FUNGSI PARTAI POLITIK

Hadi Wahono

Sebelum pembahasan inti masalah kita, yaitu “Fungsi Partai Politik”, untuk menghindari kesalahfahaman dan perdebatan yang tidak perlu, ada baiknya disini kami jelaskan terlebih dahulu apa yang kami maksudkan dengan istilah fungsi dalam judul “Fungsi Partai Politik” yang merupakan judul postingan ini.
Dalam pembahasan ini, apa yang kami maksudkan dengan fungsi partai bukanlah fungsi yang selalu disadari atau memang dikehendaki oleh para pelaku atau fungsionaris partai, yang dalam istilah Robert K. Merton disebut sebagai fungsi yang manifes (manifest function),  Disini, yang dimaksud fungsi adalah fungsi yang oleh Robert K. Merton disebut sebagai fungsi laten (latent function), yaitu fungsi yang tidak selalu disadari, yang tidak dengan sengaja dikehendaki, yang biasanya merupakan produk sampingan, tetapi yang mempunyai arti cukup penting. Walaupun fungsi partai yang akan kami kemukakan dibawah merupakan fungsi laten, fungsi yang keberadaannya tidak selalu harus dikehendaki, bahkan seringkali juga tidak disadari, tetapi keberadaan fungsi-fungsi tersebut juga tidak melekat pada setiap partai politik, karena keberadaannya didasarkan pada bentuk-bentuk kegiatan yang dilakukan oleh partai politik. Karena itu, yang kami maksudkan disini sebagai fungsi, juga hanya muncul jika partai politik yang bersangkutan melakukan tindakan-tindakan tertentu, tindakan yang diperkirakan seharusnya dilakukan oleh setiap organisasi yang namanya partai politik.
Dalam hubungan dengan fungsi yang bersifat laten ini, paling tidak ada lima fungsi yang dapat ditengarai, yang dimiliki oleh sebuah partai politik, yaitu:Fungsi Mempersatukan.
Partai yang bersifat nasional akan mempersatukan para pendukungnya dari berbagai daerah yang berbeda-beda. Sebagai anggota atau pendukung partai tertentu, mereka merasa merupakan satu kesatuan dan kebersamaan dengan anggota-anggota dan pendukung partai ditempat lain. Perasaan demikian akan mencegah, paling tidak mengurangi perasaan kedaerahan yang bisa menimbulkan separatisme.
Disamping mempersatukan secara kedaerahan, partai-partai sekuler atau partai yang keanggotaannya terbuka bagi semau warganegara, dapat mengurangi konflik SARA (suku, agama, dan ras), karena partai sekuler atau terbuka akan mewadahi orang-orang dari berbagai latar belakang dalam satu organisasi, dan biasanya mereka mempunyai perasaan kebersamaan. Perasaan sebagai satu kelompok, bahkan seringkali rasa senasib itulah yang akan mempersatukan orang-orang dari berbagai suku, ras dan agama. Keadaan inilah yang dapat menjadikan partai yang terbuka berfungsi dalam mengurangi konflik-konflik SARA.
1.     Fungsi Meningkatkan Pemahaman masyarakat akan Isue Politik
Partai politik yang merupakan salah satu alat untuk mencapai keinginan untuk menduduki kekuasaan negara, terutama bagi partai politik yang menyetujui mekanisme demokrasi (pemilihan umum yang fair) didalam persaingan memperoleh kekuasaan, memerlukan dukungan masyarakat luas. Karena itu, dalam masyarakat demokrasi yang sehat, partai politik selalu berusaha untuk membangun hubungan dengan massa seluas-luasnya, paling tidak yang mereka pandang sebagai massa pemilih mereka. Setiap partai politik yang terkelola dengan baik, baik yang anggota-anggotanya menduduki jabatan-jabatan pemerintahan maupun badan-badan perwakilan, baik sebagai pendukung pemerintah maupun sebagai oposisi, atau bahkan yang saat ini tidak ada anggotanya yang menduduki jabatan apapun sekalipun, tetapi yang bersiap-siap untuk mengikuti pemilu dimasa datang, dalam rangka memperoleh dukungan masyarakat luas, mempunyai kepentingan untuk membahas berbagai isue politik dengan anggota atau para pendukungnya atau bahkan masyarakat luas yang belum menentukan sikap atau pilihannya (massa mengambang) sekalipun.
Dalam pertemuan-pertemuan demikian, mereka bisa dipastikan juga akan menjelaskan berbagai kebijakan negara, dan jika mereka sebagai partai yang berkuasa, juga dasar alasan mengapa mereka memilih kebijakan yang demikian. Sementara itu, bagi partai yang tidak sedang memegang kekuasaan, khususnya yang tidak menyetujui kebijakan pemerintah yang sedang dibahas, akan memberikan berbagai dasar alasan mengapa mereka menentang kebijakan yang bersangkutan.
Melaui pembahasan kebijakan negara dan berbagai isue kenegaraan yang penting, partai politik sesungguhnya melaksanakan fungsi untuk meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai berbagai isue politik dan kenegaraan.
2.     Fungsi Penghubung Antara Pemerintah dan Rakyat.
Selain menjelaskan atau mengkritisi program-program pemerintah (partai yang sedang berkuasa), melalui berbagai pertemuan sebagaimana yang telah diuraikan diatas, partai politik juga menyerap pandangan, ide, dan pemikiran masyarakat mengenai berbagai isue kenegaraan yang sedang berkembang. Pada partai politik yang dikembangkan secara sehat, terutama dalam masyarakat yang pilihan-pilihannya dilakukan diluar kerangka primordialisme dan patrimonialisme, ide-ide yang berkembang dalam masyarakat yang berhasil mereka serap, akan menjadi bahan pertimbangan yang penting didalam membuat keputusan-keputusan politik partai yang bersangkutan. Dengan berbagai kegiatan inilah sesungguhnya setiap partai politik, sadar atau tidak sadar, telah melaksanakan fungsinya sebagai penghubung antara rakyat dengan pemerintah, baik dalam pengertian postif maupun negatif.
3.     Fungsi memperluas partisipasi politik.
Partisipasi politik disini diartikan secara luas, tidak selalu dalam arti keikutsertaan masyarakat didalam menduduki atau memperebutkan jabatan-jabatan publik, tetapi termasuk juga menyatakan pendapatnya tentang suatu isue politik baik langsung kepada pembuat keputusan, maupun melalui saluran-saluran yang tersedia baginya. Bagi masyarakat kebanyakan, saluran yang paling mudah dijangkau adalah fungsionaris partai politik yang ada diaerah mereka. Dengan mengungkapkan dan menyatakan pendapat dan pandangan mereka mengenai isue politik yang sedang hangat kepada fungsionaris partai yang dipercaya mempunyai saluran untuk meneruskan pandangan mereka kepada pembuat keputusan, sesungguhnya orang yang bersangkutan telah berpartisipasi didalam kegiatan politik. Tentu saja, apakah suara mereka akan mendapatkan perhatian atau tidak, tergantung pada ketat tidaknya persaingan memperebutkan suara pendukung partai dan kecerdikan fungsionaris partai yang bersangkutan. Dalam kondisi persaingan perolehan pendukung yang ketat, fiungsionaris partai yang cerdik akan sangat memperhatikan pandangan dan pendapat masyarakat lingkungannya dan semaksimal mungkin akan menyalurkan pendapat dan pandangan yang menurutnya layak untuk dipertimbangkan, dan sebaliknya, menjelaskan hasilnya kepada konstituen mereka.
4.                 Fungsi alat rekruitmen kepemimpinan politik
Terlepas dari seberapa luas sebuah partai mampu mengakomodasi kepentingan anggotanya, tetap saja partai politik merupakan alat rekruitmen kepemimpinan politik yang terpenting dalam negara demokrasi. Karena partai politik juga menyediakan jalan, terutama bagi anggotanya, untuk ikut ambil bagian didalam kehidupan politik, baik untuk mengikuti pencalonan dalam pemilihan, mendukung kegiatan calon dalam pemilihan, mendukung kegiatan partai, dan sebagainya.
Khususnya dalam sistem pemilihan umum di Indonesia, baik pemilihan anggota parlemen (DPR dan DPRD) maupun pemilihan Presiden yang mensyaratkan bahwa para calon harus dicalonkan oleh partai politik, tanpa ada jalan bagi calon independen untuk mengikuti proses pemilihan umum, maka partai politik menjadi satu-satunya jalan untuk meraih kedudukan atau jabatan-jabatan yang merupakan hasil pemilihan tersebut. Dalam hal inilah partai politik melaksanakan fungsinya sebagai alat rekruitmen kepemimpinan politik. Pernyataan ini tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa dalam pemilihan Kepala Daerah (Gubernur dan Bupati) yang membuka kesempatan bagi calon independen, partai politik tidak memainkan peran untuk meraih kedudukan atau jabatan-jabatan yang merupakan hasil pemilihan. Pernyataan ini hanya ingin mengatakan bahwa dengan adanya jalur diluar partai politik, partai politik bukan merupakan satu-satunya jalur.
Dalam hubungan dengan fungsi laten sebuah partai politik, David E. Apter menambahkan satu fungsi lagi, yaitu fungsi mendorong perkembangan modernisasi, karena dalam kegiatannya, terutama dalam masa kampanye, partai politik memanfaatkan berbagai artefak modern, mulai dari berbagai bentuk media massa, pamflet, stiker, mobil untuk menjangkau pelosok-pelosok desa, hingga sekolah dan rumah-rumah ibadah. Organisasi partai yang dituntut menjadi organisasi yang rapi memerlukan sistem menejemen yang baik, dan karena organisasi partai membutuhkan dana yang besar, maka diperlukan ahli-ahli pembukuan dan sistem pembukuan modern, yang kesemuanya mendorong modernisasi dalam masyarakat (Apter David E., 1987: 194 – 195).
Partai Politik di Indonesia Pasca Reformasi
Setelah reformasi di Indonesia, masyarakat dikejutkan dengan berdirinya lebih kurang seratus partai politik. Hal ini merupakan euforia demokrasi dan reformasi yang mengakibatkan tanggapan yang berlebihan atas kebebasan berorganisasi setelah lebih dari empat puluh tahun terkungkungnya kebebasan berorganisasi, terutama dalam mendirikan partai politik di Indonesia (sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959). Pendirian partai yang demikian banyak dalam waktu yang demikian singkat mengakibatkan bukan saja ideologi terjadi ketidak jelasan perbedaan antara partai yang satu dengan partai yang lain dalam tataran ideologi atau doktrin atau visi mereka, bahkan ketidak jelasan juga merembet hingga masalah nama dan lambang partai yang hampir-hampir mirip satu sama lain. Dari peristiwa ini, nampak bahwa tujuan pendirian partai di Indonesia pasca reformasi tidak lebih sekedar sebagai mesin politik didalam pemilihan umum pasca reformasi yang akan diselenggarakan secara bebas.
Memang tidak dapat disangkal bahwa didalam sistem demokrasi perwakilan, salah satu peran penting dari partai politik adalah untuk berkompetisi didalam pemilihan umum untuk mendudukkan anggota-anggotanya didalam jabatan-jabatan publik. Sementara itu, tujuan pemilihan umum sendiri adalah untuk memilih anak bangsa yang terbaik dan sesuai untuk menduduki jabatan-jabatan publik. Tetapi kenyataannya, pengalaman pemilihan umum di Indonesia pasca reformasi, setelah diselenggarakannya pemilihan umum yang relatif bebas dan adanya kebebasan didalam mendirikan partai politik sebagai perwujudan nyata dari prinsip kebebasan berkumpul dan berserikat, menunjukkan bahwa pilihan para pemilih masih lebih ditentukan oleh hubungan-hubungan primordialisme dari pada berdasarkan pertimbangan yang rasional. Akibatnya, pada masa pasca reformasi, untuk memanfaatkan peluang adanya hubungan primordialisme dikalangan rakyat kebanyakan, bermunculan partai-partai yang mengandalkan pada primordialisme, khususnya agama, meskipun sebagaian menyatakan diri sebagai partai terbuka. Perkembangan ini merupakan perkembangan yang tidak sehat, baik ditinjau dari sudut demokrasi maupun persatuan dan kesatuan bangsa. Sebagai partai yang berdasarkan agama tertentu, partai tidak dapat berfungsi mempersatukan, malah akan dapat menimbulkan pembelahan masyarakat yang semakin parah, karena perbedaan kelompok yang semula didasarkan pada agama, tidak dijembatani oleh partai primordial, malah semakin dipertajam oleh perbedaan politik. Celakanya, pembentukan partai-partai yang didasarkan agama tersebut dilakukan oleh agama-agama besar (dengan banyak penganut) di Indonesia. Akibatnya, perbedaan akan menjadi semakin tajam. Bahkan, diantara kalangan Islam sendiri, dengan adanya PKB dan PAN semakin mempertajam pembelahan yang didasarkan pada aliran.
Berbeda dengan di Eropa Barat, dimana banyak terdapat partai berdasarkan agama, khususnya Kristen, seperti halnya partai Demokrat Kristen yang ada di Jerman, tidak akan terlalu membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa, karena selain perbedaan agama didalam masyarakat Eropa tidak terlalu tajam (terasa lebih tajam perbedaan berdasarkan ras dari pada berdasarkan agama), keberadaan partai yang mendasarkan diri pada agama tersebut tidak diikuti oleh agama-agama lain. Nampaknya mereka menyadari bahayanya partai-partai primordial bagi persatuan dan kesatuan bangsa.
Disamping itu, ditinjau dari sudut demokrasi, memanfaatkan hubungan primordial untuk memenangkan pemilihan umum tidak akan mendidir rakyat, mendidik para pemilih dalam berdemokrasi secara sehat. Partai-partai demikian tidak akan mengajarkan untuk melakukan pertimbangan secara rasional, tetapi memakai perasaan se-agama, se-suku, dan sebagainya, yang tidak mencerdaskan bangsa sama sekali. Bahkan, pemanfaatan pola hubungan primordialisme, khususnya primordialisme keagamaan, seringkali malah dapat menyesatkan para penganut agama yang bersangkutan jika agama dipakai sebagai alat politik.
Sebagaimana diatas telah diuraikan secara ringkas, salah satu fungsi partai politik (walaupun fungsi yang bersifat laten), dalam suatu masyarakat demokrasi yang sehat adalah fungsi mempersatukan. Partai yang bersifat nasional dan bersifat terbuka akan mempersatukan para pendukungnya dari berbagai daerah yang berbeda-beda, suku yang berbeda-beda, ras yang berbeda-beda, dan agama yang berbeda-beda. Sebagai anggota atau pendukung partai tertentu, mereka merasa merupakan satu kesatuan dan kebersamaan dengan anggota-anggota dan pendukung partai ditempat lain, walaupun suku, ras, agama dan bahasa mereka berbeda-beda. Perasaan demikian akan mencegah, paling tidak mengurangi perasaan kedaerahan yang bisa menimbulkan separatisme. Disamping mempersatukan secara kedaerahan, partai-partai sekuler atau partai yang keanggotaannya terbuka bagi semau warganegara tersebut, karena partai sekuler atau terbuka akan mewadahi orang-orang dari berbagai latar belakang dalam satu organisasi, dan biasanya mereka mempunyai perasaan kebersamaan, maka juga dapat mengurangi konflik SARA (suku, agama, dan ras). Partai yang berlandaskan primordialisme tidak mungkin untuk berfungsi sebagai pemersatu, malah akan semakin mempertajam perbedaan yang irrasional. Dalam masyarakat yang sangat pluralis sebagaimana halnya Indonesia, perkembangan partai terbuka sangat dibutuhkan untuk mencegah pembelahan masyarakat yang semakin tajam.
Kembali pada permasalahan kita diatas, perlu ditegaskan kembali disini bahwa adanya partai politik yang saling bersaing dipandang akan dapat menjadi kendali bagi elit kekuasaan. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa dengan adanya kelompok-kelompok (partai) yang saling bersaing akan mengembangkan sikap saling mengawasi, saling berusaha untuk mengalahkan satu sama lain, yang dalam masyarakat yang menyelenggarakan pemilihan umum secara rutin, pada akhirnya dapat memaksa mereka yang bersaing untuk melakukan yang terbaik bagi rakyat, jika mereka tetap ingin menduduki jabatan lagi pada pemilihan umum mendatang. Tetapi celakanya, sampai saat ini partai-partai politik di Indonesia tidak lebih hanya berfungsi sebagai mesin politik untuk mengumpulkan suara dalam pemilihan umum semata. Setelah pemilihan umum, segala kegiatan partai seolah-olah berhenti. Diluar masa pemilihan umum, partai politik sama sekali tidak pernah menghubungi konstituennya, tidak pernah menyelenggarakan pertemuan baik untuk menyerap aspirasi maupun untuk mensosialisasikan kebijakan yang telah mereka pilih. Masyarakat seolah-olah sama sekali tidak mendapatkan keuntungan apapun dari keberadaan partai politik. Bahkan anggota-anggotanya yang duduk di DPR sibuk dengan kepentingannya sendiri, sibuk dengan menaikkan honorarium dan fasilitas bagi diri mereka sendiri. Akibatnya, dalam dua kali pemilihan umum masa pasca reformasi, khususnya pada pemilihan umum kedua, dan pemilihan Bupati dan Gubernur, terasa kental dengan politik uang, walaupun tak dapat dibuktikan. Tampaknya masyarakat sudah tidak mempunyai kepercayaan sama sekali pada partai politik yang ada. Bagi masyarakat, tak ada partai yang layak dipilih untuk memperjuangkan aspirasi mereka, karena yang tampak keluar adalah usaha para fungsionaris partai untuk memanfaatkan partai politiknya sekedar sebagai alat mencari kekuasaan atau kekayaan semata. Pengadilan atas beratus-ratus anggota DPRD semakin meyakinkan masyarakat mengenai hal itu. Karena tak memiliki pilihan, maka tak ada kriteria yang dapat diterapkan oleh masyarakat untuk menentukan pilihan, selain seberapa besar uang yang mereka sediakan jika mereka mau memilih mereka. Pada akhirnya, pemilihan umum benar-benar menjadi pasar, tetapi dalam hal ini tidak seperti yang dibayangkan oleh teori politik ekonomi baru. Para penganut teori politik ekonomi baru berpandangan bahwa proses pemilihan umum seperti proses jual beli dipasar,  dimana partai politik menawarkan barangnya berupa program, dan rakyat memilih dan membeli barang yang ditawarkan oleh partai politik yang bersangkutan dengan suara pilihannya. Walaupun juga dapat digambarkan sebagai semacam pasar, tetapi dalam kasus pemilihan umum dinegeri kita ini yang terjadi malah sebaliknya. Dalam hal ini, pemilihlah yang bertindak sebagai penjual, yang menawarkan barang berupa suara, dan partai politik menjadi pembeli yang akan dibayar dengan uang sungguhan.
Jika hal ini tidak dapat dihentikan, dapat dipastikan sistem demokrasi yang baru saja dirintis dinegari ini akan mengalami kehancurannya. Pada saat tertentu, masyarakat bisa menjadi sangat apatis, sama sekali tidak percaya dengan partai politik, bahkan kepada politik, sehingga tidak perduli apapun yang terjadi, termasuk kalau negeri ini tergelincir kembali pada pemerintahan yang otoriter.
Daftar Pustaka
Apter, David E., terjemahan Hermawan Sulistyo dan Wardah Hafidz, Politik Modernisasi, PT. Gramedia, Jakarta, 1987.


0 comments:

Posting Komentar