Hadi Wahono
Sebagai
akibat luasnya daerah dan banyaknya jumlah penduduk suatu Negara, hampir semua
Negara modern yang menerapkan sistem pemerintahan demokrasi, termasuk
Indonesia, tidak ada yang menerapkan system demokrasi langsung, melainkan
demokrasi perwakilan. Dalam demokrasi perwakilan, rakyat tidak langsung ikut
didalam membuat keputusan-keputusan publik. Wewenang tersebut diserahkan kepada
parlemen, yang anggota-anggotanya dipilih oleh rakyat, yang karena itu disebut
sebagai wakil rakyat.
Sehubungan
dengan sistem demokrasi perwakilan, sebetulnya hampir semua orang sepakat bahwa
kehendak tidak mungkin dapat diwakilkan. Berdasarkan kenyataan tersebut, maka
Max Weber
berpendapat bahwa demokrasi harus dipandang
hanya sebagai sarana yang berfungsi untuk memilih para pemimpin politik, dan
bukan sebagai rejim dimana terdapat semacam pemerintahan langsung oleh rakyat.
Sementara itu, demokrasi langsung hanya dapat diterapkan didalam masyarakat
yang kecil dan relatif sederhana, sedangkan di luar ini, yaitu didalam
masyarakat yang telah menjadi besar, kompleks dan lebih beragam khususnya di
masyarakat modern – pemerintahan langsung oleh rakyat berada diluar jangkauan.
Ia digantikan oleh demokrasi perwakilan, dan ini berarti – menurut Weber –
bahwa rakyat berhenti mempunyai pengawasan nyata atas keputusan-keputusan
politik yang telah menjadi prerogatif atau hak istimewa administrasi
birokratis, disatu pihak, dan para pemimpin partai politik, dipihak yang lain.
Bagi Weber nilai demokrasi perwakilan terletak pada fakta bahwa demokrasi
memungkinkan pemilihan pemimpin-pemimpin politik secara efektif, serta
memberikan suatu latihan bagi masyarakat. Dibawah kondisi yang berlangsung
dalam masyarakat industri, dengan adanya partai-partai massa, satu-satunya tipe
demokrasi yang dapat hidup hanyalah “presbiterian leader democracy”, dimana
para pemimpin kharismatik merumuskan tujuan-tujuan yang kemudian ditawarkan
kepada rakyat melalui mesin partai, dan kemudian diterapkan dengan bantuan
birokrasi pemerintahan (Tom Bottomore, 1983: 8 – 9).
Karena pemilihan umum
sesungguhnya adalah penawaran dari para kontestan mengenai program dan
tujuan-tujuan mereka, maka dibanyak negara maju, kampanye dalam pemilihan umum
tidak hanya diisi dengan acara-acara hura-hura sebagaimana yang terjadi
dinegeri kita hingga saat ini, tetapi dengan berbagai pidato dan perdebatan
antar calon, termasuk pemaparan rencana
program jika nanti mereka terpilih (walaupun kenyataannya tidak semua yang
hadir berkepentingan dengan isi pidato atau perdebatan terbuka). Rakyat,
khususnya mereka yang belum menentukan pilihan karena tidak berafiliasi pada
partai politik tertentu, akan menyimak dengan serius berbagai perdebatan dan
rencana program para calon, karena penilaian mereka atas hasil perdebatan dan
pemaparan program tersebutlah yang akan menentukan pilihan mereka kelak.
Berdasarkan gambaran proses pemilihan yang demikian ini, banyak ahli ilmu
politik, khususnya para penganut aliran pluralisme dalam politik, yang menggambarkan
hubungan antara partai poltik dengan pemilihnya seperti hubungan penjual dengan
konsumen dipasar. Partai-partai dalam kehidupan politik demokratis, tulis
Anthony Downs, adalah sama dengan wiraswastawan dalam suatu ekonomi yang
memburu laba. Seperti halnya mengusahakan laba, mereka merumuskan politik
apapun yang mereka yakini akan meraih suara terbanyak, persis seperti para
pedagang yang berusaha menghasilkan produk-produk yang diyakininya akan
memberikan keuntungan yang tertinggi dengan alasan yang sama. (S.P Varma: 215).
Dengan kata lain, partai politik sebagai penjual, menawarkan program-programnya
didalam pemilihan umum (yang merupakan pasarnya), sementara konsumen (yang
dalam hal ini adalah para pemilih) memilih barang (yang berupa program) sesuai
dengan kebutuhannya atau keinginannya dan membayar pilihannya (dalam bentuk
pemberian suara).
Sebagaimana
halnya kalau kita membeli barang dipasar, seringkali barang yang kita beli
mutunya tidak sesuai dengan yang dijanjikan oleh penjualnya. Pedagang barang
seringkali menawarkan barang dagangannya dengan cara melebih-lebihkan kemampuan
barang dagangannya diatas kemampuan nyatanya, dan bersamaan dengan itu
menutup-nutupi kelemahan atau cacat barang yang mereka jual. Hal yang sama juga
bisa terjadi pada kampanye calon-calon wakil rakyat. Pada masa kampanye, ketika
mereka menawarkan barang-barang dagangannya yang berupa program-program yang
akan mereka laksanakan jika kelak mereka memenangkan pemilihan umum, banyak
yang bersifat berlebihan, sehingga ketika mereka betul-betul memenangkan
pemilihan, janji-janji yang telah mereka umbar pada masa kampanye sama sekali
tidak terlaksana.
Peristiwa
sebagaimana digambarkan diatas tidak hanya terjadi di Indonesia atau
dinegeri-negeri terbelakang saja, tetapi juga banyak terjadi dinegara-negara
maju. Sekedar sebagai contoh, pada paruh pertama tahun 1980-an, dalam kampanye
pemilihan presiden Perancis, salah satu calon dari partai Sosialis, Francois
Mitterand yang berkoalisi dengan partai Komunis, menjanjikan untuk menasionalisasi
banyak perusahaan-perusahaan besar. Bahkan didalam kampanye mereka, mereka
telah membuat dartar definitif mengenai perusahaan-perusahaan yang akan
dinasionalisasi. Tetapi ketika mereka memenangkan pemilihan umum dan Francois
Mitterand menjadi Presiden perancis, janji nasionalisasi tak pernah terlaksana.
Juga banyak terjadi, para wakil rakyat membuat keputusan yang bukan saja
bertentangan dengan kehendak rakyat, tetapi bahkan merugikan rakyat kebanyakan,
seperti misalnya menyetujui kenaikan harga BBM atau tarif dasar listrik, dan
sebagainya.
Dengan
banyaknya peristiwa kampanye yang tidak dilaksanakan maupun pembuatan kebijakan
yang bertentangan dengan kehendak para pemilih mereka sebagaimana yang terjadi
di Perancis dan tentu saja lebih banyak lagi yang terjadi di Indonesia,
masalahnya kemudian adalah, apakah yang dapat dilakukan oleh pemilih yang telah
merasa dibohongi oleh para calon yang mereka dukung? Dengan kata lain, apa yang
dapat dilakukan oleh para pemilih jika ternyata nantinya wakil-wakil yang telah
mereka pilih memegang kekuasaan, tetapi tidak melaksanakan program-programnya
sebagaimana yang telah mereka janjikan didalam kampanye?
Jika hal ini
terjadi di Indonesia, dan kenyataannya memang sudah sangat sering terjadi, kita
sebagai pemilih yang merasa dibohongi tidak dapat melakukan apapun, sebagaimana
juga para pemilih di Perancis, karena mekanisme untuk mengambil tindakan memang
tidak ada. Dalam keadaan demikian, para pemilih paling-paling hanya bisa memaki-maki mereka
dijalanan dan diwarung-warung kopi. Upaya
beberapa LSM untuk mengadakan perjanjian tertulis dengan para calon dalam
kampanye sebagaimana yang terjadi dalam kampanye pemilihan anggota badan
legislatif tahun 2004 yang lalu, tidak akan banyak mempunyai pengaruh, karena
hampir-hampir tidak mungkin bagi rakyat untuk menuntut anggota legislatif ke
depan pengadilan berdasarkan janji kampanye, meskipun janji tersebut telah
dibuat secara tertulis. Masalah keputusan di badan legislatif adalah masalah
politis yang bisa dipastikan akan sangat sulit bagi hakim untuk membuat
keputusan berdasarkan pertimbangan yang baik berdasarkan hukum yang berlaku.
Untuk mengatasi
kesulitan tersebut, beberapa negara bagian Amerika Serikat mengembangkan
mekanisme untuk menurunkan para wakil rakyat yang ingkar janji dan yang
menyetujui keputusan yang merugikan konstituen mereka, yang mereka sebut
sebagai hak “recall.” Hak recall adalah hak untuk menarik seorang wakil dari
jabatannya sebelum berakhirnya masa jabatan wakil yang bersangkutan, karena
mereka dipandang tidak melaksanakan tugasnya dengan baik. Sebetulnya pemikiran
mengenai adanya hak recall dari para pemilih ini didasarkan pada teori mandat
dalam perwakilan, dimana para wakil rakyat adalah corong bicara para pemilih
mereka, bukannya teori independen sebagaimana yang dikemukakan oleh Edmund
Burke. Hak recall ini pernah kita kenal di Indonesia, tetapi yang mempunyai hak
bukannya rakyat pemilih, tetapi partai politik dari sang wakil itu sendiri.
Cara ini mengandaikan bahwa wakil rakyat adalah wakil partai politik, bukannya
wakil rakyat.
Pengandaian ini jelas tidak benar, karena
realitasnya para pemilih wakil rakyat lebih banyak yang berasal dari luar
partai politik dari pada anggota partai politik yang bersangkutan.
Hak recall
partai politik biasanya digunakan oleh elite partai yang bersangkutan untuk
mendisiplin anggotanya yang duduk dalam jabatan wakil rakyat, atau untuk
mempertahankan kesetiaan para wakil rakyat pada para elite partai politik yang
bersangkutan. Kalau hak recall oleh partai politik dapat dilaksanakan, mengapa
hak recall oleh rakyat tidak bisa? Bisa dipastikan, tak akan ada alasan
kesulitan teknis mengenai masalah ini.
Hak recall yang
dilaksanakan dibeberapa negara bagian Amerika Serikat bukan hak recall oleh
partai politik, tetapi hak recall oleh rakyat pemilih dari distrik pemilihan
yang bersangkutan. Dibeberapa negara bagian Amerika Serikat[1]
yang melaksanakan sistem hak recall ini, hak recall dilaksanakan dengan cara
mengajukan petisi yang menuntut dilaksanakannya pemilihan ulang atas jabatan
wakil rakyat yang bersangkutan. Jumlah tandatangan pemilih yang dibutuhkan
sebagai syarat sahnya suatu petisi recall berbeda-beda dari negara bagian yang
satu dengan negara bagian yang lain. Jika petisi yang diajukan memenuhi syarat,
maka jabatan yang bersangkutan dikosongkan dan dilakukan pemilihan ulang atas
jabatan yang dimintakan recall tersebut, atau
dilakukan penunjukan oleh pejabat tertentu atau oleh suatu badan tertentu.
Hak
recall sebagaimana yang diuraikan diatas merupakan hak recall atas
pejabat-pejabat daerah (Negara bagian), baik anggota parlemen daerah maupun
gubernur, walikota atau jabatan lain yang penempatannya dipilih oleh rakyat.
Untuk pejabat tingkat federal tidak dikenal hak recall dalam konstitusi Amerika
serikat. Namun demikian, walaupun
tidak memiliki kewenangan konstitusional, dua negara bagian Amerika Serikat,
yaitu Arizona dan North Dakota telah mengupayakan untuk menerapkan hak recall
pada para pejabat federal. Mereka mencoba menerapkan hak recall ini pada hakim
federal, senator dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Calon untuk Congress
sebelum pemilihan diminta untuk menandatangani pernyataan untuk patuh pada
penentuan suara recall untuk merecall mereka jika mereka membuat keputusan yang tidak sesuai
dengan janji kampanye mereka. Untuk memperkuat perjanjian tersebut, hakim federal yang bertugas dinegara bagian
yang bersangkutan akan diminta untuk menandatangani kepatuhan pada hasil
penentuan pemilihan recall. Tampaknya, maksud penandatanganan oleh hakim federal yang bertugas
dinegara bagian yang bersangkutan adalah untuk mengantisipasi kemungkinan
tuntutan yang timbul dari hak recall yang tidak konstitusional tersebut. Dengan
telah menandatangani pernyataan persetujuannya, jika kelak ada perkara, hakim
akan memutus berdasarkan pernyataan persetujuan yang telah ditandatanganinya
tersebut.
Mengenai
berlakunya hak recall di beberapa negara bagian Amerika Serikat ini tentunya memerlukan beberapa penyesuaian tertentu kalau ingin diterapkan
di Indonesia, karena adanya perbedaan sistem pemilihan umum. Di Amerika
Serikat, sistem pemilihan umum menganut sistem distrik dengan sistem perwakilan
“the winner take all”, sementara Indonesia menganut sistem perwakilan
“proporsional”.
Dalam system distrik dengan system the winner take all, wakil dari suatu
distrik berasal dari satu partai. Karena mereka berasal dari satu partai, maka
kalau ada suara dari distrik tersebut yang tidak sesuai dengan kehendak rakyat
di distrik yang bersangkutan, maka partai yang memiliki wakil dari distrik yang
bersangkutan harus bertanggungjawab. Berbeda dengan system proporsional, akan
sulit menentukan, siapa yang akan di recall? Apakah semua wakil rakyat dari
distrik yang bersangkutan atau hanya satu partai yang wakilnya menyuarakan
pendapat yang tidak sesuai dengan kehendak rakyat didistrik pemilihannya, atau
bahkan hanya satu orang wakil, yang secara jelas menyuarakan pendapat atau
pandangan atau menyetujui keputusan yang merugikan pemilih di distrik yang
bersangkutan. Perbedaan sistem
pemilihan ini perlu mendapat pertimbangan yang cermat sebelum hak recall (jika
mungkin) diterapkan di Indonesia.
Hak recall sebagaimana yang diterapkan
dibeberapa Negara bagian Amerika Serikat tersebut akan menguntungkan pelaksanaan pemerintahan rakyat,
dalam arti semakin mendekatkan sistem demokrasi perwakilan kepada rakyat.
Bagaimanapun, adanya lembaga ini akan memungkinkan terjadinya pengawasan yang
terus menerus oleh para pemilih terhadap pejabat-pejabat publik. Disamping itu,
hak recall ini dapat mengeluarkan para pejabat yang dipilih dari tempat
berlindung pada partai yang mencalonkan mereka, dan memaksa mereka untuk
berdiri diatas kemampuan mereka sendiri.
Sementara itu,
mereka yang menentang sistem ini beralasan bahwa sistem ini memberikan senjata
yang ampuh pada minoritas dan kelompok-kelompok sempalan untuk digunakan pada
mereka yang dianggap remeh atau dipandang enteng yang digunakan dengan maksud
mencari keuntungan politis. Dengan hak recall ini kelompok-kelompok sempalan
dapat mengusahakan untuk melakukan recall dalam rangka mengupayakan untuk
mengganti kedudukan mereka yang sedang berkuasa. Keberatan yang lain adalah
bahwa hak ini akan melemahkan keberanian dan kebebasan pejabat publik yang
dipilih, karena dengan adanya hak ini menjadikan pejabat rentan pada serangan
kemarahan publik yang sesat.
Kedua keberatan tersebut memang cukup beralasan,
karena itu, baik buruknya pemanfaatan hak recall sangat tergantung pada
kesadaran dan daya kritis politik rakyat, sehingga mereka dapat membedakan,
mana upaya recall yang hanya digunakan oleh sekelompok orang untuk mencari
keuntungan, dan mana yang memang murni untuk kepentingan rakyat banyak. Kiranya perlu diingat bahwa lembaga
inisiatif, referendum, dan recall adalah lembaga kenegaraan yang dimaksudkan
untuk menampung kebutuhan rakyat untuk ikut berpartisipasi didalam menentukan
jalannya pemerintahan negara. Karena itu, sebagai salah satu lembaga demokrasi,
ketiga lembaga tersebut tidak dengan sendirinya akan mengakibatkan bahwa
demokrasi akan berlangsung dengan lebih baik. Bahkan, bisa jadi lembaga hak
recall tersebut malah akan menjadi bumerang bagi praktek demokrasi, karena
lembaga tersebut hanya akan berguna jika digunakan oleh rakyat yang memiliki
pengetahuan dan informasi yang cukup tentang masalah yang dihadapi.
Keputusan yang
diambil oleh rakyat tanpa pertimbangan yang didasarkan pada pengetahuan dan
informasi yang cukup, akan mengakibatkan rakyat salah dalam mengambil
keputusan, dan hal ini berarti malah akan merugikan rakyat sendiri. Karena itu,
dalam keadaan masyarakat yang tidak memiliki cukup pengetahuan dan informasi,
ketiga lembaga demokrasi tersebut akan dapat dimanfaatkan oleh
kelompok-kelompok yang kalah untuk mendapatkan keuntungan bagi diri dan
kelompok mereka, atau dapat digunakan untuk kepentingan kelompok-kelompok
tertentu yang mampu mempengaruhi pilihan rakyat. Bahkan, pemahaman rakyat akan
berbagai permasalahan kenegaraan dan kemampuan berfikir kritis merupakan syarat
mutlak bagi bermanfaatnya lembaga recall rakyat. Pada masyarakat yang pemahamannya masih rendah, bersifat
paternalistik, dan/atau mudah disuap, akan menjadikan keberadaan lembaga recall rakyat menjadi
sia-sia, bahkan dapat digunakan untuk kepentingan kelompok tertentu yang dapat
mengelabuhi rakyat.
Daftar Pustaka
1. Bottomore, Tom, terjemahan Sahat Simamora, Sosiologi
Politik, P.T. Bina aksara, 1983.
2. Varma, S.P., (terjemahan), Teori-Teori Politik Modern,
Rajawali Pers.
3. Ferguson, John H. dan Dean E. McHenry, The American Federal
Government, McGraw Hill Book Company Inc, 1961.
0 comments:
Posting Komentar