Hadi Wahono
MENIMBULKAN
KERANCUAN HUKUM
Cakupan pengaturan RUU Orgnisasi Masyarakat sebagaimana yang diatur dalam
pasal 1 sub 1 yo pasal 8 RUU terlalu luas, sehingga mencakup berbagai organisasi
yang dibentuk oleh masyarakat. Hal ini dapat kita lihat dari bunyi pasal 1 sub
1 dan pasal 8 yang menyatakan:
Pasal 1
Dalam
Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.
Organisasi Masyarakat yang selanjutnya disebut Ormas adalah organisasi yang
didirikan dengan sukarela oleh warga negara Indonesia yang dibentuk berdasarkan
kesamaan tujuan, kepentingan, dan kegiatan, untuk dapat berpartisipasi dalam
pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal
8
Ormas
didirikan oleh sekurang-kurangnya 3 (tiga) warga negara Indonesia.
Pengertian Organisasi masyarakat yang demikian akan mencakup PT; CV;
Yayasan dan sebagainya, karena PT; CV; dan Yayasan adalah organisasi yang
didirikan dengan sukarela oleh warga Negara Indonesia dan dibentuk berdasarkan
kesamaan tujuan dan kepentingan yaitu mencari keuntungan, untuk PT dan CV; atau
untuk membantu masyarakat miskin dan terpinggirkan, memajukan pendidikan,
kesenian, dan sebagainya, untuk Yayasan. Organisasi tersebut melakukan suatu kegiatan
yang sama. Walaupun didalam pasal 1 sub 1 bagian akhir terdapat klausula “untuk
dapat berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan
Republik Indonesia” tidak berarti PT dan CV dapat dilepaskan dari cakupan pasal
tersebut, karena selama ini baik para pemegang saham maupun pelaku usaha selalu
berdalih bahwa usaha mereka juga dalam rangka berpartisipasi dalam pembangunan
Indonesia. Mereka merasa berpartisipasi dalam memproduksi barang-barang
kebutuhan masyarakat, merasa berpartisipasi didalam memajukan export, dan
sebagainya.
Dalam hubungan denganYayasan, pembentuk RUU sendiri memang sengaja
memasukkan Yayasan sebagai obyek pengaturan. Hal ini Nampak jelas dalam pasal
10 ayat (2) dan (3) yang selengkapnya berbunyi:
Pasal
10
(1)
Ormas berbadan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a berupa:
a.
perkumpulan; atau
b.
yayasan.
(2)
Ormas berbadan hukum perkumpulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
didirikan dengan berbasis keanggotaan.
(3)
Ormas berbadan hukum yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
didirikan dengan tidak berbasis keanggotaan.
Dengan memasukkan Yayasan sebagai obyek pengaturan dalam RUU Organisasi
Masyarakat akan menimbulkan kerancuan dan kekacauan hokum. Hal ini disebabkan
karena Yayasan merupakan entitas yang
sama sekali berbeda dengan perkumpulan, karena sifat keanggotaannya,
sebagaimana sudah disebutkan dalam pasal 10 ayat (2) dan (3) sendiri. Padahal,
organisasi berbadan hokum yang berstatus Yayasan sudah diatur tersendiri
didalam UU yayasan, UU. No. 16 tahun 2001. Karena itu, pengaturan dua
organisasi yang merupakan entitas yang sama sekali berbeda dalam satu peraturan,
bahkan yang satu telah ada peraturan khusus, akan menimbulkan kerancuan dan
kekacauan hukum.
PENGAWASAN
YANG BERLEBIHAN
Sebagaimana telah dibahas diatas, berdasarkan ketentuan dalam pasal 1 sub
1 yo. Pasal 8 RUU., semua bentuk organisasi yang dibentuk oleh masyarakat
termasuk dalam cakupan pengaturan RUU ini. Dengan memasukkan semua jenis
organisasi dalam segala bentuknya kedalam cakupan pengaturan RUU Orgnisasi
Masyarakat akan berakibat fatal. Dengan ketentuan yang sedemikian luas, maka
jika ada tiga orang atau lebih yang bersepakat untuk bersama-sama melakukan
sesuatu dengan tujutan tertentu, misalnya membentuk kelompok arisan, kelompok
sepak bola kampong, atau RT; atau membentuk kelompok keroncong yang didasarkan
pada hobi, dapat dikategorikan sebagai Organisasi Masyarakat dan merupakan
obyek pengaturan RUU ini. Lebih celakanya lagi, organisasi demikian, yang dalam
RUU dikategorikan sebagai perkumpulan tidak berbadan hokum, tetap saja
keberadaan mereka harus didaftarkan dan mereka harus memiliki akta pendirian yang dikeluarkan oleh
notaris; AD/ART; program kerja; kepengurusan; surat keterangan domisili; nomor
pokok wajib pajak atas nama Ormas; surat pernyataan tidak berafiliasi kepada
partai politik; surat pernyataan tidak sedang dalam sengketa kepengurusan atau
dalam perkara di pengadilan; dan surat pernyataan kesanggupan melaporkan
kegiatan. Hal ini diatur didalam pasal 9, pasal 14, dan pasal 16 yang
selengkapnya berbunyi:
Pasal
9
Ormas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dapat berbentuk:
a.
badan hukum; atau
b.
tidak berbadan hukum.
Pasal
14
(1)
Ormas yang tidak berbadan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b
memberitahukan keberadaannya secara tertulis kepada Pemerintah dan/atau
Pemerintah Daerah sesuai alamat dan domisili.
(2)
Dalam hal Ormas memberitahukan keberadaanya Pemerintah dan/atau Pemerintah
Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberikan surat tanda terima
pemberitahuan keberadaan organisasi.
Pasal
16
(1)
Pendaftaran Ormas yang tidak berbadan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
huruf b dilakukan dengan pemberian surat keterangan terdaftar.
(2)
Pendaftaran bagi Ormas yang tidak berbadan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan dengan kewajiban menyertakan persyaratan sebagai berikut:
a.
akta pendirian yang dikeluarkan oleh notaris;
b.
AD/ART;
c.
program kerja;
d.
kepengurusan;
e.
surat keterangan domisili;
f.
nomor pokok wajib pajak atas nama Ormas;
g.
surat pernyataan tidak berafiliasi kepada partai politik;
h.
surat pernyataan tidak sedang dalam sengketa kepengurusan atau dalam perkara di
pengadilan; dan
i.
surat pernyataan kesanggupan melaporkan kegiatan.
(3)
Surat keterangan terdaftar sebagaimana dimaksud ayat (1) diberikan oleh:
a.
Menteri bagi Ormas yang memiliki wilayah kerja nasional;
b.
gubernur bagi Ormas yang memiliki wilayah kerja provinsi; atau
c.
bupati/walikota bagi Ormas yang memiliki wilayah kerja kabupaten/kota.
Pengaturan
demikian jelas sangat berlebih-lebihan. Akibatnya, kelompook arisan atau
kelompok sepak bola kampong harus memiliki akta notaries pendirian, dan
berbagai persyaratan lain dan harus didaftarkan. Lalu apa bedanya organisasi
atau perkumpulan yang berbadan hokum dan yang tak beradan hokum kalau
organisasi tidak berbadan hokum harus memiliki akta pendirian berupa akta
notaries, memiliki AD dan ART, memiliki NWP dan sebagainya? Pengaturan demikian
jelas akibat kekacauan berfikir. Apa unsur yang menentukan atau membentuk suatu
organisasi berstatus sebagai organisasi berbadan hokum atau tidak berbadan
hokum? Kalau berbadan hokum atau tidaknya suatu organisasi ditentukan oleh
keberadaan akta notaries pendirian organisasi, pasal 16 ayat (2) RUU menentukan
baik organisasi yang bersangkutan berbadan hokum maupun tidak berbadan hokum
sama-sama diharuskan memiliki akta notaries pendirian organisasi. Kalau
berbadan hokum atau tidaknya sebuah organisasi ditentukan oleh didaftarkan atau
tidaknya organisasi yang bersangkutan, menurut RUU tersebut baik organisasi
berbadan hokum maupun tidak berbadan hokum sama-sama harus didaftarkan. Lalu
apa bedanya? Selain akibat kekacauan berfikir, ketentuan demikian juga
mengebiri hak berserikat dan berkumpul, karena dengan ketentuan tersebut,
berarti setiap orang yang berkumpul untuk tujuan tertentu harus memiliki akta
notaries pendirian, mendaftarkan diri, memiliki NPWP, AD dan ART dan
sebagainya. Ketentuan ini jelas hanya didasarkan pada keinginan penguasa yang
paranoid untuk mengawasi setiap gerak-gerik orang yang berkumpul. Pengaturan
yang berlebihan demikian hanya dikeluarkan oleh penguasa yang penuh ketakutan,
paranoid dan fasis.
LEGALISASI
CAMPUR TANGAN PEMERINTAH
Tampaknya salah satu tujuan RUU Organisasi
masyarakat adalah adanya landasan hokum atau legalisasi bagi penguasa untuk
campur tangan secara mendalam pada berbagai perkumpulan, mulai dari perkumpulan
berbadan hokum yang bersifat nasional maupun daerah hingga kumpulan arisan dan
sepak bola pemuda RT. Hal ini selain nampak dari kewajiban memberitahukan atau
mendaftarkan berbagai kelompok tersebut, juga diupayakan atas nama pemberdayaan
dan mediasi konflik internal organisasi.
a.
Atas Nama Pemberdayaan
Landasan hukum bagi campur tangan penguasa dengan
mengatasnamakan pemberdayaan terdapat dalam pasal 36 dan 46 RUU. Untuk
jelasnya, pasal 36 kami kutip disini, yang selengkapnya berbunyi:
Pasal
36
(1)
Dalam rangka pemberdayaan Ormas, Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah
melakukan:
a.
fasilitasi kebijakan;
b.
penguatan kelembagaan;
c.
peningkatan kualitas sumberdaya manusia; dan
d.
pemberian penghargaan.
(2)
Fasilitasi kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berupa
pembentukan peraturan perundang-undangan yang mendukung pemberdayaan Ormas.
(3)
Penguatan kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat berupa:
a.
pelibatan dalam proses pembangunan;
b. tata
kelola organisasi yang baik;
c.
penyediaan data dan informasi Ormas;
d.
pengintensifan dialog dan kerjasama; dan
e.
dukungan keahlian dan pendampingan.
(4)
Peningkatan kualitas sumberdaya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c dapat berupa:
a.
pendidikan dan pelatihan;
b.
penguatan kepemimpinan dan kaderisasi;
c.
penguatan wawasan kebangsaan; dan
d.
pengembangan dan pendampingan kewirausahaan.
(5)
Pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dapat berupa:
a.
tanda penghargaan;
b.
bantuan pendidikan dan pelatihan; dan
c.
insentif pengembangan organisasi.
(6)
Ketentuan lebih lanjut mengenai fasilitasi kebijakan, penguatan kelembagaan,
peningkatan kualitas sumberdaya manusia, dan pemberian penghargaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Kalau kita
baca sepintas nampaknya bunyi pasal 36 RUU merupakan bentuk perhatian dan
keprihatinan pemerintah pada perkembangan Organisasi Masyarakat. Seolah-olah Negara menginginkan ormas yang
sehat, yang kuat, yang mandiri. Tetapi kalau kita perhatikan lebih seksama, pengaturan
mengenai fasilitasi dan penguatan lembaga dapat menjadi dasar hokum bagi
pemerintah/penguasa untuk secara langsung ikut campur tangan dalam kegiatan
Organisasi Masyarakat. Hal ini Nampak jelas dari bentuk upaya yang oleh
pembentuk undang-undang disebut sebagai upaya penguatan dan peningkatan
kualitas sumberdaya manusia. Upay tersebut meliputi tata kelola organisasi yang
baik, penyediaan data dan informasi Ormas, dukungan keahlian dan pendampingan,
penguatan kepemimpinan dan kaderisasi, penguatan wawasan kebangsaan, dan
sebagainya.
Berbagai bentuk
kegiatan pemberdayaan Ormas oleh pemerintah tersebut seolah-olah tidak bersifat
mengikat, karena tidak ada kata “harus.” Namun demiki kalimat yang berbunyi “Dalam
rangka pemberdayaan Ormas, Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah melakukan” mau
tidak mau harus ditafsirkan sebagai kewajiban bagi Organisasi Masyarakat untuk
mengikuti atau menerimanya. Dengan menerima “bantuan,” misalnya berupa dukungan
keahlian dan pendampingan, maka mau tak mau Organisasi Msyarakat yang
bersangkutan harus mengijinkan penguasa untuk masuk kedalam berbagai kegiatan,
administrasi, dan pembuatan keputusan organisasi. Kalau pemerintah berniat baik
untuk membantu, tidak perlu diatur didalam UU organisasi masyarakat, tetapi
cukup dengan menyediakan bantuan bagi mereka yang membutuhkan. Disamping itu,
RUU ini mengesankan bahwa pemerintah lebih tahu kebutuhan masyarakat daripada
masyarakat itu sendiri. Apakah suatu organisasi membutuhkan bantuan yang
disediakan pemerintah atau tidak seharusnya sepenuhnya menjadi keputusan
organisasi yang bersangkutan, karena mereka sendiri yang dapat menentukan apa
kebutuhan mereka, apakah apparatus Negara lebih mampu dan lebih baik daripada
mereka, dan sebagainya.
Andaikan
saja pemerintah tidak mampu melaksanakan berbagai upaya “bantuan” tersebut,
tetapi hanya bisa menyelenggarakan satu kali pelatihan. Karena hanya pelatihan,
yang nampaknya tidak akan bisa secara langsung mencampuri urusan Organisasi,
maka sebuah organisasi masyarakat dengan senang hati mengikuti kegiatan
pelatihan tersebut. Tetapi kenyataannya, permasalahan tidak hanya sampai
disitu, karena berdasarkan ketentuan dalam pasal 46 RUU., organisasi yang
mendapat “pemberdayaan pemerintah wajib membuat laporan kegiatan dan keuangan
dengan alasan untuk menjadi dasar evaluasi keberhasilan atau kegagalan
pelatihan yang mereka selenggarakan. Untuk jelasnya, pasal 46 kami kutip
selengkapnya, yang berbunyi:
Pasal
46
(1)
Dalam hal Ormas mendapatkan pemberdayaan berupa penguatan kelembagaan,
peningkatan kualitas sumberdaya manusia, dan pemberian penghargaan dari
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat
(3), ayat (4), dan ayat (5) harus menyampaikan laporan kegiatan dan keuangan
kepada Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
(2)
Laporan kegiatan dan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar
evaluasi pemberdayaan bagi Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
(3)
Dalam hal Ormas tidak menyampaikan laporan kegiatan dan keuangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Pemerintah atau Pemerintah Daerah menghentikan
pemberdayaan Ormas bersangkutan.
Kalau kita
melihat dari pasal 46, khususnya ayat (3) kalimat terakhir, seolah-olah, jika
kita tidak bersedia melaksanakan kehendak pemerintah, sanksinya hanya berupa
penghentian pemberdayaan Ormas yang bersangkutan. Mungkin kita akan berkomentar
“malahane.” Atau “malah kebetulan.” Tetapi kenyataannya tidak demikian, karena
pasal 46 masih berhubungan dengan pasal 52 ayat (7) yang selengkapnya berbunyi:
(7)
Dalam hal Ormas yang telah dibekukan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) tetap melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 46 ayat (2), Pemerintah atau Pemerintah Daerah mengajukan permohonan
pembubaran kepada pengadilan negeri untuk Ormas kabupaten/kota dan Ormas
Provinsi atau kepada Mahkamah Agung untuk Ormas nasional.
Dari bunyi
pasal 52 ayat (7) tersebut, maka Ormas yang melakukan pelanggaran sebagaimana
yang dimaksud dalam pasal 46 ayat (2) dapat dibekukan, dan kemudian dibubarkan.
Kalau
melihat dari sanksi yang sedemikan berat, maka sudah dapat dipastikan bahwa
maksud pembuat undang-undang bukan meningkatkan kemampuan atau pemberdayaan
organisasi masyarakat, tetapi pengawasan dan pengendalian.
b. Atas Nama Mediasi Sengketa Internal
Psal 48
dan 49 RUU mengatur mengenai sengketa internal organisasi, dimana
penyelesaiannya selain harus diselesaikan melalui mekanisme AD dan ART juga
disediakan penyelesaian berupa mediasi dan konsiliasi, maupun melalui
pengadilan. Bagi sebuah organisasi, penyelesaian melalui mekanisme AD dan ART
adalah sebuah kewajaran, karena keberadaan AD dan ART memang dibuat untuk
mengatur organisasi dan penyelesaian sengketa dalam organisasi. Tetapi,
penyelesaian melalui mediasi dan konsiliasi berbeda, karena kedua lembaga
tersebut merupakan lembaga penyelesaian yang bersifar sukarela sebagai
alternative penyelesaian melalui pengadilan. Namun demikian, kedua pasal
tersebut mengesankan bahwa pernyelesaian melalui mediasi merupakan keharusan.
Untuk jelasnya kedua pasal tersebut kami kutip disini:
Pasal
48
(1)
Dalam hal terjadi sengketa organisasi, Ormas diberikan kewenangan untuk
menyelesaikan sengketa melalui mekanisme yang diatur dalam AD dan ART.
(2)
Apabila penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
tercapai, dapat dilakukan upaya mediasi dan konsiliasi.
(3)
Tata cara mediasi dan konsiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
sesuai peraturan perundang-undangan.
Pasal
49
(1)
Dalam hal mediasi dan konsiliasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2)
tidak tercapai, penyelesaian sengketa Ormas dapat ditempuh melalui pengadilan
negeri.
(2)
Putusan pengadilan negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
diajukan banding dan putusan pengadilan tinggi bersifat final dan mengikat.
(3)
Sengketa Ormas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselesaikan oleh pengadilan
negeri paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja sejak gugatan perkara terdaftar
di kepaniteraan pengadilan negeri dan oleh pengadilan tinggi paling lama 30
(tiga puluh) hari sejak memori banding terdaftar di kepaniteraan pengadilan
tinggi.
Mediasi
dan konsiliasi merupakan pilihan dan upaya sukarela dari para pihak dalam
sengketa dengan tujuan untuk menghindari proses pengadilan yang bertele-tele.
Karena itu, mediasi dan konsiliasi yang diharuskan menjadi kejanggalan.
Walaupun dalam pasal 48 ayat (2) ditambahkan kata “dapat”, yang mengesankan
seolah-olah mediasi dan konsiliasi merupakan tindakan alternative, tetapi bunyi
pasal tersebut dapat ditafsirkan (atau disalah tafsirkan) sebagai keharusan.
Saya kira, ini memang maksud pembuat draft UU., untuk memberi ruang intervensi
pada pemerintah, khususnya dalam mengganti kepengurusan yang tidak mereka
sukai. Dengan membakar konflik internal dan kemudian atas nama mediasi, pemerintah
dapat mengganti pengurus organisasi yang tidak mereka sukai.
KESEMRAWUTAN BERFIKIR
Didalam
pasal 50 RUU diatur mengenai berbagai larangan bagi Organisasi Masyarakat, baik
larangan untuk menggunakan nama, lambang, bendera Indonesia maupun nama, lambang,
dan bendera Negara lain, maupun larangan untuk melakukan kegiatan dan
tindakan-tindakan tertentu. Untuk jelasnya, bunyi pasal 50 kami kutip disini:
Pasal
50
(1)
Ormas dilarang menggunakan nama, lambang, atau tanda gambar yang sama dengan:
a. bendera
atau lambang negara Republik Indonesia;
b.
lambang lembaga negara atau lambang Pemerintah;
c.
nama, bendera, lambang negara lain atau lembaga/badan internasional;
d.
nama, bendera, simbol organisasi gerakan separatis atau organisasi terlarang;
atau
e.
yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama,
lambang, atau tanda gambar Ormas atau Partai Politik lain.
(2)
Ormas dilarang:
a.
melakukan kegiatan yang bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan;
b.
melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan dan keselamatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia;
c.
menyebarkan permusuhan antar suku, agama, ras, dan antar golongan;
d.
memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa; atau
e.
melakukan kekerasan, mengganggu ketertiban, dan merusak fasilitas umum.
(3)
Ormas dilarang:
a.
menerima dari atau memberikan kepada pihak asing sumbangan dalam bentuk apa pun
yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
b. mengumpulkan
dana untuk kepentingan partai politik atau kampanye jabatan politik; atau
c.
menerima sumbangan berupa uang, barang, ataupun jasa dari pihak mana pun tanpa
mencantumkan identitas yang jelas.
(4)
Ormas dilarang menganut dan mengembangkan serta menyebarkan ajaran atau paham
yang bertentangan dengan Pancasila.
Berbagai
larangan dalam pasal 50 tersebut akan kami bahas dalam tiga bagian, yang
meliputi sub judul kekacauan berfikir, larangan untuk berfikir dan Legitimasi
Kesewenang-wenangan Penguasa.
a. Kekacauan Berfikir
Didalam pasal 50 ayat (2)
diatur mengenai larangan Ormas untuk melakukan kegiatan yang bertentangan
dengan UndangUndang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan;
Dalam
pasal 50 ayat (2) sub a, Ormas dilarang untuk melakukan kegiatan yang bertentangan dengan UndangUndang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Larangan demikian merupakan
kejanggalan berfikir, bahkan menunjukkan absurditas pemikiran, karena
Undang-Undang Dasar bukan hokum positif, tetapi merupakan grund norm, yang
dibentuk bukan untuk mengatur tindakan dan perbuatan orang, tetapi merupakan norma
dasar yang memberi arah dan legalitas pada kebijakan dan tindakan Negara.
Bagaimana mungkin sebuah organisasi yang berbentuk perkumpulan misalnya,
dinyatakan melanggar pasal 33 UUD 45? Apalagi organisasi demikian dapat
dibubarkan, sementara Negara yang sudah jelas-jelas melanggar berbagai
ketentuan UUD 1945 saja tidak kunjung dibubarkan? Apakah pasal ini hasil dari
kebodohan pemikiran? Saya kira selain bodoh juga merupakan akibat keinginan
pemerintah untuk mudah cari alasan pembubaran organisasi yang tidak mereka
sukai.
b. Hasil Pemikiran Yang Absurd
Dalam
pasal 50 ayat (4) ada larangan bagi ormas untuk menganut dan mengembangkan
serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila.
Sementara itu, penjelasan atas ayat tersebut menyatakan:
“Yang
dimaksud dengan “ajaran dan paham yang bertentangan dengan Pancasila” antara
lain ajaran atau paham Komunisme, Marxisme, Leninisme, Kapitalisme, dan
Liberalisme.”
Pasal ini
merupakan pasal yang sangat-sangat karet yang dapat menjadi jala untuk
memberangus kebebasan berfikir dan menyatakan pendapat. Apa yang dimaksud
dengan ajaran Komunisme, Marxisme, leninisme, Kapitalisme, dan Liberalisme?
Apakah organisasi yang membela keadilan sosial dan persamaan dapat
dikategorikan menyebarkan ajaran Komunisme-Marxisme karena ajaran
Komunisme-Marxisme mencita-citakan masyarakat yang berkeadilan, yang
mengajarkan persamaan, mengajarkan berat sama dipikul, ringan sama dijinjing?
Lebih
celaka lagi, kalau sebuah organisasi menolak kapitalisme dan liberalism, mereka
bisa dicap sebagai menyebarkan ajaran komunisme, Marxisme, dan Leninisme,
karena ketiganya sama-sama menolak kapitalisme dan leberalisme. Tetapi kalau
sebuah organisasi menyebarkan paham anti komunisme, maka mereka bisa
dikategorikan menyebarkan ajaran kapitalisme –liberalisme, karena
kapitalisme-liberalisme mengajarkan untuk menolak komunisme. Pasal ini bukan
saja melanggar hak dan kebebasan berfikir dan menyatakan pendapat, tetapi
benar-benar pasal absurd. Bagaimana mungkin sebuah peraturan melarang orang
untuk menganut dan mengembangkan pemikiran tertentu? Menganut dan mengembangkan
suatu paham adalah sebuah proses berfikir. Karena itu sangat absurd kalau suatu
peraturan melarang orang untuk berfikir. Larangan demikian bukan saja absurd,
tidak masuk akal, tetapi juga sebuah kegilaan.
c. Legitimasi Kesewenang-wenangan Penguasa
Didalam pasal 50 ayat (3) sub b dan d terdapat larangan bagi Ormas untuk melakukan
kegiatan:
b.
melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan dan keselamatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
d.
memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa; atau
Kedua
sub pasal tersebut merupakan peraturan karet, yang dapat ditafsir semau-maunya
oleh penguasa. Apa ukurannya suatu kegiatan dapat dikategorikan sebagai
membahayakan keutuhan dan keselamatan Negara? Pasal demikian dapat digunakan
bagi organisasi yang mengkritik pemerintah, karena pemerintah menyatakan
kegiatan tersebut membahayakan keselamatan Negara. Pasal tersebut juga dapat
digunakan oleh penguasa untuk mencap bahwa sebuah organisasi telah memecah
belah persatuan dan kesatuan bangsa hanya karena organisasi yang bersangkutan
tidak mau ikut dalam wadah yang dibentuk pemerintah, atau tidak mau mengikuti pendidikan
dan pelatihan, atau penguatan kepemimpinan dan kaderisasi, atau pelatihan dan
kegiatan yang oleh penguasa diberi label sebagai pelatihan dan kegiatan dalam
rangka penguatan wawasan kebangsaan sebagaimana ditentukan dalam pasal 36 ayat
(4) RUU. Tidak mungkin kita akan membuat ukuran untuk menyatakan bahwa suatu
tindakan atau kegiatan dapat dikatakan sebagai tindakan yang membahayakan
keutuhan dan keselamatan Negara Kesatuan Republik Indonesia atau merupakan
tindakan dan kegiatan yang memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa. Karena
tidak jelas ukurannya, maka apa yang dapat dikategorikan sebagai tindakan atau
kegiatan yang membahayakan keutuhan dan keselamatan Negara atau merupakan tidakan dan kegiatn yang memecah
belah persatuan dan kesatuan bangsa. Peraturan yang mengatur tindakan atau
kegiatan yang tidak jelas ukurannya ini hanya akan memberikan legitimasi bagi
tindakan kesewenang-wenangan penguasa.
PEMBUBARAN ORGANISASI
Pasal
51, 52, dan pasal 53 RUU mengatur mengenai sanksi yang dapat diberikan kepada
Organisasi Masyarakat yang melakukan pelanggaran atas berbagai larangan yang
terdapat didalam RUU. Sanksi yang diperkenalkan oleh pasal 51, 52 dan 53 mulai
dari sanksi administrative, tidak disertakan dalam kegiatan pemberdayaan yang
diselenggarakan pemerintah, hingga sanksi berupa pembekuan sementara
organisasi, yang berpuncak pada pembubaran organisasi. Untuk jelasnya, bunyi
ketiga pasal tersebut kami kutip disini:
Pasal
51
(1)
Pemerintah atau Pemerintah Daerah menjatuhkan sanksi administratif kepada Ormas
yang melakukan pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Pasal
42, Pasal 50 ayat (1) berupa teguran tertulis.
(2)
Dalam hal teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diindahkan,
Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai lingkup tugas dan tanggung jawabnya
menjatuhkan pemberhentian pemberdayaan dan/atau denda.
Pasal
52
(1)
Pemerintah atau Pemerintah Daerah menjatuhkan sanksi administratif kepada Ormas
yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
50 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) berupa teguran tertulis.
(2)
Teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling banyak 3
(tiga) kali dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari.
(3)
Dalam hal teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diindahkan,
Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai lingkup tugas dan tanggung jawabnya
menjatuhkan sanksi pembekuan sementara paling lama 90 (sembilan puluh) hari
sampai keluarnya putusan pembekuan sementara dari pengadilan negeri atau
Mahkamah Agung.
(4)
Dalam hal Pemerintah menjatuhkan sanksi pembekuan sementara sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), Pemerintah mengajukan permohonan pembekuan sementara
Ormas kepada Mahkamah Agung paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
sanksi pembekuan sementara dijatuhkan.
(5)
Dalam hal Pemerintah Daerah menjatuhkan sanksi pembekuan sementara sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), Pemerintah Daerah mengajukan permohonan pembekuan
sementara Ormas kepada pengadilan negeri paling lama 30 (tiga puluh) hari
terhitung sejak sanksi pembekuan sementara dijatuhkan.
(6)
Pengadilan negeri atau Mahkamah Agung wajib memutus permohonan pembekuan
sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) paling lama 30 (tiga
puluh) hari terhitung sejak permohonan pembekuan sementara diajukan.
(7)
Dalam hal Ormas yang telah dibekukan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) tetap melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 46 ayat (2), Pemerintah atau Pemerintah Daerah mengajukan permohonan
pembubaran kepada pengadilan negeri untuk Ormas kabupaten/kota dan Ormas
Provinsi atau kepada Mahkamah Agung untuk Ormas nasional.
(8)
Pengadilan negeri atau Mahkamah Agung wajib memutus permohonan pembubaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (7) paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung
sejak permohonan pembubaran diajukan.
Pasal
53
Pemerintah
dan/atau Pemerintah Daerah hanya dapat melakukan pembubaran ormas berdasarkan
putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Kalau
kita bandingkan prosedur pengenaan sanksi yang diperkenalkan dalam RUU Ormas dan
prosedur pengenaan sanksi yang diatur didalam UU. No 8 tahun 1985 tentang
Organisasi Kemasyarakatan. Didalam UU. No. 8 tahun 1985 pemerintah secara
sepihak tanpa pertimbangan pihak lain dan tanpa member hak pembelaan dapat
membekukan dan membubarkan organisasi yang disebut sebagai Organisasi
Kemasyarakatan. Sementara dalam RUU pembekuan dan pembubaran harus didasarkan
pada putusan Pengadilan. Tetapi sesungguhnya intinya sama saja, yaitu
melegalisasi pembubaran organisasi yang dibentuk oleh masyarakat. Sanksi berupa
pembekuan dan pembubaran organisasi menjadi berlebihan, sia-sia, dan tidak
berguna, karena toh
anggota-anggota organisasi yang bersangkutan dapat membuat lagi organisasi baru
dengan nama baru. Sementara itu, kegiatan yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan, menyebarkan permusuhan antar suku, agama, ras, dan antar
golongan dan melakukan kekerasan, mengganggu ketertiban, dan merusak fasilitas
umum sebagaimana yang diatur didalam pasal 50 ayat (2) para pelakunya dapat
dipidana, dan ketentuan demikian telah diatur dalam berbagai perundang-undangan
termasuk dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Karena itu,
pemberian sanksi yang berupa pembekuan dan pembubaran organisasi selain
berlebihan, sia-sia, dan tak berguna, juga melanggar hak azasi manusia, khususnya hak
berserikat dan berkumpul sebagaimana yang diatur didalam pasal 28E ayat (3) UUD 1945.
KESIMPULAN
Karena banyaknya kelemahan dan cacat bawaan RUU
Ormas, maka sudah selayaknya kalau RUU Ormas dibatalkan sama sekali. Disamping
itu, DPR sudah harus mencabut UU. No. 8 tahun 1985 tentang Organisasi
Kemasyarakatan yang tidak pernah efektif dan sama, bahkan lebih buruk dari RUU
Ormas.
0 comments:
Posting Komentar