HUKUM DAN KEKUASAAN


Hadi Wahono


Dalam kehidupan keseharian kita, mulai sejak kita bangun tidur hingga kita tidur lagi, hidup kita selalu berhubungan dengan hukum. Bahkan didalam keseluruhan kehidupan kita, dari sejak kita lahir hingga kita meninggal dunia, hidup kita tak pernah lepas dari jerat hukum. Dengan kata lain, hukum mengatur hidup kita sejak dari buaian hingga liang lahat (from cradle till the grave). Dari sejak kita dilahirkan, hukum sudah mengatur mengenai siapa yang berstatus sah sebagai ibu kita dan siapa ayah kita, bahkan hukum juga tidak perduli kalau kita mengatakan bahwa anak yang dilahirkan oleh ibu A sebetulnya adalah anak dari hubungan dengan seorang laki-laki bernama B, sehingga anak yang dilahirkan oleh ibu A sebetulnya ayahnya adalah B bukannya C sebagaimana yang ditentukan oleh hukum. Hukum tidak perduli dengan realitas mengenai siapa yang membuahi indung telur seorang wanita sehingga menghasilkan seorang anak. Hukum menentukan sendiri siapa ayah sah tersebut berdasarkan jalan pikiran hukum sendiri, yang dalam hal ini, siapa suami legal seorang ibu, dialah ayah sah dari anak yang dilahirkan oleh ibu tersebut dalam masa perkawinan mereka. Yang menjadi masalah adalah, apakah hukum itu, kok dia mengatur hidup kita, bahkan dalam banyak kasus bertentangan dengan keinginan kita? Mengapa kita tidak dibiarkan untuk mengatur hidup kita sendiri? Siapa sebenarnya yang membuat hukum sehingga kita terpaksa mentaatinya, walaupun sering kali kita tidak menyukainya?
Secara sederhana, hukum dapat diartikan sebagai seperangkat peraturan yang mengatur kehidupan manusia dalam hubungan dengan manusia lain dalam suatu masyarakat. Dari rumusan sederhana ini, dapat kita tengarai, adanya beberapa unsur yang memungkinkan sesuatu bisa kita sebut sebagai hukum. Unsur yang pertama adalah bahwa hukum adalah peraturan. Saya kira masalah ini tidak perlu lagi kita persoalkan, karena saya yakin semua kita sepakat bahwa hukum adalah peraturan. Unsur yang kedua, peraturan hukum adalah peraturan yang mengatur kehidupan manusia. Hukum selalu mengatur menusia, atau dengan kata lain, subyek peraturan hukum adalah manusia. Binatang dan benda tidak pernah bisa menjadi subyek hukum, kecuali ada beberapa lembaga hukum yang oleh hukum dipandang sebagai subyek hukum, seperti Perusahaan Terbatas (PT), Negara, Pemerintah, yang karena itu dapat menuntut dan dituntut didepan pengadilan. Meskipun ada subyek hukum yang bukan manusia, tetapi sesungguhnya pen-subyekan lembaga-lembaga hukum tersebut bersifat derivative, bukan bawaan asli, tetapi hasil pemberian, hasil penentuan oleh hukum. Disamping itu, pemberian status sebagai subyek hukum pada lembaga non manusia hanya bersifat pengecualian, dan sesungguhnya pandangan tersebut hanya bersifat pengandaian, karena pada akhirnya, dibelakang subyek hukum yang bukan manusia tersebut adalah manusia juga. Pada akhirnya, tindakan, hak, kewajiban, dan tanggung jawab yang dipikul oleh subyek hukum yang bukan manusia tersebut adalah manusia juga, yang ada dibelakang subyek hukum yang bukan manusia tersebut. Karena itu, menurut saya, pemberian status sebagai subyek hukum kepada lembaga-lembaga hukum yang bukan manusia tersebut hanya merupakan khayalan hukum semata, dengan maksud agar hukum dapat memberi sanksi kepada subyek hukum non-manusia tersebut, misalnya sanksi denda (yang tinggi, yang sulit untuk dikenakan kepada manusia pribadi), ganti rugi, dan pembubaran lembaga yang bersangkutan.
Unsur yang ketiga adalah, hubungan dengan orang lain didalam masyarakat. Manusia yang hidup sendiri, yang tidak berhubungan dengan manusia lain, tidak memerlukan hukum. Dia dapat melakukan apa saja sesuka hatinya tanpa ada yang akan dirugikan dan tanpa ada orang yang akan merugikan kepentingannya. Karena itu, orang yang hidup sendiri, yang tidak mempunyai keluarga, tidak mempunyai tetangga (misalnya hidup disuatu pulau yang diluar dirinya tidak ada kehidupan lain), orang tersebut tentunya sama sekali tidak memerlukan peraturan hokum yang mengatur mengenai apa yang menjadi haknya, apa yang boleh dan/atau tidak boleh dilakukannya, dan sebagainya. Hanya orang-orang yang hidup bersama orang lain, yang dalam kehidupan kesehariannya berinteraksi dengan orang lainlah yang membutuhkan peraturan hukum sehingga tindakannya tidak merugikan kepentingan orang lain dan tindakan atau perbuatan orang lain tidak merugikan dirinya.
Yang menjadi masalah dari rumusan kita tentang hukum tersebut adalah, mengapa manusia yang hidup dengan manusia lain khususnya dalam kehidupan bermasyarakat harus diatur dengan peraturan yang disebut hukum? Apakah orang yang hidup dengan orang lain khususnya dalam suatu masyarakat dibiarkan bebas mengatur diri mereka sendiri saja?
Roscue Pound, seorang filsof hukum Amerika menganggap bahwa pada diri setiap orang ada dua jenis dorongan, yaitu dorongan untuk mementingkan kepentingan pribadi dan dorongan sosial. Kedua dorongan atau tendensi tersebut bersifat bawaan, sehingga ada pada setiap manusia. Dorongan untuk mementingkan kepentingan pribadi adalah dorongan yang muncul dalam bentuk tindakan-tindakan yang mencari keuntungannya sendiri dengan tidak memperdulikan nasib orang lain. Bahkan dorongan memenuhi kepentingan pribadi yang agresif dapat muncul dalam bentuk dimana untuk mencapai kepentingan atau keinginannya, manusia tersebut mengupayakan dengan cara mengorbankan orang lain, baik dalam hal kepentingan orang lain maupun kehidupan orang lain (misalnya dengan melakukan pembunuhan). Perebutan warisan yang mengakibatkan terjadinya pembunuhan merupakan wujud paling jelas dari dorongan untuk mementingkan diri sendiri yang agresif.
Sementara itu, dorongan sosial adalah dorongan untuk hidup bersama, untuk membangun kelompok, untuk membangun perkawanan, untuk membangun keluarga. Dorongan sosial ini menimbulkan adanya keluarga, rasa cinta kasih, dan menimbulkan kehidupan bersama dalam suaru masyarakat. Tanpa dorongan sosial yang ada dalam diri manusia, mustahil masyarakat dapat terbentuk. Walaupun ada dua dorongan atau tendensi bawaan dalam kehidupan manusia yang nampaknya saling berlawanan tersebut, tetapi sesungguhnya tidak pada setiap saat dan setiap waktu kedua dorongan atau tendensi tersebut terus menerus bertentangan didalam diri manusia. Keberadaan kedua dorongan tersebut sesungguhnya saling cakup mencakupi, saling mengatasi, dan kenyataannya yang paling sering muncul adalah dorongan sosial, sehingga dimungkinkan munculnya kehidupan bersama manusia. Karena itu, oleh Aristoteles manusia di gambarkan sebagai mahluk sosial, atau mahluk politik (zoon politikon). Namun demikian, walaupun manusia membutuhkan kehidupan bersama, membutuhkan kehidupan sosial, membutuhkan teman, kelompok, dan sebagainya, tetapi realitas kehidupan sosial manusia bukan kehidupan yang selalu diwarnai dengan kehidupan yang damai, yang dihidupi oleh cinta kasih sesamanya. Ketika segala kebutuhan manusia tersedia secara melimpah, dorongan untuk mementingkan kepentingan pribadi besar kemungkinannya tidak muncul, karena tidak ada relevansinya sama sekali. Ketika apa yang menjadi kepentingan seseorang, apa yang menjadi kebutuhan seseorang dapat terpenuhi dengan cukup, maka manusia tak perlu harus berebut dengan manusia lain yang mengakibatkan timbulnya pertengkaran, perkelahian, bahkan peperangan. Tetapi ketika banyak kebutuhan kehidupan manusia semakin terbatas untuk bisa dinikmati secara merata dan dapat memuasi kebutuhannya, maka  dorongan untuk mementingkan kepentingan pribadi akan muncul dengan kuat, bahkan seringkali dalam bentuknya yang paling agresif. Akibatnya, realitas kehidupan sosial manusia, dipenuhi dengan pertengkaran, percekcokan, perebutan dan bahkan pembunuhan atau peperangan. Pada banyak masyarakat, perang antar suku antar daerah dan sebagainya sesungguhnya didorong oleh keinginan untuk mendapatkan sumber kehidupan yang lebih baik, yang lebih banyak. Perebutan daerah adalah dalam rangka memperoleh ruang hidup (liebensraum) yang lebih luas, yang lebih memungkinkannya memperoleh sumber kehidupan yang lebih baik.
Adanya pendidikan, termasuk agama, dimaksudkan untuk mengendalikan dorongan untuk mementingkan kepentingan pribadi, sehingga tidak muncul dalam bentuknya yang agresif. Karena itu, pendidikan (bukan pelajaran yang bersifat teknis dan keilmuan) dan agama selalu mengajari kita tentang cinta kasih, saling hormat menghormati antara sesame manusia, saling tolong menolong, dan sebagainya. Ajaran pendidikan dan agama yang demikian jelas dimaksudkan untuk mencegah munculnya dorongan-dorongan atau tendens-tendens manusia yang mementingkan dirinya sendiri, paling tidak untuk mencegah kemunculan dorongan tersebut dalam bentuknya yang agresif, sehingga kehidupan bersama manusia dapat dipertahankan dan dikembangkan. Namun demikian, realitasnya baik dorongan sosial, pendidikan dan agama tampaknya tidak cukup kuat untuk mengendalikan dorongan untuk mementingkan kepentingan pribadi. Akibat terbatasnya barang barang kebutuhan hidup menimbulkan ketakutan manusia akan kekurangan dan kesulitan hidup dimasa depan, ketakutan akan tidak terpenuhinya dan terpuasinya keinginan-keinginannya, mengakibatkan dorongan untuk mementingkan kepentingan pribadi menjadi demikian kuat dan dan semakin sering muncul, bahkan dalam bentuknya yang agresif dengan mengalahkan baik dorongan sosial, pendidikan dan agama. Karena dorongan sosial yang melekat dalam kehidupan setiap manusia maupun pendidikan dan agama yang ditanamkan dari luar diri manusia seringkali tidak mampu menahan munculnya secara agresif dorongan untuk mementingkan kepentingan pribadinya, maka dibutuhkan bentuk tekanan yang lain, yang dipandang akan mampu untuk mengendalikan munculnya dorongan untuk mementingkan kepentingan pribadi pada setiap manusia, paling tidak mengendalikan kemunculannya yang bersifat agresif.
Karena didalam masyarakat yang sumberdayanya semakin terbatas dorongan untuk mementingkan kepentingan pribadi akan semakin mudah dan semakin sering muncul dengan kuat dan agresif, maka pengendalinya juga harus cukup kuat untuk menekan kemunculan dorongan tersebut. Tugas tersebut jatuh pada hukum, yang merupakan peraturan yang disertai sanksi yang nyata, yang berupa hukuman badan, sehingga diharap dapat membuat manusia menjadi takut atau jera untuk mengumbar dorongan mementingkan kepentingan pribadinya.
Dalam hubungan dengan sanksi, agama memang juga memberi sanksi kepada pelanggarnya, tetapi sanksi agama yang berupa hukuman neraka besok jika sang pelanggar telah meninggal dunia, bagi mereka yang tidak percaya atau yang kepercayaannya tidak sangat kuat, tidak mencukupi sebagai pengendali dorongan untuk mementingkan kepentingan pribadi. Berbeda dengan peraturan hokum. Sanksi peraturan hukum adalah nyata, dapat dilihat dan dirasakan sekarang juga dalam kehidupan saat ini. Karena sanksi yang berupa hukuman badan yang dikenakan langsung kepada pelaku pelanggaran, maka diharap hokum akan mampu mengendalikan dongan manusia untuk mementingkan kepentingan pribadinya secara agresif, tanpa memperhatikan kepentingan orang lain.
Sampai disini, yang menjadi masalah adalah, siapakah yang membuat hokum? Apakah pembuat hokum adalah Tuhan, atau dewa, atau manusia dari jenis yang tertentu yang tidak sama dengan manusia biasa yang lainnya? Jawabnya pasti tidak. Pembuat hokum adalah manusia biasa juga, manusia yang seperti halnya manusia yang dikenai peraturan hokum, juga mempunyai dorongan yang sama dengan manusia lain, yaitu dorongan sosial dan dorongan untuk memenuhi kepentingan pribadinya. Pembuat hokum juga manusia sebagaimana manusia lainnya, juga mempunyai kekuatiran akan kehidupannya dimasa depan sehingga harus mengamankan sumberdaya yang ada pada dirinya atau mengumpulkan sebanyak mungkin sumberdaya yang ada didalam tangannya. Srmrntara itu, pembuat hokum, sebagaimana manusia biasa yang lain, adalah juga manusia yang tahu dan sadar akan adanya keterbatasan sumberdaya untuk memenuhi keinginan, kebutuhan dan kepentingannya.
Yang menjadi permasalahan sekarang adalah, kalau manusia pembuat hokum adalah manusia biasa yang sebagaimana manusia lainnya mempunyai dorongan untuk mementingkan kepentingan pribadinya, bahkan yang juga dimungkinkan untuk memunculkan kepentingan pribadinya secara agresif, apakah hokum yang dibuat oleh manusia yang diberi atau mempunyai kekuasaan untuk membuat hokum tidak akan berupa hokum yang mengabdi sepenuhnya kepada kepentingan sang pembuat hokum itu sendiri? Apakah hokum yang dibuat oleh pembuat hokum yang adalah manusia biasa tersebut, yang bukan manusia setengah dewa, tidak akan menghasilkan hokum yang hanya akan menguntungkan si pembuat hokum semata? Apapun alasannya, jawabannya pasti: “YA.” Hukum yang dihasilkan oleh orang yang mempunyai dorongan untuk memenuhi kepentingan pribadinya dan yang kepentingan pribadinya cukup banyak, akan cenderung, bahkan mungkin selalu, merupakan hokum yang sepenuhnya mengabdi pada kepentingan pembuat hokum tersebut. Hukum yang muncul pastilah hokum yang hanya akan menguntungkan kepentingan si pembuatnya semata-mata. Sampai disini kita bisa memahami konsep selibat bagi pimpinan agama dalam agama Katholik Roma, dan konsep Plato mengenai raja filsof atau filsof raja, terlepas dari benar tidaknya, tepat tidaknya konsep-konsep tersebut. Kedua konsep tersebut merupakan upaya untuk mengatasi dorongan yang ada dalam diri para pembuat hokum (dan pemimpin agama) yang berupa dorongan untuk mementingkan kepentingan pribadinya, sehingga kepemimpinannya (baik dalam hal agama atau Negara pada konsep Plato) akan menjadi kepemimpinan yang adil, yang bijaksana, yang mementingkan kepentingan masyarakatnya.
Sebagaimana diketahui, dalam agama Katholik Roma, konsep selibat muncul ketika mulai disadari bahwa banyak terjadi berbagai kejahatan, khususnya korupsi dan keserakahan kekayaan yang dilakukan oleh pimpinan agama. Karena keserakahan muncul akibat seorang pimpinan agama yang membangun rumah tangga dan memiliki kekayaan pribadi, maka pimpinan agama yang tidak berkeluarga dan tidak mempunyai milik pribadi dipandang tidak akan terpengaruh oleh dorongan untuk mementingkan kepentingan pribadinya, khususnya atas harta kekayaan. Dari pemikiran tersebut,muncullah konsep selibat bagi pimpinan agama Katholik Roma.
Demikian juga halnya dengan Plato. Karena itu, Plato menyarankan seorang raja haruslah juga filsof atau filsof yang harus menjadi raja. Kalau seorang raja adalah filsof, atau filsof yang menjadi raja, maka dia akan mengatur masyarakat dengan kebijaksanaan sebagai seorang filsof. Namun demikian, karena seorang filsof juga manusia, yang manakala memiliki kekuasaan akan dapat dengan mudah untuk mengumbar kepentingan pribadinya, maka raja filsof dalam konsep Plato bersifat komunal. Artinya, raja filsof bukan terdiri dari satu orang, tetapi dari banyak filsof yang diberi kewenangan memimpin Negara. Agar mereka tidak terbebani dengan dorongan mementingkan kepentingan pribadinya, maka raja filsof tersebut juga tidak boleh terbebani dengan kekayaan dan keluarga. Dalam konsep Plato, raja filsof tidak boleh mempunyai kekayaan pribadi dan tidak boleh memiliki keluarga yang bersifat pribadi. Keluarga pada konsep raja filsof Plato bersifat komunal. Bagi raja filsof, disediakan perempuan-perempuan yang menjadi isteri bersama, sehingga mereka tidak akan mengetahui apakah mereka mempunyai anak atau tidak, apakah anak yang bernama si A adalah anaknya atau bukan. Dengan konsep ini, diharapkan dorongan untuk mementingkan kepentingan pribadi pada penguasa akan hilang, sehingga kekuasaan tidak akan digunakan untuk kepentingan pribadinya, tetapi di abdikan untuk kepentingan masyarakat.
Terlepas dari benar tidaknya, tepat tidaknya atau akan berhasil atau tidaknya konsep selibat dalam agama Katholik dan konsep filsof rajanya Plato, realitasnya pemimpin atau penguasa Negara dari dahulu sampai sekarang, bahkan dinegara-negara komunis sekalipun, selalu adalah orang-orang yang mempunyai harta pribadi dan keluarga pribadi. Bahkan, kalau kita akan mencoba menerapkan konsep Plato mengenai raja filsof, akan ditentang habis-habisan oleh orang yang beragama, yang akan dipandang sebagai konsep yang amoral. Karena itu, kita harus tunduk pada realitas, bahwa para penguasa Negara yang nota bene adalah pembuat hokum dinegaranya masing-masing adalah manusia-manusia yang mempunyai dorongan yang sama kuatnya dengan manusia lain untuk mementingkan kepentingan pribadi mereka. Akibatnya, hokum yang muncul dari orang-orang yang mempunyai kekuasaan untuk membuat hokum selalu hokum yang akan melindungi kepentingan penguasa. Tesisnya, semakin besar kekuasaan yang dimiliki oleh penguasa yang berwenang membuat hokum, maka hokum yang dibuat adalah hokum yang sepenuhnya diabdikan pada kepentingan penguasa. Sampai disini kita bisa memahami adagium yang dikemukakan oleh Lord Acton yang berbunyi: “Power tend to corrupt and absolute power corrupt absolutely”.
Sampai disini, yang menjadi masalah adalah, bagaimana mengendalikan kekuasaan, sehingga kekuasaan akan diabdikan untuk kepentingan masyarakat, bukan untuk kepentingan segelintir penguasa itu sendiri saja? Jawaban yang diberikan oleh Gaetano Mosca adalah “kekuasaan”. Artinya, kekuasaan hanya dapat dikendalikan oleh kekuasaan juga. Dengan demikian, jawaban Gaetano Mosca tersebut juga dapat diartikan bahwa  rakyat yang menjadi subyek hokum atau yang dikenai oleh peraturan hokum harus juga mempunyai kekuasaan (kekuatan) yang oleh elit penguasa cukup diperhitungkan, dalam arti kalau tidak diperhitungkan atau dipenuhi minimal sebagian,  akan membahayakan kekuasaan para elit penguasa tersebut.
Dalam hal ini perlu dicatat, bahwa sebetulnya Gaetano Mosca tidak pernah percaya pada adanya kekuatan atau kekuasaan rakyat banyak. Baginya, kekuasaan hanya akan ada pada kelas elit penguasa. Keberadaan para elit penguasa tersebut tidak terhindarkan dalam seluruh bentuk kehidupan bersama masyarakat, baik dalam organisasi, dalam komunitas, dalam masyarakat, dalam Negara, baik pada masyarakat yang autokratis maupun yang demokratis sekalipun. Karena keberadaan elit yang berkuasa atas sebagian besar masyarakat lainnya yang dikuasai tersebut selalu ada dan muncul dalam bentuk kehidupan bersama yang bagaimanapun juga, term,asuk dalam system yang formalnya demokratis sesungguhnya oligarkis, maka Robert Michel membuat adagium bahwa keberadaan elit penguasa yang berkuasa atas massa sebagaimana kekuasaan oligarkh tersebut sebagai “hokum besi oligarki” (the iron law of oligarchy). Artinya, keberadaan elit penguasa yang berjumlah sedikit yang menguasai, mengendalikan dan mengatur massa (masyarakat) yang berjumlah banyak tersebut merupakan keadaan yang sudah menjadi kepastian yang tak dapat dirubah. Karena adanya hokum besi oligarki, maka menurut Gaetano Mosca, hokum dan keadilan “relative” hanya akan ada dalam masyarakat dimana elitnya berjumlah banyak dan mereka saling bersaing.
Dari sini dapat di buat tesis hubungan antara hokum dan kekuasaan, yaitu dimana kekuasaan elit penguasa sangat besar, sementara kekuasaan rakyat lemah, atau tidak adanya elit kekuasaan pesaing yang kuat yang membutuhkan dukungan rakyat, maka hokum yang muncul adalah hokum yang sepenuhnya mengabdi pada kepentingan penguasa. Sementara itu, dimasyarakat dimana kekuasaan penguasa cukup kuat dan rakyat juga mempunyai kekuasaan, atau ada elit kekuasaan pesaing yang cukup kuat yang membutuhkan dukungan rakyat, namun yang oleh elit penguasa dipandang tidak cukup kuat untuk merobohkan kekuasaan mereka, maka hokum yang terbentuk akan bersifat manipulative. Sementara itu, didalam Negara dimana rakyat oleh elit penguasa dipandang mempunyai kekuasaan atau kekuatan yang dapat mengancam kekuasaan elit penguasa, maka hokum yang terbentuk akan mengabdi pada kepentingan bersama masyarakat, walaupun tetap ada manipulasi, tetapi dalam bentuknya yang paling halus.
Sebagai contoh tesis kedua, dimana hukum yang terbentuk bersifat manipulative adalah perundang-undangan Landreform Indonesia, yang sejak lahirnya telah memiliki cacat bawaan sehingga hampir-hampir tidak mungkin untuk dilaksanakan. Sebagaimana diketahui, pada saat itu (tahun 1960-an) Landreform di Indonesia hanya didukung oleh PKI; sementara elit partai-partai lain yang memenangkan Pemilu tahun 1955 mempunyai kepentingan yang bertentangan dengan Landreform (khususnya elit PNI dan NU sebagian besar adalah para tuan tanah pedesaan atau mereka yang mempunyai tanah luas secara guntai di pedesaan). Karena pendukung program landreform walaupun cukup kuat dan dengan mencanangkan program landreform akan mendapat dukungan masyarakat luas tetapi yang tidak memungkinkan untuk menggulingkan kekuasaan elit-elit penentangnya, maka yang muncul adalah perundang-undangan Landreform Indonesia yang merupakan perundang-undangan Landreform seolah-olah, dalam arti seolah-olah ada Landreform (tetapi yang sesungguhnya tidak dapat dilaksanakan). Secara formal, landreform Indonesia pada waktu itu didukung juga oleh PNI dan NU yang sesungguhnya mempunyai kepentingan yang berbeda. Karena itu, dukungan yang diberikan hanya merupakan dukungan yang seolah-olah, sekedar untuk menunjukkan kepada masyarakat miskin pedesaan akan keberpihakan mereka. Tetapi karena kepentingan yang sesungguhnya berbeda, maka keberpihakan kepada rakyat miskin pedesaan tersebut hanya bersifat seolah-olah juga (untuk masalah Landreform Indonesia, lihat beberapa postingan berkategori Agraria). Akibatnya segalanya hanya bersifat seolah-olah.

Sementara itu, sebagai bukti awal untuk tesis ketiga adalah keluarnya aturan hokum Solon mengenai masalah hutang dan perhambaan di Yunani kuno (untuk masalah ini, lihat postingan berjudul “Demokrasi dan Keadilan Sosial”). Akibat ketakutan para elit kekuasaan Negara Athena, mereka bersedia menyetujui program yang dikemukakan oleh Solon, yang sesungguhnya sangat merugikan kepentingan ekonomi para elit kekuasaan tersebut. Dari sini nampak, bahwa hanya dengan kekuatan yang mampu mengancam kekuasaan para elit penguasalah hokum yang “relative” adil dapat diwujudkan.

0 comments:

Posting Komentar