Hadi Wahono
Dalam
kehidupan keseharian kita, mulai sejak kita bangun tidur hingga kita tidur
lagi, hidup kita selalu berhubungan dengan hukum. Bahkan didalam keseluruhan
kehidupan kita, dari sejak kita lahir hingga kita meninggal dunia, hidup kita
tak pernah lepas dari jerat hukum. Dengan kata lain, hukum mengatur hidup kita
sejak dari buaian hingga liang lahat (from cradle till the grave). Dari sejak
kita dilahirkan, hukum sudah mengatur mengenai siapa yang berstatus sah sebagai
ibu kita dan siapa ayah kita, bahkan hukum juga tidak perduli kalau kita
mengatakan bahwa anak yang dilahirkan oleh ibu A sebetulnya adalah anak dari
hubungan dengan seorang laki-laki bernama B, sehingga anak yang dilahirkan oleh
ibu A sebetulnya ayahnya adalah B bukannya C sebagaimana yang ditentukan oleh
hukum. Hukum tidak perduli dengan realitas mengenai siapa yang membuahi indung
telur seorang wanita sehingga menghasilkan seorang anak. Hukum menentukan
sendiri siapa ayah sah tersebut berdasarkan jalan pikiran hukum sendiri, yang
dalam hal ini, siapa suami legal seorang ibu, dialah ayah sah dari anak yang
dilahirkan oleh ibu tersebut dalam masa perkawinan mereka. Yang menjadi masalah
adalah, apakah hukum itu, kok dia mengatur hidup kita, bahkan dalam banyak
kasus bertentangan dengan keinginan kita? Mengapa kita tidak dibiarkan untuk
mengatur hidup kita sendiri? Siapa sebenarnya yang membuat hukum sehingga kita
terpaksa mentaatinya, walaupun sering kali kita tidak menyukainya?
Secara
sederhana, hukum dapat diartikan sebagai seperangkat peraturan yang mengatur
kehidupan manusia dalam hubungan dengan manusia lain dalam suatu masyarakat. Dari
rumusan sederhana ini, dapat kita tengarai, adanya beberapa unsur yang
memungkinkan sesuatu bisa kita sebut sebagai hukum. Unsur yang pertama adalah
bahwa hukum adalah peraturan. Saya kira masalah ini tidak perlu lagi kita
persoalkan, karena saya yakin semua kita sepakat bahwa hukum adalah peraturan.
Unsur yang kedua, peraturan hukum adalah peraturan yang mengatur kehidupan
manusia. Hukum selalu mengatur menusia, atau dengan kata lain, subyek peraturan
hukum adalah manusia. Binatang dan benda tidak pernah bisa menjadi subyek hukum,
kecuali ada beberapa lembaga hukum yang oleh hukum dipandang sebagai subyek hukum,
seperti Perusahaan Terbatas (PT), Negara, Pemerintah, yang karena itu dapat
menuntut dan dituntut didepan pengadilan. Meskipun ada subyek hukum yang bukan
manusia, tetapi sesungguhnya pen-subyekan lembaga-lembaga hukum tersebut
bersifat derivative, bukan bawaan asli, tetapi hasil pemberian, hasil penentuan
oleh hukum. Disamping itu, pemberian status sebagai subyek hukum pada lembaga
non manusia hanya bersifat pengecualian, dan sesungguhnya pandangan tersebut
hanya bersifat pengandaian, karena pada akhirnya, dibelakang subyek hukum yang
bukan manusia tersebut adalah manusia juga. Pada akhirnya, tindakan, hak,
kewajiban, dan tanggung jawab yang dipikul oleh subyek hukum yang bukan manusia
tersebut adalah manusia juga, yang ada dibelakang subyek hukum yang bukan
manusia tersebut. Karena itu, menurut saya, pemberian status sebagai subyek
hukum kepada lembaga-lembaga hukum yang bukan manusia tersebut hanya merupakan
khayalan hukum semata, dengan maksud agar hukum dapat memberi sanksi kepada
subyek hukum non-manusia tersebut, misalnya sanksi denda (yang tinggi, yang
sulit untuk dikenakan kepada manusia pribadi), ganti rugi, dan pembubaran
lembaga yang bersangkutan.
Unsur
yang ketiga adalah, hubungan dengan orang lain didalam masyarakat. Manusia yang
hidup sendiri, yang tidak berhubungan dengan manusia lain, tidak memerlukan hukum.
Dia dapat melakukan apa saja sesuka hatinya tanpa ada yang akan dirugikan dan
tanpa ada orang yang akan merugikan kepentingannya. Karena itu, orang yang
hidup sendiri, yang tidak mempunyai keluarga, tidak mempunyai tetangga
(misalnya hidup disuatu pulau yang diluar dirinya tidak ada kehidupan lain),
orang tersebut tentunya sama sekali tidak memerlukan peraturan hokum yang
mengatur mengenai apa yang menjadi haknya, apa yang boleh dan/atau tidak boleh dilakukannya,
dan sebagainya. Hanya orang-orang yang hidup bersama orang lain, yang dalam
kehidupan kesehariannya berinteraksi dengan orang lainlah yang membutuhkan
peraturan hukum sehingga tindakannya tidak merugikan kepentingan orang lain dan
tindakan atau perbuatan orang lain tidak merugikan dirinya.
Yang
menjadi masalah dari rumusan kita tentang hukum tersebut adalah, mengapa
manusia yang hidup dengan manusia lain khususnya dalam kehidupan bermasyarakat
harus diatur dengan peraturan yang disebut hukum? Apakah orang yang hidup
dengan orang lain khususnya dalam suatu masyarakat dibiarkan bebas mengatur
diri mereka sendiri saja?
Roscue
Pound, seorang filsof hukum Amerika menganggap bahwa pada diri setiap orang ada
dua jenis dorongan, yaitu dorongan untuk mementingkan kepentingan pribadi dan
dorongan sosial. Kedua dorongan atau tendensi tersebut bersifat bawaan,
sehingga ada pada setiap manusia. Dorongan untuk mementingkan kepentingan
pribadi adalah dorongan yang muncul dalam bentuk tindakan-tindakan yang mencari
keuntungannya sendiri dengan tidak memperdulikan nasib orang lain. Bahkan dorongan
memenuhi kepentingan pribadi yang agresif dapat muncul dalam bentuk dimana untuk
mencapai kepentingan atau keinginannya, manusia tersebut mengupayakan dengan
cara mengorbankan orang lain, baik dalam hal kepentingan orang lain maupun
kehidupan orang lain (misalnya dengan melakukan pembunuhan). Perebutan warisan
yang mengakibatkan terjadinya pembunuhan merupakan wujud paling jelas dari
dorongan untuk mementingkan diri sendiri yang agresif.
Sementara
itu, dorongan sosial adalah dorongan untuk hidup bersama, untuk membangun
kelompok, untuk membangun perkawanan, untuk membangun keluarga. Dorongan sosial
ini menimbulkan adanya keluarga, rasa cinta kasih, dan menimbulkan kehidupan
bersama dalam suaru masyarakat. Tanpa dorongan sosial yang ada dalam diri
manusia, mustahil masyarakat dapat terbentuk. Walaupun ada dua dorongan atau tendensi
bawaan dalam kehidupan manusia yang nampaknya saling berlawanan tersebut,
tetapi sesungguhnya tidak pada setiap saat dan setiap waktu kedua dorongan atau
tendensi tersebut terus menerus bertentangan didalam diri manusia. Keberadaan
kedua dorongan tersebut sesungguhnya saling cakup mencakupi, saling mengatasi, dan
kenyataannya yang paling sering muncul adalah dorongan sosial, sehingga
dimungkinkan munculnya kehidupan bersama manusia. Karena itu, oleh Aristoteles
manusia di gambarkan sebagai mahluk sosial, atau mahluk politik (zoon
politikon). Namun demikian, walaupun manusia membutuhkan kehidupan bersama,
membutuhkan kehidupan sosial, membutuhkan teman, kelompok, dan sebagainya,
tetapi realitas kehidupan sosial manusia bukan kehidupan yang selalu diwarnai
dengan kehidupan yang damai, yang dihidupi oleh cinta kasih sesamanya. Ketika
segala kebutuhan manusia tersedia secara melimpah, dorongan untuk mementingkan
kepentingan pribadi besar kemungkinannya tidak muncul, karena tidak ada
relevansinya sama sekali. Ketika apa yang menjadi kepentingan seseorang, apa
yang menjadi kebutuhan seseorang dapat terpenuhi dengan cukup, maka manusia tak
perlu harus berebut dengan manusia lain yang mengakibatkan timbulnya
pertengkaran, perkelahian, bahkan peperangan. Tetapi ketika banyak kebutuhan
kehidupan manusia semakin terbatas untuk bisa dinikmati secara merata dan dapat
memuasi kebutuhannya, maka dorongan
untuk mementingkan kepentingan pribadi akan muncul dengan kuat, bahkan seringkali
dalam bentuknya yang paling agresif. Akibatnya, realitas kehidupan sosial
manusia, dipenuhi dengan pertengkaran, percekcokan, perebutan dan bahkan
pembunuhan atau peperangan. Pada banyak masyarakat, perang antar suku antar
daerah dan sebagainya sesungguhnya didorong oleh keinginan untuk mendapatkan
sumber kehidupan yang lebih baik, yang lebih banyak. Perebutan daerah adalah
dalam rangka memperoleh ruang hidup (liebensraum) yang lebih luas, yang lebih
memungkinkannya memperoleh sumber kehidupan yang lebih baik.
Adanya
pendidikan, termasuk agama, dimaksudkan untuk mengendalikan dorongan untuk
mementingkan kepentingan pribadi, sehingga tidak muncul dalam bentuknya yang
agresif. Karena itu, pendidikan (bukan pelajaran yang bersifat teknis dan
keilmuan) dan agama selalu mengajari kita tentang cinta kasih, saling hormat
menghormati antara sesame manusia, saling tolong menolong, dan sebagainya.
Ajaran pendidikan dan agama yang demikian jelas dimaksudkan untuk mencegah
munculnya dorongan-dorongan atau tendens-tendens manusia yang mementingkan
dirinya sendiri, paling tidak untuk mencegah kemunculan dorongan tersebut dalam
bentuknya yang agresif, sehingga kehidupan bersama manusia dapat dipertahankan
dan dikembangkan. Namun demikian, realitasnya baik dorongan sosial, pendidikan
dan agama tampaknya tidak cukup kuat untuk mengendalikan dorongan untuk
mementingkan kepentingan pribadi. Akibat terbatasnya barang barang kebutuhan
hidup menimbulkan ketakutan manusia akan kekurangan dan kesulitan hidup dimasa
depan, ketakutan akan tidak terpenuhinya dan terpuasinya
keinginan-keinginannya, mengakibatkan dorongan untuk mementingkan kepentingan
pribadi menjadi demikian kuat dan dan semakin sering muncul, bahkan dalam
bentuknya yang agresif dengan mengalahkan baik dorongan sosial, pendidikan dan
agama. Karena dorongan sosial yang melekat dalam kehidupan setiap manusia
maupun pendidikan dan agama yang ditanamkan dari luar diri manusia seringkali
tidak mampu menahan munculnya secara agresif dorongan untuk mementingkan
kepentingan pribadinya, maka dibutuhkan bentuk tekanan yang lain, yang dipandang
akan mampu untuk mengendalikan munculnya dorongan untuk mementingkan
kepentingan pribadi pada setiap manusia, paling tidak mengendalikan
kemunculannya yang bersifat agresif.
Karena
didalam masyarakat yang sumberdayanya semakin terbatas dorongan untuk
mementingkan kepentingan pribadi akan semakin mudah dan semakin sering muncul dengan
kuat dan agresif, maka pengendalinya juga harus cukup kuat untuk menekan
kemunculan dorongan tersebut. Tugas tersebut jatuh pada hukum, yang merupakan
peraturan yang disertai sanksi yang nyata, yang berupa hukuman badan, sehingga
diharap dapat membuat manusia menjadi takut atau jera untuk mengumbar dorongan
mementingkan kepentingan pribadinya.
Dalam
hubungan dengan sanksi, agama memang juga memberi sanksi kepada pelanggarnya,
tetapi sanksi agama yang berupa hukuman neraka besok jika sang pelanggar telah
meninggal dunia, bagi mereka yang tidak percaya atau yang kepercayaannya tidak
sangat kuat, tidak mencukupi sebagai pengendali dorongan untuk mementingkan
kepentingan pribadi. Berbeda dengan peraturan hokum. Sanksi peraturan hukum adalah
nyata, dapat dilihat dan dirasakan sekarang juga dalam kehidupan saat ini.
Karena sanksi yang berupa hukuman badan yang dikenakan langsung kepada pelaku pelanggaran,
maka diharap hokum akan mampu mengendalikan dongan manusia untuk mementingkan
kepentingan pribadinya secara agresif, tanpa memperhatikan kepentingan orang
lain.
Sampai
disini, yang menjadi masalah adalah, siapakah yang membuat hokum? Apakah pembuat
hokum adalah Tuhan, atau dewa, atau manusia dari jenis yang tertentu yang tidak
sama dengan manusia biasa yang lainnya? Jawabnya pasti tidak. Pembuat hokum adalah
manusia biasa juga, manusia yang seperti halnya manusia yang dikenai peraturan
hokum, juga mempunyai dorongan yang sama dengan manusia lain, yaitu dorongan
sosial dan dorongan untuk memenuhi kepentingan pribadinya. Pembuat hokum juga
manusia sebagaimana manusia lainnya, juga mempunyai kekuatiran akan
kehidupannya dimasa depan sehingga harus mengamankan sumberdaya yang ada pada
dirinya atau mengumpulkan sebanyak mungkin sumberdaya yang ada didalam
tangannya. Srmrntara itu, pembuat hokum, sebagaimana manusia biasa yang lain,
adalah juga manusia yang tahu dan sadar akan adanya keterbatasan sumberdaya
untuk memenuhi keinginan, kebutuhan dan kepentingannya.
Yang
menjadi permasalahan sekarang adalah, kalau manusia pembuat hokum adalah
manusia biasa yang sebagaimana manusia lainnya mempunyai dorongan untuk
mementingkan kepentingan pribadinya, bahkan yang juga dimungkinkan untuk
memunculkan kepentingan pribadinya secara agresif, apakah hokum yang dibuat oleh
manusia yang diberi atau mempunyai kekuasaan untuk membuat hokum tidak akan berupa
hokum yang mengabdi sepenuhnya kepada kepentingan sang pembuat hokum itu
sendiri? Apakah hokum yang dibuat oleh pembuat hokum yang adalah manusia biasa
tersebut, yang bukan manusia setengah dewa, tidak akan menghasilkan hokum yang
hanya akan menguntungkan si pembuat hokum semata? Apapun alasannya, jawabannya
pasti: “YA.” Hukum yang dihasilkan oleh orang yang mempunyai dorongan untuk
memenuhi kepentingan pribadinya dan yang kepentingan pribadinya cukup banyak,
akan cenderung, bahkan mungkin selalu, merupakan hokum yang sepenuhnya mengabdi
pada kepentingan pembuat hokum tersebut. Hukum yang muncul pastilah hokum yang
hanya akan menguntungkan kepentingan si pembuatnya semata-mata. Sampai disini kita
bisa memahami konsep selibat bagi pimpinan agama dalam agama Katholik Roma, dan
konsep Plato mengenai raja filsof atau filsof raja, terlepas dari benar
tidaknya, tepat tidaknya konsep-konsep tersebut. Kedua konsep tersebut
merupakan upaya untuk mengatasi dorongan yang ada dalam diri para pembuat hokum
(dan pemimpin agama) yang berupa dorongan untuk mementingkan kepentingan pribadinya,
sehingga kepemimpinannya (baik dalam hal agama atau Negara pada konsep Plato)
akan menjadi kepemimpinan yang adil, yang bijaksana, yang mementingkan
kepentingan masyarakatnya.
Sebagaimana
diketahui, dalam agama Katholik Roma, konsep selibat muncul ketika mulai
disadari bahwa banyak terjadi berbagai kejahatan, khususnya korupsi dan
keserakahan kekayaan yang dilakukan oleh pimpinan agama. Karena keserakahan
muncul akibat seorang pimpinan agama yang membangun rumah tangga dan memiliki
kekayaan pribadi, maka pimpinan agama yang tidak berkeluarga dan tidak
mempunyai milik pribadi dipandang tidak akan terpengaruh oleh dorongan untuk
mementingkan kepentingan pribadinya, khususnya atas harta kekayaan. Dari
pemikiran tersebut,muncullah konsep selibat bagi pimpinan agama Katholik Roma.
Demikian
juga halnya dengan Plato. Karena itu, Plato menyarankan seorang raja haruslah
juga filsof atau filsof yang harus menjadi raja. Kalau seorang raja adalah
filsof, atau filsof yang menjadi raja, maka dia akan mengatur masyarakat dengan
kebijaksanaan sebagai seorang filsof. Namun demikian, karena seorang filsof
juga manusia, yang manakala memiliki kekuasaan akan dapat dengan mudah untuk
mengumbar kepentingan pribadinya, maka raja filsof dalam konsep Plato bersifat
komunal. Artinya, raja filsof bukan terdiri dari satu orang, tetapi dari banyak
filsof yang diberi kewenangan memimpin Negara. Agar mereka tidak terbebani
dengan dorongan mementingkan kepentingan pribadinya, maka raja filsof tersebut
juga tidak boleh terbebani dengan kekayaan dan keluarga. Dalam konsep Plato,
raja filsof tidak boleh mempunyai kekayaan pribadi dan tidak boleh memiliki
keluarga yang bersifat pribadi. Keluarga pada konsep raja filsof Plato bersifat
komunal. Bagi raja filsof, disediakan perempuan-perempuan yang menjadi isteri
bersama, sehingga mereka tidak akan mengetahui apakah mereka mempunyai anak
atau tidak, apakah anak yang bernama si A adalah anaknya atau bukan. Dengan
konsep ini, diharapkan dorongan untuk mementingkan kepentingan pribadi pada
penguasa akan hilang, sehingga kekuasaan tidak akan digunakan untuk kepentingan
pribadinya, tetapi di abdikan untuk kepentingan masyarakat.
Terlepas
dari benar tidaknya, tepat tidaknya atau akan berhasil atau tidaknya konsep
selibat dalam agama Katholik dan konsep filsof rajanya Plato, realitasnya
pemimpin atau penguasa Negara dari dahulu sampai sekarang, bahkan
dinegara-negara komunis sekalipun, selalu adalah orang-orang yang mempunyai
harta pribadi dan keluarga pribadi. Bahkan, kalau kita akan mencoba menerapkan
konsep Plato mengenai raja filsof, akan ditentang habis-habisan oleh orang yang
beragama, yang akan dipandang sebagai konsep yang amoral. Karena itu, kita
harus tunduk pada realitas, bahwa para penguasa Negara yang nota bene adalah
pembuat hokum dinegaranya masing-masing adalah manusia-manusia yang mempunyai
dorongan yang sama kuatnya dengan manusia lain untuk mementingkan kepentingan
pribadi mereka. Akibatnya, hokum yang muncul dari orang-orang yang mempunyai
kekuasaan untuk membuat hokum selalu hokum yang akan melindungi kepentingan
penguasa. Tesisnya, semakin besar kekuasaan yang dimiliki oleh penguasa yang
berwenang membuat hokum, maka hokum yang dibuat adalah hokum yang sepenuhnya
diabdikan pada kepentingan penguasa. Sampai disini kita bisa memahami adagium
yang dikemukakan oleh Lord Acton yang berbunyi: “Power tend to corrupt and
absolute power corrupt absolutely”.
Sampai
disini, yang menjadi masalah adalah, bagaimana mengendalikan kekuasaan,
sehingga kekuasaan akan diabdikan untuk kepentingan masyarakat, bukan untuk
kepentingan segelintir penguasa itu sendiri saja? Jawaban yang diberikan oleh
Gaetano Mosca adalah “kekuasaan”. Artinya, kekuasaan hanya dapat dikendalikan
oleh kekuasaan juga. Dengan demikian, jawaban Gaetano Mosca tersebut juga dapat
diartikan bahwa rakyat yang menjadi
subyek hokum atau yang dikenai oleh peraturan hokum harus juga mempunyai
kekuasaan (kekuatan) yang oleh elit penguasa cukup diperhitungkan, dalam arti
kalau tidak diperhitungkan atau dipenuhi minimal sebagian, akan membahayakan kekuasaan para elit penguasa
tersebut.
Dalam
hal ini perlu dicatat, bahwa sebetulnya Gaetano Mosca tidak pernah percaya pada
adanya kekuatan atau kekuasaan rakyat banyak. Baginya, kekuasaan hanya akan ada
pada kelas elit penguasa. Keberadaan para elit penguasa tersebut tidak
terhindarkan dalam seluruh bentuk kehidupan bersama masyarakat, baik dalam
organisasi, dalam komunitas, dalam masyarakat, dalam Negara, baik pada
masyarakat yang autokratis maupun yang demokratis sekalipun. Karena keberadaan
elit yang berkuasa atas sebagian besar masyarakat lainnya yang dikuasai
tersebut selalu ada dan muncul dalam bentuk kehidupan bersama yang bagaimanapun
juga, term,asuk dalam system yang formalnya demokratis sesungguhnya oligarkis, maka
Robert Michel membuat adagium bahwa keberadaan elit penguasa yang berkuasa atas
massa sebagaimana kekuasaan oligarkh tersebut sebagai “hokum besi oligarki”
(the iron law of oligarchy). Artinya, keberadaan elit penguasa yang berjumlah
sedikit yang menguasai, mengendalikan dan mengatur massa (masyarakat) yang
berjumlah banyak tersebut merupakan keadaan yang sudah menjadi kepastian yang
tak dapat dirubah. Karena adanya hokum besi oligarki, maka menurut Gaetano
Mosca, hokum dan keadilan “relative” hanya akan ada dalam masyarakat dimana
elitnya berjumlah banyak dan mereka saling bersaing.
Dari
sini dapat di buat tesis hubungan antara hokum dan kekuasaan, yaitu dimana
kekuasaan elit penguasa sangat besar, sementara kekuasaan rakyat lemah, atau
tidak adanya elit kekuasaan pesaing yang kuat yang membutuhkan dukungan rakyat,
maka hokum yang muncul adalah hokum yang sepenuhnya mengabdi pada kepentingan
penguasa. Sementara itu, dimasyarakat dimana kekuasaan penguasa cukup kuat dan
rakyat juga mempunyai kekuasaan, atau ada elit kekuasaan pesaing yang cukup
kuat yang membutuhkan dukungan rakyat, namun yang oleh elit penguasa dipandang
tidak cukup kuat untuk merobohkan kekuasaan mereka, maka hokum yang terbentuk
akan bersifat manipulative. Sementara itu, didalam Negara dimana rakyat oleh
elit penguasa dipandang mempunyai kekuasaan atau kekuatan yang dapat mengancam
kekuasaan elit penguasa, maka hokum yang terbentuk akan mengabdi pada
kepentingan bersama masyarakat, walaupun tetap ada manipulasi, tetapi dalam
bentuknya yang paling halus.
Sebagai
contoh tesis kedua, dimana hukum yang terbentuk bersifat manipulative adalah
perundang-undangan Landreform Indonesia, yang sejak lahirnya telah memiliki
cacat bawaan sehingga hampir-hampir tidak mungkin untuk dilaksanakan. Sebagaimana
diketahui, pada saat itu (tahun 1960-an) Landreform di Indonesia hanya didukung
oleh PKI; sementara elit partai-partai lain yang memenangkan Pemilu tahun 1955
mempunyai kepentingan yang bertentangan dengan Landreform (khususnya elit PNI
dan NU sebagian besar adalah para tuan tanah pedesaan atau mereka yang
mempunyai tanah luas secara guntai di pedesaan). Karena pendukung program
landreform walaupun cukup kuat dan dengan mencanangkan program landreform akan
mendapat dukungan masyarakat luas tetapi yang tidak memungkinkan untuk
menggulingkan kekuasaan elit-elit penentangnya, maka yang muncul adalah perundang-undangan
Landreform Indonesia yang merupakan perundang-undangan Landreform seolah-olah,
dalam arti seolah-olah ada Landreform (tetapi yang sesungguhnya tidak dapat
dilaksanakan). Secara formal, landreform Indonesia pada waktu itu didukung juga
oleh PNI dan NU yang sesungguhnya mempunyai kepentingan yang berbeda. Karena
itu, dukungan yang diberikan hanya merupakan dukungan yang seolah-olah, sekedar
untuk menunjukkan kepada masyarakat miskin pedesaan akan keberpihakan mereka.
Tetapi karena kepentingan yang sesungguhnya berbeda, maka keberpihakan kepada
rakyat miskin pedesaan tersebut hanya bersifat seolah-olah juga (untuk masalah
Landreform Indonesia, lihat beberapa postingan berkategori Agraria). Akibatnya
segalanya hanya bersifat seolah-olah.
Sementara
itu, sebagai bukti awal untuk tesis ketiga adalah keluarnya aturan hokum Solon
mengenai masalah hutang dan perhambaan di Yunani kuno (untuk masalah ini, lihat
postingan berjudul “Demokrasi dan Keadilan Sosial”). Akibat ketakutan para elit
kekuasaan Negara Athena, mereka bersedia menyetujui program yang dikemukakan
oleh Solon, yang sesungguhnya sangat merugikan kepentingan ekonomi para elit
kekuasaan tersebut. Dari sini nampak, bahwa hanya dengan kekuatan yang mampu
mengancam kekuasaan para elit penguasalah hokum yang “relative” adil dapat
diwujudkan.
0 comments:
Posting Komentar