertanya pada
kebijaksanaan dan pengalamannya, dan membuat keputusan yang jauh melebihi batas
distrik pemilihan. Dia harus mendengarkan keinginan para pemilihnya,
memperhatikannya jika dia bisa, tetapi dengan tegas menolaknya jika kepentingan
umum memang mengharuskannya. Karena itu, para pemilih seharusnya memilih wakil
bukannya berdasarkan ketaatan mereka yang membuta untuk menyuarakan kehendak
mereka, tetapi karena mereka memiliki kualitas hati dan pikiran yang diperlukan
untuk memenuhi panggilan mereka yang sulit dan rumit (Hagopian, Mark N., 1985:
18).
Dari pengertian yang diberikan oleh Edmund
Burke tersebut, tampak bahwa menurut teori independen, peran wakil rakyat
adalah seperti peran seorang pengacara dalam hubungan dengan kliennya. Pada
kenyataannya, peran wakil rakyat didalam sistem demokrasi perwakilan
negara-negara modern memang berlangsung sebagaimana yang digambarkan oleh
edmund Burke, yaitu sebagai wakil yang independen, bukan wakil yang memegang
mandat untuk menyampaikan pendapat, pikiran, dan pandangan tertentu dari para
pemilihnya.
Karena
peran wakil rakyat didalam sistem demokrasi perwakilan negara-negara modern
memang berlangsung sebagaimana yang digambarkan oleh edmund Burke, yaitu
sebagai wakil yang independen, maka didalam membuat keputusan-keputusan publik,
para wakil rakyat tidak harus, dan memang tidak pernah, bertanya dahulu kepada
rakyat, khususnya para pemilihnya, apa pendapat mereka mengenai isue yang akan
mereka putuskan. Selama menjadi wakil, dalam membuat keputusan-keputusan
publik, mereka sama sekali tidak terikat pada kehendak kelompok masyarakat yang
telah memilih mereka. Dalam keadaan demikian, yang menjadi pertanyaan adalah,
apa ukuran atau berdasarkan apa keputusan para wakil dibuat?
Utilitarianisme: Kebahagiaan Yang Terbesar Bagi yang Terbanyak?
Untuk
menjawab pertanyaan tersebut diatas, Jeremy Bentham (1748 – 1832) seorang
filsof sosial Inggris, mengungkapkan teorinya yang disebut sebagai
utilitarianisme. Menurut Bentham, tujuan negara (dan demokrasi) adalah untuk
menjamin kebahagiaan yang terbesar bagi jumlah yang terbanyak. Karena itu,
masyarakat negara yang baik adalah negara yang dapat memuasi sebesar-besarnya
kepentingan individu-individu sebagian terbesar rakyatnya.
Rumusan
yang nampaknya jelas ini sesungguhnya dalam realisasinya menjadi sangat tidak
jelas. Sebagai contoh, pemerintah
melakukan penggusuran tanah milik rakyat untuk kepentingan pembangunan
terminal. Untuk kebutuhan pembangunan terminal tersebut pemerintah harus
menggusur sebanyak misalnya seratus rumah milik penduduk. Karena dana yang
dimiliki pemerintah terbatas, maka pemerintah memberi ganti kerugian yang lebih
rendah dari harga pasaran tanah setempat, dengan perhitungan toh mereka bisa
membeli ditempat lain yang lebih murah, bahkan lebih murah dari ganti rugi yang
diberikan pemerintah. Selain itu, dasar pikirannya adalah bahwa pembangunan
terminal tersebut untuk kepentingan umum, untuk kepentingan orang banyak, yang
jauh lebih banyak dari pada 100 keluarga pemilik tanah tersebut. Sebagaimana
yang sering digembar-gemborkan oleh rezim Orde Baru, setiap pembangunan selalu
harus ada korbannya, dan jumlah orang yang sedikit harus rela berkorban demi
kepentingan orang banyak.
Dengan mengacu pada teori
utilitarianisme, maka tindakan menggusur tersebut harus dinilai apakah tindakan penggusuran
dan pembangunan terminal tersebut akan benar-benar memberikan kebahagiaan
yang terbesar pada orang yang terbanyak (jumlahnya)? Untuk menjawab pertanyaan
ini dengan menggunakan teori utiliterianisme bukan hal mudah, karena kita harus
menghitung seberapa banyak orang yang akan diuntungkan dari penggusuran
tersebut, dan seberapa banyak orang yang dirugikan. Sementara itu, yang
seringkali disebut diuntungkan belum tentu sungguh-sungguh diuntungkan,
sementara yang dirugikan sudah dapat dipastikan. Disamping itu, teori yang
menyederhanakan persoalan ini, kalaupun dapat diterapkan dengan benar
sekalipun, dipandang dapat mengakibatkan terjadinya tirani mayoritas atas
minoritas. Padahal, tirani, sekalipun merupakan tirani mayoritas, sama
bahayanya dengan tirani minoritas. Sebagai contoh, untuk melindungi masyarakat
yang mengatakan diri sebagai rakyat asli bangsa Indonesia, pemerintah membuat
keputusan yang disetujui oleh parlemen dengan suara mayoritas, untuk melarang
etnis Cina untuk berdagang, menidirikan toko, dan tinggal ditempat-tempat
strategis dipedesaan dengan maksud untuk berdagang (lihat Peraturan Pemerintah
no. 10 tahun 1960). Kebijakan demikian dibuat dengan alasan untuk melindungi
usaha kecil yang dilakukan oleh rakyat desa yang merupakan mayoritas rakyat
Indonesia. Kebijakan demikian ternyata juga mendapat dukungan suara mayoritas
di parlemen, dan kemungkinan akan sangat membahagiakan banyak orang etnis non
Cina, yang selama masa Orde Baru telah terbiasa menumpahkan rasa frustrasi
mereka pada etnis Cina. Ini artinya, keputusan tersebut memberikan kebahagiaan
yang terbesar bagi jumlah yang terbanyak, sesuai dengan prinsip utilitarianime
dari Jeremy Bentham. Padahal, realitasnya, keputusan demikian jelas merupakan
keputusan yang diskriminatif, yang tidak sesuai dengan prinsip demokrasi.
Sebuah
contoh nyata pernah terjadi di Jerman pada masa Hitler memenangkan kursi
parlemen dalam pemilihan umum yang demokratis pada tahun 1932. Dengan menguasai
suara mayoritas dalam parlemen (yang diperkuat dengan koalisi dengan kaum
nasionalis), dia oleh Presiden von Hindenburg diangkat sebagai Perdana Menteri.
Setelah diangkat sebagai Perdana Menteri, Hitler dengan persetujuan mayoritas
dalam parlemen, melarang partai-partai lain selain partainya sendiri (“Partai
Nazi”). Bahkan Hitler melancarkan gerakan anti semitisme (gerakan anti Yahudi).
Gerakan ini mendapat dukungan rakyat Jerman yang pada waktu itu merasa
frustrasi, karena perdagangan dan usaha perekonomian di Jerman banyak dikuasai oleh
orang-orang Yahudi. Program ini mendapat dukungan rakyat, terbukti partai Nazi
dapat memenangkan pemilihan umum anggota parlemen, padahal program anti Yahudi
sudah dia canangkan sejak tahun 1920 sebagai salah satu dari 25 point program
partai Nazi. Ini berarti kebahagiaan yang terbesar bagi yang terbanyak bisa
menjadi kesedihan yang mendalam bagi minoritas. Apakah ini masih demokratis?
Demokrasi yang berarti kehendak bebas mayoritas malah dapat digunakan untuk
menghancurkan demokrasi itu sendiri. Sebagai contohnya adalah peristiwa
pelarangan partai-partai lain oleh Hitler sebagaimana contoh diatas, yang
sesungguhnya membawa Jerman menjauh dari demokrasi. Dalam hal ini, demokrasi
telah melakukan bunuh diri secara demokratis.
Berdasarkan
kesulitan penggunaan rumusannya tersebut, Bentham
menambahkan pada rumusannya, berupa pembatas atas pemuasan kepentingan
individu. Menurut Bentham, pemuasan kepentingan individu harus ada batasnya.
Batasnya adalah, apabila untuk memuasi kepentingan seseorang, kepentingan orang
lain harus menjadi korbannya. Dengan kata lain, pemuasan kepentingan seseorang
tidak boleh mengakibatkan kerugian pada orang (individu) lain. Karena menurut
Bentham semua tindakan negara harus diukur dari prinsip pemuasan yang terbesar
bagi kepentingan dari yang terbanyak, sementara pemuasan yang terbesar
kepentingan dari yang terbanyak (mayoritas) ini harus dibatasi agar tidak
merugikan kepentingan individu (kelompok) lain (minoritas), maka yang
diperlukan adalah adanya peraturan hukum yang mengatur agar berbagai
kepentingan dalam masyarakat tidak saling berbenturan yang mengakibatkan adanya
kepentingan yang dirugikan oleh pemuasan kepentingan dari individu yang lain.
Karena itu, Bentham mengandalkan pada akal sehat para individu yang bekerja
dalam suatu negara demokrasi dalam rangka membentuk kebijakan publik
(peraturan-peraturan) dalam rangka memenuhi kebutuhan dan keinginan rakyat yang
berubah-ubah. Bagi Bentham, analisis kebijakan negara per-negara (legislasi)
menjadi sangat penting dalam analisis politik.
Namun
demikian, permasalahan kita, yaitu mengenai ukuran, masih saja tetap tidak
jelas, karena teori Bentham sesungguhnya tidak memberi ukuran yang jelas bagi
wakil rakyat didalam membuat kebijakan publik, karena dalam kenyataan kehidupan
masyarakat bernegara modern, permasalahan untung berbanding rugi dan bahagia
berbanding pengorbanan bukan hanya sekedar masalah yang menyangkut dua pihak
yang saling berhadap-hadapan, tetapi merupakan masalah banyak pihak yang
seringkali sulit diidentifikasi keuntungan dan kerugiannya secara pasti.
Menyeimbangkan berbagai kepentingan pihak-pihak yang terlibat didalam suatu
kebijkan publik, yang harus memenuhi kriteria memberikan keuntungan atau
kebahagiaan individu yang terbanyak tanpa merugikan atau menimbulkan pengorbanan
pada individu yang lain bukan saja merupakan masalah yang tidak mudah, bahkan
seringkali tidak mungkin. Keputusan-keputusan politik yang merupakan kebijakan
publik seringkali mengharuskan pembuat keputusan harus memilih antara berbagai
kepentingan, yang mana yang akan dipenuhi (diuntungkan) dan yang mana yang akan
dikorbankan.
Kepentingan Bangsa dan
Negara
Disamping
utiliterianisme, ada yang berpandangan, termasuk Edmund Burke sebagaimana yang
pandangannya telah kita kutip diatas, bahwa dasar bagi setiap keputusan wakil
rakyat bukan sekedar kepentingan mayoritas rakyat, tetapi adalah seberapa besar
keputusan tersebut akan mendukung atau sesuai dengan atau akan menguntungkan
kepentingan umum atau kepeningan seluruh rakyat, atau kepentingan nasional,
atau kepentingan bangsa dan negara. Mengenai hal ini, sebagaimana dikutip
diatas, Edmund Burke menyatakan bahwa seorang wakil rakyat harus mendengarkan keinginan para pemilihnya,
memperhatikannya jika dia bisa, tetapi dengan tegas menolaknya jika kepentingan
umum memang mengharuskannya. Membuat keputusan dengan berpedoman pada kepentingan
nasional atau kepentingan umum, atau kepentingan bangsa dan negara, yang
seringkali diartikan juga sebagai kepentingan seluruh rakyat, nampaknya memang
indah. Tetapi masalahnya, apakah frasa tersebut (“kepentingan umum”,
“kepentingan nasional”, “kepentingan bangsa dan negara”, dan “kepentingan
seluruh rakyat”) merupakan frasa yang jelas maknanya? Kenyataannya, keempat
frasa tersebut merupakan frasa yang tidak jelas, yang multi tafsir. Bagaimana
mungkin seluruh rakyat Indonesia misalnya, mempunyai kepentingan yang sama?
Jelas ini tidak masuk akal. Karena itu, ada yang berargumen bahwa kepentingan
umum dan kepentingan nasional berbeda dengan kepentingan seluruh rakyat dalam arti
penjumlahan kepentingan semua rakyat satu persatu. Kepentingan umum atau
kepentingan nasional adalah kepentingan rakyat dalam keseluruhan, dalam
kebulatan. Tetapi masalahnya, bagaimana cara memahami kepentingan umum atau
kepentingan nasional yang bukan merupakan penjumlahan kepentingan rakyat satu
persatu, tetapi merupakan kebulatan? Masalah lain, kalau kepentingan nasional
dan kepentingan umum tidak identik dengan kepentingan seluruh rakyat dalam arti
penjumlahan seluruh kepentingan rakyat satu persatu, maka pertanyaannya, apakah
kepentingan yang demikian nyata ada? Pada akhirnya, pertanyaannya adalah, kedua
kepentingan tersebut sesungguhnya merupakan kepentingan siapa?
Sebagai
contoh, sebuah pabrik besar akan dibangun disuatu tempat yang ternyata telah
dihuni oleh banyak orang (realitasnya, ijin lokasi mendirikan pabrik besar
selalu diberikan didaerah-daerah tempat tinggal orang-orang miskin, tidak
pernah diperumahan-perumahan elite). Untuk mendirikan perusahaan yang kalau
sudah berdiri akan dapat menampung banyak tenaga kerja tersebut, mereka harus
menggusur pemukiman masyarakat miskin. Dalam kasus ini, kalau para penghuni
perumahan yang akan digusur tersebut menolak untuk digusur, kepentingan manakah
yang yang dapat disebut sebagai kepentingan umum, kepentingan bangsa dan negara
dan kepentingan seluruh rakyat? Para penghuni perumahan yang akan digusur
adalah rakyat, dan kalau kepentingan rakyat bukan penjumlahan dari kepentingan
masing-masing rakyat, yang berarti rakyat sebagai kata penunjuk tidak dapat
dipisah-pisahkan, maka kepentingan para penghuni perumahan yang akan digusur
tersebut juga kepentingan seluruh rakyat.
Pihak yang
mendukung pendirian pabrik juga dapat mengatakan bahwa pendirian pabrik yang
bersangkutan merupakan kepentingan rakyat, kepentingan bangsa dan negara,
karena dengan didirikannya pabrik, sekian ratus atau bahkan mungkin sekian ribu
pekerja akan tertampung sebagai pekerja dipabrik tersebut. Selain itu, dengan
adanya pabrik tersebut, maka devisa dapat dihemat, karena pabrik akan memproduksi
barang-barang substitusi import atau bahkan meningkatkan devisa negara jika
barang-barang yang diproduksi pabrik yang bersangkutan direncanakan akan
dieksport. Dengan alasan ini, apakah pendirian pabrik tersebut bukannya
merupakan kepentingan bangsa dan negara dan kepentingan seluruh rakyat?
Walaupun, orang juga dapat mengatakan bahwa pendirian pabrik tersebut merupakan
kepentingan pemilik modal untuk mengembangkan modalnya dalam rangka memperoeh
keuntungan bagi diri pribadi mereka sendiri. Sampai disini, pengertian
kepentingan umum, kepentingan nasional, kepentingan bangsa dan negara,
kepentingan bersama rakyat, dan berbagai istilah yang muluk-muluk yang lain,
sesungguhnya masih tetap merupakan frasa yang tidak jelas pengertiannya, dan
sesungguhnya mewakili kepentingan siapa.
Karena ketidak jelasan pengertian kepentingan
umum dan kepentingan nasional, atau kepentingan bangsa dan negara, maupun
kepentingan seluruh rakyat, maka pada akhirnya, didalam menyusun kebijakan
publik, para wakil rakyat menggunakan ukuran-ukuran mereka sendiri, pandangan
mereka sendiri, dan bahkan tidak tertutup kemungkinan berdasarkan kepentingan
mereka sendiri atau kelompok mereka sendiri, yang dibungkus dengan rapi dalam
istilah kepentingan bangsa dan negara, kepentingan seluruh rakyat.
Dari pelaksanaan sistem demokrasi perwakilan
yang demikian ini, timbul masalah, apakah demokrasi perwakilan tidak sama
dengan sistem absolutisme yang dasar teorinya dikembangkan oleh Thomas Hobbes?
Apakah pemilihan umum dalam sistem demokrasi perwakilan tidak mirip dengan
kontrak sosial dalam konsep Hobbes, dimana rakyat menyerahkan kekuasaan untuk
membuat dan melaksanakan peraturan kepada seorang penguasa? Baik dalam sistem
demokrasi perwakilan maupun model kontrak sosial Hobbes, penguasa yang telah
diberi kekuasaan untuk membuat peraturan bagi rakyat, bebas untuk membuat
peraturan berdasarkan pertimbangan dan kebijaksanaan mereka sendiri. Perbedaan
kedua sistem tersebut hanyalah bahwa dalam teori kontrak sosial hobbes, kontrak
sosial dilaksanakan sekali untuk selama-lamanya, sementara dalam demokrasi
perwakilan, kontrak sosial dilaksanakan secara berkala, beberapa tahun sekali
sesuai dengan jangka waktu penyelenggaraan pemilihan umum. Bahkan Gwendolen M.
Carter, salah seorang pembela demokrasi dalam masa modern, sesungguhnya
meragukan apakah sistem demokrasi perwakilan sebagaimana yang diidealkan masih
dapat berlangsung didalam negara modern:
“Bagaimanapun juga, kadang-kadang
dipersoalkan apakah satu orang sanggup mewakili kepentingan dan pikiran orang
lain, dan apakah gagasan pemerintah berdasarkan perwakilan tidak didasarkan
atas dalil yang palsu (Miriam Budiardjo, (ed), 1982: 95).
Karena itu, tak anehlah kalau orang mengatakan
bahwa sistem demokrasi perwakilan merupakan absolutisme bentuk baru,
absolutisme dengan label demokrasi. Karena itu Rousseau menolak sistem
perwakilan dengan alasan:
Kedaulatan tidak bisa diwakilkan, dan dengan alasan
yang sama, kedaulatan juga tidak dapat dicabut (alienated). Intinya adalah
bahwa kehendak umum, dan suatu kehendak tidak dapat diwakilkan: hal itu
(kehendak umum) ada pada dirinya sendiri atau tidak ada sama sekali; tidak ada
jalan tengah. Karena itu para utusan rakyat tidaklah dan tidak dapat menjadi
wakilnya; mereka hanya agennya dan tak dapat membuat keputusan apapun yang
mengikat. Suatu hukum yang tidak diratifikasi sendiri oleh rakyat secara
pribadi adalah tidak valid; itu bukanlah hukum (Rousseau, 1974: 79).
Karena itu,
bagi Rousseau, sistem demokrasi perwakilan dianggap sebagai sistem yang tidak
masuk akal, dan mengakibatkan perbudakan pada rakyat yang katanya diwakili
tersebut. Mengenai sistem perwakilan yang pada saat itu tercermin dalam
parlemen Inggris, rousseau berkomentar:
Orang Inggris percaya bahwa mereka adalah orang-orang
bebas; mereka sungguh-sungguh salah, karena mereka hanya bebas selama pemilihan
anggota-anggota parlemen, dan didalam waktu diantara dua masa pemilihan
tersebut, rakyat berada dalam perbudakan, mereka tak berarti apa-apa. Dalam
masa pendek dari kebebasan mereka, orang-orang Inggris menggunakannya
sedemikian rupa sehingga mereka memang patut untuk kehilangan kebebasan mereka
(Rousseau, 1974: 79)
Daftar
Pustaka
1.
Budiardjo, Prof.
Miriam, editor, Masalah Kenegaraan, Gramedia, 1982.
2.
Hagopian, Mark
N., Ideals and Ideologies of Modern Politics, Longman Inc., 1985.
3.
Rousseau, The
Essensial Rousseau, Penterjemah: Lowell Bair, The New American Library
Inc, 1974.
4.
Sargent, Lyman
Tower, terjemahan A.R. Henry Sitanggang, Ideologi-Ideologi Politik
Kontemporer, Penerbit Erlangga, 1987.
0 comments:
Posting Komentar