Hadi Wahono
Pemahaman tentang adanya hubungan antara
masalah ekonomi rakyat dan politik, atau antara kesejahteraan rakyat dengan
politik, atau lebih khas lagi antara persamaan atau perbedaan penguasaan
ekonomi yang berlangsung dalam suatu masyarakat dengan masalah politik, telah
dikenal lebih dari dua ribu lima ratus tahun yang lalu. Hubungan masalah ini
paling tidak sudah dikenal pada masa negara kota Athena pada lebih kurang tahun
500 sebelum Masehi ketika Solon (638 - 558 sebelum Masehi) memegang jabatan
sebagai Archon (semacam perdana menteri) Athena. Pengangkatannya sebagai Archon
memberinya kekuasaan penuh untuk melakukan pembenahan kehidupan kenegaraan yang
nampaknya mulai mengalami kemerosotan. Yang menarik dari perombakan yang
dilakukan oleh Solon (638 - 558 sebelum Masehi) ketika mulai memegang jabatan
sebagai Archon adalah selain diselenggarakan perombakan dalam sistem
ketatanegaraan, juga dibuatnya aturan-aturan kearah perbaikan perekonomian.
Aturan yang terpenting dalam soal perekonomian ialah aturan Seisachtheia, yang
artinya menghapuskan segala beban. Beban-beban yang dihapuskan adalah, yang
pertama, segala hutang, baik yang kepada negara maupun yang kepada
perseorangan. Kedua jenis hutang ini dinyatakan hapus. Yang kedua, orang tidak
boleh menjadi hamba sahaya (mirip budak, tetapi tidak berstatus sebagai budak)
karena hutang. Ketiga, jumlah bunga dari pinjaman diturunkan. Keempat, hal mata
uang diatur kembali. Kelima, soal tanah diatur kembali. Aturan Seisachtheia itu
berakibat bahwa orang-orang yang dahulu menggadaikan tanahnya, dapat mengambil
kembali tanahnya tanpa harus membayar pinjamannya. Orang-orang yang menjadi
hamba karena hutang menjadi orang bebas tanpa membayar hutangnya. Solon juga
membatasi luas tanah yang boleh dimiliki seseorang. Maksudnya ialah mencegah
tumbuhnya orang-orang yang terlalu kaya disamping orang yang menjadi miskin.
Ada dua alasan mengapa orang-orang kaya
Athena tidak menentang aturan Solon tersebut. Yang pertama, disebabkan oleh
kepatuhan mereka pada keputusan yang dibuat berdasarkan kesepakatan. Mereka
memandang bahwa Solon memang sudah diberi kewenangan penuh untuk memperbaiki
berbagai keadaan masyarakat, karena itu, keputusan-keputusannya dalam rangka
memperbaiki kehidupan rakyat harus dipatuhi.[1] Yang
kedua, karena Solon dapat meyakinkan orang-orang kaya, bahwa peraturannya
tersebut sesungguhnya untuk kepentingan mereka juga, karena kalau kemiskinan
dalam masyarakat itu tidak dicegah, maka tidak lama lagi pasti akan timbul
pemberontakan rakyat miskin. Jika pemberontakan demikian terjadi, maka
orang-orang kaya tidak hanya akan kehilangan kekayaannya, tetapi bisa saja
kehilangan seluruh keluarganya. Selain aturan-aturan seisachtheia, Solon juga
membuat berbagai aturan untuk memperbaiki ekonomi negara dengan usaha
meningkatkan produksi minyak zaitun dan anggur yang saat itu sudah terkenal di
mancanegara, perbaikan perusahaan-perusahaan kerajinan, dan peternakan lebah.
Menurut Solon, kemajuan ekonomi masyarakat Athena adalah syarat mutlak untuk
mengatasi segala kesulitan didalam negeri.
Selain Solon, yang merupakan seorang praktisi
kenegaraan (negarawan), Plato, seorang filsof masa Yunani kuno, juga sudah
menyadari pengaruh masalah ekonomi masyarakat pada masalah politik suatu
negara. Menurut Plato, semangat golongan dan kepartaian di negara kota Athena
pada masa hidupnya (pada lebih kurang tahun 400 sebelum Masehi), menyebabkan
ketidak stabilan politik. Adanya semangat golongan dan kepartaian tersebut,
menurut Plato disebabkan oleh adanya pertentangan yang bersifat ekonomis antara
mereka yang kaya dan mereka yang miskin.
Golongan oligarki menghendaki perlindungan
terhadap miliknya serta penagihan hutang-hutangnya, bagaimanapun beratnya arti
beban ini untuk kaum miskin. Sementara itu, golongan demokrat lebih condong
terhadap rencana untuk membantu warganegara yang miskin dan menganggur atas
biaya pemerintah, yang artinya dengan memungut uang dari orang-orang kaya.
Dengan demikian, kata Plato, didalam negara yang bagaimanapun kecilnya,
sesungguhnya ada dua negara, yaitu negara golonga yang kaya, dan negara
golongan yang miskin, yang terus menerus berada dalam keadaan perang antara
satu dan lainnya (Sabine, G.H., 1992: 45).
Karena itu, untuk menghilangkan faksionalisme
dalam negara kota, Plato mengusulkan untuk menghapuskan milik pribadi sama
sekali bagi mereka yang memegang kepemimpinan negara dan tentara, baik itu
berupa rumah, tanah, maupun uang. Karena itu, mereka harus hidup dalam asrama,
dan makan bersama-sama. Karena mereka tidak mempunyai milik, maka bagi mereka
perkawinan monogami juga harus dihapuskan, dan digantikan dengan perkawinan
sistem promiskuitet (berganti-ganti pasangan antara banyak laki-laki dengan
banyak perempuan).
Plato bukanlah satu-satunya yang percaya
bahwa pertentangan ekonomis antara para warganegara merupakan suatu keadaan
politik yang berbahaya. Menurut G.H. Sabine:
Pada umumnya orang-orang Yunani bersikap
terus terang untuk mengakui bahwa motif ekonomis berpengaruh besar terhadap
politik dan kerjasama politik. Lama sebeum terbitnya buku “republik” karya
Plato, Euripides telah membagi warganegara dalam tiga golongan yaitu golongan
kaya tetapi tidak berguna yang senantiasa menginginkan lebih banyak, golongan
miskin yang tidak punya apa-apa yang terus menerus diliputi perasaa iri hati,
dan goongan menengah yang terdiri dari orang-orang kuat yang menyelamatkan
negara.
Bagi orang Yunani negara oligarki adalah
suatu negara yang diperintah oleh dan untuk kepentingan golongan bangsawan,
dimana milik bersifat turun temurun, sedang negara demokrasi adalah suatu
negara yang diperintah oleh dan untuk orang banyak, yang tidak mempunyai
kelahiran maupun milik (Sabine, G.H.,
1992: hal 58).
Aristoteles, murid Plato, juga merupakan
filsof yang memandang bahwa masalah ekonomi berpengaruh pada masalah politik
suatu negara. Bahkan, menurut Aristoteles, bentuk pemerintahan suatu negara
ditentukan oleh kekayaan pemegang jabatan pemerintahan. Dalam membedakan
bentuk-bentuk pemerintahan, Aristoteles menggunakan dasar jumlah orang yang
memegang pemerintahan dan golongan mereka dalam ekonomi masyarakat (golongan
kaya, atau golongan miskin). Bahkan, menurut Aristoteles, kekayaan pemegang
kekuasaan lebih berpengaruh pada bentuk pemerintahan dari pada jumlah orang
pemegang kekuasaan pemerintahan. Menurut Aristoteles, tirani merupakan pemerintahan
oleh satu orang dari asosiasi politik dalam garis despotisme, sedang oligarki
ada jika dalam masyarakat yang bersangkutan kekuasaan yang berdaulat dipegang
oleh orang kaya, dan demokrasi jika kekuasaan dipegang oleh orang-orang miskin.
Menurut Aristoteles, ketiga sistem tersebut tidak memungkinkan negara untuk
berlangsung dengan baik, tak akan ada kerukunan didalamnya, dan akibatnya
negara tidak akan dapat bertahan lama, dan akan segera mengalami kehancuran,
karena dalam tirani dan oligarki, orang-orang miskin tersingkir dari
pemerintahan, dan pada negara demokrasi, orang-orang miskin akan berusaha
merampas harta orang-orang kaya untuk dibagikan diantara mereka. Hal ini akan
mengakibatkan perpecahan dan kehancuran negara yang bersangkutan. Dari pandangannya
inilah kemudian Aristoteles, sebagaimana halnya konsep Euripides,
mengusulkan bahwa pemerintahan suatu negara seharusnya dipegang oleh kelas
menengah masyarakat negara yang bersangkutan, karena hanya negara yang
kekuasaannya dipegang oleh kelas menengah saja yang dapat menjadi negara yang
stabil dalam pemerintahannya, karena kelas ini dapat menjadi penyeimbang antara
kepentingan warganegara yang miskin dengan warganegara yang kaya.
Pemikiran yang sama juga dianut oleh para pendiri negara Republik
Indonesia (the Founding Fathers). Para pendiri negara Indonesia menganut
pemikiran bahwa negara tidak hanya berfungsi sebagai penjaga malam, tetapi
harus terlibat didalam masalah perekonomian dan kesejahteraan warganya. Bahkan
kesejahteraan rakyat menjadi tujuan pembentukan negara ini. Hal ini nampak
jelas dari bunyi alinea keempat pembukaan UUD RI. Disamping itu, dari alinea
keempat pembukaan UUD juga dengan jelas dinyatakan bahwa tujuan negara yang
berupa memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa harus
didasarkan pada prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan akan
dicapai melalui sistem pemerintahan yang demokratis. Prinsip-prinsip ini
kemudian ditegaskan kembali dalam batang tubuh UUD. Dengan demikian, didalam
UUD 1945 baik didalam pembukaan maupun batang tubuhnya, telah dicanangkan
secara lengkap mengenai tujuan negara dan prinsip dasar tujuan yang dimaksud,
bersamaan dengan cara pencapaiannya, yaitu untuk memajukan kesejahteraan umum
yang berlandaskan pada prinsip keadilan sosial yang harus dicapai melalui
cara-cara yang demokratis. Dengan demikian, maka berarti negara Indonesia bukan
hanya dituntut untuk terlibat didalam urusan ekonomi rakyatnya, tetapi bahkan
dituntut untuk secara aktif memajukan kesejahteraan rakyatnya, karena
kesejahteraan rakyat tersebutlah yang menjadi tujuan didirikannya negara
Indonesia.
Faham mengenai kleterlibatan negara dalam
urusan ekonomi rakyatnya atau lebih tepatnya kesejahteraan rakyatnya, sebagaimana yang dianut oleh para pendiri Negara
Republik Indonesia, paling tidak menimbulkan dua jenis
pertanyaan, yaitu, yang pertama, apakah keterlibatan negara didalam berbagai
kegiatan kesejahteraan masyarakat dapat dilaksanakan melalui sistem demokrasi?
Atau dengan kata lain, apakah demokrasi merupakan sistem yang sesuai, yang
dapat digunakan untuk melaksanakan tujuan memajukan kesejahteraan rakyat?
Apakah sistem demokrasi tidak malah akan menghambat pencapaian tujuan tersebut?
Sementara itu, pertanyaan yang kedua adalah, apakah keterlibatan negara dalam
masalah kesejahteraan masyarakat tidak malah akan merugikan pelaksanaan
demokrasi? Dengan kata lain, apakah keterlibatan negara dalam urusan
kesejahteraan rakyatnya tidak akan mengakibatkan sulitnya pelaksanaan
demokrasi, bahkan akan mengakibatkan semakin tidak demokratisnya
penyelenggaraan kehidupan bernegara?
Atas pertanyaan tersebut, banyak pemikir
kenegaraan yang memandang bahwa keterlibatan negara dalam menyelesaikan masalah
ekonomi rakyatnya, khususnya didalam memajukan kesejahteraan rakyatnya, akan
merupakan fungsi yang merugikan bagi penyelenggaraan demokrasi, dan sebaliknya,
demokrasi akan dapat merugikan usaha negara didalam usahanya untuk memajukan
kesejahteraan rakyatnya. Mereka menganggap bahwa antara penyelenggaraan sistem
demokrasi dengan keterlibatan negara dalam usaha memajukan kesejahteraan
rakyatnya dipandang sebagai dua sistem yang saling bertentangan, dimana
keberadaan yang satu akan melemahkan yang lainnya. Pandangan demikian dianut
oleh teoritisi demokrasi liberal (klasik). Bagi mereka keterlibatan negara
didalam urusan ekonomi rakyat dapat merugikan demokrasi karena keterlibatan
negara tersebut akan dapat mengakibatkan tak terhindarkannya lagi kondisi
semakin meluasnya dan semakin rumitnya urusan pemerintahan negara, yang berarti
juga semakin membesarnya birokrasi pemerintahan. Kondisi pemerintahan demikian
ini dipandang akan merugikan penyelenggaraan demokrasi karena dengan semakin
meluasnya dan semakin rumitnya urusan pemerintahan negara, yang berarti juga
semakin membesarnya birokrasi pemerintahan akan semakin mempersulit peran
rakyat untuk berpartisipasi didalam penyelenggaraan negara, baik partisipasi
dalam pemerintahan langsung maupun sekedar untuk melakukan pengawasan atas
penyelenggaraan negara dan melakukan pemilihan pemimpin negara yang dapat
menjamin baik kesejahteraan rakyat maupun keberlangsungan demokrasi dengan
baik. Kontrol atas kegiatan pemerintahan yang sangat luas dan rumit akan
menjadi suatu usaha yang sangat sulit, yang seringkali berada diluar jangkauan
rakyat untuk melakukannya. Karena itu, para penganut teori demokrasi liberal
klasik memandang bahwa negara tidak seharusnya terlibat didalam usaha
kesejahteraan rakyatnya, bahkan tidak seharusnya ikut campur didalam urusan
ekonomi rakyatnya. Bagi mereka, negara seharusnya hanya berfungsi sebagai
penjaga malam, yaitu berfungsi didalam menjaga ketertiban dan keamanan
masyarakat semata, sementara urusan ekonomi harus dibiarkan diurus oleh rakyat
sendiri tanpa campur tangan negara (laissez faire).
Menurut teoritisi demokrasi liberal, campur
tangan negara didalam urusan ekonomi rakyat bukannya akan memperbaiki
perkembangan ekonomi tetapi malah akan memperburuk keadaan, karena ekonomi
masyarakat memiliki hukum-hukumnya sendiri. Hukum-hukum ekonomi masyarakat
tidak akan membiarkan ekonomi masyarakat berlangsung timpang, karena pasar akan
membangun keseimbangannya kembali melalui tangan-tangan yang tak kelihatan
(invisible hand). Tangan-tangan yang tak kelihatan yang berupa hukum-hukum
ekonomi inilah yang akan turut campur dalam urusan ekonomi masyarakat secara
sesuai dengan prinsip dasar ekonomi. Karena itu, campur tangan pihak diluar
entitas ekonomi, yang dalam hal ini adalah negara, bukannya akan memperbaiki
kondisi ekonomi masyarakat, malah sebaliknya akan merusakkan hukum-hukum
ekonomi yang ada. Dengan adanya tangan-tangan yang tak kelihatan yang turut
campur didalam masalah ekonomi rakyat, ekonomi akan berlangsung dalam
keseimbangan permanen menuju pada kemakmuran bersama. Bahkan mereka memandang
negara, yang mempunyai kecenderungan semakin menumpuk kekuasaan pada dirinya,
yang pada akhirnya akan beresiko membatasi kebebasan orang, sebagai sesuatu
yang jahat, yang buruk, tetapi yang dibutuhkan (the needed evil). Karena itu,
bagi mereka, kewenangan negara harus dibatasi seminimal mungkin.
Para pengkritik liberalisme klasik tidak
hanya datang dari kelompok kiri (Marxis, Sosialis, Komunis), tetapi juga datang
dari para pendukung liberalisme (modern) sendiri (sekedar untuk membedakannya
dari teoritisi liberal klasik,
tetapi juga berbeda dengan kaum neoliberal). Hal ini disebabkan
karena sejarah telah membuktikan bahwa lepas tangannya negara dari bidang
ekonomi mengakibatkan kehidupan ekonomi yang memburuk. Revolusi industri di
Inggris memberi gambaran buruk mengenai usaha ekonomi yang bebas
sebebas-bebasnya. Masyarakat kelas bawah yang tidak memiliki apa-apa selain
tenaganya (proletar) harus hidup ditempat-tempat kumuh yang tak layak huni,
anak-anak dibawah usia 12 tahun harus bekerja selama lebih dari 16 jam sehari
tanpa jaminan apapun juga. Kemiskinan merajalela diantara sedikit orang yang
sangat kaya raya. Dari sudut ekonomi, perusahaan-perusahaan yang bersaing
dengan bebas mengakibatkan mereka yang kecil, yang lemah, harus gulung tikar
digilas oleh yang kuat. Akibatnya, yang terjadi kalau tidak monopoli adalah
oligopoli. Kondisi ini jelas menunjukkan tidak bekerjanya “invisible hand”
dalam bidang ekonomi.
Berdasarkan realitas kehidupan ekonomi bebas
yang sebebas-bebasnya ini, baik kaum Marxis, Sosialis, Sosial Demokrat,
Komunis, Liberal (modern), menyetujui berperannya negara dalam urusan ekonomi
rakyat. Perbedaan mereka adalah dalam soal seberapa jauh negara berperan dalam
masalah ekonomi rakyat. Bagi teoritisi liberal modern, negara dituntut perannya
didalam pengaturan, sehingga tidak terjadi persaingan yang curang, yang tidak
sehat, dan tidak timbul monopoli, dan sebagainya. Disamping itu, negara juga
berperan dimana rakyat sendiri tidak dapat melakukannya atau tidak dapat
melakukan dengan baik.
Persamaan Ekonomi dan
Demokrasi
Dalam hubungan dengan keterlibatan negara
dalam ekonomi rakyatnya, khususnya yang menganut prinsip keadilan sosial, ada
yang memandang bahwa prinsip keadilan sosial sebagai prinsip memajukan
kesejahteraan umum mempunyai makna persamaan ekonomi rakyat. Bahkan ada yang
memandang bahwa adanya persamaan dalam bidang ekonomi rakyat bukan saja
merupakan persyaratan penting dari pelaksanaan yang ideal sistem demokrasi,
tetapi bahkan merupakan persyaratan mutlak yang tak dapat ditawar-tawar lagi
(conditio sine qua non)[2]. Tanpa persamaan ekonomi,
demokrasi yang berarti pemerintahan rakyat, hanya akan menjadi khayalan semata.
Dalam keadaan ketidak
samaan dalam bidang ekonomi, khususnya bila terjadi gap yang menyolok antara
mereka yang kaya dan yang miskin, maka yang akan terjadi adalah oligarkhi,
karena ketidak merataan dalam bidang ekonomi akan menimbulkan ketidak merataan
dalam segala bidang kehidupan. Pendidikan yang dikenyam oleh orang kaya akan
jauh berbeda dengan orang miskin. Anak-anak orang kaya akan bersekolah
disekolah-sekolah yang terbaik sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi,
sementara anak orang miskin akan dimasukkan kesekolah yang paling murah dan
kemungkinan kecil untuk melanjutkan pendidikannya hingga kejenjang perguruan
tinggi. Bahan bacaan yang dibaca oleh anak-anak orang miskin akan berbeda
dengan yang dibaca oleh anak-anak orang kaya, bahkan mungkin anak-anak orang
miskin hampir-hampir tidak pernah membaca buku diluar pelajaran sekolahnya,
itupun kalau mereka memilikinya. Kalaupun mereka mempunyai minat membaca,
kesempatan untuk itu sering juga tidak mereka miliki, karena mereka seringkali
harus membantu orang tua untuk mengasuh adik, membantu usaha rumah tangga orang
tua, membantu urusan rumah tangga, mencari rumput dan menggembalakan ternak (bagi
anak-anak desa), bahkan tak jarang yang harus bekerja untuk membantu ekonomi
orang tua. Sementara itu, anak orang kaya mempunyai kesempatan sepenuhnya untuk
bermain dan membaca, bukan saja karena mereka memiliki buku bacaan yang mereka
butuhkan, tetapi juga karena mereka memiliki banyak waktu dan kesempatan.
Kondisi demikian sangat berpengaruh pada perkembangan anak dimasa mendatang,
karena kehilangan kesempatan ini hampir-hampir tak dapat diperbaiki lagi pada
masa dewasanya.
Ada juga keahlian lainnya yang esensial
bahkan untuk pekerjaan yang relatif kasar pun yang diperlajari seorang anak
dengan memainkan mainannya. Seorang anak yang menyusun potongan-potongan atau
bagian-bagian dari sebuah mainan sedang mempelajari keahlian yang harus
dipelajari oleh anak-anak lainnya kemudian. Seorang anak dari daerah miskin
mungkin belum pernah melihat cermin dan karenanya ia tidak mengenal wajahnya
sendiri sebagai individu. Pengaruh dari hal-hal ini terhadap kehidupan seorang
anak dapat besar sekali, dan kita tidak tahu pasti apakah pengaruh tertentu
dapat bertahan untuk anak yang telah memasuki pendidikan. Jadi anak-anak pada
usia 5 atau 6 tahun dapat menghadapi hambatan-hambatan yang tidak akan pernah
dapat diatasinya lagi. Mereka mungkin telah kehilangan kesempatan untuk
mengembangkan potensi mereka secara penuh. Memang ada perkecualian. Ada
anak-anak yang dilahirkan dalam bentuk kemiskinan ini yang mampu mengatasi
hambatan tersebut. Namun mayoritas tidak dan dalam semua kemungkinan tidak
dapat, karena mainan-mainan dan buku-buku tadi hanyalah dimiliki oleh anak-anak
dari orang tua yang mampu dan punya waktu untuk bermain dengan mereka (Sargent,
Lyman Tower, 1987: 35).
Perbedaan kesempatan dalam berbagai hal
antara anak-anak orang miskin dengan anak-anak orang kaya dan elit masyarakat
tidak hanya berhenti pada masa kanak-kanak, tetapi terus berlanjut hingga masa
dewasa mereka. Ketika semua pemuda direkruit menjadi militer untuk berperang
(khususnya di negara-negara yang mengenal wajib militer), anak-anak orang kaya
bisa dengan berbagai cara menghindari peperangan. Hal ini terjadi misalnya pada
diri George Walker Bush, yang konon kabarnya, ketika terkena wajib militer bisa
bergabung dengan Pasukan Keamanan Nasional (Garda Nasional), yang jelas tidak
akan dikirim untuk berperang keluar negeri, bahkan kabarnya sering mangkir
tanpa mendapatkan hukuman. Sementara itu, anak-anak orang miskin harus
berperang di Korea, Vietnam, atau Irak, atau menghadapi hukuman pidana jika
menolak (Mohammad Ali, seorang petinju legendaris, harus mendekam dipenjara
selama lima tahun karena menolak berperang di Vietnam).
Ketika mereka memasuki partai politik, mereka
akan dengan mudah memasuki elite partai, karena orang tuanya mempunyai hubungan
baik dengan para petinggi partai, atau bahkan salah satu pimpinan partai.
Sementara orang-orang miskin harus berjuang dari bawah, dan tampaknya
hampir-hampir tidak mungkin untuk naik kejenjang atas, karena dibarisan elite
telah dipadati olah anak-anak elite. Mereka tidak mungkin naik jenjang lebih
dari pada menjadi pengikut (kecuali bila mereka memasuki partai baru, yang
belum mendapat dukungan banyak elite politik). Bagi anak-anak orang miskin,
untuk mencapai jenjang kepemimpinan partai mungkin diperlukan waktu hingga dua
atau tiga generasi, itupun kalau masing-masing mereka memiliki kemampuan yang
luar biasa, sehingga setiap generasi terus menerus mengalami kenaikan jenjang
kepemimpinan.
Ketika tiba masa pemilihan umum, suara
orang-orang miskin, khususnya ketika mereka sudah terhimpit kebutuhan hidup yang
mendesak, akan sangat mudah dibeli. Kalaupun tidak dapat dibeli, pilihan mereka
tidak didasarkan pada pertimbangan yang memadai, karena informasi yang mereka
miliki tidak cukup akurat, karena mereka hanya mampu membaca koran dan majalah
bekas. Sementara itu, orang-orang kaya, bukan hanya mampu membeli berita,
tetapi bahkan untuk membuat berita. Kalau ingin mempengaruhi pendapat umum,
mereka bahkan bisa membuat penerbitan, atau pemancar radio atau bahkan
televisi. Sementara itu, orang miskin, untuk membuat selebaran foto copy-an pun
tidak mampu.
Bahkan disparitas yang mencolok dalam bidang
ekonomi akan sangat berpengaruh bukan saja pada pelaksanaan sistem demokrasi,
tetapi juga mempunyai pengaruh besar pada bidang-bidang kehidupan masyarakat
yang lain. Dalam hubungan dengan ketidak adilan ekonomi ini, Jeffrey H.
Reimann, dari School of Justice of American University, Washington D.C., telah
melakukan peninjauan yang mendetail (dengan menyajikan data-data pendukung yang
banyak) mengenai hubungan antara orang-orang dari berbagai kelas sosial di
Amerika Serikat dengan kemungkinan penangkapan, pengadilan, dan hukuman, jika
mereka dituduh melakukan tindak pidana. Kesimpulannya adalah:
Untuk tingkah laku kriminal yang sama,
orang-orang miskin lebih mungkin ditangkap; jika ditangkap, mereka lebih
mungkin dikenai tuduhan; jika dikenai tuduhan, mereka lebih mungkin disidangkan
dipengadilan; jika disidangkan, mereka lebih mungkin dikenai hukuman penjara;
dan jika dihukum penjara, mereka lebih mungkin dikenai masa hukuman yang lebih
lama dari pada anggota kelas menengah dan kelas atas.
Pemuda anak orang kaya yang telah dituduh
melakukan tindakan kriminal seringkali hanya ditahan dikantor polisi hingga
anak muda tersebut dapat dilepaskan kepada orang tua walinya; sementara itu,
pemuda anak orang miskin yang telah melakukan kejahatan yang sama, lebih sering
langsung dilakukan pendakwaan dan dikirim ke pengadilan anak-anak (Tischler,
Whitten, dan Hunter, 1986: 292).
Studi ini menunjukkan bahwa perbedaan
perlakuan, baik oleh aparat maupun masyarakat terhadap orang kaya yang berbeda
dengan terhadap orang miskin tidak hanya terjadi dinegeri kita, tetapi juga
dinegeri yang katanya paling demokratis, yang sering kita gunakan sebagai acuan
didalam memahami demokrasi yang benar. Perbedaan perlakuan akan berarti
perbedaan kesempatan yang tersedia, yang mereka miliki dan yang diberikan oleh
masyarakat. Karena itu, banyak pemikir demokrasi yang memasukkan persamaan
ekonomi kedalam persyaratan demokrasi. Menurut mereka, tanpa persamaan, tidak
akan pernah ada demokrasi.
Gambaran diatas memperkuat apa yang telah
disinyalir oleh teoritisi elit lebih dari seratur tahun yang lalu. Salah satu
dari teoritisi elit tersebut adalah Gaetano Mosca (1858 1941). Mosca
adalah seorang profesor hukum tatanegara (Constitutional Law) pada berbagai
universitas Itali, ahli sosiologi dan salah seorang pemikir politik yang
menonjol dari aliran teori elit. Mosca mendapati bahwa semua masyarakat dapat
dibagi kedalam dua kelas atau kelompok, yaitu kelas atau kelompok penguasa dan
kelompok yang dikuasai. Pembagian ini tidak hanya terbatas pada masyarakat dan
lembaga non-demokratis, tetapi juga dapat dikenali dibawah naungan
lembaga-lembaga demokrasi. Gejala fundamental dari kehidupan politik adalah
kekuasaan minoritas atas mayoritas, bukannya sebaliknya. Pemilihan tidak
mengubah posisi, karena minoritas mengorganisir pemilihan, mengajukan calon dan
mempengaruhi massa. Karena itu, bagi Mosca, sesungguhnya hanya ada satu bentuk
pemerintahan, yaitu Oligarki (meskipun berbaju demokrasi).
Kelas penguasa, yang jumlahnya lebih sedikit
memegang semua fungsi politik, memonopoli kekuasaan dan menikmati
keuntungan-keuntungan yang didapatnya dari kekuasaan. Sementara kelas yang
kedua, yaitu kelas yang dikuasai, yang jumlahnya lebih besar, diatur dan
dikontrol oleh kelas penguasa, dengan cara yang saat ini dipandang kurang lebih
legal, terwakili, dan mensuplai kebutuhan kelas penguasa, paling tidak pada
saat kemunculannya, dengan instrumen-instrumen yang penting bagi vitalitas
organisme politik. Menurut Mosca, semakin besar suatu masyarakat politik, akan
semakin kecil kesempatan dan proporsi mereka yang diperintah untuk mengatur
mereka yang memerintah, dan semakin sulit bagi mayoritas untuk mengorganisir
reaksi mereka terhadap kelompok minoritas tersebut.
Yang membedakan sedikit orang yang menduduki
posisi sebagai elite dari massa adalah bahwa elite mempunyai kemampuan yang
lebih dari pada massa. Mereka adalah orang-orang superior. Menurut Mosca ada
empat faktor yang menjadi dasar sosial dari kekuasaan suatu kelas, yaitu
kekayaan, kelahiran, kemampuan militer, dan pengetahuan. Kekayaan telah menjadi
karcis untuk memasuki kelas penguasa baik didalam oligrarki Yunani kuno dan
didalam masyarakat barat modern yang merupakan masyarakat kapitalis. Dengan
kekayaan, orang dapat membeli kekuatan militer dan mencari pengetahuan yang
paling tinggi, atau paling tidak membeli orang-orang yang memiliki pengetahuan
untuk mereka gunakan.
Karena itu, walaupun ada kebebasan memilih
dan dipilih, kebebasan pers, dan berbagai kebebasan yang lain, pada akhirnya
yang dapat tampil kedepan hanya mereka yang kaya. Apalagi, realitas pemilihan
umum dalam masyarakat modern, terlebih lagi pemilihan presiden, memerlukan dana
yang sangat besar. Bahkan, di Indonesia beberapa partai politik mensyaratkan
bahwa hanya mereka yang mampu menyediakan (yang mereka istilahkan sebagai)
“amunisi” untuk partai yang berhak mencalonkan diri dalam pemilihan umum dari
partai yang bersangkutan. Kita ingat, alasan pengunduran diri salah seorang
calon presiden dari konvensi salah satu partai politik adalah karena dia tidak
mampu menjawab pertanyaan mengenai seberapa besar “amunisi” yang bisa dia
sediakan bagi partai yang bersangkutan untuk mengusungnya dalam bursa
pencalonan presiden. Akibatnya, yang terjadi bukannya sistem demokrasi, tetapi
oligarki.
Dalam pidatonya dalam rangka kursus Pancasila
di istana negara pada tanggal 3 September 1958, bung Karno, menjelaskan
bekerjanya sistem demokrasi liberal, dan kemudian dengan mengutip Jean Juarez,
seorang tokoh Demokrasi Sosial, mengatakan:
Semua harus ikut, sekarang harus dengan
bermusyawarah. Dan “liberale politiek” boleh tiap-tiap orang mengusulkan, boleh
tiap-tiap orang pidato, boleh tiap-tiap orang dipilih.
Kelanjutan daripada revolusi Perancis, rakyat
jelata terpukul. Saudara-saudara akan bertanya: kalau begitu bagaimana,
pengusaha-pengusaha itu kan kalah dengan rakyat jelata? Kan maksudnya
pengusaha-pengusaha ini mau mengadakan hukum-hukum, peraturan-peraturan,
wet-wet, yang cocok dengan kepentingan sipengusaha, mau mengadakan hukum-hukum,
peraturan-peraturan, wet-wet, untuk menjadi bumi subur bagi “Kapitalismus im
aufstieg”. Tapi kalau rakyat jelata semuanya diperbolehkan masuk parlemen,
boleh memilih dan dipilih, kan kalah “stem” kaum pengusaha?
Tidak saudara-saudara, didalam prakteknya
mereka telah mengetahui lebih dulu, bahwa pemilihan parlemen itu selalu dengan
“campagne”, dengan “propaganda”, dan mereka sudah tahu: kami yang memegang
alat-alat propaganda kami yang bisa membiayai surat-surat kabat, kami yang bisa
membiayai segala alat-alat yang lain. Bahkan kami kaum pengusaha itu membiayai
sekolah-sekolah, universitas-universitas.
................ “Didalam parlementaire
democratie tiap-tiap orang bisa menjadi raja. Tiap-tiap orang bisa memilih,
tiap-tiap orang boleh dipilih. Tiap-tiap orang bisa memupuk kekuasaan untuk
menjatuhkan menteri-menteri dari singgasananya”. Dan memang, didalam
parlementaire democaratie, menteri yang sudah kuasa itu, didalam perlementaire
demoratie bisa dijatuhkan oleh si jembel, wakil-wakilnya yang duduk dalam
parlemen itu. Menteri yang berkuasa dijatuhkan oleh anggota-anggota parlemen.
Dibidang politik tiap-tiap kita adalah
laksana raja. Tetapi di bidang ekonomi tidak demikian. Si kaum buruh yang pada
hari ini didalam parlemen adalah seorang raja, besok pagi didalam pabriknya ia
bisa dilempar keluar dari pabriknya itu menjadi orang yang tiada bekerja. Si
kaum buruh yang menjadi anggota parlemen ini hari bisa menjatuhkan menteri,
tetapi kembali didalam pabrik dia adalah buruh dibawah kekuasaan sang majikan,
bisa dilepas bisa dijadikan orang yang “op de koelien”, hidup sengsara.
Oleh karena itu, Juarez pada permulaan abad
ke-20 itu tahun 1903, dia sudah menjatuhkan “vonnis” kepada demokrasi
parlementer. Ia menghendaki politiek economische democratie, demikian pula
Liebnecht, demikian pula banyak pemimpin-pemimpin lain. (dikutip dengan
penyesuaian ejaan dari: Karno, bung, 1960: 121 – 124).
Persamaan Ekonomi Tidak
Menyelesaikan Masalah
Ada dua alasan yang dapat dikemukakan untuk
menentang pandangan bahwa persamaan ekonomi merupakan persyaratan bagi upaya
mendemokratisasi kehidupan kenegaraan masyarakat. Yang pertama, persamaan
ekonomi bukan merupakan satu-satunya faktor penyebab munculnya oligarki (dalam
sistem yang demokratis sekalipun). Sebagaimana yang dikemukakan oleh Gaetano
Mosca, ada empat faktor yang menyebabkan sedikit orang (elit) memiliki
kemampuan untuk menguasai banyak orang (massa). Faktor-faktor tersebut, selain
faktor ekonomi adalah faktor keturunan, faktor penguasaan pengetahuan, dan
faktor kekuatan militer.
Faktor keturunan merupakan realitas yang tak
terhindarkan yang menentukan posisi seseorang dalam meraih kekuasaan, khususnya
dalam masyarakat modern yang sudah tidak menggunakan sistem undian didalam
mendudukkan warganya pada jabatan-jabatan pemerintahan. Bagaimanapun, keturunan
seorang pejabat penting (dalam masyarakat yang ekonominya sangat merata
sekalipun), akan mempunyai kesempatan yang lebih daripada anak orang-orang yang
tidak pernah menduduki jabatan. Sejak kecil, mereka telah menjadi sorotan
publik, mereka telah menjadi bagian dari berita, yang sesungguhnya semua itu
merupakan iklan gratis bagi pencalonannya kelak jika dia mau memasuki kancah
politik negerinya. Apalagi anak seorang pemimpin kharismatik yang memukau, oleh
massa di Asia dipandang akan mewarisi sebagian kharisma orang tuanya. Keluarga
Nehru di India merupakan salah satu contoh bagaimana kharisma Yawaharlal Nehru
dapat memancar hingga kepada cucu-cucunya. Di Pakistan kita mengenal nama
Benazir Bhuttho, yang adalah anak Zulfikar Ali Bhuttho, Perdana Menteri
Pakistan yang pada tahun 1977 digulingkan dalam suatu kudeta militer oleh
Jendral Zia ul-Haq. Di Indonesia kita mengenal anak Soekarno, seorang pemimpin
kharismatik yang memukau, bukan saja rakyat Indonesia, tetapi masyarakat dunia
ketiga. Mungkin beberapa tahun lagi kita akan membaca nama anak Soeharto
sebagai calon presiden.
Faktor penguasaan pengetahuan juga merupakan
faktor penentu bagi seseorang untuk menduduki posisi tertentu didalam
masyarakat, baik masyarakat modern maupun masyarakat tradisional yang masih
bersifat sangat egaliter sekalipun. Dalam kondisi persamaan ekonomi yang cukup
ekstreem, selain keturunan, pengetahuan merupakan karcis terpenting untuk naik
kejenjang kepemimpinan. Dalam masyarakat yang masih sangat bersahaja, seseorang
yang mempunyai pengetahuan obat-obatan akan menduduki posisi sebagai elit
masyarakat. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Tuchydides, demokrasi Yunani sesungguhnya
dikuasai oleh para pemimpin yang memiliki kemampuan mempengaruhi orang banyak.
Pericles, walaupun seorang panglima perang, sesungguhnya adalah pemimpin negara
kota Yunani, hanya karena kecerdasannya yang mampu mempengaruhi dewan eksekutif
(Boule) dan Dewan Rakyat (Ekklesia). Karena itu, orang mengatakan bahwa
pengetahuan adalah kekuasaan. Masalahnya, apakah untuk menghindari oligarki
maka setiap orang juga tidak boleh memiliki pengetahuan yang lebih daripada
orang lain atau masyarakat kebanyakan? Sesuatu yang tidak mungkin.
Sementara itu, kekuatan militer yang dapat
digunakan untuk naik kejenjang kekuasaan negara dapat kita lihat bertebaran
diseantero dunia ketiga. Hampir semua diktator naik ketampuk kekuasaan melalui
kekuatan militer. Bahkan, Julius Caesar, melalui kemenangan-kemenangan militer
yang memukau Senator-Senator Romawi, hingga secara resmi diangkat sebagai
diktator untuk 10 tahun. Demikian juga halnya dengan Napoleon Bonaparte, yang
bisa menduduki jabatan konsul karena kemampuan militernya yang mengagumkan,
hingga pada akhirnya memproklamirkan dirinya (secara resmi dengan restu Paus)
sebagai kaisar Perancis.
Alasan yang kedua, menurut mereka yang
menentang persyaratan persamaan ekonomi bagi berlangsungnya sistem demokrasi,
membangun masyarakat dengan persamaan ekonomi tidak mungkin dapat dilaksanakan
secara demokratis. Satu-satunya jalan adalah melalui kediktatoran. Hal ini
disadari oleh Lenin, pemimpin Komunis pendiri negara Uni Soviet (almarhum).
Sebelum mencapai masyarakat komunis yang sesungguhnya, menurut Lenin, harus
didahului dengan sistem diktator, yang dia sebut sebagai diktator proletariat.
Sistem pemerintahan diktator proletariat tersebut penting, khususnya dalam masa
peralihan ketika masyarakat baru mulai menghapuskan kapitalisme dalam rangka
menuju masyarakat komunis, dan sekaligus sebagai upaya untuk mencegah hidup
kembalinya kapitalisme. Tetapi, menurut Millo von Jilas, didalam bukunya “the
new class”, realitas politik yang terjadi di Uni Soviet bukannya hilangnya
kelas, tetapi munculnya kelas baru, yaitu kelas pemimpin-pemimpin partai
komunis. Usaha melakukan persamaan kelas dalam ekonomi menghasilkan kelas lain
yang didasarkan pada penguasaan pengetahuan (dan didukung dengan kekuatan
militer). Realitasnya, dalam sejarah belum pernah ada masyarakat atau negara
yang mampu menghilangkan sama sekali perbedaan ekonomi masyarakatnya. Karena
itu, tak salah kalau Plato pernah mengatakan, bahwa “setiap kota, bagaimanapun
kecilnya, pada hakekatnya adalah terpecah menjadi dua, yaitu kota orang miskin
dan kota orang kaya” (Sabine, GH., terjemahan, 1992: 19)[3].
Milton Friedman (Budiardjo, Miriam,
Penyunting, 1984: 38 - 39) memberikan gambaran hipotetis mengenai bagaimana
kesulitan penyelenggaraan demokrasi di negara yang menganut sistem persamaan
ekonomi (yang dia sebut sebagai sistem sosialis), dan membandingkannya dengan
sistem pasaran bebas. Menurut friedman, salah satu ciri masyarakat yang bebas
adalah:
Adanya kebebasan orang untuk menganjurkan dan
mempropagandakan secara terbuka perubahan radikal di dalam struktur masyarakat
– selama anjurannya itu terbatas pada persuasi dan tidak mencakup paksaan.
Menurut Milton Friedman, didalam negara
sosialis (yang dimaksudkan adalah negara komunis yang menganut sistem persamaan
ekonomi dengan cara dimana semua kegiatan ekonomi dilaksanakan oleh pemerintah
secara terpusat), akan tidak mungkin, paling tidak akan sangat sulit, bagi
seseorang untuk secara bebas menganjurkan dianutnya sistem kapitalisme. Menurut
Friedman, untuk dapat menganjurkan sesuatu, yang dalam hal ini adalah sistem
kapitalisme, seseorang harus mempunyai cukup uang untuk keperluan
menyelenggarakan pertemuan, untuk menerbitkan pamflet, surat kabat, majalah,
atau buku, dan untuk membeli jam siaran radio atau televisi. Sementara itu, untuk
mendapatkan dana dari orang yang mempunyai uang, hampir-hampir tidak mungkin,
karena dalam negara dengan sistem ekonomi yang tidak bebas, orang-orang yang
mempunyai uang adalah para pejabat negara, yang tidak mungkin bersedia untuk
membiayai kegiatan subversif yang menghancurkan sistem yang mereka anut
sendiri. Jika saja rencana tersebut diajukan kepada pegawai bawahan, masih
besar kemungkinannya mereka menyetujui program demikian, tetapi pegawai bawahan
bisa dipastikan tidak akan memiliki uang yang cukup untuk membiayai berbagai
kegiatan dalam rangka menganjurkan untuk melakukan perubahan sistem tersebut.
Kalaupun, lanjut Friedman, penganjur
perubahan sistem ekonomi menjadi sistem kapitalisme tersebut bisa memperoleh
uang entah dari mana, persoalannya masih akan rumit, karena untuk
menyelenggarakan penerbitan dia tidak bisa membeli kertas dipasar bebas. Orang
tersebut harus meminta pada pabrik kertas milik negara, yang besar
kemungkinannya tidak akan bersedia menjual kertas untuk kegiatan subversi
tersebut. Seandainyapun orang tersebut bisa membeli kertas, untuk mencetaknya
dia harus membujuk pimpinan percetakan yang dimiliki oleh negara untuk mencetak
anjurannya yang menentang sistem tersebut, dan hal ini bisa dipastikan akan
tidak berhasil, dan demikian seterusnya untuk semua kegiatan yang lainnya.
Menurut Milton Friedman, masalahnya akan
berbeda jika anjuran untuk melakukan perubahan sistem tersebut, misalnya orang
yang ingin menganjurkan untuk merubah sistem kapitalisme menjadi sistem
komunisme, yang dilakukan dinegara yang menganut sistem ekonomi pasara bebas.
Dalam masyarakat dengan sistem pasara bebas, si penganjur dapat meyakinkan
orang kaya yang bukan pejabat negara yang jumlahnya banyak, atau mencari dana
dari lembaga-lembaga penyandang dana swasta non-profit yang banyak terdapat di
negara-negara yang menganut sistem pasara bebas. Atau, bahkan si penganjur
dapat tanpa menunjukkan baiknya sistem atau ide yang akan dianjurkannya, dia
dapat membujuk pemilik modal untuk menanamkan dananya didalam bisnis penerbitannya
(baik surat kabar, majalah, atau buku-buku) yang berisi anjuran untuk merubah
sistem kapitalisme menjadi komuisme, selama dia bisa meyakinkan pemilik modal,
bahwa penerbitannya akan memberikan keuntungan finansial. Dalam masyarakat yang
menganut sistem pasara bebas, para pemilik modal tidak akan perduli apakah isi
majalah atau buku yang di jual tersebut sesuai dengan pemikirannya atau tidak,
atau apakah sesuai dengan sistem yang berlaku atau bertentangan atau bahkan
menentang sistem yang berlaku atau tidak. Bagi pemilik modal, yang penting dia
merasa yakin bahwa usaha penerbitan tersebut akan menguntungkan, maka dia akan
bersida untuk membiayainya. Jika dia telah memiliki modal, dia dapat dengan
mudah menyelenggarakan penerbitan, karena setiap usaha percetakan akan dengan
senang hati mencetak buku, majalah atau surat kabarnya, asal saja pembayaran
yang ditawarkan orang tersebut menguntungkan bagi mereka. Juga jika dia akan
mencetaknya sendiri, maka dia tidak akan kesulitan untuk membeli kertas guna
mencetak buku atau majalahnya, karena semua leveransir kertas akan menjual
kertas dagangannya dengan sama bersemangatnya kepada siapapun, baik kepada
surat kabar “Daily Worker” yang komunis, maupun kepada “Wall Street Journal”
yang kapitalis.
Boleh jadi ada beberapa cara untuk mengatasi
kesulitan-kesulitan ini dan memelihara kebebasan di dalam masyarakat sosialis.
Tidak dapat dikatakan bahwa hal ini mustahil sama sekali. Akan tetapi yang
jelas adalah bahwa ada kesulitan-kesulitan yang nyata di dalam mendirikan
lembaga-lembaga yang akan secara efektif memelihara kemungkinan untuk berbeda pendapat (Budiardjo, Miriam, Penyunting,
1984: hal 39).
Gambaran tersebut diatas memberikan dasar
yang kuat bagi mereka yang menentang persamaan ekonomi sebagai usaha mendemokratisir
masyarakat. Konsep persamaan ekonomi, yang oleh para pengkritiknya dipandang
hanya mungkin dilaksanakan dalam masyarakat dimana semua kegiatan ekonomi
dilaksanakan oleh negara, dianggap tidak akan mendukung realisasi demokrasi,
bahkan sebaliknya malah akan akan merugikan demokrasi. Alih-alih masyarakat
menjadi semakin demokratis, malah akan terjadi kediktatoran. Oligarki tetap tak
terhindarkan. Karena itu, sebagian dari mereka yang menentang persamaan ekonomi
mengembangkan konsep “negara kesejahteraan.”
Daftar Pustaka
1. Sabine,
G.H., terjemahan Drs. Soewarno Hadiatmodjo, Teori-Teori Politik,
jilid 1 dan 2, Penerbit Binacipta, 1992.
2. Sargent,
Lyman Tower, terjemahan A.R. Henry Sitanggang, Ideologi-Ideologi
Politik Kontemporer, Penerbit Erlangga, 1987.
3. Karno,
bung, Pantjasila Dasar Filsafat Negara, Yayasan Empu Tantular, 1960.
4. Budiardjo,
Prof. Miriam, editor, Masalah Kenegaraan, Gramedia 1982
[1] Kepatuhan akan keputusan yang didasarkan
pada kesepakatan merupakan salah satu kunci dari berlangsungnya system
demokrasi. Tak adanya kepatuhan inilah yang membuat kita tidak pernah bisa
melaksanakan demokrasi dengan baik. Sebagai contoh, ketika mencalonkan diri,
seorang calon, misalnya calon bupati, tentunya sudah menyetujui prosedur yang
harus dilalui dalam penentuan hasil pemilihan. Tetapi ketika mereka kalah,
mereka mengerahkan pendukung mereka untuk membatalkan pemilihan. Inilah yang
selalu merusak upaya kita untuk mengembangkan demokrasi. Bisa jadi system yang
kita gunakan mempunyai banyak kelemahan, tetapi begitu kita sudah sepakat untuk
mengikuti system yang lemah tersebut, maka menjadi kewajiban kita untuk
mentaatinya, apapun hasilnya.
[2] Namun
demikian, walaupun ada kecenderungan semakin terjadinya pengerucutan pandangan,
sampai saat ini pandangan mengenai persamaan ekonomi sebagai persyaratan
demokrasi masih mendapatkan tantangan besar dan masih menjadi perdebatan
panjang yang tak berkesudahan. Karena itu banyak orang yang menghindari
perdebatan masalah ini, termasuk Lyman Tower Sargent yang menganggap pembahasan
masalah persamaan ekonomi dalam demokrasi sebagai subyek yang “agak membosankan
untuk dibahas” (Sargent, Lyman Tower, 1987: 34).
[3] Karena itu, Plato mengusulkan agar hak
milik dihapuskan, sehingga bisa menghapuskan perbedaan ekonomi dalam
masyarakat.
0 comments:
Posting Komentar