Hadi Wahono
KEWAJIBAN PEMILIK TANAH GUNTAI
ALAT PELANGGARAN YANG LEGAL
PENGECUALIAN YANG TIDAK TEPAT
PERLUASAN PENGECUALIAN
TEROBOSAN YANG SEMAKIN LUAS
Pasal
3 ayat (1) PP. No. 224 tahun 1961 menentukan bahwa pemilik tanah pertanian yang
bertempat tinggal di luar kecamatan tempat letak tanahnya, dalam jangka waktu 6
bulan wajib mengalihkan hak atas tanahnya kepada orang lain di kecamatan tempat
letak tanah itu atau pindah ke kecamatan letak tanah tersebut. Berdasarkan
ketentuan pasal 3 ayat (1) PP. No. 224 tahun 1961 tersebut, maka pemilikan
tanah guntai dapat diartikan sebagai pemilikan tanah yang terletak diluar
kecamatan tempat tinggal sipemilik. Berdasarkan ketentuan ini maka secara
yuridis batas wilayah untuk menentukan apakah tanah yang dimiliki seseorang
tersebut merupakan tanah guntai atau bukan adalah kecamatan, bukan kabupaten
atau kelurahan sebagaimana sering kita baca dalam berbagai tulisan mengenai
masalah penguasaan tanah.
Dasar pelarangan pemilikan tanah pertanian
secara guntai/absentee tersebut adalah ketentuan dalam pasal 10 UUPA yang
mewajibkan setiap orang yang mempuynyai suatu hak atas tanah pertanian
diwajibkan untuk mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif dengan
mencegah cara-cara pemerasan. Pemerintah sebagai pembentuk PP. No. 224 tahun
1961 memandang bahwa orang-orang yang tinggal diluar kecamatan dimana tanah
pertanian miliknya terletak, tidak mungkin untuk mengerjakan atau mengusahakan
sendiri tanah pertanian miliknya tersebut secara aktif (penjelasan atas pasal
3). Karena dasar pelarangan pemilikan tanah pertanian secara guntai adalah tidak
mungkinnya orang yang tinggal diluar kecamatan dimana tanah pertanian miliknya
terletak, maka larangan tersebut tidak berlaku bagi pemilik tanah pertanian
yang tinggal diluar kecamatan letak tanahnya, jika
jarak antara tempat tinggal si pemilik dengan tanah pertaniannya masih memungkinkannya untuk mengerjakan tanah
pertanian miliknya tersebut secara aktif (pasal 3 ayat 2),
misalnya jika tanah pertanian dan tempat tinggal sipemilik tersebut terletak
didekat perbatasan dua kecamatan.
Sebagaimana sudah dibahas diatas,
pasal 3 ayat (1) PP. No. 224 tahun 1961 menentukan bahwa seseorang atau satu
keluarga yang memiliki tanah guntai atau absentee, dalam jangka waktu 6 bulan
wajib mengalihkan hak atas tanahnya kepada orang lain di kecamatan tempat letak
tanah itu atau pindah ke kecamatan letak tanah tersebut. Yang dimaksud dengan
jangka waktu 6 bulan dalam pasal 3 tersebut adalah 6 bulan setelah berlakunya
PP. No. 224 tahun 1961 pada tanggal 19 September 1961. Ketentuan waktu 6 bulan
sebagaimana yang diatur didalam pasal 3 ayat (1) tersebut berlaku bagi mereka
yang pada saat berlakunya PP. No. 224 tahun 1961 telah memiliki tanah guntai.
Bagi mereka yang memiliki tanah guntai setelah berlakunya PP. tersebut,
misalnya karena pindah atau memperoleh warisan, berlaku ketentuan yang berbeda.
Bagi mereka yang setelah berakunya
PP. no. 224 tahun 1961 berpindah tempat tinggal selama dua tahun berturut-turut
sehingga menimbulkan pemilikan tanah pertanian secara gunati, maka berdasarkan
ketentuan pasal 3 ayat (3)-nya orang tersebut dalam jangka waktu 2 tahun
diwajibkan untuk mengalihkan pemilikan tanah tersebut kepada orang lain yang
bertempat tinggal di tempat tanahnya tersebut terletak. Ketentuan ini kemudian
dengan PP. no. 41 tahun 1964 diperdetail dan jangka waktu pemindahan haknya
juga di perpanjang. Dalam pasal 3a ayat (1) PP. no. 41 tahun 1964 ditentukan
bahwa jika pemilik tanah pertanian yang berpindah tempat atau meninggalkan tempat kediamannya keluar
kecamatan tempat letak tanah itu selama dua tahun berturut-turut, sedang ia
melaporkan kepada pejabat setempat yang berwenang, maka dalam waktu satu tahun
terhitung sejak berakhirnya jangka waktu dua tahun tersebut ia diwajibkan untuk
memindahkan hak milik atas tanahnya kepada orang lain yang berttempat tinggal
di kecamatan letak tanah itu. Tetapi jika orang yang berpindah tersebut tidak
melapor, maka berdasarkan ketentuan pasal 3a ayat (2) ketentuan dalam ayat (1)
tersebut tidak berlaku. Orang yang berpindah tempat tinggal tanpa melapor tersebut,
dalam jangka waktu 2 tahun tetap harus mengalihkan hak miliknya tersebut kepada
orang lain yang memenuhi syarat.
Sementara itu, pasal 3c PP. no. 41
tahun 1964 menentukan bahwa orang yang memperoleh warisan yang menimbulkan
pemilikan tanah guntai (menerima warisan
tanah yang terletak diluar kecamatan sipenerima warisan tersebut), dalam jangka waktu satu tahun wajib
mengalihkan hak milik yang diperoleh dari warisan tersebut, atau pindah ke
daerah dimana tanah yang diterima dari warisan tersebut terletak.
Pasal 3d pp. no. 41 tahun 1964
menentukan bahwa semua bentuk pemindahan hak yang menimbulkan pemilikan tanah
guntai dilarang. Sanksi pelanggaran larangan pemilikan tanah guntai,
sebagaimana ditentukan didalam pasal 3 ayat (5) dan (6) PP. no. 224 tahun 1961
adalah pengambil alihan tanah guntai tersebut dengan ganti kerugian, yang
kemudian akan dibagikan kepada petani tak bertanah.
PERLINDUNGAN BAGI PEJABAT NEGARA
Pasal 3 ayat (1) PP. no 224 tahun 1961
menyatakan bahwa pemilik tanah yang bertempat tinggal di luar kecamatan tempat
letak tanahnya, dalam waktu enam bulan wajib mengalihkan hak atas tanahnya
kepada orang lain di kecamatan tempat letak tanah itu atau pindah ke kecamatan
letak tanah tersebut. Tetapi terhadap larangan pemilikan tanah guntai, ada
pengecualiannya sebagaimana yang diatur didalam ayat (4)-nya yang berbunyi:
Ketentuan dalam
ayat (1) dan (3) pasal ini tidak berlaku bagi mereka yang mempunyai tanah
dikecamatan tempat tinggalnya atau di kecamatan sebagai yang dimaksud dalam
ayat (2) pasal ini, yang sedang menjalankan tugas negara, menunaikan kewajiban
agama, atau mempunyai alasan khusus lannya yang dapat diterima oleh Menteri
Agraria. Bagi pegawai-pegawai negeri dan pejabat-pejabat
militer serta yang dipersamakan dengan mereka, yang sedang menjalankan tugas
negara, kekecualian tersebut pada ayat ini terbatas pada pemilikan tanah
pertanian sampai seluas 2/5 dari luas maksimum yang ditentukan oleh daerah yang
bersangkutan menurut UU. No. 56 Prp. Tahun 1960.
Menurut interpretasi penulis, bunyi pasal 3
ayat (4) PP. No. 224 tahun 1961 tersebut dapat diartikan bahwa ada dua jenis
pengecualian, yaitu yang pertama, pengecualian bagi mereka yang sedang
menjalankan tugas negara atau sedang menunaikan kewajiban agama, dan yang kedua
adalah pengecualian bagi para pegawai negeri dan pejabat militer yang
dipersamakan dengan mereka. Untuk pengecualian yang pertama, yaitu mereka yang
sedang menjalankan tugas negara (tetapi bukan pegawai negeri, misalnya seorang
yang berasal dari daerah menjadi anggota DPR), mereka diberi dispensasi untuk
memiliki tanah secara guntai hingga batas maksimum pemilikan tanah didaerah
letak tanah miliknya.[1]
Sedang pegawai negeri dan pejabat militer diperbolehkan untuk memiliki tanah
guntai yang luasnya dibatasi, yaitu maksimal 2/5 bagian dari batas maksimum
yang ditentukan untuk daerah yang bersangkutan.
Yang menjadi masalah
sehubungan dengan pemberian dispensasi bagi pegawai negeri dan anggota angkatan
bersenjata untuk memiliki tanah secara guntai adalah, apakah seorang pegawai
negeri dan anggota angkatan bersenjata tetap boleh memiliki tanah secara guntai
apabila dia ditempatnya bekerja telah mempunya tanah? Sebagai contoh, misalnya
seorang pegawai negeri yang bernama A bekerja dan tinggal didaerah B yang
berdasarkan ketentuan didalam UU. No. 56 Prp. Tahun 1960 tersebut tergolong
sebagai daerah yang kurang padat (batas maksimum penguasaan tanahnya adalah 9
hektar tanah sawah). Ditempat tinggalnya tersebut, A memiliki tanah sawah
seluas 7 hektar. Tetapi disamping memiliki tanah seluas 7 hektar tersebut, A masih memiliki tanah sawah
didaerah asalnya yang merupakan daerah yang tergolong sangat padat, seluas 2
hektar.
Kalau kita mengacu
pada ketentuan yang ada, pemilikan tanah sebagaimana yang dipunyai oleh A
tesebut sama sekali tidak melanggar larangan apapun, karena sebagai orang yang
tinggal didaerah yang kurang padat, seseorang boleh menguasai tanah sawah
sampai 9 hektar. Sementara itu, sebagai pegawai negeri A dibenarkan oleh pasal
3 ayat (4) PP. no. 224 tahun 1961 untuk memiliki tanah pertanian secara guntai
seluas 2/5 dari batas maksimum tanah didaerah yang bersangkutan, yang berarti
2/5 X 5 hektar (batas maksimum sawah untuk daerah yang sangat padat) sama
dengan 2 hektar.
Tetapi kalau kita
mengkajinya berdasarkan pertimbangan dispensasi bagi pegawai negeri (dan
anggota angkatan bersenjata) untuk memiliki simpanan yang berupa tanah seluas
satu atau dua hektar adalah untuk kepentingan hari tua mereka, maka pemlikan
tanah guntai oleh A dalam contoh kita diatas, jelas tidak dapat dibenarkan,
karena pemilkan tanah didaerah tempat tinggalnya yang mencapai luas 7 hektar
telah lebih dari cukup untuk persediaan hari tuanya kelak. Tetapi hal ini sama
sekali tidak mendapat pengaturan yang jelas didalam pasal 3 PP. no. 224 tahun
1961 maupun PP. no. 41 tahun 1964. Akibatnya, pemberian dispensasi bagi pegawai
negeri untuk memilikii tanah guntai hanya melegalkan pemilikan tanah oleh bukan
petani.
Masalah lain
sehubungan dengan pemberian dispensasi bagi pejabat pegawai negeri dan militer
untuk memiliki tanah guntai adalah menyangkut bunyi bagian akhir ketentuan
pasal 3 ayat (4) PP. no. 224 tahun 1961 khususnya anak kalimat “luas maksimum
yang ditentukan untuk daerah yang bersangkutan” (untuk jelasnya, harap pasal 3
ayat (4) PP no. 224 tahun 1961 sebagaimana yang dikutip diatas, diperhatikan
kembali). Pasal tersebut nampaknya sangat jelas, tetapi sesungguhnya menyisakan
permasalahan, khususnya yang menyangkut anak kalimat “seluas 2/5 dari luas
maksimum yang ditentuan untuk daerah yang bersangkutan menurut UU. No. 56 Prp
tahun 1960”. Anak kalimat tersebut membawa masalah, yaitu batas maksimum daerah
yang mana yang digunaan jikalau tanah yang dimiliki oleh pegawai negeri atau
anggota angkatan bersenjata tersebut tidak berada di satu daerah yang kebetulan
juga golongan kepadatannya tidak sama. Sebagai contoh misalnya, seorang pegawai
negeri yang bernama A yang karena pekerjaannya bertugas didaerah B, yang
kepadatan penduduknya berdasarkan UU. No. 56 Prp. Tahun 1960 digolongkan
kedalam daerah yang tidak padat, dmana batas maksimum pemilikan tanah sawahnya
adalah 15 hektar. Didaerah B yang merupakan tempatnya bekerja (dan sekaligus
juga daerah dimana saat ini dia bertempat tinggal) A memiliki tanah sawah
seluas 10 hektar. Selain itu, didaerah C yang merupakan daerah kelahirannya,
yang penggolongan kepadatan penduduknya digolongkan sebagai daerah yang sangat
padat, dia memiliki tanah sawah seluas 5 hektar. Dalam kasus ini, daerah mana
yang diigunakan untuk menentukan batas maksimum pemilikan tanah guntai yang
bisa dipunyai oleh A?
Kalau pemilikan tanah
A tersebut kita tinjau dari batas maksimum tanah yang
boleh dimiliknya di daerah dimana dia bekerja saat ini, maka A sama sekali
tidak melanggar ketentuan batas maksimum pemilikan tanah pertanian maupun
ketentuan pelarangan pemilikan tanah guntai, karena tanah yang dimiliki A
seluruhnya (baik yang dimiliki didaerah tempatnya bekerja maupun yang
dimilikinya secara guntai) adalah 15 hektar. Selain itu, walaupun A memiliki
tanah guntai hingga 5 hektar, tetapi karena sebagai pegawai negeri dia boleh
memiliki tanah guntai seluas 2/5 dari batas maksimum daerah yang bersangkutan,
dimana kalau daerah yang bersangkutan kita artikan daerah dimana dia bertempat
tinggal, maka berarti dia boleh memiliki tanah guntai seluas 6 hektar (2/5 X 15
hektar = 6 hektar). Tetapi kalau yang dimaksud dengan kata daerah yang
bersangkutan adalah daerah dimana tanah tersebut terletak, maka tanah tanah
guntai yang dimiliki A (seluas 5 hektar)
melebihi batas maksimum tanah guntai yang boleh dimilikinya, karena tanah yang
dimiliki secara guntai tersebut terletak didaerah yang digolongkan sebagai
daerah yang sangat padat (batasnya 2/5 X 5 hektar = 2 hektar).
Tetapi dengan
ketentuan yang tidak jelas tersebut, seseorang juga dapat mmiliki tanah guntai
hingga seluas 6 hektar tanpa melanggar ketentuan apapun juga. Sebagai contoh,
misalnya A yang pegawai negeri tersebut, karena tugas pekerjaannya tinggal di
daerah B yang kepadatan penduduknya digolongkan sebagai daerah yang tidak padat
(dengan batas maksimum pemilikan tanah sawah seluas 15 hektar). Ditempatnya
bekerja tersebut, yang sekaligus juga tempat tinggalnya saat ini, A memliki
tanah sawah seluas 9 hektar. Tetapi disamping itu, dia juga memiliki tanah
sawah di daerah C yang merupakan daerah tempat asalnya, yang tegolong sebagai
daerah yang kurang padat (batas maksimum tanah sawah adalah 10 hektar), dia
memiliki tanah sawah seluas 4 hektar. Sementara itu didaerah D yang merupakan
daerah tempat asal isterinya, yang digolongkan sebagai daerah yang sangat padat
(batas maksimum tanah sawah 5 hektar), isteri A
tersebut memiliki tanah sawah seluas 2 hektar. Kalau kita menggunakan
penggolongan daerah B yang merupakan tempat tinggal A sekarang sebagai dasar
untuk menentukan seberapa luas tanah yang boleh dipunyai oleh keluarga A, maka
karena dia tinggal didaerah yang tergolong tidak padat, dia berhak untuk
mempuynyai tanah sawah seluas 15 hektar. Berdasarkan perhitungan ini, berarti
seluruh sawah yang dimilikinya, termasuk yang dimilikinya secara guntai, belum
melampaui batas maksimum (seluruh tanah yang dimilikinya adalah 9 hektar + 4
hektar + 2 hektar = 15 hektar). Sementara itu, tanah yang dimilikinya secara
guntai didaerah C dan D seluas 4 hektar dan 2 hektar juga belum melanggar
larangan pemilikan tanah guntai, karena sebagai pegawai negeri dia berhak
memiliki tanah guntai seluas 2/5 bagian dari luas maksimum daerah yang
bersangkutan, yaitu 2/5 X 15 hektar = 6 hektar. Sementara itu, kalau batas
pemilikan tanah guntai dihitung berdasarkan daerah dimana tanah guntai tersebut terletak, maka A tetap tidak melanggar
ketentuan pelarangan pemilikan tanah guntai, karena tanah yang dimiliki oleh
keluarganya didaerah C seluas 4 hektar masih memenuhi ketentuan daerah C yaitu
2/5 X 10 hektar = 4 hektar dan tanah guntai yang dimiliki isterinya didaerah D
juga tidak melanggar ketentuan batas maksimum tanah guntai untuk daerah
tersebut (2/5 X 5 hektar = 2 hektar). Dengan demikian, A bisa memiliki tanah
guntai hingga seluas 6 hektar dan sebagian terletak didaerah yang sangat padat,
tetapi tanpa melanggar ketentuan apapun.
Masalah lain yang
mengkedepan sehubungan dengan pengecualian atas pelarangan pemilikan tanah
guntai ini adalah soal sistem pangawasan, yang karena tidak melibatkan masyarakat
luas, menjadi sulit untuk dilakukan. Padahal, tanpa system pengawasan yang
baik, seorang pegawai negeri dapat memiliki tanah sangat luas secara guntai,
dengan cara memiliki tanah guntai di banyak daerah, dimana dimasing-masing
daerah hanya memiliki tanah seluas 2/5 dari ketentuan batas maksimum untuk
daerah yang bersangkutan, sehingga tanah-tanah guntai
tersebut kalau dilihat satu persatu dari masing-masing daerah tidak nampak
melanggar pelarangan pemilikan tanah guntai. Sebagai gambaran, seorang pegawai
negeri bisa saja memliki tanah ditempat tinggalnya saat ini yang juga merupakan
tempatnya bekerja, misalnya seluas batas maksimum yang ditentukan untuk daerah
tersebut. Disamping itu, dia masih memliki tanah pertanian yang terletak
didaerah asalnya seluas batas maksimum tanah guntai yang dibolehkan untuk
daerah tersebut, juga memiliki tanah guntai ditempat asal isterinya, juga
seluas batas maksimum tanah guntai yang dibolehkan untuk daerah setempat,
kemudian juga memiliki tanah ditempat lain, yang merupakan tempat dimana dia
pernah menjabat, dan seterusnya. Tanpa system pengawasan yang memadai, hal itu
bisa terjadi, apalagi suap masih terbuka untuk
dilakukan di negeri ini.
Masalah lain yang
mengkedepan sehubungan dengan pemberian dispensasi bagi pegawai negeri yang
dibolehkan untuk memiliki tanah guntai adalah, apakah pemberian dispensasi
kepada pegawai negeri tersebut telah tepat? Orang sering mengira bahwa
pengecualian atas pelarangan pemilikan tanah guntai sebagaimana yang ditentukan
didalam pasal 3 ayat (4) PP. no. 224 tahun 1961 tersebut dapat dicarikan
landasannya pada penjelasan umum II angka (7) UUPA. Kalau melihat bunyi pasal
3b PP no. 224 tahun 1961 (yang merupakan tambahan dari PP. no. 41 tahun 1964)
yang menyatakan bahwa mereka yang telah berhenti dalam menjalankan tugas negara
dan yang mempunyai hak milik atas tanah pertanian diluar kecamatan tempat
tinggalnya dalam waktu satu tahun terhitung sejak ia mengakhiri tugasnya
tersebut diwajibkan pindah kekecamatan letak tanah itu atau memindahkan milik
atas tanahnya kepada orang lain yang bertempat tinggal di kecamatan dimana
tanah itu terletak, nampak bahwa diberikannya dispensasi tersebut memang untuk
persediaan hari tua mereka, sehingga seolah-olah berlandaskan pada penjelasan
umum II angka (7) UUPA. Tetapi kalau kita lihat dari kalimat penjelasan umum II
angka (7) UUPA itu sendiri, nampak bahwa pasal 3b tersebut tidak bisa dilandaskan kepadanya. Untuk jelasnya didalam
membahas masalah ini, maka ada baiknya kalau penjelasan umum II angka (7) UUPA
tersebut kami kutip disini:
Dalam keadaan
susunan masyarakat kita sebagai sekarang ini maka peraturan pelaksanaan itu[2],
nanti kiranya masih perlu membuka kemungkinan diadakannya dispensasi. Misalnya
seorang pegawai negeri yang untuk persediaan hari
tuanya mempunai tanah satu atau dua hektar dan berhubung dengan pekerjaannya
tidak mungkin dapat mengusahakannya sendiri kiranya harus dimungkinkan untuk
terus memiliki tanah tersebut.
Dari
bunyi penjelasan umum II angkat (7) UUPA tersebut nampak bahwa yang dimaksudkan
untuk diberi dispensasi bukanya pemilikan tanah secara guntai, tetapi lebih
pada penggarapannya secara aktif. Karena seorang pegawai negeri (walaupun dia
tinggal didaerah kecamatan dimana tanah miliknya terletak), sebagai akibat
kesibukannya sebagai pegawai, tidak memungkinkan-nya
untuk mengerjakan sendiri tanah pertaniannya secara aktif. Sementara itu pasal 10 UUPA menghendaki agar semua
pemilik tanah mengerjakan sendiri tanah pertanannya secara aktif dengan
mencegah cara-cara pemerasan. Berdasarkan ketentuan pasal 10 tersebut, maka
pegawai negeri yang tidak bisa mengerjakan sendiri tanah pertaniannya secara
aktif tersebut diberi dispensasi, agar selama dia menjadi pegawai negeri tidak
diharuskan untuk mengerjakan sendiri tanah pertaniannya, tetapi dibolehkan
untuk menyerahkannya kepada orang lain dalam hubungan sewa atau perjanjian bagi
hasil. Jadi penjelasan umum II angka (7) UUPA tersebut bukan ditujukan untuk
memberi dispensasi bagi pegawai negeri dan anggota angkatan bersenjata untuk
memiliki tanah secara guntai. Dalam hal ini, jelas pasal 3 ayat (4) PP. no. 224
tahun 1961 tersebut tidak memiliki pijakan dasar pada peraturan yang lebih
tinggi yang dalam hal ini adalah UUPA (dan UU.no. 6 Prp. Tahun 1960).
Kalau saja alasan
diberinya dispensasi pada pegawai negeri dan anggota angkatan bersenjata untuk
memiliki tanah secara guntai adalah untuk memberi kesempatan kepada pegawai
negeri dan anggota angkatan bersenjata untuk memiliki persediaan tanah untuk
hari tua mereka, maka sebetulnya mengistimewakan mereka tidak memiliki dasar
sama sekali. Kalau dibandingkan dengan pegawai negeri, apakah pegawai swasta
atau bahkan buruh pabrik tidak lebih lagi memerlukan persediaan tanah untuk
hari tua mereka, kususnya setelah mereka tidak lagi bisa diterima bekerja?
Tentunya lebih membutuhkan pekerja swasta atau buruh pabrik yang tidak
memperoleh pensiun dari pada seorang pegawai negeri atau anggota angkatan
bersenjata yang nota bene menerima pensiun dihari tuanya. Karena itu, kalau
memang tujuannya adalah untuk memberi kesempatan kepada bukan petani untuk
memiliki persediaan tanah untuk hari tua mereka, seharusnya yang mendapat
dispensasi bukannya pegawai negeri dan pejabat militer, tetapi sebaliknya
adalah para pekerja diperusahaan swasta dan wiraswasta yang tidak mendapat
pensiun untuk hari tuanya. Tampaknya, pengecualian bagi pegawai negeri dan
pejabat mliter lebih bersifat politis.
Pada tahun 1977 dengan PP. No. 4 tahun 1977
pengecualian sebagaimana yang diatur didalam PP. No. 224 tahun 1961 yo. No. 41
tahun 1964 diperluas, bukan saja bagi pegawai negeri, tetapi juga pensiunan
pegawai negeri dan janda pensiunan pegawai negeri selama tidak menikah lagi
dengan seorang bukan pegawai negeri atau pensiunan pegawai negeri (pasal 2 ayat
(1)). Dengan adanya ketentuan ini, maka dengan sendirinya pasal 3b PP. No. 224
tahun 1961 yo. PP. No. 41 tahun 1964 mengenai keharusan bagi pegawai negeri dan
angkatan bersenjata yang telah selesai melaksanakan tugas yang memiliki tanah
guntai/absentee untuk dalam jangka waktu satu tahun pindah kekecamatan letak
tanah miliknya atau menjualnya, menjadi tidak bermakna, karena dengan PP. No. 4
tahun 1977 tersebut, pensiunan pegawai negeri dan anggota angkatan bersenjata
tetap diperbolehkan untuk memilki tanah secara guntai atau absentee. Dengan
adanya perluasan subyek pengecualian pelarangan pemilikan tanah guntai
sebagaimana yang diatur dalam pasal 2 ayat (1) PP. No. 4 tahun 1977 tersebut,
timbul masalah, apakah ketentuan tersebut secara rasional tepat, dalam arti
masih sesuai dengan jalan pikiran dan tunjuan landreform?
Kalau pelarangan
pemilikan tanah guntai didasarkan dan mengacu pada salah satu azas landreform,
yaitu tanah pertanian untuk petani penggarap, atau setiap pemilik tanah
pertanian harus mengerjakan tanah miliknya secara aktif dengan mencegah
cara-cara pemerasan, sementara itu pengecualian pemilikan tanah guntai bagi
pegawai negeri dan angggota angkatan bersenjata (anggap saja) adalah untuk
tabungan hari tua mereka, maka perluasan pengecualian pelarangan pemilikan
tanah guntai oleh pensiunan pegawai negeri, janda pegawai negeri dan janda
pensiunan pegawai negeri, sama sekali tidak memiliki dasar. Kalau dibilang
untuk tabungan hari tua, mereka sendiri telah tua, sementara itu, kalau dengan
alasan sedang menjalankan tugas negera, mereka telah tidak menjalankan tugas negara, sehingga tidak ada
halangan untuk mengerjakan tanah pertanian miliknya secara aktif, sebagaimana
yang dikehendaki oleh pasal 10 UUPA.
PP. no.
4 tahun 1977 bukan saja memperluas subyek yang diperbolekan untuk memiliki
tanah pertanian secara guntai, bahkan pasal 4 PP tersebut mengatur secara lebih
jauh lagi, yaitu dengan membatalkan
penguasaan tanah oleh petani yang telah menerima tanah redistribusi bekas tanah
guntai, meskipun penerimaan tanah tersebut berdasarkan keputusan pejabat yang
berwenang. Petani yang telah terlanjur menguasai tanah bekas tanah guntai milik
pensiunan pegawai negeri atau janda pegawai negeri atau janda pensiunan pegawai
negeri tersebut harus mengembalikan kepada pemilik semula, dan selama tanaman
yang ada belum dipanen, dia dipandang sebagai penggarap dalam perjanjian bagi
hasil hingga tanaman yang ada selesai dipanen. Dengan demikian petani penggarap
tersebut tidak boleh memiliki seluruh hasil panennya, tetapi separoh atau dua
pertiga bagian, sebagaimana yang telah diatur didalam Undang-Undang Perjanjian
Bagi Hasil (UUPBH), UU. No. 2 tahun 1960. Untuk jelasnya, ada baiknya bunyi
pasal 4 ayat (1) PP. No. 4 tahun 1977 tersebut kami kutip disini:
(1) Jika pada saat mulai berlakunya peraturan
Pemerintah ini tanah yang tersebut pada pasal 2 digarap oleh orang lain
berdasarkan keputusan pejabat yang berwenang, maka orang tersebut tetap berhak
terus menggarapnya dalam hubungan perjanjian bagi hasil dengan pemiliknya
menurut ketentuan UU. No. 2 tahun 1960 (lembaran
Negara tahun 1960 no. 2). Hubungan perjanjian tersebut berlangsung sampai
tanaman yang ada selesai dipanen.
Permasalahan yang muncul dalam hal ini adalah,
apakah ketentuan tersebut secara substantif tidak menimbulkan masalah keadilan,
dan secara yuridis formal, apakah peraturan yang pada hakekatnya memberlakukan
ketentuannya secara berlaku surut tersebut sah?[3]
Ditinjau dari segi
hukum saja, ketentuan dalam pasal 4 ayat (1) no. 4 tahun 1977 tersebut jelas
tidak dapat dibenarkan, karena memberlakukan peraturan secara berlaku surut.
Seharusnya apa-apa yang sudah terjadi, yang sudah dilaksanakan berdasarkan
peraturan yang berlaku sah pada masanya, tidak bisa dibatalkan oleh peraturan
yang berlaku kemudian. Dari sini saja, sudah nampak ketidak adilan dari
ketentuan tersebut, karena sama sekali tidak melindungi penerima redistribusi
yang beritikat baik, yang mungkin telah melakukan berbagai upaya untuk menambah
kesuburan tanah. Permasalahan akan bertambah rumit manakala hak atas tanah
tersebut telah berpindah kepada orang lain melalui jual beli.
Berdasarkan pertimbangan diatas,
maka pemberian dispensasi bagi pegawai negeri dan anggota angkatan bersenjata
(apalagi pensiunan dan jandanya) untuk memiliki
tanah guntai sebetulnya bukan saja sama sekali tidak beralasan dan tidak
memiliki pijakan dasar dalam peraturan undang-undang (baik UUPA maupun UU. No.
56 Prp. Tahun 1960) tetapi juga menimbulkan banyak permasalahan. Karena itu,
seluruh ketentuan mengenai pengecualian terhadap pelarangan pemilikan tanah
secara guntai sebaiknya dihapuskan saja. Dengan dihapuskannya pengecualian
pelarangan pemilikan tanah secara guntai akan mengurangi jumlah tanah pertanian
yang dimiliki oleh bukan petani.
Kalau melihat masalah yang diatur dan cara
pengaturannya, baik yang menyangkut masalah perluasan pengecualian pemilikan
tanah guntai hingga pada pensiunan pegawai negeri dan anggota angkatan
bersenjata dan janda-jandanya sebagaimana pengecualian yang diberikan bagi
pegawai negeri dan ketentuan untuk mengembalikan tanah yang telah
diredistribusikan dalam rangka landreform, tampak muatan kepentingan penguasa,
baik muatan ekonomi maupun politis. Secara politis, tampaknya pengundangan PP.
No. 4 tahun 1977 tersebut ada hubungannya dengan upaya Golkar untuk meraih
suara para pensiunan pada pemilu tahun itu, yang sudah sulit diikat, tidak
sebagaimana halnya pegawai negeri aktif. Sebagai catatan, perlu dikemukakan
disini bahwa PP. No. 4 tahun 1977 diundangkan tanggal 2 Februari 1977, yang
berarti sekitar 2 bulan menjelang pemilu ke dua masa Orde Baru.
Sebetulnya pada tahun 1974 telah keluar
ketentuan yang memungkinkan bagi pemilik tanah yang melebihi batas maksimum dan
pemilik tanah guntai untuk menyelamatkan diri dari larangan tersebut. Ketentuan
tersebut terdapat didalam pasal 2 ayat (4) dan pasal 3 PMDN. No. 15 tahun 1974.
PMDN tersebut memberi peluang kepada pemilik tanah absentee/guntai maupun
mereka yang mempunyai tanah yang luasnya melebihi batas maksimum untuk
mengalihkan hak atas tanahnya tersebut dengan hak yang sesuai (misalnya hak
guna usaha atau hak pakai) walaupun pemberian hak baru tersebut (khususnya
untuk hak guna usaha) diberikan untuk jangka waktu yang sangat terbatas, yaitu
untuk waktu 25 (dua puluh lima) tahun atau 35 (tiga puluh lima) tahun, dan
setelah itu tidak dapat diperpanjang lagi. Namun demikian, walaupun jangka
waktunya terbatas, penguasaan tanah dengan hak baru tersebut memberi kesempatan
kepada pemegang haknya untuk menjual tanah tersebut kepada orang lain (yang
berarti akan menjadi hak guna usaha biasa, yang bisa diperpanjang
terus-menerus, atau (jika tidak dijual), dikemudian hari bisa dibagi-bagikan
kepada anak-anaknya yang telah dewasa sebagai warisan. Jangka waktu 25 tahun memberi
peluang waktu hingga anak-anaknya menjadi dewasa dan membentuk keluarga sendiri.
Berbagai Peraturan
perundang-undangan sebagaimana yang telah kita bahas tersebut diatas nampak
sama sekali tidak memiliki dasar hokum maupun dasar rasional, bahkan nampak bertentangan
dengan pikiran wajar kita (common sense). Jelas peraturan mengenai pengecualian
tanah guntai sangat bersifat politis, demi mempertahankan kesetiaan pegawai
negeri dan pensiunan pegawai negeri pada penguasa.
[1]
Pembedaan dua jenis pengecualian tersebut memang tidak secara jelas dan tegas
diatur didalam PP. no. 224 tahun 1971 maupun PP. no. 41 tahun 1964. Tetapi dari
bunyi ketentuan dalam pasal 3 ayat (4) PP. no. 224 tahun 1961 dan penjelasan
atas pasal 3 tersebut, dapat kita interpretasikan sebagai demikian.
[2] peraturan pelaksanaan yang dimaksud adalah peraturan
pelaksanaan atas azas Landreform yang menyatakan bahwa tanah pertanian harus
dikerjakan secara aktif oleh pemiliknya sendiri, sebagaimana yang termuat
didalam pasal 10 UUPA – penulis.
[3] Sebetulnya
membahas masalah ini sudah tidak memiliki nilai praktis lagi, karena ketentuan
tersebut secara substantif berlaku hanya untuk satu kali (einmalig),
setidak-tidaknya untuk jangka waktu yang sangat terbatas. Bahkan kalaupun
peraturan tersebut ternyata memiliki kelemahan-kelemahan yuridis, membatalkan
peraturan tersebut juga bisa membawa kekacauan. Namun demikian, karena dia
adalah bagian dari peraturan landreform. ada baiknya ketentuan tersebut kita
bahas disini.
0 comments:
Posting Komentar