PRESIDEN SEBAGAI PENGENDALI KEKUASAAN LEGISLATIF


Hadi Wahono

Terlepas dari kebenaran yang masih terbuka untuk diperdebatkan mengenai hubungan antara pemisahan kekuasaan dengan demokrasi, realitasnya, perubahan yang terjadi sebagai hasil amandemen atas UUD 1945 bukannya membagi secara jelas fungsi-fungsi kenegaraan, melakukan pemisahan, dan membangun mekanisme saling kontrol, tetapi malah semakin memperkuat posisi presiden didalam struktur dan sistem pemerintahan. Kuatnya posisi presiden tersebut tercermin didalam mekanisme pembuatan undang-undang (dan perundang-undangan), dan sulitnya untuk memberhentikan presiden sebelum habis masa jabatannya (impeachment).[1]
Tanpa Jalan Keluar Dari Kemacetan
Didalam setiap negara demokrasi, baik yang menganut sistem pemerintahan parlementer maupun sistem pemerintahan presidensiel dengan pemisahan kekuasaannya, fungsi legislatif, atau pembuatan perundang-undangan, selalu berada ditangan parlemen. Beradanya kekuasaan menyelenggarakan fungsi legislatif pada parlemen, karena fungsi legislatif adalah fungsi pembuatan kebijakan publik tertinggi. Sebagai kebijakan publik tertinggi, kewenangan tersebut seharusnya berada ditangan rakyat sendiri. Namun demikian, didalam sistem demokrasi perwakilan, fungsi tersebut dipegang oleh parlemen yang dipandang sebagai wakil rakyat.
Hal ini juga diakui dalam UUD RI., sehingga Pasal 20 ayat (1) UUD RI (pasca amandemen) dengan tegas menyatakan bahwa Dewan Perwakilan rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Dalam rangka membentuk undang-undang ini, berdasarkan hasil amandemen UUD., dikenal dua jenis rancangan, yaitu rancangan yang diajukan oleh Presiden (pasal 5 ayat (1) UUD RI) dan rancangan undang-undang yang diajukan/ diusulkan oleh anggota DPR (pasal 21 ayat (1) UUD RI).
Sebetulnya agak aneh untuk membedakan rancangan undang-undang hanya berdasarkan latar belakang pengusulnya, yaitu DPR atau Presiden. Seharusnya, selama suatu usulan telah diterima dan dibahas, maka siapapun pengusul rancangan undang-undang tersebut seharusnya diperlakukan secara sama dengan mekanisme yang sama. Tetapi kenyataannya tidaklah demikian. UUD RI membedakan antara rancangan undang-undang yang diusulkan oleh presiden dengan rancangan undang-undang yang diusulkan oleh anggota DPR.
Dalam hal rancangan diusulkan oleh Presiden, maka rancangan tersebut dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama (pasal 20 ayat (2) UUD RI). Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan dewan Perwakilan Rakyat masa itu (Pasal 20 ayat (3) UUD RI). Ketentuan pasal 20 ayat (3) tersebut menyiratkan bahwa rancangan yang sama atau dengan sedikit perobahan, dapat dimajukan lagi pada masa sidang berikutnya. Dengan demikian, sebuah rancangan yang dibuat oleh presiden, yang tidak mendapat persetujuan DPR., dapat diajukan kembali dan diajukan kembali pada masa persidangan yang berbeda tanpa batas waktu.
Jika rancangan undang-undang yang diajukan oleh Presiden tersebut,  setelah terjadinya persetujuan bersama antara Presiden dengan DPR maka Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut untuk diundangkan menjadi undang-undang (Pasal 20 ayat 4). Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, maka rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan (Pasal 20 ayat 5).
Sementara itu, rancangan undang-undang juga dapat diajukan atau diusulkan oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (pasal 21 ayat (1) UUD RI). Dalam hal rancangan diajukan oleh anggota DPR, maka jika rancangan itu, meskipun disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, tidak disahkan oleh Presiden, maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu (pasal 21 ayat (2) UUD RI).
Ketentuan pasal 21 tersebut nampak sangat rancu. Berdasarkan ketentuan dalam pasal 20 ayat (2) UUD RI ditentukan bahwa untuk mendapat persetujuan bersama, maka setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan perwakilan Rakyat dan presiden. Ini berarti, suatu rancangan yang sudah disetujui DPR sudah mendapat persetujuan juga dari presiden, karena pembahasan setiap rancangan undang-undang dilaksanakan bersama presiden. Sementara itu, jika rancangan yang telah mendapat persetujuan tersebut ternyata tidak disahkan oleh presiden, maka dalam hal rancangan yang dibahas tersebut adalah rancangan yang diajukan atau diusulkan oleh presiden, maka dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut dinyatakan sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan (Pasal 20 ayat 5). Tetapi ketentuan tersebut tidak berlaku bagi rancangan undang-undang yang diusulkan oleh anggota DPR. (dan kemudian disetujui oleh DPR) tetapi yang kemudian tidak disahkan oleh presiden. Rancangan yang diusulkan oleh anggota DPR tersebut tidak otomatis menjadi undang-undang, tetapi hanya bisa diajukan kepada DPR pada masa persidangan berikutnya.
Nampaknya, maksud penyusun amandemen UUD tidak membuat pembedaan yang mendasar antara rancangan yang diajukan oleh presiden dengan yang diajukan oleh anggota DPR. Nampaknya mereka hanya ingin membuat pembedaan prosedural, karena realitasnya memang perlu dibedakan, tetapi karena tidak bersikap tegas, mengakibatkan kerancuan yang tidak perlu.
Terlepas dari adanya pasal-pasal UUD yang rancu, dapat kita bayangkan bahwa rancangan baik yang diusulkan oleh Presiden maupun DPR pada intinya dibahas oleh DPR. Dalam hal rancangan tersebut diusulkan oleh presiden, tentusaja DPR dapat meminta kehadiran presiden (yang dalam hal ini biasanya dilakukan oleh menteri dari bidang yang bersangkutan). Kalau dalam pembahasan tersebut telah terjadi kesepakatan, maka secara moral presiden (yang telah menyatakan persetujuannya) menjadi wajib untuk mensahkan rancangan tersebut. Sementara itu, rancangan yang diusulkan oleh anggota DPR tentu saja dibahas sendiri di DPR (tanpa kehadiran Presiden atau menterinya). Karena itu, karena belum menyatakan persetujuannya, presiden tidak mempunyai kewajiban moral untuk mensahkan rancangan undang-undang tersebut, sehingga ketika presiden tidak mensahkan rancangan tersebut, rancangan tersebut tidak dengan sendirinya menjadi undang-undang sebagaimana halnya rancangan yang diajukan oleh presiden. Dari sini nampak sekali kerancuan tersebut terjadi akibat tidak tegasnya penyusun amandemen UUD.
Hanya yang menjadi masalah dalam hubungan dengan rancangan yang diajukan oleh anggota DPR adalah ketentuan yang menentukan bahwa jika rancangan tersebut tidak disahkan oleh presiden meskipun disetujui oleh DPR, rancangan tersebut tidak dapat diajukan lagi pada sidang DPR masa itu. Ini jelas merupakan ketentuan yang aneh, karena dalam kasus ini DPR telah menyetujui rancangan yang diusulkan oleh anggotanya tersebut. Sementara itu, yang tidak menyetujui, karena itu tidak mensahkan, adalah presiden. Bagaimana mungkin rancangan yang sudah disetujui DPR tetapi tidak disahkan oleh Presiden diajukan lagi ke depan sidang DPR? Padahal, tidak ada ketentuan, kalau DPR tetap menyetujui, maka rancangan tersebut akan menjadi undang-undang.
UUD RI sama sekali tidak melihat, atau lebih tepatnya tidak mau mengakui kemungkinan adanya konflik kepentingan antara presiden dengan DPR. Akibatnya, dalam UUD RI sama sekali tidak ditemui mekanisme, bagaimana memecahkan masalah kebuntuan pembahasan antara presiden dengan DPR. Cara demikian bisa berakibat macetnya regulasi masalah tertentu kalau tidak ada kesepakatan antara presiden dengan DPR. Padahal, ketidak sepakatan demikian sangat mungkin akan terjadi. Sebagai contoh, misalnya DPR atas desakan konstituen mereka, menyetujui rancangan undang-undang yang akan mengurangi beberapa kewenangan eksekutif. Menghadapi keadaan demikian, besar kemungkinan presiden akan mencegah rancangan tersebut menjadi undang-undang dengan tidak mengesahkannya sebagai undang-undang., sekalipun mungkin DPR dalam masa sidang berikutnya menyidangkan lagi rancangan tersebut dan mengajukan lagi, tetapi bisa saja presiden juga membiarkannya lagi. Mekanisme demikian ini sekaligus juga menunjukkan betapa lemahnya posisi DPR sebagai lembaga utama pemegang fungsi legislatif. Fungsi tersebut sama sekali tidak akan dapat dilaksanakan jika presiden tidak merestuinya.
Sistem Ketatanegaraan Amerika Serikat: Sebuah Pembanding.
Sebagai bahan perbandingan, ada baiknya disini kita mencoba melihat secara ringkas sistem ketatanegaraan Amerika Serikat, yang juga menganut sistem pemerintahan Presidensiel, khsusnya mengenai bagaimana konstitusi Amerika Serikat menyelesaikan kemungkinan kebuntuan kesepakatan antara Congress sebagai lembaga legislatif dan presiden. Sebagaimana diketahui, Dalam ketatanegaraan Amerika Serikat, fungsi legislatif, yang dipegang oleh congress, mempunyai kewenangan utama sebagai pembuat undang-undang, yang merupakan kebijakan publik yang paling penting dalam sistem ketatanegaraan. Walaupun kewenangan membuat undang-undang ada pada Congres, tetapi presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang. Disamping itu, rancangan undang-undang yang sudah dihasilkan oleh Congres tidak otomatis menjadi undang-undang. Untuk menjadi undang-undang, rancangan undang-undang tersebut harus diserahkan kepada presiden. Dalam hal ini presiden mempunyai tiga pilihan, yaitu menandatangani rancangan undang-undang yang diajukan oleh Congress, yang berarti rancangan undang-undang tersebut menjadi undang-undang, atau mem-veto-nya, yaitu menolak rancangan undang-undang tersebut, atau membiarkan (tidak menandatangani atau mem-veto).
Dalam hal presiden memveto sebuah rancangan undang-undang, Congress dapat menyidangkan kembali undang-undang yang bersangkutan, dan bila kedua kamar dalam Congress (Senat dan House of Representative) menyetujui rancangan undang-undang tersebut dengan perolehan suara dimasing-masing kamar sebanyak dua pertiga dari jumlah anggota, maka rancangan undang-undang yang telah di-veto oleh presiden tersebut menjadi undang-undang (tanpa persetujuan presiden). Dalam hal presiden membiarkan rancangan undang-undang (tidak menandatangani maupun tidak menyatakan mem-veto), dalam waktu sepuluh hari kerja, Congress dapat menetapkan rancangan tersebut sebagai undang-undang.
Dari sistem ketatanegaraan Amerika Serikat tersebut nampak dengan tegas dan jelas pengakuan adanya kemungkinan terjadinya konflik antara presiden dengan parlemen (Congress) didalam pembuatan suatu peraturan hukum, sehingga konstitusi menyediakan mekanisme untuk mencari jalan keluar jika konflik demikian terjadi. Di Indoensia, sudah sejak kemerdekaan, bangsa kita selalu menipu diri dengan mengandaikan seolah-olah didalam tubuh pemerintahan tidak mungkin ada konflik. Sejak semula, para pendiri bangsa mempunyai keyakinan (yang keliru) bahwa pemegang kekuasaan pemerintahan Indonesia masa kemerdekaan adalah orang-orang pilihan, orang-orang yang terbaik, yang semuanya berniat dan berkeinginan untuk mencurahkan tenaga dan pikirannya pada bangsa dan negara. Karena itu, diantara mereka tidak mungkin akan terjadi konflik kepentingan, dan kalau terjadi konflik hanya didasarkan pada perbedaan persepsi yang dapat diselesaikan dengan pembahasan. Akibat pandangan yang lebih mendekati impian dari pada kenyataan tersebut, kita selalu alpa untuk membangun mekanisme penyelesaian konflik. Akibatnya, ketiadaan mekanisme seringkali mengakibatkan banyak masalah tak dapat diselesaikan melalui mekanisme yang ada, sehingga yang terjadi adalah penggunaan mekanisme dari yang kuat, yang seringkali mengakibatkan sebagian orang menjadi frustrasi.
Pendelegasian Kekuasaan Yang Berlebihan.
Sebagaimana dikemukakan diatas, salah satu pendorong dilakukannya amandemen atas UUD 1945 adalah keinginan agar sistem pemerintahan Indonesia menganut sistem yang jelas dan secara tegas melakukan pemisahan kekuasaan lembaga-lembaga pemegang berbagai fungsi kenegaraan. Sementara itu, salah satu prinsip pemisahan kekuasaan adalah bahwa kekuasaan pembuatan peraturan hukum (legislatif) berada ditangan parlemen, dan kekuasaan ini tidak dapat didelegasikan terlepas dari campur tangan parlemen.
Tetapi dalam sistem pemerintahan Indonesia pasca-amandemen UUD., ternyata masih terjadi pendelegasian kekuasaan legislatif kepada eksekutif. Hal ini nampak dari bunyi ketentuan pasal 5 ayat (2) UUD RI yang menyatakan bahwa Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Dengan adanya Pendelegasian kewenangan pembuatan peraturan hukum kepada eksekutif ini, mengakibatkan eksekutif mengatur diri sendiri.
Pendelegasian wewenang ini juga mempunyai pengaruh buruk yang cukup mendalam didalam praktek kenegaraan Indonesia. Salah satu pengaruhnya adalah ketidak mampuan DPR untuk membuat suatu peraturan undang-undang yang komprehensif, yang sudah bisa diterapkan dan dilaksanakan segera setelah di undangkan. Kebiasaan yang terjadi didalam pembuatan peraturan hukum di Indonesia adalah tidak dapat dilaksanakannya sebuah peraturan undang-undang, karena peraturan tersebut mengatur secara sangat sumir,  hanya pokok-pokoknya saja. Bahkan seringkali DPR dengan sengaja membuat undang-undang yang mereka sebut sendiri sebagai undang-undang pokok. Nah, kalau yang bukan undang-undang pokok saja sudah mengatur pokok-pokoknya saja, maka bagaimana dengan undang-undang pokok? Bisa dipastikan undang-undang yang demikian akan mengatur hal-hal yang sangat pokok, yang bisa disebut sebagai pokoknya pokok.
Pembuatan undang-undang yang hanya bersifat pokok, yang tidak dapat langsung dilaksanakan ini, dapat diperkirakan didorong oleh dua faktor. Faktor pertama adalah dorongan dari pihak eksekutif, yang bisa dipastikan akan selalu mendorong untuk membuat undang-undang yang bersifat pokok-pokoknya saja, karena dengan demikian mereka dapat membuat peraturan pelaksanaannya menurut versi mereka. Bahkan seringkali, ketika sebuah undang-undang diajukan ke DPR eksekutif sebetulnya telah menyiapkan Peraturan Pemerintah yang akan menjadi peraturan pelaksana dari undang-undang yang rancangannya sedang dibahas oleh DPR tersebut.
Celakanya lagi, seringkali Peraturan Pemerintah-pun oleh pelaksana lapangan dipandang masih belum cukup, karena seringkali memang masih menyisakan lubang-lubang hukum. Untuk itu, diperlukan peraturan menteri dan bahkan kemudian juga harus dikeluarkan juklak (petunjuk pelaksanaan) dan juknis-nya (petunjuk teknis). Dengan model pengaturan demikian, maka sesungguhnya, wewenang legislatif di Indonesia berada ditangan eksekutif, kecuali untuk membuat garis-garis besar peraturan hukum (yang berupa undang-undang yang berisi peraturan pokok-pokoknya saja), yang berada baik ditangan legislatif (DPR) maupun Eksekutif secara bersama-sama. Dengan kata lain, kewenangan DPR hanya membuat garus-garis besar peraturan hukum, karena peraturan hukum yang dibuat selalu tidak lengkap. Sementara itu, kewenangan untuk membuat peraturan yang hanya pokoknya pokokpun DPR tidak mungkin melakukannya sendiri, karena untuk membuat undang-undang harus dilakukan bersama presiden, dan tidak pernah bisa melaksanakan tugas legislasi tanpa persetujuan presiden. Karena undang-undang yang dibuat oleh DPR hanya pokoknya pokok, pokok dari pokok, maka untuk melengkapinya didelegasikan kepada eksekutif, yang memang secara konstitusional eksekutif mempunyai kewenangan untuk membuat peraturan hukum.  Kewenangan demikian merupakan kewenangan yang tidak pernah dikenal dalam teori manapun maupun praktek kenegaraan dinegara manapun. Pendelegasian kekuasaan pembuatan undang-undang ini bahkaan telah menyalahi prinsip pemisahan kekuasaan sebagaimana yang dikemukakan oleh john Locke dan Montesquieu, yang menekankan bahwa kekuasaan legislatif tidak boleh sewenang-wenang, tidak boleh mendelegasikan fungsinya dan tidak boleh memerintah dengan titah.

REKAPITULASI

Walaupun konsep pemisahan kekuasaan sebagaimana yang semula diajukan oleh John Locke dan Montesquieu masih terbuka untuk diperdebatakan, khususnya mengenai hubungan antara pemisahan kekuasaan dengan demokratis tidaknya praktek pemerintahan suatu negara, namun demikian, terlalu kuatnya eksekutif, yang bukan saja secara konstitusional mempunyai wewenang untuk ikut dalam pembuatan peraturan hukum, jelas merupakan sistem yang buruk. Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, bahkan presiden dan jajaran pembantunya berwenang untuk membuat peraturan hukum berdasarkan versinya sendiri tanpa harus berkonsultasi dengan DPR. Sementara, DPR tidak bisa membuat peraturannya sendiri tanpa campur tangan, bahkan persetujuan, dari Presiden. Sistem ini merupakan pertanda buruk bagi perkembangan demokrasi, karena eksekutif yang merupakan lembaga pelaksana, juga membuat aturan, menentukan bidang dan ukuran-ukuran penyelenggaraan negara. Disamping itu, sistem yang kita anut ini tidak mengembangkan sistem check and balances, yang merupakan sistem yang dikembangkan dalam praktek ketatanegaraan Amerika, yang realitasnya merupakan bagian penting dari sistem pemerintahan presidensiel. Tanpa sistem check and balances, kekuasaan satu lembaga menjadi terlalu besar, dan ini artinya akan berbahaya bagi perkembangan demokrasi.
Dalam masalah tata cara pembentukan undang-undang ini, ada ketentuan yang kiranya perlu untuk kami kemukakan disini, yaitu pasal 22A UUD RI. Pasal tersebut menentukan bahwa ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang. Ketentuan ini sungguh-sungguh aneh. Bagaimana mungkin tatacara pembentukan undang-undang diatur dalam undang-undang? Bagaimana caranya parlemen akan membuat undang-undang untuk mengatur mengenai tatacara pembuatan undang-undang kalau tatacara untuk membuat undang-undang yang akan mengatur tatacara pembuatan undang-undangnya itu sendiri belum ada? Sementara itu, tata cara yang lama, yang ada sebelum amandemen seharusnya juga tidak berlaku lagi, karena selain memang secara substansial dasar pijakannya berbeda dengan ketentuan UUD yang baru, juga semua peraturan turunan dari ketentuan dalam UUD yang diamandemen harus disesuaikan dengan ketentuan yang baru.
Dalam suatu negara yang menganut sistem konstitusi tertulis sebagaimana halnya Indonesia[2], maka hal-hal yang menyangkut tugas, wewenang, fungsi, mekanisme, dan sebagainya dari lembaga-lembaga kenegaraan yang penting, harus diatur dengan baik dalam konstitusinya tidak dengan seenaknya didelegasikan sebagaimana yang ditentukan didalam pasal 22A UUD RI tersebut. Kebiasaan kita untuk mendelegasikan kewenangan pengaturan mengakibatkan kebiasaan buruk, sebagaimana yang terjadi selama ini. Hal ini bisa kita lihat, UUD selalu mendelegasikan pengaturannya pada undang-undang, undang-undang pada peraturan pemerintah, peraturan pemerintah mendelegasikan lagi pengaturannya pada peraturan menteri, dan peraturan menteri bergantung pada juklak (petunjuk pelaksanaan) dan juknis (petunjuk teknis) dari dirjen. Akibatnya, negara kita pada akhirnya lebih banyak diatur oleh dirjen dari pada oleh legislatif yang dipilih rakyat.



[1] Dalam tulisan ini kami hanya akan membahas masalah yang pertama, yaitu kuatnya posisi Presiden dalam
mekanisme pembuatan undang-undang.
[2] Walaupun kebanyakan negara modern menganut system konstitusi tertulis sebagaimana halnya Indonesia, tetapi ada yang menganut system tidak tertulis, seperti Inggris. Yang dimaksud dengan menganut konstitusi tidak tertulis adalah bahwa dalam negara tersebut tidak ada ketentuan yang padu, yang lengkap yang memang sejak semula dibuat dengan maksud untuk dijadikan hokum dasar (konstitusi) dari negara yang bersangkutan. Karena itu, mereka menggunakan decree raja, atau parlemen, putusan pengadilan, dan konvensi (kebiasaan dibidang ketatanegaraan) sebagai sumber hukum tatanegara mereka (konstitusi).

0 comments:

Posting Komentar