Hadi Wahono
Demokrasi modern yang
biasa disebut sebagai demokrasi perwakilan, mengandalkan pelaksanaan
pemerintahan demokrasi pada orang-orang yang menduduki jabatan-jabatan publik
dengan status wakil rakyat. Sementara itu, untuk mengisi jabatan-jabatan publik
yang dinyatakan sebagai wakil rakyat tersebut, tidak lagi dilakukan melalui
sistem undian sebagaimana yang dilakukan oleh masyarakat Athena kuno, tetapi
dilakukan melalui pemilihan umum. Salah satu alat terpenting dari pemilihan
umum ini adalah partai politik.
Partai politik memang
merupakan gejala modern yang kemunculannya bersamaan dengan demokrasi,
khususnya demokrasi perwakilan, yang ditandai dengan penciptaan parlemen dan
pemilihan umum. Kemunculan partai politik terjadi setelah Revolusi Kemerdekaan
Amerika dan revolusi Perancis, yang semula merupakan “parties of notables”,
yaitu komite pemilu yang relatif kecil dan terdiri dari individu-individu yang
mempunyai prestise dan kemakmuran diatara para pemilih atau didaerah pemilihan
mereka. Partai-partai besar dan yang memiliki organisasi permanen baru muncul
sekitar abad ke 19 dengan kemunculan partai Buruh dan partai Sosialis,
khususnya di Jerman dan Austria. Kedua partai tersebut semula bukan dimaksudkan
sebagai mesin politik dalam pemilu, tetapi lebih dimaksudkan untuk memberikan
pendidikan politik (dan berorganisasi) bagi para anggotanya. Berdasarkan tujuan
tersebutlah kita dapat mengerti pendirian partai Sosialis di Jerman pada
sekitar tahun 1878, walaupun pada waktu itu hingga tahun 1914 partai sama
sekali tidak memiliki peran didalam pemerintahan. Partai Sosialis yang sejak
berdirinya bersifat illegal dan sama sekali tidak mempunyai pengaruh didalam
pemerintahan negara tersebut, pada tahun 1890 telah memiliki anggota sebanyak
satu juta orang (Bottomore, Tom; 1983: 40 – 43).
Karena pemerintahan
demokrasi modern mengandalkan pada pemilihan umum didalam merekruit para
petinggi negara, maka dalam masyarakat modern partai politik merupakan kelembagaan
demokrasi yang penting, walaupun, tidak sebagaimana banyak disangka orang, bukan
merupakan keharusan yang tak terhindarkan dari system demokrasi perwakilan.
Didalam demokrasi perwakilan, khususnya dalam pemilihan umum system
proporsional atau dalam pemilihan presiden dan senator negara bagian
sebagaimana yang terdapat didalam negara federal, partai politik merupakan
wahana yang paling efektif bagi pencalonan, persaingan, dan pemilihan. Tanpa
partai politik, khususnya dinegara-negara yang wilayahnya luas dengan penduduk
yang banyak, sulit dibayangkan (bukannya tidak mungkin) berlangsungnya sistem
demokrasi perwakilan. Kesulitan ini dapat kita saksikan pada upaya kampanye
para calon anggota lembaga negara hasil amandemen UUD RI., yaitu Dewan
Perwakilan Daerah yang dipandang sebagai wakil sebuah propinsi. Sebagaimana
diketahui, berdasarkan ketentuan dalam UU. No. 22 tahun 2003 yang telah dicabut
dengan UU. No. 27 tahun 2009, calon anggota DPD tidak diperbolehkan menggunakan
partai politik dalam kampanye mereka, karena salah satu persyaratannya mereka
harus bukan pengurus atau anggota partai politik (tidak jelas, apa maksud dan
tujuan ketentuan demikian). Karena itu, melalui partai politik inilah kelompok
masyarakat yang telah mempunyai kesepakatan tertentu bergabung untuk saling
mendukung didalam berbagai kegiatan politik.
Dalam sistem pemerintahan demokrasi, siapapun
yang ingin agar terpilih dalam suatu pemilihan umum (kecuali untuk menjadi
anggota parlemen dalam pemilihan umum sistem distrik satu suara satu distrik), mau-tidak-mau harus mencari teman
sebanyak-banyaknya untuk membantunya melakukan kampanye, baik dalam arti
mempersiapkan bahan kampanye, mempersiapkan peralatan kampanye, dan melakukan
kampanye atas nama dirinya, bahkan untuk
mengumpulkan dana untuk keperluan kampanye, khususnya bagi mereka yang
tidak memiliki cukup dana (dalam kampanye politik pada masyarakat modern,
khususnya dalam pemilihan umum sistem proporsional atau pemilihan senator,
hampir hampir tak ada orang yang mampu membiayai sendiri biaya kampanyenya).
Dari kebutuhan inilah maka timbul kelompok-kelompok, yang semakin permanen
sifatnya, dan mereka juga terlibat didalam pemilihan umum untuk memajukan
anggota-anggotanya untuk duduk dalam jabatan-jabatan publik. Kelompok
demikianlah yang kemudian disebut sebagai partai politik.
Dari sudut idealnya, Edmun burke (1729 –
1797), seorang ahli ketatanegaraan dari Inggris, mendefinisikan partai politik
sebagai:
Suatu badan yang terdiri dari orang-orang yang
menyatukan diri untuk memajukan kepentingan nasional, berdasarkan usaha bersama
mereka, yang didasarkan atas suatu prinsip-prinsip tertentu yang mempersatukan
mereka semua (dikutip dan diterjemahkan dari: Ball, Alan R., 1983: 75).
Definisi Edmun Burke ini sebagai definisi yang
menggambarkan fungsi ideal partai politik, bukannya berdasarkan realitas
empiris, yang menggambarkan partai politik berdasarkan pada kenyataan yang ada.
Definisi tersebut mengandaikan adanya tiga untusr penting agar suatu organisasi
dapat disebut sebagai partai politik. Ketiga unsur penting tersebut adalah,
yang pertama, bahwa partai politik didirikan berdasarkan, dan orang yang melibatkan diri didalamnya juga didorong oleh,
keinginan yang sungguh-sungguh untuk memajukan kepentingan nasional. Yang
menjadi masalah dari unssur ini adalah, bagaimana kita tahu bahwa suatu partai
betul-betul bertindak untuk memajukan kepentingan nasional, bukannya sekedar
untuk meraih kekuasaan? Mengenai hal ini kita tidak bisa melihat hanya sekedar
dari pernyataan para fungsionaris partai, karena semua pernyataan, semua
tuntutan para politisi selalu dikemas dan dibungkus atas nama kepentingan
nasional. Tak ada pernyataan mereka, walaupun seringkali menyangkut kepentingan
pribadi atau kelompoknya, yang tidak dikemas dalam bentuk kepentingan nasional,
kepentingan umum, kepentingan rakyat (bahkan seringkali ditambahi dengan kata:
“banyak” hingga menjadi rakyat banyak). Pada kenyataannya, banyak (dan mungkin
kebanyakan) partai politik yang sejak awalnya memang semata-mata didirikan
untuk dijadikan mesin politik untuk mengusung seseorang atau sekelompok orang
ketampuk kekuasaan pemerintahan. Paling tidak, pada perjalanannya, partai
tersebut yang mungkin semula memang dimaksudkan untuk memajukan kepentingan
nasional, berubah menjadi sekedar mesin politik pemilihan umum. Hal ini
terlihat jelas dari keeradaan kebanyakan partai-partai di Indonesia, bahkan
juga partai Demokrat dan partai Republik di Amerika Serikat, yang fungsi
utamanya tidak lebih sebagai mesin politik dalam pemilihan umum.
Permasalahan yang kedua yang muncul dari
definisi partai yang diungkapkan oleh Edmund Burke diatas adalah bahwa usaha
partai politik untuk memajukan kepentingan nasional tersebut didasarkan pada
prinsip-prinsip tertentu. Prinsip tertentu bisa berupa ideologi, bisa berupa
pernyataan tentang keberpihakan dengan visi, misi dan tujuan yang jelas.
Sementara itu, pada kenyataannya banyak partai politik yang bukan saja tidak
berideologi, tidak jelas visi dan misinya, bahkan tidak berpegang pada prinsip
apapun. Hal ini juga dapat kita lihat di Indonesia, misalnya dengan
berubah-ubahnya pendapat dan sikap mereka atas suatu permasalahan penting
kenegaraan. Kasus kenaikan harga BBM dan impor beras memberikan gambaran yang
jelas betapa partai politik dinegeri ini sama sekali tidak berprinsip. Hanya
dalam waktu singkat mereka dapat segera berubah sikap, dari menentang menjadi
mendukung, dan sebaliknya, atau anggota yang duduk di pemerintahan mendukung,
sementara yang duduk di DPR menyatakan menentang, dan sebagainya.
Yang ketiga, para anggota dan pendukung partai
politik dipersatukan kedalam organisasi partai karena adanya prinsip-prinsip
yang sama yang mereka anut. Hal ini juga tidak didukung oleh kenyataan, karena,
sebagaimana disebut diatas, kebanyakan partai tidak berprinsip, tidak berideologi,
karena itu dipersatukannya orang-orang kedalam partai juga bukan didasarkan
pada adanya prinsip yang sama. Sangat banyak (untuk tidak mengatakan semua)
keterlibatan orang kedalam partai politik lebih didorong oleh pertimbangan,
apakah partai yang bersangkutan memadai baginya untuk dijadikan wahana memasuki
kekuasaan politik negara. Dengan kata lain, partai dipandang sebagai mesin
politik para elite pendukungnya. Karena itu tak aneh kalau kita melihat adanya
gejala dimana jika elite-elite partai tertentu merasa partai yang diikutinya
tidak mampu membawanya kedalam kekuasaan, segera mereka membentuk partai baru.
Atau, banyak dari mereka yang terlibat didalam suatu partai politik berdasarkan
pertimangan yang bersifat patrimonial dan primordial. Banyak orang NU yang
memasuki Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) berdasarkan pertimbangan bahwa dirinya
adalah orang atau anggota NU. Berdasarkan kenyataan kehidupan kepartaian
tersebut, Joseph Schumpeter menyatakan bahwa “tujuan yang pertama dan terutama
dari masing-masing partai politik adalah untuk unggul atas yang lain untuk bisa
mencapai kekuasaan atau untuk mempertahankannya” (Ball, Alan R., 1983: 75).
Pernyataan Joseph Schumpeter ini memang melepaskan pengertian partai politik
dari nilai moral, tetapi sebagai pengertian yang ditarik dari kenyataan
empiris, pernyataan Schumpeter tersebut sulit untuk di goyahkan.
Masalahnya lalu, apa pengertian atau definisi
partai politik? Untuk memudahkan pemahaman kita mengenai partai politik, ada
baiknya kita mencoba memulainya dengan melihat dari elemen penting partai
politik sebagaimana yang dikemukakan oleh Sigmund Neumann. Dalam hal ini Sigmund Neumann tidak
memberikan definisi partai politik, tetapi memberi pengertian dengan mengemukkan
elemen penting partai politik, sebagaimana yang dinyatakannya:
“Satu definisi tentang “partai” mungkin juga dimulai
dengan turunan kata yang sederhana. Untuk menjadi sebuah “partai” adalah
sesuatu yang selalu berarti identifikasi dengan satu kelompoik dan membedakan
diri dari kelompok lain. Esensi dasar setiap partai bermakna partnership
dalam satu organisasi tertentu dan pemisahan dari organisasi lain
oleh satu program yang khas.
Perlu ditegaskan bahwa deskripsi awal seperti itu
menunjukkan bahwa definisi pokok partai mensyaratkan iklim demokratis dan dari
sini muncul pengertian yang salah dalam setiap kediktatoran. Sistem satu partai
(le parti unique) mengandung kontradiksi di dalam dirinya
sendiri. (dikutip dari: Apter, David E., 1987: 192 - 193).
Walaupun dari dua elemen penting partai politik
tersebut telah lebih memperjelas kita mengenai pengertian partai politik, yaitu
sebagai sekelompok orang yang mengidentifikasi diri sebagai satu kelompok yang
berbeda dengan kelompok lain, tetapi dengan adanya dua elemen ini saja belum
memadai untuk mendefinisikan partai politik. Masalahnya, apa beda partai
politik dengan pengelompokan legislatif (legislative clique) sebagaimana
yang muncul dalam sistem organisasi parlemen Eropa Barat pada abad ke 19 atau
dengan fraksi dalam DPR kita? Untuk membedakan dengan fraksi dalam DPR atau
pengelompokan legislatif, maka Allan R. Ball menambahkan kedalam pengertian
partai satu elemen penting lain, yaitu bahwa partai mempunyai organisasi
pendukung yang berbasis lokal, sebagai cabangnya yang didukung oleh keanggotaan
yang memadai ditingkat cabang (Ball, Alan R., 1985: 75). Partai juga berbeda
dengan kelompok penekan, baik yang berupa
kelompok kepentingan maupun kelompok sikap (attitude atau promotional group),
karena kelompok penekan walaupun mengupayakan perubahan kebijakan atau
mengupayakan untuk dipertahankannya suatu kebijakan, tetapi sama sekali tidak
mempunyai keinginan untuk memenangkan pemilihan untuk menduduki jabatan publik,
sementara partai politik selalu mengupayakan untuk memenangkan pemilihan dalam rangka
menduduki jabatan-jabatan publik. Dari elemen-elemen penting partai tersebut,
maka secara sederhana partai politik dapat didefinisikan sebagai “sekelompok
orang yang mengidentifikasi diri sebagai satu kelompok yang berbeda dengan
kelompok lain, yang didukung dengan organisasi hingga ketingkat lokal, dan
mengupayakan untuk menduduki jabatan-jabatan pemerintahan atau jabatan-jabatan
publik.
Dalam hubungan dengan perwujudan demokrasi perwakilan,
adanya partai politik yang saling bersaing dipandang akan dapat menjadi kendali
bagi elit kekuasaan, karena, sebagaimana halnya dengan hubungan penjual dengan
konsumen dipasar dalam kondisi persaingan pasar yang sempurna, maka dengan
adanya kelompok-kelompok yang saling bersaing untuk menduduki jabatan-jabatan pemerintahan
akan mengembangkan sikap saling mengawasi, saling berusaha untuk mengalahkan
satu sama lain, yang pada akhirnya dapat memaksa mereka yang bersaing untuk
melakukan yang terbaik bagi rakyat, jika mereka tetap ingin menduduki jabatan
lagi pada pemilihan umum mendatang.
Adanya partai-partai politik yang bersaing untuk mendudukkan anggotanya
dalam jabatan-jabatan publik juga akan memberikan banyak pilihan pada rakyat
pemilih. Persaingan juga mengharuskan mereka yang mengingini jabatan publik
untuk menunjukkan dirinya (termasuk programnya) yang sebaik-baiknya. Dengan
persaingan, juga diharapkan para pesaing, selain akan menunjukkan
keunggulannya, juga sekaligus menunjukkan kelemahan pesaingnya, sehingga
memberi gambaran yang lebih lengkap dan pembelajaran pada pemilih. Berdasarkan
alasan-alasan tersebutlah maka adanya partai politik yang saling bersaing
merupakan syarat berlangsungnya dengan baik sistem demokrasi. Tentunya
pandangan ini masih dapat diperdebatkan, karena sebagaimana halnya hubungan ekonomi,
dalam hubungan politik pun, pasar dalam kondisi persaingan yang sempurna
realitasnya jarang ada (untuk tidak mengatakan tidak pernah ada).
Kepustakaan
1.
Apter, David E.,
terjemahan team penterjemah YASOGAMA, Pengantar Analisa Politik,
Rajawali Pers, 1988.
2. Ball, Alan R., Modern Politics and
Government, MacMillan Publishers Ltd., 1985.
3.
Bottomore, Tom,
terjemahan Sahat Simamora, Sosiologi Politik, P.T. Bina aksara,
1983.
0 comments:
Posting Komentar