Hadi Wahono
Setelah
Jepang menyerah kepada Sekutu pada bulan September 1945, Sekutu, khususnya
Amerika Serikat memaksa Jepang untuk menyelenggarakan program landreform.
Secara sepintas, pernyataan ini nampaknya sangat aneh, karena selama ini
program landreform banyak dipandang sebagai program Kommunis. Menjadi aneh jika
Amerika Serikat yang merupakan negara pembela kapitalisme paling utama memaksa
negeri yang baru saja ditaklukkannya untuk melaksanakan program landreform. Pertanyaan
sederhananya, sejak kapan kapitalis berfikir tentang pemerataan?
Jawab
atas pertanyaan tersebut adalah, tidak pernah. Landreform yang dipaksakan
pelaksanaannya di Jepang saat itu lebih mempunyai makna politis dan kepentingan
ekonomi Amerika dari pada keadilan dan pemerataan. Menurut penulis, ada empat
hal yang mendorong Amerika Serikat untuk memaksa Jepang melaksanakan
landreform. Yang pertama, untuk memperbanyak jumlah rakyat Jepang yang memiliki
daya beli yang memadai. Setelah kehancuran industri Jepang sebagai akibat
Perang Dunia Kedua, Jepang yang berpenduduk cukup besar merupakan pasar
barang-barang produk industri Amerika Serikat yang lumayan besar. Namun
demikian, jumlah penduduk yang besar tanpa daya beli yang memadai tidak akan
ada gunanya bagi pemasaran barang-barang industri maju. Untuk itu, jumlah
rakyat Jepang yang memiliki daya beli yang memadai yang memungkinkan untuk
membeli barang-barang import harus ditingkatkan jumlahnya. Salah satu caranya
adalah dengan memeratakan pemilikan tanah, yang pada waktu itu dikuasai oleh
penguasa-penguasa feodal daerah (para warlord), yang jumlahnya sangat sedikit.
Melalui landreform, jumlah rakyat yang memiliki daya beli yang memadai akan
bertambah berlipat-lipat ganda, yang pada akhirnya akan menjadi pasar yang
cukup besar bagi barang-barang produk Amerika Serikat.
Yang
kedua, untuk melumpuhkan kekuatan para bangsawan Jepang, khususnya para
warlord, yang kekuatannya ditumpu oleh penguasaan atas tanah luas. Warlord yang
mempunyai kekuatan akan menjadi ancaman paling berbahaya bagi kepentingan
Amerika Serikat di Jepang. Bagaimanapun, kekuatan Warlord dapat menjadi tumpuan
harapan rakyat Jepang untuk mengembalikan impian bangsa Jepang atas kejayaan
lama mereka. Dengan membagi tanah-tanah yang dikuasai oleh para Warlord, bukan
saja mereka akan kehilangan kekuatan ekonominya, tetapi juga pengaruh dan
kekuatan politiknya, setidak-tidaknya pada para petani penggarap diwilayah
kekuasaannya, yang selama ini bergantung hidupnya (melalui tanah garapan) dari
para Warlord.
Yang
ketiga, didasarkan pada keinginan untuk menciptakan ketenangan dan ketertiban
didaerah pedesaan. Sejarah telah mencatat bahwa kemiskinan pedesan dan ketidak
adilan dalam masalah pertanahan akan menjadi faktor pendorong pemberontakan
petani. Sesungguhnya sejarah memang telah mencatat bahwa huru-hara besar yang
dipelopori oleh petani memang tidak pernah ada. Namun demikian, tidak bisa
dikatakan bahwa petani tidak pernah ikut ambil bagian dalam banyak huru-hara
besar dalam sejarah dunia. Yang sering terjadi adalah, jika momentumnya telah
tepat, maka petani akan segera memanfaatkan momentum tersebut untuk ambil
bagian didalam berbagai huru-hara dan pemberontakan yang biasanya di dorong
oleh ketidak adilan dalam penguasaan tanah. Sebagai contoh, peran petani dalam
Revolusi Perancis.
Revolusi
Perancis[1]
yang ditandai dengan jatuhnya penjara (yang semula adalah benteng) Bastille
pada tanggal 14 Juli 1789 merupakan revolusi borjuasi didalam menumbangkan
feodalisme. Selama ini yang diajarkan pada kita dalam buku-buku sejarah untuk
sekolah menengah hanyalah peristiwa pergolakan politik disekitar istana
Versailes dan kota Paris. Padahal, walaupun dalam kondisi kesulitan komunikasi,
semangat Revolusi Perancis menyebar hingga kepelosok-pelosok pedesaan di Perancis.
Permasalahan utama didaerah pedesaan adalah masalah tanah.
Pada
masa sebelum revolusi, seluruh tanah di Perancis hanya dikuasai oleh Raja, kaum
bangsawan dan Gereja. Ketiga kelompok dalam masyarakat Perancis tersebut, yang
dalam terminologi politik Perancis saat itu disebut sebagai golongan pertama
(raja dan kaum bangsawan) dan golongan kedua (Gereja) menguasai tanah yang
sangat luas. Sebagian dari tanah-tanah tersebut dikerjakan oleh orang-orang
(sebagai buruh) yang langsung berada dibawah pengawasan raja atau bangsawan
atau gereja penguasa tanah. Sebagian lain dikerjakan oleh petani dengan
kewajiban untuk membayar pajak tanah garapan, baik berupa uang maupun in-natura
(hasil panen).
Hanya
satu bulan berselang setelah jatuhnya penjara Bastille, tepatnya pada bulan
Agustus 1789, petani-petani pedesaan bangkit. Dengan bersenjatakan senapan,
sabit dan pentungan, para petani pedesaan tersebut menyerbu istana-istana para
bangsawan dan Gereja-gereja. Istana dan Gereja diporakporandakan, dan sejak itu
para petani menolak untuk membayar pajak atas tanah garapan. Tanah-tanah
garapan para bangsawan diambil alih oleh para petani penggarap.
Pengambil
alihan tanah-tanah garapan milik para bangsawan dan gereja pada masa awal
revolusi tersebut mempunyai pengaruh besar atas dukungan masyarakat desa pada
Napoleon Bonaparte ketika ia melarikan diri dari pembuangannya dari pulau Elba.
Sebagai orang buangan, dalam pelariannya dari pulau Elba, Napoleon hanya
disertai oleh 1100 tentara, yang itupun terdiri dari 800 orang veteran yang
setia mengawalnya dalam pembuangan, dan 300 orang yang sebetulnya adalah
garnisun pulau Elba. Dengan tentara yang sedemikian sedikitnya, tidak mungkin
bagi seorang Napoleon untuk memenangkan peperangan melawan raja dinasti Bourbon
yang telah menggantikannya sebagai raja Perancis. Disamping terjadinya
demoralisasi militer di Perancis, juga hanya berkat dukungan para petani dari
daerah-daerah yang dilaluinya dari pulau Elba ke Paris yang memungkinkan
Napoleon memenangkan peperangan dan mengambil alih kembali kekuasaan atas
perancis. Dukungan petani terhadap Napoleon tersebut tidak lepas dari masalah
ketidak adilan dalam pertanahan sebelum revolusi. Para petani tidak mau kalau
tanah-tanah yang telah mereka kuasai diambil kembali oleh para bangsawan rejim
lama dan Gereja.
Pelajaran
sejarah yang berharga ini tentuna tidak pernah dilupakan oleh Amerika Serikat
ketika memenangkan perang dengan Jepang pada Perang Dunia ke Dua. Bagaimanapun,
huru-hara pedesaan bisa menimbulkan berbagai kemungkinan akibat. Ada
kemungkinan akan berakibat rusaknya masyarakat Jepang, atau kemungkinan lain
berupa kembalinya kekuatan lama para Warlord yang menginginkan kembalinya
kejayaan militer Jepang. Paling tidak, huru-hara pedesaan akan merepotkan
Amerika yang menjadi protektor Jepang setelah Perang Dunia kedua usai. Apapun
hasil akhirnya, huru-hara pedesaan bukan saja akan menjadi bencana bagi
masyarakat Jepang, tetapi juga bisa menjadi ancaman bagi masyarakat barat.
Alasan
keempat dipaksakannya penyelenggaraan landreform di Jepang adalah untuk
membendung perkembangan Komunisme di Jepang. Kekhawatiran ini muncul, karena
sampai setelah Perang Dunia ke Dua, landreform identik dengan Komunis. Dengan
kata lain, komunislah yang merupakan kekuatan yang berkehendak untuk menyelenggarakan
landreform. Bagi masyarakat yang hidup dialam feodalisme, dimana tanah-tanah
pertanian dikuasai oleh kaum feodal dan para petani tidak memiliki hak atas
tanah, pemahaman tersebut mengakibatkan dukungan penuh masyarakat pedesaan atas
berbagai pemberontakan Komunis. Contoh yang masih segar dalam ingatan setiap
orang setelah berakhirnya PD II adalah keberhasilan Longmarch yang dilakukan
oleh Partai komunis Cina pada tahun 1934 – 1935 dibawah pimpinan Mao Tse Tung[2].
Longmarch Partai komunis yang menyingkir dari daerah selatan ke Utara tersebut
berhasil berkat dukungan para petani didaerah-daerah yang dilaluinya, yang
merasakan ketidak adilan dalam penguasaan tanah.
Sebagaimana
daerah-daerah kekuasaan feodal yang lain, tanah-tanah pertanian di Cina pada
waktu itu dikuasai seluruhnya oleh kaum feodal (yang dalam hal ini adalah para
“warlord”). Sebagaimana halnya kaum bangsawan Jawa masa mataram, para Warlord
di Cina juga tidak hanya menarik pajak dari para penggarap, tetapi juga
mewajibkan semua laki-laki dewasa yang kuat untuk bekerja pada para Warlord,
terrmasuk untuk menjadi tentara sang Warlord. Akibatnya, kehidupan masyarakat
desa menjadi sangat berat dan sangat miskin. Kehidupan berat dibawah para
Warlord inilah yang mendorong mereka mendukung pemberontakan terhadap para
Warlord, tak peduli apapun ideologi dan program politiknya. Buat kaum tani
penggarap, yang penting mereka bisa terlepas dari penindasan para Warlord.
Dari
kaum tani miskin inilah Partai Komunis Cina pimpinan Mao Tse Tung tersebut
merekrut pasukannya. Bahkan sering terjadi, peperangan antara tentara Partai
Komunis dengan tentara Warlord yang mencegat perjalanan Longmarch, tidak
dilakukan dengan bersungguh-sungguh. Para tentara Warlord yang direkruit dari
petani miskin yang harus bekerja tanpa dibayar tersebut justru mengharapkan
kemenangan berada dipihak Partai Komunis, dan hal itu akhrnya memang terjadi.
Amerika
Serikat tentunya tidak ingin pengalaman Cina tersebut terulang kembali di
Jepang. Karena itu, Landreform di Jepang menjadi suatu keharusan yang tak
terhindarkan. Bahkan, dengan menyelenggarakan landreform di jepang, Amerika
Serikat yakin akan memperoleh sekaligus banyak keuntungan. Sekali dayung, dua
tiga pulau terlampaui.
Dari
gambaran diatas nampak watak politisnya program landreform yang diselenggarakan
di Jepang, khususnya setelah Perang Dunia Kedua. Tetapi sesungguhnya, program
landreform dimanapun selalu merupakan program yang tidak pernah lepas dari
berbagai perhitungan dan kepentingan politik. Demikian juga halnya dengan landreform
indonesia, khususnya program landreform yang dilancarkan pada tahun 1960-an.
LANDREFORM YANG GAGAL
Kalau melihat perkembangan pengaturan masalah landreform yang dari
tahun ketahun terus bertambah jumlahnya, seharusnya pengaturan landreform akan
semakin sempurna. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Keberadaan
perundang-undangan landreform yang terus menerus bertambah sedemikian banyak
tersebut, yang kelihatannya berkembang terus menerus dari tahun ketahun
tersebut, tidak berarti landreform bisa berlangsung dengan mulus. Sejarah
landreform Indonesia menunjukkan bahwa tak satupun ketentuan dalam
perundang-undangan yang ada dapat dilaksanakan dengan konsekwen. Bahkan
bertambah banyaknya peraturan perundang-undangan landreform tersebut
sesungguhnya bukannya semakin mendukung dan menyempurnakan program landreform,
tetapi malah membuatnya semakin mandul. Kegagalan landreform dapat kita lihat
dari hasil sensus pertanian tahun 1973 yang dibandingkan dengan hasil sensus
pertanian tahun 1963. Dari kedua hasil sensus yang dilaksanakan pada awal
pelaksanaan program landreform dan yang dilaksanakan pada masa awal rejim Orde
Baru, dimana landreform sudah tidak dilaksanakan lagi, menunjukkan tidak adanya
perubahan struktur penguasaan tanah pertanian.
Data
mikro dari beberapa desa juga menunjukkan gagal totalnya landreform. Dari tabel
3.1. yang merupakan hasil penelitian tahun 1973 – 1974 di tiga desa di Kediri
menunjukkan tidak berubahnya struktur penguasaan tanah pedesaan. Di desa A
sebanyak 23 orang dari 23 orang pemilik tanah, atau 72,2 persennya hanya
menguasa tanah pertanian kurang dari 1 hektar, sementara ada 2 orang atau 6,2 persen yang menguasai
tanah lebih dari 5 hektar. Di desa B sebanyak 38 orang dari 45 orang yang memiliki
tanah pertanian, atau 84,4 persen menguasai tanah pertanian kurang dari 1
hektar. Sementara mereka yang menguasai tanah lebih dari 5 hektar ada 4 orang
atau sama dengan 8,8 persen dari seluruh pemilik tanah. Di desa C ada 55 orang
penduduk dari 69 pemilik tanah, atau 79 persen hanya menguasai tanah pertanian
kurang dari 1 hektar. Yang menarik dari tabel 2.1 tersebut adalah terdapatnya 2
orang yangmenguasai tanah pertanian antara 5 – 10 hektar, 3 orang yang
menguasai tanah pertanian antara 10 – 15 hektar, bahkan ada satu orang yang
menguasai tanah lebih dari 15 hektar. Karena ketiga desa penelitian tersebut
terletak di Kediri, maka jelas keenam orang tersebut telah melanggar ketentuan
batas minimum penguasaan tanah pertanian.
TABEL
3.1.
PEMILIKAN TANAH DITIGA DESA DI Kediri tahun 1973 –
1974
Pembagian
luas tanah milik
|
Persentase
Rumah Tangga
|
||
(dalam
hektar)
|
Desa
A
|
Desa
B
|
Desa
C
|
Lebih
dari 15
|
0
|
1
|
0
|
10
– 15
|
1
|
2
|
0
|
5
– 10
|
1
|
1
|
0
|
2
– 5
|
3
|
1
|
4
|
1
– 2
|
5
|
2
|
10
|
0,5
– 1
|
5
|
10
|
10
|
Kurang
dari 0,5
|
17
|
28
|
45
|
Jumlah
|
32
|
45
|
69
|
Dikutip
dari: Svein Aass, dalam Sediono M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (penyunting), 1984, hal. 139
Booth menggunakan data statistik resmi
tingkat kecamatan dari satu bagian yang berpenduduk sangat padat di Jawa
Tengah, mencatat bahwa dua per-tiga dari 225.238 rumah tangga desa di Kecamatan
Klaten pada tahun 1971 tidak memiliki tanah. Husken mencatat prosentase yang
sama di desa di Jawa Tengah pada tahun 1976, dan Siahaan menunjukkan bahwa 71%
dari 728 rumah tangga di desa lain pada tahun 1876 tidak bertanah.
Tentu saja tingkat
ketunakismaan berbeda-beda diwilayah
yang berbeda. Studi dinamika Pedesaan di lembah sungai Cimanuk di Jawa Barat,
sebagai contoh, mencatat bahwa 70% rumah tangga di dataran rendah di Kecamatan
Cirebon pada tahun 1973 tak bertanah, sementara di kecamatan dataran tinggi
Sumedang hanya 29%. Collier memperkirakan separoh rmah tangga di wilayah padat
penduduk tidak memiliki tanah, dan seperempatnya memiliki tanah sempit (Joan
Harjono, 1993, hal. 4)
HASIL SEBUAH
KOMPROMI POLITIK
Kemacetan
landreform Indonesia memang seharusnya sudah dapat diramal sejak awal, karena
sudah sejak kelahirannya, berbagai ketentuan dalam perundang-undangan
landreform membawa cacat bawaan yang tidak memungkinkannya untuk dilaksanakan.
Hal ini disebabkan karena sejak proses penyusunannya sudah menimbulkan tarik
menarik berbagai kepentingan dari berbagai kelompok dan kekuatan politik yang
demikian kerasnya. Menurut Margo L Lyon
sebetulnya perhatian Indonesia pada landreform sudah dimulai dalam masa
revolusi pada waktu masalah ini dibahas untuk pertama kalinya. Menurutnya,
berdasarkan satu informasi, sejak tahun 1956 hingga tahun 1960 saat
diundangkannya UUPA, kemungkinan terdapat sepuluh sampai dua belas konsep
undang-undang pokok. Berdasarkan
keterangan dari sumber lain mengatakan bahwa beberapa masalah tertentu dalam
konsep undang-undang pokok mengalami perdebatan politis yang cukup berarti di
Departemen Agraria dan di Dewan Pertimbangan Agung (DPA), sehingga
undang-undang yang akhirnya berlaku merupakan serangkaian kompromi dari
berbagai kepentingan. Masalah utama yang
menjadi bahan perdebatan tersebut adalah menyangkut prinsip bahwa pemilik tanah
pertanian harus mengerjakan sendiri tanahnyta secara aktif, yang jika prinsip
ini diterapkan, maka berarti tak seorang atau keluargapun yang dapat memiliki
tanah kecuali bila mereka menggarapnya sendiri. Hal ini secara efektif akan
menghilangkan sistem bagi hasil, dan mengancam para tuan tanah dan pemilik
tanah guntai yang tidak menetap ditanahnya (absentee owners). Ini juga berati
bahwa sejumlah pegawai negeri dengan gaji kecil yang mendapat nafkah dari tanah
yang tidak digarapnya sendiri, harus mengembalikan tanahnya kepada desa.
Kompromi diadakan atas masalah ini dan masalah-masalah lainnya oleh dua klompok
yang sangat bertentangan, salah satu mewakili kepentingan tuan tanah dan
kelompok agama (sejumlah besar golongan santri merupakan pemilik tanah yang
relatif kaya). Kompromi yang dicapai berarti bahwa tanah milik diakui akan
tetapi sampai suatu batas maksimum, tanpa menghiraukan apakah pemilik tanah itu
menggarap tanahnya sendiri atau tidak. Ini membuka jalan untuk menghindari
landreform dengan berbagai cara dan oleh karenanya menjadi sumber persengketaan
lebih lanjut antara berbagai kelompok (Margo L. Lyon, dalam Sediono M.P.
Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (penyunting), 1984: 196 – 197).
Mengenai kerasnya tarik menarik berbagai kekuatan politik dalam soal
landreform pada waktu itu, Selo Soemardjan menulis, bahwa Dengan pecahnya
revolusi Indonesia dalam bulan Agustus 1945 timbullah suatu keinginan yang kuat
diantara pemimpin politik Indonesia untuk mengubah sistem agraria kolonial,
yang dibuat untuk memenuhi kebutuhan perusahaan pertanian Balanda, dengan suatu
struktur agraria nasional, yang akan lebih memperhatikan dan melindungi
kepentingan bangsa Indonesia. Tetapi perbedaan yang besar dari berbagai partai
politik menghalangi Dewan Perwaklan Rakyat (DPR) untuk mencapai suatu keputusan
mengenai berbagai rencana undang-undang
yang diajukan oleh beberapa kabinet secara berturut-turut. Akhirnya,
barulah dengan permulaan sistem demokrasi terpimpin (setelah Dekrit Presiden 5
Juli 1959), dimana presiden menarik kekuasaan untuk memutuskan soal-soal yang
diserahkan kepadanya oleh DPR karena DPR tidak mencapai suatu keputusan yang
bulat, maka golongan fungsional dan politik dalam badan legislatif mencapai
kompromi untuk menerima Undang-undang Pokok Agraira Indonesia, UU. No. 5 tahun
1960 (Selo Soemardjan, dalam Sediono M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi
(penyunting), 1984: 103).
Kerasnya tarik menarik kekuatan-kekuatan politik pada waktu itu yang
mengakibatkan sulitnya diundangkannya perundang-undangan agraria nasional juga
dapat kita simak dari sambutan akting Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Gotong
Royong (Haji Zainul Arifin) didalam sidang DPR-GR tanggal 14 September 1960
atas disetujuinya RUU Pokok Agraria oleh DPR-GR:
Saudara-saudara, jika kita pada detik
ini bertegun sejenak dan menoleh kebelakang, tampaklah pada kita bagaikan
fatamorgana titik-titik sejarah tentang rancangan undang-undang Pokok Agraria
yang telah diperundingkan dimasa yang lampau antara pemerintah dan Dewan
P)erwakilan Rakyat yang lama.
Rancangan Undang-Undang Pokok Agraria
ditanah air kita ini bukan saja baru sekarang kita selesaikan, tetapi sudah
lama diusahakannya. Dewan perwakilan Rakyat yang dahulu dibawah pimpinan
saudara Mr. Sartono yang kita muliakan, bersama-sama dengan Panitia Ad hoc-nya,
dengan bantuan Universitas Gajah Mada dan Ketua Mahkamah Agung serta lainnya,
telah banyak berjasa dalam mengumpulkan bahan-bahan untuk menyusun rancangan
Undang-Undang Pokok Agraria. Dan rancangan Undang-Undang itu telah pernah pula
diperundingkan dalam rapat pleno Dewan Perwakilan Rakyat dengan tngkat
pembicaraan pemandangan umum babak pertama.
Tetapi apa hendak dikata, maksud hati
memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai. Sampai akhir tugasnya Dewan
Perwakilan Rakyat lama itu belum juga dapat mensahkan rancangan Undang-Undang
itu sebagai Undang-Undang. (Boedi Harsono, 1982, 1990, 2000: 64)
Karena itu, tak anehlah jika tarik menarik yang sedemikian alot dengan
banyak kompromi-kompromi yang menyertainya menghasilkan undang-undang yang pada
hakekatnya mendukung vested interest
dengan mensupport ketidak adilan dengan berbagai cara, seperti penetapan luas
maksimum yang terlalu luas, sehingga hampir-hampir tak ada tanah yang bisa
disita untuk dibagikan kepada petani miskin. Dalam hal pelarangan tanah guntai,
diadakan berbagai pengecualian yang sekaligus membuka peluang pegawai negeri
untuk memiliki tanah pertanian luas tanpa harus mengerjakannya sendiri,
pengebirian panitia landreform dari dalam panitia itu sendiri, dan berbagai
kelemahan lain yang mengakibatkan perundang-undangan yang sedemikian banyak
tidak dapat dilaksanakan sama sekali (mengenai masalah ini akan kita bahas
secara mendetail didalam bab 3 sampai dengan bab 8 buku ini).
Adanya
pertentangan yang keras dalam pengundangan UUPA tersebut sebetulnya juga dapat
dilihat dari sejarah kelahiran perndang-undangan landreform sendiri, khususnya
kelahiran UUPA dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang no. 56 tahun
1960. Sebagaimana diketahui, UUPA diundangkan pada tanggal 24 September 1960
sementara itu, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) no. 56
tahun 1960 diundangkan pada tanggal 29 Desember 1960, yang berarti hanya
berselang tiga bulan setelah diundangkannya UUPA. Tampaknya, draft isi Perpu
no. 56 tahun 1960 yang mengatur secara lebih mendetail peraturan landreform
Indonesia tersebut telah disiapkan sejak sebelum diundangkannya UUPA, bahkan
telah jadi bersamaan dengan diajukannya UUPA kepada DPR. Tetapi pengaturan lebih
lanjut mengenai landreform, yang kemudian menjadi Perpu no. 56 tahun 1960
tersebut dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu memang sengaja tidak
dimasukkan dalam UUPA. Hal ini tampak jelas dari jawaban Pemerintah atas
pemandangan umum anggota DPR-GR yang diucapkan oleh Menteri Agraria Mr.
Sadjarwo didalam sidang DPR-GR tanggal 14 September 1960. Didalam persidangan
DPR-GR tersebut Menteri Agraria, Mr. Sadjarwo menyatakan:
Tentang batas maksimum dan batas
minimum, yang oleh saudara Mr. Soebagio dan oleh Saudara Nungtjik A.R.
diusulkan agar dicantumkan dalam rancangan Undang-undang ini juga, yaitu dalam
pasal 17, Pemerintah menerangkan, bahwa sekalipun Pemerintah sependapat dengan
Saudara Mr. Soebagio dan Saudara Nungtjik tersebut ntuk mencantumkan angka-angka
sevara konkrit, namun Pemerintah setelah mendengarkan saran-saran dari
golongan-golongan lain, menganggap lebih bihjaksana untuk mengatur maksimum dan
batas minmum itu dalam peraturan perundangan lain. (Boedi Harsono, SH.
1982, 1990, 2000: 58)
Dari
jawaban pemerintah tersebut nampak bahwa pengundangan peraturan landreform
secara lebih rinci didalam peraturan tersendiri, yaitu Perpu no. 56 Tahun 1960
bukan disebabkan karena materi pengaturannya yang belum siap, tetapi disengaja
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Pertimbangan tertentu tersebut
nampaknya bersifat politis, yaitu untuk memudahkan diundangkannya UUPA dan
sekaligus diundangkannya ketentuan landreform. Pengundangan UUPA menjadi lebih
mudah, karena dengan tanpa mengatur secara mendetail masalah landreform,
persetjuan DPR lebih mudah diperoleh. Sementara pengaturan secara detail dimuat
didalam Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang, yaitu sebuah peraturan yang dibuat oleh presiden sendiri (tanpa
persetujuan DPR) tetapi yang berkedudukan setara dengan undang-undang.
Peraturan pemerintah pengganti undang-undang dinyatakan tidak berlaku jika satu
tahun setelah diundangkan, DPR menyatakan tidak setuju atau tidak menguatkannya
menjadi undang-undang. Dengan cara ini, sebetulnya pemerintah membeli waktu
(satu tahun), karena dengan diundangkannya suatu peraturan melalui peraturan
pemerintah pengganti undang-undang, ada waktu satu tahun untuk melihat dukungan
masyarakat atas peraturan yang bersangkutan.
Dengan membeli waktu satu tahun, dan
ternyata Peraturan pemerintah tersebut dalam waktu satu tahun itu mendapat
dukungan dari massa tani, mau tidak mau kekuatan-kekuatan politik lain, yang
juga mengandalkan suara dari massa tani, terpaksa mendukung ketentuan dalam
landreform yang tertuang didalam Perpu no. 56 tahun 1960 tersebut Dengan
dukungan kekuatan-kekuatan politik besar dalam parlemen, maka pada tahun 1961
dengan Undang-Undang no, 1 tahun 1961 Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang no. 56 tahun 1960 ditingkatkan statusnya menjadi undang-undang
(sehingga menjadi UU. No. 56 Prp. Tahun 1960). . Namun demikian, tidak tertutup
kemungkinan selama masa satu tahun tersebut telah terjadi tawar-menawar politik
dibalik pemberlakuan dan dukungan berbagai kekuatan politik tersebut, mengingat
perndang-undangan yang dihasilkan setelah UU. No. 56 Prp. tahun 1960 bukanya
memperkuat, tetapi malah lebih banyak memperlemah undang-undang tersebut.
MENUAI KONFLIK PEDESAAN
Perundang-undangan
yang cacat sejak lahirnya tersebut mengakibatkan banyak kesulitan dalam
pelaksanaannya. Semua pihak dapat menggunakan peraturan perundang-undangan yang
sama untuk melegalkan tindakannya yang saling bertentangan. Akibat lambannya
pelaksanaan program landreform, PKI dengan BTI-nya mengupayakan desakan
pelaksanaan landreform dengan melakukan aksi sepihak. Tetapi bersamaan dengan
itu, para pemilik tanah luas, yang biasanya adalah elite-elite desa yang
bergabung dengan PNI atau NU, juga melakukan aksi sepihak. Sementara aksi
sepihak para pemlik tanah luas adalah mengupayakan untuk menghindari
pendistribusian tanah dan tuntutan petani atas pembagian tanah sebagaimana yang
dijanjikan oleh Undang-Undang Landreform, aksi sepihak yang dilakukan oleh
petani, yang biasanya mendapat dukungan PKI atau BTI, ditujukan untuk mendorong
percepatan proses pembagian tanah. Taktik yang digunakan oleh petani adalah
dengan menduduki sebidang tanah tertentu yang dipandang melanggar
perundang-undangan landreform. Dengan menduduki tanah tersebut petani ingin
menunjukkan bahwa tanah yang bersangkutan merupakan obyek landreform yang harus
segera diambil alih dan dibagikan. Cara ini untuk memaksa panitia landreform
segera membuat keputusan mengenai permasalahan tersebut.Yang sering
menyulitkan, anggota-anggota BTI yang menduduki tanah yang akan dibagikan
tersebut seringkali bukan orang yang menduduki prioritas dalam ketentuan
penerima pembagian tanah. Dalam banyak kasus, BTI membela anggotanya yang
demikian dengan mengalahkan petani anggota partai lain, yang biasanya partai
kecil. Hal ini sering menimbulkan konflik yang sangat keras.
Mengenai terjadinya
konflik landreform, Utrecht memberi contoh kasus (Geritt Huizer):
1.
Ketika seorang pemilik tanah
mengetahui bahwa buruhnya atas inisiatif sendiri ata atas dorongan dari BTI
meminta pada panitia daerah untuk bisa mendapatkan hak atas tanah yang
digarapnya. Mengetahui permintaan buruhnya pada panitia landreform, tanpa
menunggu keputusan panitia, pemilik tanah berusaha untuk mendepak buruhnya yang
membahayakan keselamatan tanah miliknya tersebut. Jika petani yang didepak
tersebut bukan anggota BTI dia bisa meminta bantuan BTI untuk membelanya.
Kemudian pemiloik tanah melaporkannya kepada Petani (organisasi tani PNI).
Petani menasehati pemilik tanah untuk mengultimatum buruhnya agar segera
meninggalkan tanahnya dalam waktu yang telah ditentukan. Tetapi disuatu pagi,
sebelum habis waktu dalam ultimatum, pemilik tanah mendapati lebih dari 100
orang anggota BTI berada disawahnya sedang bekerja bersama-sama dengan
bersenjatakan tongkat, cangkul, dan arit. Mengetahui keadaan tersebut, pemilik
tanah langsung berlari menemui pengurus Petani setempat, dan selang beberapa
waktu kembali lagi dengan dikawani oleh sekelompok anggota Petani yang juga
bersenjata dan jumlahnya sama besar atau bahkan lebih besar dari pada anggota
BTI yang membantu petani mengerjakan ladangnya. Akhirnya terjadi perkelahian
dan banyak korban berjatuhan oleh tusukan pisau atau peluru polisi yang datang
melarai.
2.
Seorang buruh tani mengira bahwa
sebagai penggarap bagi hasil dia memiliki hak atas tanah yang digarapnya yang
telah diajukannya pada panitia landreform setempat. Tanpa menunggu keputusan
panitia, dia langsung menolak untuk menyerahkan sebagian hasil panennya kepada
pemilik tanah. Tak jarang peristiwa demikian terjadi atas anjuran BTI.Pemiloik
tanah yang didukung oleh Petani kemudian mencoba untuk mengusir buruhtani
tersebut dengan ancaman. Massa BTI datang membantu buruh tani, dan terjadilah
perkelahian.
3.
Seorang pemilik tanah menunggu
keputusan panitia landreform mengenai kasus sebidang tanah yang sedang
dihadapinya. Dia yakin akan memenangkan
perkara, baik berdasarkan landasan fakta dan hukum, atau karena dia merasa
yakin akan dukngan beberapa anggota panitia yang cukup berpengaruh yang
mempunyai hubungan kesamaan partai atau keluarga. Dalam hal demikian, sang
buruh tani, yang didorong dan didukung oleh BTI melakukan pendudukan atas tanah
yang menjadi sengketa tersebut.
Aksi sepihak dalam kasus landreform tidak
hanya dilakukan oleh BTI tetapi bisa dilakukan oleh kedua belah pihak, baik oleh
petani maupun pemilik tanah luas, yang biasanya tidak bersedia menunggu putusan
panitia landreform, yang dalam banyak kasus memang bekerja sangat lamban dan
berpihak.
Karena itu, tak
mengejutkan jika penerapan pasal-pasal redistribusi didalam peraturan
perundang-undangan landreform Indonesia jauh dari harapan semula. Ladejinsky
yang diundang oleh Menteri Agraria untuk menilai capaian program landreform
pada tahun 1963 menyimpulkan bahwa perkiraan awal atas tanah yang melampaui
batas maksimum telah direvisi dan direndahan di semua provinsi, hanya
meninggalkan tanah dalam jumlah relative sedikit untuk di redistribusi.
Prosedur administrasi sangat lamban dan complex dan pejabat local menunjukan
kurangnya perhatian untuk menjalankan tugasnya (dalam menjadikan pekerjaan
dilaksanakan). Tambahan, komite yang dibangun di tingkat desa untuk
melaksanakan redistribusi mewakili kepentingan pemilik tanah. Mereka yang
memperoleh tanah dalam banyak kasus adalah saudara pemilik tanah atau anggota
komite. Kenyataan bahwa ganti rugi jika dibayarkan, sangat tidak memadai yang
mengakibatkan usaha tersebut gagal sejak awal. Akibatnya, banyak pemlik tanah
yang kehilangan sebagian tanahnya memperolehnya kembali setelah huru-hara
politik tahun 1965 (Joan Harjono, 1993: 8-9).
Daftar Pustaka
- Furet, Francois dan Denis Richet, Revolusi Perancis, Gajahmada University Press, Yogyakarta, 1989.
- Hardjono, Joan, Land, Labour and Livelihood In a West Java Vilage, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1993.
- Harsono, Boedi, SH., Hukum Agraria Indonesia: Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Jambatan, Jakarta, 1982, 1990, 2000.
- Tjondronegoro, Sediono M.P. dan Gunawan Wiradi (penyunting), Dua Abad Penguasaan Tanah, PT. Gramedia, Jakarta, 1984
Do this hack to drop 2 lbs of fat in 8 hours
BalasHapusAt least 160 000 women and men are losing weight with a easy and secret "liquids hack" to drop 1-2 lbs each and every night in their sleep.
It's very simple and works all the time.
This is how to do it yourself:
1) Take a clear glass and fill it with water half full
2) And now use this awesome hack
and you'll be 1-2 lbs thinner as soon as tomorrow!