Hadi Wahono
Soekarno,
presiden Republik Indonesia pertama menyatakan bahwa kemerdekaan suatu bangsa
dari penjajahan bangsa lain bukan merupakan tujuan, tetapi lebih sebagai
jembatan, yang menurut istilah Soekarno sebagai “jembatan emas” untuk menuju
cita-cita bangsa yang bersangkutan. Cita-cita bangsa inilah yang merupakan
tujuan dari kemerdekaan suatu bangsa. Berdirinya negara Republik Indonesia juga
dilandasi oleh cita-cita bersama, yang oleh para pendiri negara dituangkan
didalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, khususnya
dalam alinea keempat, yang bunyi selengkapnya adalah:
Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu
pemerntah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan
kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang
terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan
rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil
dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dari bunyi
alinea keempat pembukaan Undang-Undang Dasar tersebut nampak bahwa salah satu
cita-cita didirikannya negara Republik Indonesia dapat dinyatakan sebagai
“memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”. Tujuan ini oleh masyarakat
Indonesia sering dinyatakan dalam istilah yang ringkas sebagai “adil makmur”,
suatu gambaran masyarakat yang makmur tetapi adil, dan yang adil didalam
kemakmuran. Dengan kalimat negatif, pernyataan tersebut identik dengan
penolakan bangsa Indonesia atas kemakmuran yang tidak adil.
Tetapi
realitas yang kita hadapi sebagai bangsa setelah kemerdekaan negeri ini bukan
saja kemiskinan yang meluas, tetapi juga ketidak adilan yang terjadi
dimana-mana. Hingga tahun 1960, yang berarti setelah lima belas tahun bangsa
Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, masalah agraria masih menjadi masalah
yang mengganggu kehidupan masyarakat, khususnya petani desa. Ada dua masalah
yang perlu diselesaikan oleh negara Indonesia saat itu dalam bidang pertanahan.
Yang pertama adalah terjadinya ketimpangan penguasaan tanah di pedesaan yang
berakibat digunakannya tanah sebagai alat pemerasan oleh pemilik tanah luas
atas buruh tani atau petani tak bertanah. Yang kedua, belum mampunya pembuat
kebijakan publik untuk menyusun Hukum Agraria yang baru yang mampu
menyelesaikan permasalahan ketimpangan dan ketidak adilan penguasaan tanah,
khususnya tanah pertanian, dan kebijakan yang sesuai dengan alam pikiran bangsa
Indonesia yang bersatu, berdaulat, dan merdeka. Akibatnya, hingga tahun 1960
masih terjadi dualisme hukum dalam bidang pertanahan.
KETIMPANGAN PENGUASAAN TANAH
Gambaran
ketimpangan penguasaan tanah pertanian diberikan oleh Menteri Agraria (waktu
itu) Sadjarwo didalam suatu laporan yang diajukannya dalam sidang Dewan Pertimbangan Agung pada tanggal 13 Januari 1960. Menurut
perkiraan Menteri Agraria Sadjarwo, kira-kira 60% penduduk pedesaan merupakan
pekerja dalam bidang pertanian yang tidak memiliki tanah, sedangkan 40% lainnya
adalah pemilik tanah, besar dan kecil. (Margo L. Lyon, dalam Sediono M.P. Tjondronegoro
dan Gunawan Wiradi (penyunting), 1984: 176).
Didalam laporannya tersebut, Menteri Agraria Sadjarwo juga menyertakan
tabel mengenai luas tanah milik rata-rata di Jawa dan jumlah pemilik sawah di
Jawa yang dikategorikan berdasarkan luas tanah miliknya.
Dari tabel
1.1. yang dikutip dari tabel Sadjarwo, nampak pemilik tanah kering di Jawa ada
5.788.247 keluarga petani dengan luas pemilikan rata-rata 0,5 ha, dan pemilik
tanah sawah berjumlah 9.845.936 keluarga petani dengan rata-rata luas pemilikan
0,5 ha. Sementara itu, dalam tabel 3.2. yang juga dikutip dari tabel Sadjarwo,
nampak bahwa sebagian besar petani yang menguasai tanah, hanya menguasai tanah
dalam luasan yang sangat sempit. Hal ini dapat dilihat dari tabel 1.2. dimana 7.143.983 keluarga atau
lebih kurang 78,5 persen dari seluruh keluarga petani pemilik sawah hanya
memiliki sawah kurang dari 0,5 ha, dan 1.074.286 keluarga atau 11,5 persen
keluarga petani hanya memiliki sawah antara 0,6 hingga 1 ha. Keluarga petani
yang menguasai tanah sawah lebih dari 1 ha sampai dengan 2 ha berjumlah 624.321
keluarga atau lebih kurang 7 persen dari seluruh keluarga petani. Sementara
itu, hanya 312.824 keluarga petani atau lebih kurang 3 persen dari seluruh
keluarga petani menguasai tanah pertanian lebih dari 2 ha. Kalau pemilkan sawah
seluas 1 ha kita pandang sebagai batas minimum dimana satu keluarga dapat hidup
dengan baik, maka ada 8.218.269 keluarga petani atau lebih kurang 89 persen
keluarga petani menguasai sumber kehidupan dibawah garis minimum dimana satu
keluarga petani dapat hidup dengan layak.
TABEL
1.1.
LUAS
TANAH MILIK RATA-RATA MENURUT PROPINSI
Jumlah
propinsi di Jawa dan Madura
|
Jumlah
desa
|
Jumlah
pemilik tanah
|
Luas
areal sawah (termasuk milik negara dibulatkan)
|
Rata-rata
luas sawah petani pemilik tanah (dalam hektar)
|
Tanah kering
|
||||
Jawa
barat
|
3.763
|
1.977.195
|
1.040.943
|
0,5
|
Jawa
Tengah
|
8.314
|
1.938.791
|
1.047.879
|
0,5
|
Jawa
Timur
|
8.136
|
1.872.261
|
1.130.872
|
0,6
|
Jumlah
|
20.213
|
5.788.247
|
3.219.694
|
0,5
|
Tanah sawah
|
||||
Jawa
Barat
|
3.763
|
2.519.365
|
1.283.856
|
0,5
|
Jawa
Tengah
|
8.314
|
3.599.182
|
1.347.238
|
0,4
|
Jawa
timur
|
8.139
|
3.727.389
|
1.738.005
|
0,5
|
Jumlah
|
20.216
|
9.845.936
|
4.369.099
|
0,5
|
Tabel
yang dikutip dari tabel yang disajikan dalam suatu laporan Yang diberikan oleh
Menteri Agraria, sadjarwo, kepada DPA pada tanggal 13 Januari 1960 (Margo L.
Lyon, dalam Tjondronegoro, Sediono M.P. dan Gunawan Wiradi (penyunting), 1984, hal.
171).
TABEL
1.2.
JUMLAH
PEMILIK SAWAH MENURUT PROPINSI
Propinsi
|
0,5
ha
|
0,6
- 1 ha
|
1,1
– 2 ha
|
2,1
– 5 ha
|
5,1
– 10 ha
|
10,1
– 20 ha
|
20
– ribuan ha
|
JawaBarat
|
1.908.821
|
304.079
|
198.663
|
92.785
|
11.993
|
2.268
|
756
|
Jawa
Tengah
|
2.956.974
|
376.875
|
187.844
|
70.227
|
6.373
|
754
|
157
|
Jawa
Timur
|
2.278.143
|
393.332
|
237.814
|
111.394
|
13.968
|
1.748
|
421
|
Jumlah
|
7.143.983
|
1.074.286
|
624.321
|
274.406
|
32.334
|
4.770
|
1.314
|
Tabel
yang dikutip dari tabel yang disajikan dalam suatu laporan Yang diberikan oleh
Menteri Agraria, sadjarwo, kepada DPA pada tanggal 13 Januari 1960 (Margo L.
Lyon, dalam Tjondronegoro, Sediono M.P. dan Gunawan Wiradi (penyunting), 1984, hal.
172).
Pernyataan
petinggi negara saat itu, tiga tahun kemudian, khususnya setelah diperolehnya
data hasil penyelenggaraan sensus pertanian tahun 1963, terbukti mendekati
kebenaran. Hasil sensus tahun 1963 (disini disajikan tabel yang merupakan hasil
olahan Sayogyo berdasarkan hasil sensus pertanian tersebut), menunjukkan betapa
tingginya prosentase petani pemilik lahan sempit.
TABEL
1.3.
DISTRIBUSI
USAHA TANI DI JAWA TAHUN 1963
Luas
usaha tani
|
Sensus
Pertanian yang dipublikasikan*
|
Sensus
Pertanian yang disesuaikan**
|
||
%
petani
|
Rata-rata
|
%
petani
|
Rata-rata
|
|
Kurang
dari 0,5 ha
|
52%
|
0,27
ha
|
61%
|
0,20
ha
|
Lebih
dari 0,5 ha
|
48%
|
1,20
ha
|
39%
|
1,20
ha
|
Kurang
dari 1 ha
|
79%
|
0,43
ha
|
84%
|
0,33
ha
|
Lebih
dari 1 ha
|
21%
|
1,87
ha
|
16%
|
1,87
ha
|
Sumber:
Sayogyo, Modernization Without development in Rural Java, 1973
Dikutip
dari: MM. Billah; Loehoer Widjajanto; Aries Kristyanto, dalam Sediono M.P.
Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi, 1984: 257.
Catatan:
*
Data yang dipublikasikan = mengikuti pembatasan dari istilah “usaha tani” yaitu
mereka yang mengusahakan lebih dari 0,1 ha.
**
Data yang disesuaikan = dengan menambah petani-petani yang mengusahakan kurang
dari 0,1 ha.
Dari tabel
1.3. nampak bahwa 52 persen petani hanya menguasai kurang dari 0,5 ha tanah
pertanian. Kalau menggunakan kategori kurang dari 1 ha, maka tampak bahwa 79
persen usaha tani hanya menguasai tanah pertanian kurang dari 1 ha. Bahkan,
jika usaha tani yang menguasai tanah kurang dari 0,1 ha dimasukkan dalam
perhitungan, maka akan diperoleh angka 61 persen usaha tani yang menguasai
tanah kurang dari 0,5 ha. Kalau kategori yang digunakan penguasaan tanah kurang
atau lebih dari 1 ha, maka nampak bahwa 84 persen usaha tani hanya menguasai
tanah kurang dari 1 ha. Kalau kita menggunakan
kelayakan penguasaan tanah pertanian minimum 1 ha oleh satu keluarga petani,
maka berdasarkan hasil sensus tahun 1963 tersebut terbukti bahwa 84 persen
usaha tani tidak memiliki sumber kehidupan yang cukup untuk menghidupi
kluarganya secara layak.
Gambaran
ketimpangan penguasaan tanah pertanian pada tingkat pedesaan (mikro) juga
mendukung data makro hasil sensus Pertanian tahun 1963 tersebut. Gambaran
tersebut dapat dilihat dari hasil Survey lapangan yang dilakukan sekitar tahun
1954 di Desa Cibodas, Jawa Barat. Hasil survey tersebut (Lihat: Justus M. Van
der Kroef, dalam Sediono M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (penyunting),
1984: 158) menunjukkan kira-kira 44% keluarga didesa tersebut tidak mempunyai
tanah sama sekali, 25% hanya memilki sebidang pekarangan dimana rumah-rumah
mereka dan rumah saudara-saudaranya
berdiri, dan 23% memiliki tanah seluas kurang dari 1 hektar yang tidak
cukup untuk menunjang kehidupannya.
Ketiga
kelompok masyarakat tersebut merupakan 90% jumlah penduduk Cibodas yang
terpaksa mencari tambahan pendapatan dengan jalan bekerja sebagai buruh harian
pada mereka yang memiliki tanah yang lebih luas (sekitar 1,5% penduduk memiliki
hampir separuh jumlah luas tanah desa, dengan pemilikan trata-rata melebihi 5
hektar). Ketiga kelompok masyarakat tersebut menjual tenaga sebagai petani
penyakap atau berdagang (semuanya berdasar komisi) buah-buahan, tembakau, atau
hasil bumi lain dalam jumlah sedikit, yang dibawa ke suatu pasar jauh.
Polarisasi
penguasaan tanah dan proses semi proletarisasi kebanyakan penduduk Desa Cibodas
merupakan ciri khusus kebanyakan daerah di Propinsi Jawa Barat, suatu wilayah
lain dimana hak-hak tanah komunal secara tradisional telah menjadi lemah. Namun
proses-proses tersebut nampaknya makin meluas ke seluruh pelosok Pulau Jawa
Disamping
ketimpangan penguasaan tanah pertanian, pemilikan tanah guntai[1]
nampaknya juga terus berkembang di desa-desa. Sebagai gambaran, di desa
Cipagalo, sebuah desa yang tidak jauh dari Desa Cibodas, konsentrasi pemlikan
tanah juga sama menyoloknya. Di desa Cipagalo, 58,3% pemilik tanah tidak
tinggal di desa, walaupun mereka memiliki 72,9% tanah. Di Cipagalo pemilik
tanah guntai nampak makin menginginkan semacam hak “tuan tanah feodal” terutama
meminta kayu bakar, rumput kering dan kewajiban menjaga keamanan dari para penggarapnya.
TANAH SEBAGAI ALAT PEMERASAN
Ketimpangan
penguasaan tanah sebagaimana telah digambarkan dalam uraian diatas berimplikasi
luas bagi masyarakat desa. Akibat ketimpangan penguasaan tanah yang sedemikian
tinggi, bukan saja mengakibatkan tingginya angka kemiskinan di desa, tetapi
juga menimbulkan banyaknya pemerasan oleh pemilik tanah luas pada petani tak
bertanah dan petani berlahan sempit. Penelitian yang dilaksanakan oleh Fakultas
Ilmu Sosial (FIS) Universitas Airlangga yang diselenggarakan di dua desa di
Kabupaten Kediri, Jawa Timur, yaitu di Desa Ngampel dan Maduretno pada tahun
1979 (Hotman M. Siahaan, dalam Prisma no. 9 tahun 1979) mendapati adanya lima
jenis sistem bagi hasil yang berlaku. Yang pertama sistem maro, yaitu system
bagi hasil dimana si penggarap tanah menyediakan semua biaya proses produksi
termasuk biaya saprodinya, dan hasil produksi dibagi dua sama besar diantara
penggarap dan pemilik tanah. Yang kedua, sistem mertelu adalah system bagi
hasil dimana sipemilik tanah memperoleh 2/3 bagian dan sipenggarap memperoleh
1/3 bagian dari hasil produksi, tetapi biaya proses produksinya biasanya
ditanggung bersama, sedang untuk pengolahan tanah, seperti biaya menanam,
matun/menyiangi rumput dan pemeliharaan, ditanggung oleh si penggarap. Yang
ketiga, adalah sistem mrapat, yaitu system bagi hasil dimana si pemilik tanah
memperoleh ¾ bagian, sedangkan si penggarap memperoleh ¼ bagian dari hasil
produksi, sedang untuk biaya produksinya biasanya ditanggung bersama. Yang
keempat, sistem bagi hasil yang disebut Ngedok, yaitu sistem bagi hasil dimana
sipemilik tanah memperoleh 5/8 bagian, sedang sipenggarap hanya 1/8 bagian dari
hasil produksi, dengan ketentuan bahwa biaya saprodi (benih, pupuk, dan
pestisida) ditanggung oleh pemilik, sedangkan biaya pengolahan tanah (seperti
menanam, menyiangi rumput, dan air) ditanggung sendiri oleh sipenggarap. Sistem
yang kelima adalah sistem yang disebut Baskup, yaitu sistem penggarapan sawah
oleh bukan pemiliknya sendiri dengan perjanjian bahwa sipemilik tanah akan
menerima hasil bersih 2 sampai 2,5 ton padi untuk tanah seluas 1 hektar, tidak
peduli apakah dalam menggarap itu penggarap nantinya tidak akan mencapai hasil
sebesar itu, misalnya sebagai akibat kegagalan panen. Dalam system ini,
sipemilik tanah tahunya, asal tanaman telah selesai dipanen, tak perduli
berapapun hasilnya, dia harus mendapat bagian seperti yang telah ditentukan
sebelumnya.
Sistem Baskup
ini sebetulnya kurang tepat jika digolongkan sebagai system bagi hasil,
walaupun juga sulit disebut sebagai system sewa tanah pertanian. Sistem ini
merupakan system campuran antara bagi hasil dan sewa. Yang pasti, dengan system
Baskup ini sipemilik tanah menginginkan keamanan dan kepastian hasil (tidak
sebagaimana bagi hasil yang hasilnya tidak pasti), tetapi tidak perlu
menyewakan tanahnya, karena mungkin tidak cukup banyak orang yang bersedia
menyewa tanah. Dari berlakunya sistem baskup ini sesungguhnya nampak bahwa
sebagian besar petani berlahan sempit atau petani tak bertanah tidak memiliki
cukup uang untuk menyewa tanah. Karena itu, layak kalau mereka memilih semacam
sewa yang dibayar in-natura, tetapi dilakukan dibelakang, setelah panen.
Dengan
melihat kelima sistem bagi hasil tersebut, nampak betapa petani tak bertanah
dan petani berlahan sempit yang menjadi buruh tani oleh keadaan dipaksa untuk
memasuki suatu sistem kerja yang sangat tidak adil, khususnya dalam bagi hasil
dengan sistem mertelu, mrapat, ngedok dan baskup. Kalau melihat frekuensi
masing-masing sistem tersebut dari sudut pemilik tanah didua desa penelitian
tersebut (sebagaimana dapat dilihat pada tabel 1.4.), tampak frekuensinya
semakin meningkat pada sistem yang semakin tidak adil.
TABEL
1.4.
SISTEM
BAGI HASIL DILIHAT DARI SUDUT PETANI YANG MELEPASKAN PENGUASAAN TANAH YANG
DIMILIKINYA DI DUA DESA DI KABUPATEN KEDIRI, JAWA TIMUR (MARET 1999).
Ngampel
|
Maduretno
|
|||
Sistem
bagihasil
|
Jumlah
|
Persen
|
Jumlah
|
Persen
|
Maro
|
5
|
8,33
|
3
|
5,88
|
Mertelu
|
8
|
13,33
|
6
|
11,76
|
Mrapat
|
13
|
21,66
|
7
|
13,72
|
Ngedok
|
14
|
23,33
|
3
|
5,88
|
Baskup
|
20
|
33,33
|
32
|
62,74
|
Jumlah
|
60
|
100,0
|
51
|
100,0
|
Dikutip
dari: Drs. Hotmat M. Siahaan, Prisma no. 9 tahun 1979, hal. 35 tabel 1.
Sistem
maro (pembagian hasilnya antara pemilik dan penggarap masing-masing menerima
50%) frekuensinya hanya 5 atau 8,33 persen didesa Ngampel, dan 3 atau 5,88
persen di desa Maduretno. Sementara itu, sistem baskup frekuensinya 20 atau
33,33 persen didesa Ngampel dan 32 atau 62,74 persen di desa Maduretno. Sistem
baskup ini paling disukai di kedua desa tersebut tampaknya karena sistem ini
memberi kepastian hasil dalam jumlah yang cukup besar kepada pemilik tanah, tak
peduli berapapun hasil yang diperoleh penggarap, bahkan jika terjadi kegagalan
panen sekalipun.
DUALISME HUKUM AGRARIA
Disamping
masalah ketimpangan penguasaan tanah, dalam bidang pertanahan, masyarakat juga
menghadapi masalah kepastian hukum akibat terjadinya dualisme hukum yang
berlaku. Dualisme hukum agraria pada masa kolonial terjadi karena disatu sisi
hukum adat masyarakat desa mengakui hak rakyat atas tanah yang mereka tempati
dan garap, walaupun atas tanah-tanah tersebut tak dapat dibuktikan dengan surat
sebagai tanah milik. Sementara disisi lain, berlaku Hukum Agraria yang dibuat
dan diundangkan oleh pemerintah kolonial, yang sama sekali tidak mengakui
berlakunya Hukum Adat. Disamping itu, didaerah-daerah kerajaan Jawa berlaku
hukum tanahnya sendiri, yang juga sama sekali tidak mengakui berlakunya hukum
adat.
Para ahli
Hukum Adat percaya bahwa sistem pemilikan tanah yang berlaku diseluruh
Indonesia adalah sistem pemilikan tanah berdasarkan hak ulayat atau hak
pertuanan dari suatu desa atau suku atau bentuk masyarakat hukum adat yang lain
(yang oleh van Vollen Hoven disebut sebagai Beschikkingsrecht). Hak ulayat
suatu persekutuan hukum ini berbeda dengan penguasaan tanah komunal, karena
didalam hak ulayat persekutuan hukum tersebut bisa tumbuh hak milik individual.
Bahkan sangat mungkin dalam lingkup hak ulayat suatu masyarat terdapat
sekaligus bentuk penguasaan tanah dengan hak individual dan hak komunal
sekaligus.
Dari uraian
diatas, maka hak ulayat (Beschikkingsrecht) dapat diartikan sebagai hak dari
suatu desa atau suku atau bentuk persekutuan hukum yang lain atas tanah-tanah
diwilayahnya yang memberi kuasa pada persekutuan hukum yang bersangkutan untuk
memberi hak kepada warganya untuk menempati, mengolah, mengambil kayu dan hasil
hutan, dan sebagainya, atau untuk memberi hak kepada orang dari luar daerah,
akan tetapi orang asing itu harus membayar sejumlah uang sebagai recognitie,
yaitu pembayaran sebagai pengakuan bahwa dia menggarap atau memungut hasil
ditanah orang lain. Hak ulayat atau
pertuanan desa/suku tersebut meliputi semua tanah yang menjadi wilayah desa
atau suku yang bersangkutan, baik yang berupa tanah pekarangan, tanah
pertanian, kuburan, tanah penggembalaan ternak, dan hutan belukar. Karena itu,
tak ada hak perseorangan atas tanah yang tidak dilingkupi oleh hak ulayat
desa/suku.
Hubungan
antara hak perseorangan dengan hak ulayat tidak selalu sama di desa-desa yang
berbeda pada waktu yang sama atau di suatu desa pada waktu yang berbeda.
Hubungan hak ulayat dengan hak perseorangan bersifat tarik ulur, dimana hak
perseorangan menguat, hak ulayat persekutuan hukum melemah, dan sebaliknya,
dimana hak perseorangan melemah, hak ulayat persekutuan hukum menguat.
Di Jawa, pada satu desa pada waktu
yang sama bisa terdapat sekaligus tanah komunal dan tanah dengan hak
perseorangan. Ada beberapa macam model penggarapan tanah komunal, yaitu antara
lain penggarapannya digilirkan tetapi setiap orang menggarap pada lahan yang
sama (penggiliran dengan rentang waktu), atau digilirkan dalam pengertian lahan
garapannya berubah-ubah tetapi setiap masa panen selalu ada tanah garapan
(Jawa: geblakan) atau bersifat tetap, baik dapat diwariskan maupun kembali
kepada desa setelah pemegang haknya meninggal dunia. Tanah-tanah komunal
demikian biasa disebut sebagai tanah “kongsen”, sementara tanah perseorangan
biasanya disebut sebagai tanah “yasan”. Tanah perseorangan demikian biasanya
merupakan tanah yang semula merupakan tanah belukar atau hutan, yang kemudian
atas ijin Kepala Desa, dibuka oleh orang yang berhak tersebut. Karena itu tanah
demikian disebut tanah “yasan”, yang berasal dari kata “yasa”, yang berarti
mengusahakan.
Yang kiranya
perlu dicatat adalah bahwa betapapun melemahnya hak ulayat dari suatu desa atau
persekutuan hukum, selalu berlaku larangan untuk mengalihkan hak atas tanah
(baik tanah komunal atau tanah yasan) kepada orang luar desa atau luar
persekutuan hukum yang bersangkutan. Bagi orang asing, yang mungkin hanya
menyewa (yang dalam hukum adat disebut juga sebagai “membeli” sebagaimana dalam
bahasa Jawa disebut sebagai adol, baik dalam bentuk adol tahunan – semacam sewa tahunan – atau adol oyodan – semacam sewa untuk satu atau lebih masa panen), atau
menjadi penggarap dalam perjanjian bagi hasil. Dua jenis transaksi tersebut
dimungkinkan, karena dalam kedua transaksi tersebut tidak terjadi peralihan hak
atas tanahnya.
Tanah-tanah
dengan hak adat ini, baik yang merupakan tanah perseorangan, tanah komunal, dan
hak ulayat desa atau persekutuan hukum atas tanah menjadi hapus dengan
berlakunya Agrarische Wet tahun 1870, khususnya sebagai konsekwensi dari
pernyataan domein (domein verklaring) yang dimuat didalam pasal 1 Agrarisch
Besluit tahun 1870. Bahkan, perubahan-perubahan telah terjadi didaerah-daerah
kerajaan yang terjadi terutama disebabkan oleh tindakan para raja, terutama
yang terjadi di daerah kekuasaannya. Perubahan tersebut kemudian diperkuat dan
disebarluaskan ke seluruh pulau Jawa oleh Pemerintah Belanda, terutama di zaman
Daendels (1805 – 1810). Sistem itu dihancurkan sama sekali oleh Rafles (1810 –
1814) dengan memperkenalkan landrente stelsel, yang kemudian diteruskan dan
diperluas oleh van den Bosch (1830) dengan cultuursstelsel. Melalui
Cultuurstelsel ini van den Bosch memperkenalkan sistem kerja paksa. Sistem dan
peraturan-peraturan didalam cultuurstelsel itu harus ditanggung secara merata
oleh semua penduduk. Oleh karena beban yang ditanggung oleh masing-masing
penduduk adalah sama, maka hak atas tanah juga harus dibagi secara merata. Hal
ini akan bisa dicapai dengan sisitem milik tanah komunal. Pranata ini tidak
timbul dari adat, tetapi merupakan akibat langsung dari Landrentestelsel dan
cultuurstelsel (van Vollenhoven, 1916, dikutip dari M.M. Biillah, cs, dalam
Sediono M.P. Tjndronegoro, dan Gunawan Wiradi, 1984, hal. 254 – 255).
Pada
tahun 1870 kaum kapitalis dikerajaan
Belanda yang mulai meningkat kekuatannya mendorong pemerintah Belanda untuk
membuka kesempatan bagi penanaman modal swasta, khususnya dibidang perkebunan,
dinegara jajahan mereka. Dalam rangka mengakomodasi kepentingan kapitalis yang
semakin menguat tersebut, pemerintah Belanda pada tahun 1870 mengeluarkan
peraturan yang dikenal sebagai Agrarische Wet.
Ketentuan
Agrarische Wet tersebut pelaksanaannya diatur lebih lanjut dalam Putusan Raja
tanggal 9 April 1870 yang disebut Agrarisch Besluit (Stb. 1870 no. 118). Dari
Agrarisch Besluit ini yang terpenting adalah ketentuan dalam pasal 1 yang
memuat domein verklaring (pernyataan domein), yaitu pernyataan yang menyatakan
bahwa semua tanah yang diatasnya tidak terbukti dikuasai dengan hak eigendom
adalah domein (milik) negara. Akibat klaim dari negara tersebut, tanah-tanah
rakyat, khususnya masyarakat pedesaan, yang dialaskan pada hak adat (karena itu
bukan hak eigendom) dengan sendirinya merupakan tanah milik (domein) negara,
yang disebut onvrij landsdomein atau milik negara tidak bebas. Sementara
tanah-tanah yang belum diolah oleh masyarakat disebut sebagai vrij landsdomein,
atau tanah negara bebas. Demikian juga halnya dengan hak pertuanan
(Beschikkingsrecht) desa atau masyarakat hukum adat atas tanah. Bahkan, bukan
hanya beschikkingsrecht atas tanah-tanah kosong dan hutan belukar yang hilang,
tetapi juga atas tanah pertanian, kuburan dan penggembalaan ternak. Semua tanah
tersebut menjadi tanah negara, walaupun dengan kategori tanah negara tidak
bebas atau onvrij landsdomein (Soetardjo Kartohadikoesoemo, 1984: 314, Ter
Haar, 1962: 110).
Hal lain yang
penting untuk dicatat dari ketentuan dalam Agrarische Wet ini adalah dibukanya
kesempatan bagi penanam modal Belanda, khususnya dibidang perkebunan, untuk
mendapatkan tanah dengan hak erfpacht dalam jangka panjang, yaitu hingga 75
tahun. Disamping itu, peraturan hukum pertanahan ini juga membuka kesempatan
bagi perkebunan asing untuk menyewa tanah milik bangsa Indonesia.
Sementara
itu, pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, diempat kerajaan di Jawa, yaitu
Kasunanan Surakarta, Mangkunegaran Surakarta, Kasultaan Yogyakarta, dan
Pakualaman Yogyakarta, juga berlaku hukum tanahnya sendiri. Dikeempat daerah
kerajaan Jawa Tengah tersebut Hukum Adat yang mengatur hak atas tanah juga sama
sekali tidak berlaku, bahkan boleh dikata telah lama tidak dikenal. Bahkan,
dikeempat wilayah kerjajaan tersebut tidak dikenal persekutuan hukum yang
namanya desa.
Pada masa
raja-raja tersebut, semua tanah dinyatakan sebagai milik raja, yang dalam
bahasa Jawa dinyatakan dengan pernyataan “bumi bumining ratu” yang berarti
semua tanah adalah milik raja. Sementara itu, rakyat tidak memiliki hak apapun
atas tanah yang digarapnya. Rakyat hanya memiliki kewajiban, yaitu menggarap
tanah bagi kepentingan raja atau bangsawan pemegang hak lungguh (apanage) atas
tanah yang bersangkutan. Sebagai penggarap, mereka mendapat bagian separoh dari
hasil garapannya, sedang yang separoh diserahkan kepada raja atau bangsawan
pemegang lungguh melalui bekel. Bahkan, seringkali bagian yang harus diserahkan
lebih dari separoh, karena seringkali bekel mengambil tambahan bagian. Hasil
buah-buahan dari pekarangan juga sebagian harus diserahkan kepada raja atau
bangsawan pemegang lungguh.
Disamping harus menyerahkan bagian
hasil panennya kepada raja atau bangsawan pemegang lungguh, mereka juga harus
bekerja beberapa hari dikeraton atau dirumah bangsawan pemegang lungguh. Karena
sedemikian besarnya persembahan, kewajiban, atau beban berat lain yang tidak
dikehendaki yang ditanggung oleh kaum tani pada waktu itu dan demikian kecil
imbalan yang mereka peroleh, dibanyak tempat, tanah yang diberikan kepada
petani disebut “sanggan”, yang secara harafiah berarti beban. Sebutan demikian
tidak dikenal diluar keempat kerajaan di Jawa Tengah itu, sebab daerah lain
tidak pernah mempunyai sistem itu (Selo Soemardjan, 1981, hal. 179). Sementara
itu, petani didaerah-daerah kempat kerajaan Jawa tersebut disebut sebagai kuli,
yang mempunyai arti buruh kasar, atau orang yang tanpa ketrampilan bekerja pada
orang lain. Berdasarkan sebutan ini, penduduk desa di keempat kerajaan tersebut
dikategorikan berdasarkan penguasaan mereka atas tanah, yang dibedakan kedalam
kuli kenceng, yaitu orang atau keluarga yang menguasai tanah pekarangan dan
tanah pertanian. Orang atau keluarga yang hanya memiliki tanah pekarangan tanpa
memiliki tanah pertanian disebut kuli kendo atau kuli setengah kenceng, sedang
orang atau keluarga yang hanya memiliki tanah pertanian tetapi tidak memiliki tanah
pekarangan disebut sebagai kuli gundul. Sementara itu, orang yang tidak
memiliki tanah sama sekali, tetapi mempunyai rumah yang berdiri diatas tanah
pekarangan milik orang lain disebut magersari (tanpa embel-embel kata “kuli”),
dan kahirnya mereka yang tidak mempunyai tanah pekarangan dan pertanian, dan
juga tidak memiliki rumah sendiri, disebut mondok empok (Dua abad, hal 161).
Pada tahun
1912 didaerah Keempat kerajaan tersebut muncul idea untuk menyelenggarakan
reorganisasi sistem pertanahan, yang baru terealisir pada tahun 1918.
Berdasarkan reorganisasi sistem pertanahan tersebut, sistem apanage dihapuskan,
dan penguasaan pengelolaan hak atas tanah diserahkan kepada desa (tetapi tanah
tetap milik raja), dan penduduk desa yang bersangkutan mendapat pembagian tanah
yang dikuasainya dengan hak anggaduh.
UUPA SEBAGAI JAWABAN
Adanya
dualisme hukum sebagaimana diuraikan diatas mengakibatkan tidak adanya jaminan
kepastian hukum atas hak-hak rakyat atas tanah mereka dan tingginya tingkat
ketimpangan penguasaan tanah, yang mengakibatkan digunakannya tanah sebagai
alat pemerasan terhadap petani berlahan sempit dan petani tak bertanah
mendorong pemerintah Indonesia mengundangkan Undang Undang no. 5 tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraira (yang selanjutnya akan disingkat
dengan menggunakan nama singkatannya yang sangat dikenal dalam masyarakat,
yaitu UUPA). UUPA ini oleh pembentuknya diharap akan menjadi ketentuan pokok
dan yang mendasari seluruh perundang-undangan agraria Indonesia[2].
Tujuan diundangkannya UUPA., sebagaimana dirumuskan didalam Penjelasan umum
angka 1 UUPA adalah:
- Meletakkan
dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan merupakan
alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan
rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan
makmur.
- Meletakkan
dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum
pertanahan.
- Meletakkan
dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah
bagi rakyat seluruhnya.
Untuk
mencapai tujuan yang dicanangkannya tersebut, hukum yang disusun haruslah hukum
yang bersifat revolusioner, dalam arti membalikkan prinsip-prinsip hukum yang
berlaku saat itu. Terlepas dari berbagai kelemahannya, kalau kita perhatikan,
UUPA yang lahir pada tahun 1960 tersebut sesungguhnya memang merupakan
perombakan total dan mendasar atas seluruh sistem hukum, khususnya hukum
pertanahan yang berlaku di Indonesia pada saat itu. Hal ini dapat kita lihat
dari beberapa prinsip pengaturan didalamnya, yang jelas menunjukkan jalan
pikiran dan cita-cita pembentuknya yang ingin mengembangkan sistem yang berbeda
dengan perundang-undangan agraria yang berlaku hingga saat itu. Sifat perombakan mendasar atas seluruh system
hukum pertanahan yang berlaku pada saat itu oleh UUPA tampak jelas dari
beberapa prinsip hukum yang dikembangkan, yaitu:
- Prinsip
kesatuan hukum dengan menghilangkan dualisme berlakunya Peraturan Hukum
Agraria.
- Menghapuskan
pandangan dasar Hukum Agraria kolonial, khususnya pernyataan domein.
- Dicanangkannya
program landreform nasional.
- Dianutnya
prinsip “hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”.
- Dianutnya kesetaraan gender dalam Hukum Agraria.
Namun demikian, masalahnya, setelah lebih dari lima puluh tahun
diundangkannya UUPA, apakah tujuan yang ingin dicapai dengan diundangkannya
UUPA, khususnya tujuan pertama, yaitu untuk membawakan kemakmuran,
kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam
rangka masyarakat yang adil dan makmur telah tercapai, atau
setidak-tidaknya semakin mendekati tercapainya?
Daftar
Pustaka
1.
Kartohadikoesoemo, Soetardjo, Desa, PN. Balai
Pustaka, Jakarta, 1984.
2. Soemardjan,
Selo, Perubahan Sosial di Yogyakarta, Gajah Mada University Press, 1981.
3. Siahaan, Hotman M, dalam Prisma
no. 9 tahun 1979
4. Ter
Haar,B, Adat Law In Indonesia, terjemahan dan kata pendahuluan oleh A. Arthur
Schiller dan E. Adamson Hoebel, Bratara, Jakarta, 1962.
5.
Tjondronegoro, Sediono M.P. dan Gunawan Wiradi
(penyunting), Dua Abad Penguasaan Tanah, PT. Gramedia, Jakarta, 1984
[1] Tanah guntai adalah
tanah yang dimiliki oleh orang yang tidak tinggal di kecamatan dimana tanah
tersebut terletak.
[2] Kebiasaan melahirkan undang-undang pokok, dimana didalam
undang-undang demikian hanya diatur pokok-pokoknya saja merupakan cara yang
tidak sehat dalam pembangunan hokum Indonesia. Sebagai undang-undang pokok yang
pengaturannya juga bersifat pokok-pokok, untuk pelaksanaannya masih memerlukan
peraturan perundang-undangan lain lagi. Kalau pelaksanaan undang-undang pokok
diatur dalam peraturan yang berstatus undang-undang juga, maka yang akan
terjadi adalah kerancuan yuridis, karena undang-undang yang seharusnya
merupakan derivasi undang-undang pokok tersebut dapat mengatur secara berbeda
dengan undang-undang pokok. Kalau terjadi demikian, maka menurut prinsip hukum,
undang-undang yang berlaku kemudian yang tingkatnya sama menghapuskan
berlakunya undang-undang yang terdahulu. Sementara itu, kalau diatur dengan
peraturan yang lebih rendah dari undang-undang, seperti peraturan pemerintah (sebagaimana
terjadi dalam hukum agraria Indonesia), maka sesungguhnya telah terjadi
pergeseran kekuasaan dan wewenang, karena wewenang mengatur yang seharusnya ada
pada parlemen (legislative) bergeser pada eksekutif. Hal ini juga sangat tidak
sehat, baik ditinjau dari sudut pembangunan hukum maupun secara politis.
0 comments:
Posting Komentar