VILFREDO PARETO


Hadi Wahono


Sebagaimana telah pernah diungkapkan dalam beberapa postingan yang lalu, banyak ahli ilmu politik yang tidak percaya akan feasibilitas system yang namanya demokrasi yang diartikan sebagai pemerintahan (seluruh atau sebagian besar) rakyat. Bagi mereka, demokrasi  yang asal katanya berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata demos, yang berarti rakyat, dan kratein yang berarti pemerintahan, yang awalnya selalu diartikan sebagai pemerintahan rakyat, yang oleh Abraham Lincoln dirumuskan sebagai pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat, adalah suatu sistem yang tidak realistis. Mereka menolak kemungkinan rakyat untuk sungguh-sungguh memerintah, baik dalam sistem pemerintahan demokrasi langsung sebagaimana yang pernah dipraktekkan dinegara kota Athena maupun demokrasi perwakilan sebagaimana yang banyak diterapkan dinegara-negara demokrasi modern. Menurut mereka yang menentang konsep demokrasi yang diartikan sebagai pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat, ide tentang sistem tersebut dipandang sebagai ide yang sama sekali tidak sesuai dengan realitas kehidupan politik masyarakat. Salah satu kelompok ahli yang berpandangan demikian adalah kelompok yang biasanya dikategorikan kedalam teoritisi elit kekuasaan. 
Teori ini awalnya dikembangkan oleh ahli-ahli teori politik Eropa pada akhir abad ke sembilan belas dan awal abad keduapuluh. Tokoh-tokoh pencetus teori ini adalah Vilfredo Pareto (1848 - 1923), Gaetano Mosca (1858 - 1941), Roberto Michels (1876 - 1936), dan Ortega Y. Gasset (1833 - 1955). Pada masa modern, teori ini dianut antara lain oleh James Burnham, Joseph Scumpeter, C. Wright Mills, dan Anthony Downs. Teori ini pada prinsipnya memandang bahwa setiap masyarakat dari masa kapanpun dan dimanapun, selalu terbagi kedalam dua kelas, yaitu kelas elit, yaitu kelas yang jumlahnya sedikit tetapi memimpin kelas massa yang jumlahnya banyak.
Mulai sejak postingan ini saya akan berusaha mempostingkan catatan saya atas tokoh teori elit, yang walaupun dalam ilmu politik tidak pernah mendapat tempat yang tinggi, tetapi buat saya teori ini bersama dengan teori kelompok (yang juga tidak pernah mendapat tempat yang memadai dalam ilmu politik) merupakan teori yang paling mendekati realitas kehidupan politik.Untuk yang pertama ini, saya akan mengungkapkan catatan saya mengenai Pareto.
Vilfredo Feredrigo Marchese Pareto (15 July 1848 – 19 August 1923) lahir denga nama Wilfried Fritz Pareto; seorang Itali, menempuh pendidikan sebagai ahli tehnik, kemudian menjadi ahli ekonomi, sosiologi, ilmu politik dan filsafat. Dia mencoba menerapkan methode matematika dan fisika pada ilmu sosial. Dia adalah anggota dari aliran  matematik dalam ekonomi dan menguraikan fungsi ekonomi tidak hanya untuk sistem kapitalis liberal, tetapi juga untuk sistem monopolistis dan kolektifis.
Pareto lahir pada tahun 1848 sebagai anggota keluarga bangsawan Genoa yang mengasingkan diri ke Paris, yang saat itu merupakan pusat revolusi rakyat. Ayahnya, Raffaele Pareto (1812 – 1882) adalah seorang bangsawan dan ahli tehnik sipil Itali yang meninggalkan Itali bersama-sama para nasionalis Itali pada masa itu. Ibunya, Marie Metenier, adalah seorang wanita Perancis yang sangat terpengaruh dengan revolusi Jerman tahun 1848.
Masa kecil Pareto dihabiskan dilingkungan kelas menengah dan menerima pendidikan dengan standard yang tinggi. Pada tahun 1870 dia lulus sebagai ahli tehnik dari Universitas di Turin,  yang sekarang dikenal sebagai Universitas Politekhnik Turin. Dalam beberapa tahun setelah lulus, Pareto bekerja sebagai ahli tehnik sipil, yang pertama pada perusahaan kereta api milik Negara dan kemudian pada perusahaan swasta. Pareto baru mulai menggeluti masalah ekonomi secara serius pada usia pertengahan empat puluhan.
Pada tahun 1885 Pareto diangkat sebagai pengajar bidang ekonomi dan menejemen pada Universitas Florence. Selama tinggal di Florence dia banyak terlibat dalam kegiatan politik, yang sesungguhnya lebih didorong oleh kekecewaan pribadinyanya pada para pembuat kebijakan pemerintah. Pada tahun 1889 setelah kematian orang tuanya, Pareto merubah gaya hidupnya, keluar dari pekerjaannya dan menikahi seorang gadis Rusia yang bernama Alessandrina Bakunin, yang kemudian meninggalkan Pareto bersama seorang pelayan muda.
Pada tahun 1893 Pareto diangkat sebagai pengajar ekonomi pada sebuah Universitas di Lausanne, Swis, dimana dia tinggal disana selama sisa hidupnya. Pada tahun 1906 dia mempublikasikan hasil penelitiannya yang menyatakan bahwa dua puluh persen penduduk memiliki 80 persen kekayaan di Itali, yang kemudian digeneralisasi oleh Joseph M. Juran menjadi prinsip Pareto (juga sering diistilahkan sebagai hukum 80 – 20 atau prinsip 80 - 20). Pada tahun 1909 dia mempublikasikan karyanya yang menunjukkan bahwa prinsip Pareto mengenai bagaimana kekayaan didistribusikan berlaku didalam seluruh kehidupan masyarakat manusia dari dahulu hingga sekarang dan berlaku didalam masyarakat manapun, Negara manapun.
Dibidang ilmu ekonomi Pareto memberikan beberapa kontribusi penting, terutama dalam studi mengenai distribusi pendapatan dan dalam analisis mengenai pilihan individu. Pareto juga dipandang sebagai orang pertama dan yang mempopulerkan penggunaan istilah elit didalam analisis sosial. Banyak ahli ekonomi sangat memuji Pareto, karena warisannya dalam bidang ekonomi sangat mendalam, dimana dia dipandang sebagai salah satu ahli yang membawa lapangan ilmu ekonomi keluar dari cabang filsafat moral dengan memasukkan data lapangan yang intensif dan persamaan matematis kedalam penelitian ekonomi secara ilmiah. Bukunya tampak jauh lebih modern, mirip dengan buku-buku ekonomi modern dibandingkan dengan kebanyakan buku-buku ekonomi pada masanya. Buku ekonominya dipenuhi dengan table statistic dari seluruh dunia dan masa, barisan tanda-tanda integral dan persamaan, chart dan grafik yang rumit.
Secara pribadi Pareto berhubungan baik dengan kaum sosialis, tetapi secara teoritis, dia menganggap bahwa ide-ide ekonomi kaum sosialis sama sekali cacat. Namun kemudian dia menjadi curiga dengan motif kemanusiaan mereka dan mencela para pemimpin sosialis sebagai “perampok aristocrat” yang mengancam akan merampas negeri. Pareto juga mengkritik pemerintahan Giovani Giolitti yang tidak mengambil sikap dan tindakan yang keras terhadap pemogokan buruh. Pergolakan buruh di Itali yang semakin meningkat membuat Pareto menjadi seorang anti sosialis dan anti demokrasi.
Penolakannya pada sosialisme dia tulis dalam sebuah buku kritis yang berjudul Les systemes socialistes (1902). Kajian ini membawa Pareto pada sosiologi dan teori politik umum dimana dia juga mengusahakan untuk menerapkan metode empiris dan posivistis, yang untuk beberapa tingkatan mengikuti comte dan Spencer, tetapi dia mencapai kesimpulan yang sangat berbeda. Teorinya diterangkan didalam karya besarnya, Trattato di sociologia generale (1916), yang dalam judul bahasa Inggris dikenal sebagai The Mind and Society. Walaupun Pareto menolak sosialisme dan demokrasi, tetapi sikapnya terhadap fasisme pada masa akhir hayatnya masih merupakan masalah yang controversial. Pada tanggal 19 Agustus tahun 1923 Pareto meninggal dunia di Jenewa, Swis. 
Teori Politik Pareto
Menurut Pareto, setiap masyarakat selalu terbagi kedalam dua golongan atau kelas, yaitu elite, atau kelas penguasa, yang jumlahnya sangat sedikit, dan massa, yaitu orang banyak yang dikuasai. Didalam suatu masyarakat hanya elite, kelompok pemimpin, yang nyata-nyata penting; massa hanya mengikuti. Para elit adalah orang yang mempunyai kualitas-kualitas yang diperlukan yang mendukung kehadiran mereka pada kekuasaan sosial dan politik yang penuh. Mereka yang bisa menjangkau pusat kekuasaan adalah selalu merupakan yang terbaik. Merekalah yang dikenal sebagai elit. Elit merupakan orang-orang yang berhasil, yang mampu menduduki jabatan tinggi dalam lapisan masyarakat. Mereka terdiri dari para pengacara, mekanik, bajingan atau para gundik. Pareto juga percaya bahwa elit yang ada pada pekerjaan dan lapisan masyarakat yang berbeda itu umumnya datang dari kelas yang sama, yaitu orang-orang yang kaya dan juga pandai yang mempunyai kelebihan dalam matematika, bidang musik, karakter moral dan sebagainya. Selanjutnya, oleh Pareto, elite dibedakan kedalam elite yang memerintah (governing elite) dan elite yang tidak memerintah (non-governing elite). 
Untuk memahami pandangan Pareto didalam menjawab pertanyaan, mengapa elite yang jumlahnya sedikit bisa berkuasa atas massa yang jumlahnya banyak, ada baiknya kita memahami dahulu konsep Pareto mengenai kualitas yang dipunyai oleh orang-orang yang bisa menduduki posisi elit. Pareto mengembangkan konsep yang membedakan “tingkah laku logis” dari “tingkah laku non-logis” dari individu-individu dalam kehidupan sosialnya. Bagian terbesar dari tingkah laku manusia adalah non-logis; ini adalah kenyataan mendasar pertama dari politik. Menurut Pareto, yang terjadi dalam kehidupan manusia bukanlah orang bertindak karena mereka berfikir; tetapi mereka berfikir karena mereka bertindak.
Tingkah laku non-logis diatur  oleh dua faktor, yaitu yang satu konstan, yang disebut “residu”, dan yang satu variable, yang disebut “derivasi”. Residu adalah instink dan sikap fundamental tertentu yang nampak didalam berbagai-bagai selubung pada seluruh waktu, didalam semua masyarakat, dan didalam semua sistem politik. Derivasi adalah selubung, kerang teori dan prinsip-prinsip sekitar inti residu-residu. Derivasi ini berbeda dari waktu ke waktu, dari masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain, tetapi maksudnya atau maknanya tetap sama, yaitu untuk memberi pembenaran yang bersifat pseudo-logis pada residu yang didalam dirinya sendiri non-logis. Yang termasuk derivasi antara lain adalah agama, filsafat, tahyul, konvensi, taboo, teori-teori dan prinsip-prinsip politik, program-program, isme-isme, dan sebagainya. Dalam istilah modern kita mungkin menyebutnya sebagai “rasionalisasi”, yaitu rasionalisasi atas tindakan yang didasarkan pada residu yang sesungguhnya non-logis. Untuk mendukung teorinya,  Pareto mendaftar beribu-ribu contoh sejarah dari berbagai-bagai masyarakat mengenai tindakan manusia yang merupakan manifestasi luar dari sentiment manusia, dan mengklasifikasinya dalam enam kelompok, yang disebutnya sebagai “residu”. Menurut Pareto, keenam residu tersebut terdapat dalam keseluruhan kehidupan kemanusiaan, tetapi residu-residu tertentu bercokol secara lebih menonjol pada individu-individu tertentu. Dengan kata lain, walaupun keenam residu tersebut selalu ada dalam sejarah kehidupan manusia, tetapi secara individual, manusia digerakkan oleh residu-residu yang berbeda dari individu lainnya. Keenam residu tersebut adalah, yang pertama, yang oleh Pareto juga disebut sebagai residu kelas I adalah residu kombinasi, yang mengandalkan pada kapasitas untuk berfikir dan mengorganisir. Residu ini merupakan manifestasi sentiment dalam individu dan dalam masyarakat yang cenderung mengarah pada kemajuan, penemuan, dan keinginan untuk bertualang. Residu kelas II adalah residu yang oleh Pareto disebut sebagai residu “pemeliharaan agregasi atau bisa juga disebut sebagai residu keuletan kelompok (group persistence), atau instink kohesi, yang meliputi sisi alamiah manusia yang lebih conservative, termasuk kesetiaan pada lembaga masyarakat yang berlangsung lama, seperti keluarga, gereja, komunitas, bangsa, dan keinginan untuk keabadian dan keamanan. Residu kelas III adalah residu abstraksi permanen yaitu kebutuhan abadi seseorang untuk memiliki pemahaman dan simbol-simbol abstrak. Dengan kata lain, residu ini tumbuh dari perasaan adanya kebutuhan untuk mengekspresikan perasaan melalui tindakan-tindakan yang nampak keluar dalam bentuk-bentuk simbolik, seperti upacara keagamaan, upacara patriotic dan berbagai upacara yang dilaksanakan oleh kaum pagan, yang muncul dalam bentuk penghormatan bendera, berpartisipasi dalam pelayanan komini gereja, ikut berbaris dalam parade militer, dan sebagainya. Residu kelas IV adalah residu instink sosial, yang meliputi manifestasi perasaan yang mendukung disiplin individual dan sosial yang tak terhindarkan (sangat diperlukan) dalam memelihara struktur sosial. Dalam residu ini termasuk gejala seperti pengorbanan diri demi kepentingan keluarga dan komunitas, dan konsep seperti susunan hirarkis masyarakat. Residu kelas V adalah kualitas dalam masyarakat yang menekankan integritas individual dan integritas atas kepemilikan dan alat perlengkapan kehidupan. Residu ini berkontribusi pada stabilitas sosial. Contoh yang paling jelas adalah system hukum pidana dan sistem hukum perdata. Yang terakhir, residu kelas VI adalah instink seksual, atau kecenderungan untuk melihat kejadian-kejadian sosial dalam terminology seksual. 
Untuk merasionalisasi penggerak tindakan yang didasarkan pada sentiment yang sesungguhnya non-logis tersebut (residu), orang sering menggunakan pembenar dalam bentuk pernyataan-pernyataan atau ajaran yang seolah-olah logis, yang disebutnya sebagai “derivasi” (yang dapat di Indonesiakan sebagai “penyerapan”). Termasuk kedalam derivasi antara lain adalah agama (semua agama), filsafat, tahyul, konvensi, taboo, teori-teori dan prinsip-prinsip politik, program-program, isme-isme, dan sebagainya, yang sesungguhnya bukan apa-apa atau tak berarti apa-apa, tetapi dianggap sebagai superstruktur logis dari residu yang ada didalam sentiment individu. 
Menurut Pareto ada empat kelas utama dari derivasi, yaitu yang pertama, derivasi pernyataan. Kedalam derivasi ini termasuk pernyataan-pernyataan yang bersifat dogmatis atau ajaran-ajaran, seperti “raja adalah wakil Tuhan di dunia”, atau pernyataan Louis XIV yang menyatakan “l’tat ses moi” atau “Negara adalah saya”, dan sebagainya. Derivasi kedua oleh Pareto disebut sebagai derivasi Otoritas, atau merupakan referensi untuk kewenangan, yang merupakan pikatan dalam bentuk seruan pada rakyat yang berupa konsep-konsep yang dijunjung tinggi oleh tradisi, seperti “mengabdi pada bangsa dan negara tanpa pamrih”, “penguasa adalah orang-orang yang mendapat wahu” (dalam tradisi Jawa), dan sebagainya. Derivasi yang ketiga adalah pernyataan yang sesuai dengan perasaan dan prinsip-prinsip umum. Derivasi yang ketiga ini berhubungan dengan seruan seperti “menjunjung tinggi kehendak rakyat’, “demi kepentingan umum”,  “demi kepentingan bangsa dan negara”, dan sebagainya. Derivasi yang keempat merupakan pernyataan sebagai bukti ferbal, biasanya dalam bentuk metafora, alegori, dan sebagainya, yang seolah-olah merupakan bukti dengan cara menggunakan istilah yang membingungkan maupun logika salah yang lain, seperti “hubungan pemimpin dengan rakyat seperti hubungan bapak dan anak”, dan sebagainya. Kemampuan dari derivasi-derivasi tersebut tidak tergantung pada nilai logis mereka, karena derivasi-derivasi tersebut sesungguhnya juga tidak logis, tetapi pada kemampuan derivasi tersebut untuk memikat insting dan sentimen pengikut (massa).
Dalam hubungan dengan perebutan kekuasaan, yang paling penting adalah residu kombinasi dan residu keuletan kelompok (group persistence). Penanggung residu kombinasi dapat digambarkan sebagai “rubah”, yang berkuasa melalui kecerdikan, sementara penanggung residu keuletan kelompok dapat digambarkan sebagai “singa,” yang berkuasa melalui kekuatan. Mereka yang memiliki salah satu atau kedua residu inilah yang akan menjadi penguasa, menjadi elit. Disamping itu, kekuasaan mereka diperkuat dengan derivasi, yang berupa agama, filsafat, tahyul, konvensi, taboo, teori-teori dan prinsip-prinsip politik, program-program, isme-isme, dan sebagainya, yang mereka ciptakan untuk mengelabuhi massa guna membenarkan dan mendukung kekuasaan, serta memperalat mereka.
Dalam kehidupan sosial tidak ada kemajuan, tetapi yang terjadi sesungguhnya hanya merupakan siklus abadi. Berawal dari dugaan-dugaan ini, Pareto mengembangkan teori siklus perubahan sosial (siklus pergantian elit). Karena terjadinya pergantian elite dalam menduduki posisi memerintah yang terus menerus tersebut, maka Pareto mengemukakan suatu ungkapan, bahwa sejarah merupakan pekuburan aristokrasi. Didalam menjelaskan proses pergantian elite ini, menurut Pareto, ada dua residu yang saling bergantian secara ritmis didalam elite: “residu kelas I”, insting kombinasi, dan “residu kelas II”, kegigihan kelompok (group persistence). Nasib masyarakat tergantung pada distribusi residu ini didalam elite.
Distribusi berbeda-beda dengan “sirkulasi elite” yang abadi yang merupakan proses sosial yang paling penting. Ketika komunitas dibentuk, hal ini awalnya diperintah oleh pendukung dari residu Kelas II, orang-orang dengan insting pejuang, orang-orang yang setia, mereka yang tidak pernah bertanya, hanya bertindak. Ini mewakili kualitas yang perlu untuk mendasari negara atau tatanan sosial baru. Namun demikian, keperluan pemerintah didalam waktu normal, memerlukan pekerjaan dari penanggung residu Kelas I, “rubah” yang berbeda dengan “singa” dari Kelas II. Mereka adalah orang-orang yang pandai, orang-orang praktis, orang-orang kombinasi. Tetapi residu ini tidak mencukupi sebagai daya hidup yang memerlukan kekuatan yang instingtif. Secara berangsur-angsur Kelas I meningkat didalam elite, sementara Kelas II menurun. Secara bersamaan Kelas II bertimbun didalam massa yang sikapnya bagaimanapun diperintah atau dipengaruhi oleh residu group persistence (keuletan kelompok) atau residu kelas II. Elite yang mengandalkan pada residu kelas I (residu kombinasi) kemampuannya menjadi menurun, menjadi lemah dan korup, terus menerus semakin mengandalkan diri pada kombinasi, yang berupa tipu daya, dan tawar-menawar, kehilangan kehendak dan kemampuan untuk menggunakan kekuatan. Mereka diserang dan digulingkan oleh elite baru, yang sementara itu telah terbentuk diatas dasar residu Kelas II didalam rakyat dan menjelmakan kembali sifat aslinya. Kemudian, siklus kembali baru.
Menurut Pareto, pergantian elite itu dapat terjadi dalam bentuk: (1) diantara kelompok-kelompok elite yang memerintah itu sendiri, dan (2) diantara elite dengan penduduk lainnya. Pergantian yang terakhir itu bisa berupa pemasukan: (a) individu-individu dari lapisan yang berbeda kedalam kelompok elite yang sudah ada, dan/atau (b) individu-individu dari lapisan bawah yang membentuk kelompok elite baru dan masuk kedalam suatu kancah perebutan kekuasaan dengan elite yang sudah ada.
Pareto mengajukan pertanyaan, apakah sirkulasi elite ini tak dapat secara sadar dikendalikan sehingga berlangsung tanpa bencana periodik. Menurut Pareto, “revolusi” merupakan akibat adanya akumulasi dalam masyarakat kelas atas – baik karena seretnya sirkulasi dalam kelas maupun sebab lain yang menyangkut unsur-unsur yang merosot dan tidak lagi memiliki residu yang memadai guna menjag kekuasaan mereka, atau berkurangnya penggunaan kekerasan; smentara pada waktu yang bersamaan dalam elemen-elemen masyarakat strata bawah yang menyangkut kualitas superior mulai maju dan berkemauan untuk menggunakan kekerasan. Karena itu, menurut Pareto, rancang bangun sistem kenegaraan yang paling baik adalah untuk mengamankan sepenuhnya sirkulasi elit secara bebas, mengijinkan individu yang paling sesuai untuk muncul kedalam elite pada suatu waktu, sementara jenis-jenis yang kurang sesuai akan tenggelam kembali kedalam massa. Namun demikian, model ini seringkali dicegah oleh kecenderungan yang ada pada elite yang ‘tertutup”, yang menganut prinsip-prinsip aristokratis yang eksklusif dan bersifat pewarisan, yang menghasilkan keuntungan bagi  mereka, tetapi yang pada akhirnya juga mengalami kemerosotan. Model yang paling diharapkan untuk terjadinya sirkulasi elit yang relatif damai adalah sebagai berikut: (1) residu dari Kelas II tersebar luas didalam rakyat (percaya pada ideologi integrasi, solidaritas kelompok, kesiapan untuk pengorbanan fisik), (2) residu Kelas I (kecerdasan, kecakapan kombinasi) terkonsentrasi pada elite, (3) Kelas II juga terwakili dengan kuat didalam elite, dan (4) elite adalah “terbuka” sejauh hal itu mungkin sehingga sejumlah besar dari sirkulasi dapat secara konstan berlangsung. Masyarakjat demikian terbukti telah paling lama bertahan didalam sejarah, kata Pareto, dan lembaga politik yang memajukan keadaan semacam ini adalah yang paling ideal.
Pareto tetap seorang liberal ekstrim didalam ekonomi diseluruh hidupnya, tetapi secara politis cenderung kearah konservatisme. Dia dipandang sebagai teoritisi fascisme dan sistem-sistem politik yang sejenis. Mussolini memujanya dan menganugerahinya kehormatan negara fasis padanya selama satu tahun dimana Pareto masih hidup setelah naiknya fasisme pada tampuk kekuasaan di Itali. Pareto menerima kehormatan tersebut, tetapi sesungguhnya tak ada yang dapat diketahui mengenai adanya hubungan antara pemikirannya dan fasisme. 
Bahwa Pareto bukan seorang fasis dapat terlihat dari ketegasannya untuk mempertahankan hak mogok dan konsistensinya pada kebebasan mengemukakan pendapat sebagai hal yang esensial bagi pencarian kebenaran. Dia juga pengritik imperialisme, dan mempersalahkan bangsa-bangsa Eropa atas kepalsuan mereka ketika mereka mengklaim diri untuk berindak demi kebaikan negara jajahannya dengan cara menindas ataupun menghancurkannya. Sang kucing menangkap tikus lalu memakannya, tulis Pareto, tetapi tidak menunjukkan suatu kebaikan juga bagi si tikus.

0 comments:

Posting Komentar