LANDREFORM: Lebih Berdasar Pertimbangan Politik Dari Pada Keadilan Sosial


Hadi Wahono


Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu pada bulan September 1945, Sekutu, khususnya Amerika Serikat memaksa Jepang untuk menyelenggarakan program landreform. Secara sepintas, pernyataan ini nampaknya sangat aneh, karena selama ini program landreform banyak dipandang sebagai program Kommunis. Menjadi aneh jika Amerika Serikat yang merupakan negara pembela kapitalisme paling utama memaksa negeri yang baru saja ditaklukkannya untuk melaksanakan program landreform. Pertanyaan sederhananya, sejak kapan kapitalis berfikir tentang pemerataan?
Jawab atas pertanyaan tersebut adalah, tidak pernah. Landreform yang dipaksakan pelaksanaannya di Jepang saat itu lebih mempunyai makna politis dan kepentingan ekonomi Amerika dari pada keadilan dan pemerataan. Menurut penulis, ada empat hal yang mendorong Amerika Serikat untuk memaksa Jepang melaksanakan landreform. Yang pertama, untuk memperbanyak jumlah rakyat Jepang yang memiliki daya beli yang memadai. Setelah kehancuran industri Jepang sebagai akibat Perang Dunia Kedua, Jepang yang berpenduduk cukup besar merupakan pasar barang-barang produk industri Amerika Serikat yang lumayan besar. Namun demikian, jumlah penduduk yang besar tanpa daya beli yang memadai tidak akan ada gunanya bagi pemasaran barang-barang industri maju. Untuk itu, jumlah rakyat Jepang yang memiliki daya beli yang memadai yang memungkinkan untuk membeli barang-barang import harus ditingkatkan jumlahnya. Salah satu caranya adalah dengan memeratakan pemilikan tanah, yang pada waktu itu dikuasai oleh penguasa-penguasa feodal daerah (para warlord), yang jumlahnya sangat sedikit. Melalui landreform, jumlah rakyat yang memiliki daya beli yang memadai akan bertambah berlipat-lipat ganda, yang pada akhirnya akan menjadi pasar yang cukup besar bagi barang-barang produk Amerika Serikat.
Yang kedua, untuk melumpuhkan kekuatan para bangsawan Jepang, khususnya para warlord, yang kekuatannya ditumpu oleh penguasaan atas tanah luas. Warlord yang mempunyai kekuatan akan menjadi ancaman paling berbahaya bagi kepentingan Amerika Serikat di Jepang. Bagaimanapun, kekuatan Warlord dapat menjadi tumpuan harapan rakyat Jepang untuk mengembalikan impian bangsa Jepang atas kejayaan lama mereka. Dengan membagi tanah-tanah yang dikuasai oleh para Warlord, bukan saja mereka akan kehilangan kekuatan ekonominya, tetapi juga pengaruh dan kekuatan politiknya, setidak-tidaknya pada para petani penggarap diwilayah kekuasaannya, yang selama ini bergantung hidupnya (melalui tanah garapan) dari para Warlord.
Yang ketiga, didasarkan pada keinginan untuk menciptakan ketenangan dan ketertiban didaerah pedesaan. Sejarah telah mencatat bahwa kemiskinan pedesan dan ketidak adilan dalam masalah pertanahan akan menjadi faktor pendorong pemberontakan petani. Sesungguhnya sejarah memang telah mencatat bahwa huru-hara besar yang dipelopori oleh petani memang tidak pernah ada. Namun demikian, tidak bisa dikatakan bahwa petani tidak pernah ikut ambil bagian dalam banyak huru-hara besar dalam sejarah dunia. Yang sering terjadi adalah, jika momentumnya telah tepat, maka petani akan segera memanfaatkan momentum tersebut untuk ambil bagian didalam berbagai huru-hara dan pemberontakan yang biasanya di dorong oleh ketidak adilan dalam penguasaan tanah. Sebagai contoh, peran petani dalam Revolusi Perancis.
Revolusi Perancis[1] yang ditandai dengan jatuhnya penjara (yang semula adalah benteng) Bastille pada tanggal 14 Juli 1789 merupakan revolusi borjuasi didalam menumbangkan feodalisme. Selama ini yang diajarkan pada kita dalam buku-buku sejarah untuk sekolah menengah hanyalah peristiwa pergolakan politik disekitar istana Versailes dan kota Paris. Padahal, walaupun dalam kondisi kesulitan komunikasi, semangat Revolusi Perancis menyebar hingga kepelosok-pelosok pedesaan di Perancis. Permasalahan utama didaerah pedesaan adalah masalah tanah.
Pada masa sebelum revolusi, seluruh tanah di Perancis hanya dikuasai oleh Raja, kaum bangsawan dan Gereja. Ketiga kelompok dalam masyarakat Perancis tersebut, yang dalam terminologi politik Perancis saat itu disebut sebagai golongan pertama (raja dan kaum bangsawan) dan golongan kedua (Gereja) menguasai tanah yang sangat luas. Sebagian dari tanah-tanah tersebut dikerjakan oleh orang-orang (sebagai buruh) yang langsung berada dibawah pengawasan raja atau bangsawan atau gereja penguasa tanah. Sebagian lain dikerjakan oleh petani dengan kewajiban untuk membayar pajak tanah garapan, baik berupa uang maupun in-natura (hasil panen).
Hanya satu bulan berselang setelah jatuhnya penjara Bastille, tepatnya pada bulan Agustus 1789, petani-petani pedesaan bangkit. Dengan bersenjatakan senapan, sabit dan pentungan, para petani pedesaan tersebut menyerbu istana-istana para bangsawan dan Gereja-gereja. Istana dan Gereja diporakporandakan, dan sejak itu para petani menolak untuk membayar pajak atas tanah garapan. Tanah-tanah garapan para bangsawan diambil alih oleh para petani penggarap.
Pengambil alihan tanah-tanah garapan milik para bangsawan dan gereja pada masa awal revolusi tersebut mempunyai pengaruh besar atas dukungan masyarakat desa pada Napoleon Bonaparte ketika ia melarikan diri dari pembuangannya dari pulau Elba. Sebagai orang buangan, dalam pelariannya dari pulau Elba, Napoleon hanya disertai oleh 1100 tentara, yang itupun terdiri dari 800 orang veteran yang setia mengawalnya dalam pembuangan, dan 300 orang yang sebetulnya adalah garnisun pulau Elba. Dengan tentara yang sedemikian sedikitnya, tidak mungkin bagi seorang Napoleon untuk memenangkan peperangan melawan raja dinasti Bourbon yang telah menggantikannya sebagai raja Perancis. Disamping terjadinya demoralisasi militer di Perancis, juga hanya berkat dukungan para petani dari daerah-daerah yang dilaluinya dari pulau Elba ke Paris yang memungkinkan Napoleon memenangkan peperangan dan mengambil alih kembali kekuasaan atas perancis. Dukungan petani terhadap Napoleon tersebut tidak lepas dari masalah ketidak adilan dalam pertanahan sebelum revolusi. Para petani tidak mau kalau tanah-tanah yang telah mereka kuasai diambil kembali oleh para bangsawan rejim lama dan Gereja.
Pelajaran sejarah yang berharga ini tentuna tidak pernah dilupakan oleh Amerika Serikat ketika memenangkan perang dengan Jepang pada Perang Dunia ke Dua. Bagaimanapun, huru-hara pedesaan bisa menimbulkan berbagai kemungkinan akibat. Ada kemungkinan akan berakibat rusaknya masyarakat Jepang, atau kemungkinan lain berupa kembalinya kekuatan lama para Warlord yang menginginkan kembalinya kejayaan militer Jepang. Paling tidak, huru-hara pedesaan akan merepotkan Amerika yang menjadi protektor Jepang setelah Perang Dunia kedua usai. Apapun hasil akhirnya, huru-hara pedesaan bukan saja akan menjadi bencana bagi masyarakat Jepang, tetapi juga bisa menjadi ancaman bagi masyarakat barat.
Alasan keempat dipaksakannya penyelenggaraan landreform di Jepang adalah untuk membendung perkembangan Komunisme di Jepang. Kekhawatiran ini muncul, karena sampai setelah Perang Dunia ke Dua, landreform identik dengan Komunis. Dengan kata lain, komunislah yang merupakan kekuatan yang berkehendak untuk menyelenggarakan landreform. Bagi masyarakat yang hidup dialam feodalisme, dimana tanah-tanah pertanian dikuasai oleh kaum feodal dan para petani tidak memiliki hak atas tanah, pemahaman tersebut mengakibatkan dukungan penuh masyarakat pedesaan atas berbagai pemberontakan Komunis. Contoh yang masih segar dalam ingatan setiap orang setelah berakhirnya PD II adalah keberhasilan Longmarch yang dilakukan oleh Partai komunis Cina pada tahun 1934 – 1935 dibawah pimpinan Mao Tse Tung[2]. Longmarch Partai komunis yang menyingkir dari daerah selatan ke Utara tersebut berhasil berkat dukungan para petani didaerah-daerah yang dilaluinya, yang merasakan ketidak adilan dalam penguasaan tanah.
Sebagaimana daerah-daerah kekuasaan feodal yang lain, tanah-tanah pertanian di Cina pada waktu itu dikuasai seluruhnya oleh kaum feodal (yang dalam hal ini adalah para “warlord”). Sebagaimana halnya kaum bangsawan Jawa masa mataram, para Warlord di Cina juga tidak hanya menarik pajak dari para penggarap, tetapi juga mewajibkan semua laki-laki dewasa yang kuat untuk bekerja pada para Warlord, terrmasuk untuk menjadi tentara sang Warlord. Akibatnya, kehidupan masyarakat desa menjadi sangat berat dan sangat miskin. Kehidupan berat dibawah para Warlord inilah yang mendorong mereka mendukung pemberontakan terhadap para Warlord, tak peduli apapun ideologi dan program politiknya. Buat kaum tani penggarap, yang penting mereka bisa terlepas dari penindasan para Warlord.
Dari kaum tani miskin inilah Partai Komunis Cina pimpinan Mao Tse Tung tersebut merekrut pasukannya. Bahkan sering terjadi, peperangan antara tentara Partai Komunis dengan tentara Warlord yang mencegat perjalanan Longmarch, tidak dilakukan dengan bersungguh-sungguh. Para tentara Warlord yang direkruit dari petani miskin yang harus bekerja tanpa dibayar tersebut justru mengharapkan kemenangan berada dipihak Partai Komunis, dan hal itu akhrnya memang terjadi.
Amerika Serikat tentunya tidak ingin pengalaman Cina tersebut terulang kembali di Jepang. Karena itu, Landreform di Jepang menjadi suatu keharusan yang tak terhindarkan. Bahkan, dengan menyelenggarakan landreform di jepang, Amerika Serikat yakin akan memperoleh sekaligus banyak keuntungan. Sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui.
Dari gambaran diatas nampak watak politisnya program landreform yang diselenggarakan di Jepang, khususnya setelah Perang Dunia Kedua. Tetapi sesungguhnya, program landreform dimanapun selalu merupakan program yang tidak pernah lepas dari berbagai perhitungan dan kepentingan politik. Demikian juga halnya dengan landreform indonesia, khususnya program landreform yang dilancarkan pada tahun 1960-an.

LANDREFORM YANG GAGAL

Kalau melihat perkembangan pengaturan masalah landreform yang dari tahun ketahun terus bertambah jumlahnya, seharusnya pengaturan landreform akan semakin sempurna. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Keberadaan perundang-undangan landreform yang terus menerus bertambah sedemikian banyak tersebut, yang kelihatannya berkembang terus menerus dari tahun ketahun tersebut, tidak berarti landreform bisa berlangsung dengan mulus. Sejarah landreform Indonesia menunjukkan bahwa tak satupun ketentuan dalam perundang-undangan yang ada dapat dilaksanakan dengan konsekwen. Bahkan bertambah banyaknya peraturan perundang-undangan landreform tersebut sesungguhnya bukannya semakin mendukung dan menyempurnakan program landreform, tetapi malah membuatnya semakin mandul. Kegagalan landreform dapat kita lihat dari hasil sensus pertanian tahun 1973 yang dibandingkan dengan hasil sensus pertanian tahun 1963. Dari kedua hasil sensus yang dilaksanakan pada awal pelaksanaan program landreform dan yang dilaksanakan pada masa awal rejim Orde Baru, dimana landreform sudah tidak dilaksanakan lagi, menunjukkan tidak adanya perubahan struktur penguasaan tanah pertanian.
Data mikro dari beberapa desa juga menunjukkan gagal totalnya landreform. Dari tabel 3.1. yang merupakan hasil penelitian tahun 1973 – 1974 di tiga desa di Kediri menunjukkan tidak berubahnya struktur penguasaan tanah pedesaan. Di desa A sebanyak 23 orang dari 23 orang pemilik tanah, atau 72,2 persennya hanya menguasa tanah pertanian kurang dari 1 hektar, sementara  ada 2 orang atau 6,2 persen yang menguasai tanah lebih dari 5 hektar. Di desa B sebanyak 38 orang dari 45 orang yang memiliki tanah pertanian, atau 84,4 persen menguasai tanah pertanian kurang dari 1 hektar. Sementara mereka yang menguasai tanah lebih dari 5 hektar ada 4 orang atau sama dengan 8,8 persen dari seluruh pemilik tanah. Di desa C ada 55 orang penduduk dari 69 pemilik tanah, atau 79 persen hanya menguasai tanah pertanian kurang dari 1 hektar. Yang menarik dari tabel 2.1 tersebut adalah terdapatnya 2 orang yangmenguasai tanah pertanian antara 5 – 10 hektar, 3 orang yang menguasai tanah pertanian antara 10 – 15 hektar, bahkan ada satu orang yang menguasai tanah lebih dari 15 hektar. Karena ketiga desa penelitian tersebut terletak di Kediri, maka jelas keenam orang tersebut telah melanggar ketentuan batas minimum penguasaan tanah pertanian.

TABEL 3.1.

PEMILIKAN TANAH DITIGA DESA DI Kediri tahun 1973 – 1974

Pembagian luas tanah milik
Persentase Rumah Tangga
(dalam hektar)
Desa A
Desa B
Desa C
Lebih dari 15
0
1
0
10 – 15
1
2
0
5 – 10
1
1
0
2 – 5
3
1
4
1 – 2
5
2
10
0,5 – 1
5
10
10
Kurang dari 0,5
17
28
45
Jumlah
32
45
69
Dikutip dari: Svein Aass, dalam Sediono M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (penyunting), 1984, hal. 139

Booth menggunakan data statistik resmi tingkat kecamatan dari satu bagian yang berpenduduk sangat padat di Jawa Tengah, mencatat bahwa dua per-tiga dari 225.238 rumah tangga desa di Kecamatan Klaten pada tahun 1971 tidak memiliki tanah. Husken mencatat prosentase yang sama di desa di Jawa Tengah pada tahun 1976, dan Siahaan menunjukkan bahwa 71% dari 728 rumah tangga di desa lain pada tahun 1876 tidak bertanah.
Tentu saja tingkat ketunakismaan berbeda-beda diwilayah yang berbeda. Studi dinamika Pedesaan di lembah sungai Cimanuk di Jawa Barat, sebagai contoh, mencatat bahwa 70% rumah tangga di dataran rendah di Kecamatan Cirebon pada tahun 1973 tak bertanah, sementara di kecamatan dataran tinggi Sumedang hanya 29%. Collier memperkirakan separoh rmah tangga di wilayah padat penduduk tidak memiliki tanah, dan seperempatnya memiliki tanah sempit (Joan Harjono, 1993, hal. 4)
HASIL SEBUAH KOMPROMI POLITIK
Kemacetan landreform Indonesia memang seharusnya sudah dapat diramal sejak awal, karena sudah sejak kelahirannya, berbagai ketentuan dalam perundang-undangan landreform membawa cacat bawaan yang tidak memungkinkannya untuk dilaksanakan. Hal ini disebabkan karena sejak proses penyusunannya sudah menimbulkan tarik menarik berbagai kepentingan dari berbagai kelompok dan kekuatan politik yang demikian kerasnya.  Menurut Margo L Lyon sebetulnya perhatian Indonesia pada landreform sudah dimulai dalam masa revolusi pada waktu masalah ini dibahas untuk pertama kalinya. Menurutnya, berdasarkan satu informasi, sejak tahun 1956 hingga tahun 1960 saat diundangkannya UUPA, kemungkinan terdapat sepuluh sampai dua belas konsep undang-undang pokok.  Berdasarkan keterangan dari sumber lain mengatakan bahwa beberapa masalah tertentu dalam konsep undang-undang pokok mengalami perdebatan politis yang cukup berarti di Departemen Agraria dan di Dewan Pertimbangan Agung (DPA), sehingga undang-undang yang akhirnya berlaku merupakan serangkaian kompromi dari berbagai  kepentingan. Masalah utama yang menjadi bahan perdebatan tersebut adalah menyangkut prinsip bahwa pemilik tanah pertanian harus mengerjakan sendiri tanahnyta secara aktif, yang jika prinsip ini diterapkan, maka berarti tak seorang atau keluargapun yang dapat memiliki tanah kecuali bila mereka menggarapnya sendiri. Hal ini secara efektif akan menghilangkan sistem bagi hasil, dan mengancam para tuan tanah dan pemilik tanah guntai yang tidak menetap ditanahnya (absentee owners). Ini juga berati bahwa sejumlah pegawai negeri dengan gaji kecil yang mendapat nafkah dari tanah yang tidak digarapnya sendiri, harus mengembalikan tanahnya kepada desa. Kompromi diadakan atas masalah ini dan masalah-masalah lainnya oleh dua klompok yang sangat bertentangan, salah satu mewakili kepentingan tuan tanah dan kelompok agama (sejumlah besar golongan santri merupakan pemilik tanah yang relatif kaya). Kompromi yang dicapai berarti bahwa tanah milik diakui akan tetapi sampai suatu batas maksimum, tanpa menghiraukan apakah pemilik tanah itu menggarap tanahnya sendiri atau tidak. Ini membuka jalan untuk menghindari landreform dengan berbagai cara dan oleh karenanya menjadi sumber persengketaan lebih lanjut antara berbagai kelompok (Margo L. Lyon, dalam Sediono M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (penyunting), 1984: 196 – 197).
Mengenai kerasnya tarik menarik berbagai kekuatan politik dalam soal landreform pada waktu itu, Selo Soemardjan menulis, bahwa Dengan pecahnya revolusi Indonesia dalam bulan Agustus 1945 timbullah suatu keinginan yang kuat diantara pemimpin politik Indonesia untuk mengubah sistem agraria kolonial, yang dibuat untuk memenuhi kebutuhan perusahaan pertanian Balanda, dengan suatu struktur agraria nasional, yang akan lebih memperhatikan dan melindungi kepentingan bangsa Indonesia. Tetapi perbedaan yang besar dari berbagai partai politik menghalangi Dewan Perwaklan Rakyat (DPR) untuk mencapai suatu keputusan mengenai berbagai rencana undang-undang  yang diajukan oleh beberapa kabinet secara berturut-turut. Akhirnya, barulah dengan permulaan sistem demokrasi terpimpin (setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959), dimana presiden menarik kekuasaan untuk memutuskan soal-soal yang diserahkan kepadanya oleh DPR karena DPR tidak mencapai suatu keputusan yang bulat, maka golongan fungsional dan politik dalam badan legislatif mencapai kompromi untuk menerima Undang-undang Pokok Agraira Indonesia, UU. No. 5 tahun 1960 (Selo Soemardjan, dalam Sediono M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (penyunting), 1984: 103).
Kerasnya tarik menarik kekuatan-kekuatan politik pada waktu itu yang mengakibatkan sulitnya diundangkannya perundang-undangan agraria nasional juga dapat kita simak dari sambutan akting Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (Haji Zainul Arifin) didalam sidang DPR-GR tanggal 14 September 1960 atas disetujuinya RUU Pokok Agraria oleh DPR-GR:
Saudara-saudara, jika kita pada detik ini bertegun sejenak dan menoleh kebelakang, tampaklah pada kita bagaikan fatamorgana titik-titik sejarah tentang rancangan undang-undang Pokok Agraria yang telah diperundingkan dimasa yang lampau antara pemerintah dan Dewan P)erwakilan Rakyat yang lama.
Rancangan Undang-Undang Pokok Agraria ditanah air kita ini bukan saja baru sekarang kita selesaikan, tetapi sudah lama diusahakannya. Dewan perwakilan Rakyat yang dahulu dibawah pimpinan saudara Mr. Sartono yang kita muliakan, bersama-sama dengan Panitia Ad hoc-nya, dengan bantuan Universitas Gajah Mada dan Ketua Mahkamah Agung serta lainnya, telah banyak berjasa dalam mengumpulkan bahan-bahan untuk menyusun rancangan Undang-Undang Pokok Agraria. Dan rancangan Undang-Undang itu telah pernah pula diperundingkan dalam rapat pleno Dewan Perwakilan Rakyat dengan tngkat pembicaraan pemandangan umum babak pertama.
Tetapi apa hendak dikata, maksud hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai. Sampai akhir tugasnya Dewan Perwakilan Rakyat lama itu belum juga dapat mensahkan rancangan Undang-Undang itu sebagai Undang-Undang. (Boedi Harsono, 1982, 1990, 2000: 64)
Karena itu, tak anehlah jika tarik menarik yang sedemikian alot dengan banyak kompromi-kompromi yang menyertainya menghasilkan undang-undang yang pada hakekatnya  mendukung vested interest dengan mensupport ketidak adilan dengan berbagai cara, seperti penetapan luas maksimum yang terlalu luas, sehingga hampir-hampir tak ada tanah yang bisa disita untuk dibagikan kepada petani miskin. Dalam hal pelarangan tanah guntai, diadakan berbagai pengecualian yang sekaligus membuka peluang pegawai negeri untuk memiliki tanah pertanian luas tanpa harus mengerjakannya sendiri, pengebirian panitia landreform dari dalam panitia itu sendiri, dan berbagai kelemahan lain yang mengakibatkan perundang-undangan yang sedemikian banyak tidak dapat dilaksanakan sama sekali (mengenai masalah ini akan kita bahas secara mendetail didalam bab 3 sampai dengan bab 8 buku ini).
Adanya pertentangan yang keras dalam pengundangan UUPA tersebut sebetulnya juga dapat dilihat dari sejarah kelahiran perndang-undangan landreform sendiri, khususnya kelahiran UUPA dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang no. 56 tahun 1960. Sebagaimana diketahui, UUPA diundangkan pada tanggal 24 September 1960 sementara itu, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) no. 56 tahun 1960 diundangkan pada tanggal 29 Desember 1960, yang berarti hanya berselang tiga bulan setelah diundangkannya UUPA. Tampaknya, draft isi Perpu no. 56 tahun 1960 yang mengatur secara lebih mendetail peraturan landreform Indonesia tersebut telah disiapkan sejak sebelum diundangkannya UUPA, bahkan telah jadi bersamaan dengan diajukannya UUPA kepada DPR. Tetapi pengaturan lebih lanjut mengenai landreform, yang kemudian menjadi Perpu no. 56 tahun 1960 tersebut dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu memang sengaja tidak dimasukkan dalam UUPA. Hal ini tampak jelas dari jawaban Pemerintah atas pemandangan umum anggota DPR-GR yang diucapkan oleh Menteri Agraria Mr. Sadjarwo didalam sidang DPR-GR tanggal 14 September 1960. Didalam persidangan DPR-GR tersebut Menteri Agraria, Mr. Sadjarwo menyatakan:
Tentang batas maksimum dan batas minimum, yang oleh saudara Mr. Soebagio dan oleh Saudara Nungtjik A.R. diusulkan agar dicantumkan dalam rancangan Undang-undang ini juga, yaitu dalam pasal 17, Pemerintah menerangkan, bahwa sekalipun Pemerintah sependapat dengan Saudara Mr. Soebagio dan Saudara Nungtjik tersebut ntuk mencantumkan angka-angka sevara konkrit, namun Pemerintah setelah mendengarkan saran-saran dari golongan-golongan lain, menganggap lebih bihjaksana untuk mengatur maksimum dan batas minmum itu dalam peraturan perundangan lain. (Boedi Harsono, SH. 1982, 1990, 2000: 58)
Dari jawaban pemerintah tersebut nampak bahwa pengundangan peraturan landreform secara lebih rinci didalam peraturan tersendiri, yaitu Perpu no. 56 Tahun 1960 bukan disebabkan karena materi pengaturannya yang belum siap, tetapi disengaja berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Pertimbangan tertentu tersebut nampaknya bersifat politis, yaitu untuk memudahkan diundangkannya UUPA dan sekaligus diundangkannya ketentuan landreform. Pengundangan UUPA menjadi lebih mudah, karena dengan tanpa mengatur secara mendetail masalah landreform, persetjuan DPR lebih mudah diperoleh. Sementara pengaturan secara detail dimuat didalam  Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, yaitu sebuah peraturan yang dibuat oleh presiden sendiri (tanpa persetujuan DPR) tetapi yang berkedudukan setara dengan undang-undang. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang dinyatakan tidak berlaku jika satu tahun setelah diundangkan, DPR menyatakan tidak setuju atau tidak menguatkannya menjadi undang-undang. Dengan cara ini, sebetulnya pemerintah membeli waktu (satu tahun), karena dengan diundangkannya suatu peraturan melalui peraturan pemerintah pengganti undang-undang, ada waktu satu tahun untuk melihat dukungan masyarakat atas peraturan yang bersangkutan.
            Dengan membeli waktu satu tahun, dan ternyata Peraturan pemerintah tersebut dalam waktu satu tahun itu mendapat dukungan dari massa tani, mau tidak mau kekuatan-kekuatan politik lain, yang juga mengandalkan suara dari massa tani, terpaksa mendukung ketentuan dalam landreform yang tertuang didalam Perpu no. 56 tahun 1960 tersebut Dengan dukungan kekuatan-kekuatan politik besar dalam parlemen, maka pada tahun 1961 dengan Undang-Undang no, 1 tahun 1961 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang no. 56 tahun 1960 ditingkatkan statusnya menjadi undang-undang (sehingga menjadi UU. No. 56 Prp. Tahun 1960). . Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan selama masa satu tahun tersebut telah terjadi tawar-menawar politik dibalik pemberlakuan dan dukungan berbagai kekuatan politik tersebut, mengingat perndang-undangan yang dihasilkan setelah UU. No. 56 Prp. tahun 1960 bukanya memperkuat, tetapi malah lebih banyak memperlemah undang-undang tersebut.
MENUAI KONFLIK PEDESAAN
            Perundang-undangan yang cacat sejak lahirnya tersebut mengakibatkan banyak kesulitan dalam pelaksanaannya. Semua pihak dapat menggunakan peraturan perundang-undangan yang sama untuk melegalkan tindakannya yang saling bertentangan. Akibat lambannya pelaksanaan program landreform, PKI dengan BTI-nya mengupayakan desakan pelaksanaan landreform dengan melakukan aksi sepihak. Tetapi bersamaan dengan itu, para pemilik tanah luas, yang biasanya adalah elite-elite desa yang bergabung dengan PNI atau NU, juga melakukan aksi sepihak. Sementara aksi sepihak para pemlik tanah luas adalah mengupayakan untuk menghindari pendistribusian tanah dan tuntutan petani atas pembagian tanah sebagaimana yang dijanjikan oleh Undang-Undang Landreform, aksi sepihak yang dilakukan oleh petani, yang biasanya mendapat dukungan PKI atau BTI, ditujukan untuk mendorong percepatan proses pembagian tanah. Taktik yang digunakan oleh petani adalah dengan menduduki sebidang tanah tertentu yang dipandang melanggar perundang-undangan landreform. Dengan menduduki tanah tersebut petani ingin menunjukkan bahwa tanah yang bersangkutan merupakan obyek landreform yang harus segera diambil alih dan dibagikan. Cara ini untuk memaksa panitia landreform segera membuat keputusan mengenai permasalahan tersebut.Yang sering menyulitkan, anggota-anggota BTI yang menduduki tanah yang akan dibagikan tersebut seringkali bukan orang yang menduduki prioritas dalam ketentuan penerima pembagian tanah. Dalam banyak kasus, BTI membela anggotanya yang demikian dengan mengalahkan petani anggota partai lain, yang biasanya partai kecil. Hal ini sering menimbulkan konflik yang sangat keras.
            Mengenai terjadinya konflik landreform, Utrecht memberi contoh kasus (Geritt Huizer):
 1.    Ketika seorang pemilik tanah mengetahui bahwa buruhnya atas inisiatif sendiri ata atas dorongan dari BTI meminta pada panitia daerah untuk bisa mendapatkan hak atas tanah yang digarapnya. Mengetahui permintaan buruhnya pada panitia landreform, tanpa menunggu keputusan panitia, pemilik tanah berusaha untuk mendepak buruhnya yang membahayakan keselamatan tanah miliknya tersebut. Jika petani yang didepak tersebut bukan anggota BTI dia bisa meminta bantuan BTI untuk membelanya. Kemudian pemiloik tanah melaporkannya kepada Petani (organisasi tani PNI). Petani menasehati pemilik tanah untuk mengultimatum buruhnya agar segera meninggalkan tanahnya dalam waktu yang telah ditentukan. Tetapi disuatu pagi, sebelum habis waktu dalam ultimatum, pemilik tanah mendapati lebih dari 100 orang anggota BTI berada disawahnya sedang bekerja bersama-sama dengan bersenjatakan tongkat, cangkul, dan arit. Mengetahui keadaan tersebut, pemilik tanah langsung berlari menemui pengurus Petani setempat, dan selang beberapa waktu kembali lagi dengan dikawani oleh sekelompok anggota Petani yang juga bersenjata dan jumlahnya sama besar atau bahkan lebih besar dari pada anggota BTI yang membantu petani mengerjakan ladangnya. Akhirnya terjadi perkelahian dan banyak korban berjatuhan oleh tusukan pisau atau peluru polisi yang datang melarai.
2.    Seorang buruh tani mengira bahwa sebagai penggarap bagi hasil dia memiliki hak atas tanah yang digarapnya yang telah diajukannya pada panitia landreform setempat. Tanpa menunggu keputusan panitia, dia langsung menolak untuk menyerahkan sebagian hasil panennya kepada pemilik tanah. Tak jarang peristiwa demikian terjadi atas anjuran BTI.Pemiloik tanah yang didukung oleh Petani kemudian mencoba untuk mengusir buruhtani tersebut dengan ancaman. Massa BTI datang membantu buruh tani, dan terjadilah perkelahian.
3.    Seorang pemilik tanah menunggu keputusan panitia landreform mengenai kasus sebidang tanah yang sedang dihadapinya.  Dia yakin akan memenangkan perkara, baik berdasarkan landasan fakta dan hukum, atau karena dia merasa yakin akan dukngan beberapa anggota panitia yang cukup berpengaruh yang mempunyai hubungan kesamaan partai atau keluarga. Dalam hal demikian, sang buruh tani, yang didorong dan didukung oleh BTI melakukan pendudukan atas tanah yang menjadi sengketa tersebut.
Aksi sepihak dalam kasus landreform tidak hanya dilakukan oleh BTI tetapi bisa dilakukan oleh kedua belah pihak, baik oleh petani maupun pemilik tanah luas, yang biasanya tidak bersedia menunggu putusan panitia landreform, yang dalam banyak kasus memang bekerja sangat lamban dan berpihak.
            Karena itu, tak mengejutkan jika penerapan pasal-pasal redistribusi didalam peraturan perundang-undangan landreform Indonesia jauh dari harapan semula. Ladejinsky yang diundang oleh Menteri Agraria untuk menilai capaian program landreform pada tahun 1963 menyimpulkan bahwa perkiraan awal atas tanah yang melampaui batas maksimum telah direvisi dan direndahan di semua provinsi, hanya meninggalkan tanah dalam jumlah relative sedikit untuk di redistribusi. Prosedur administrasi sangat lamban dan complex dan pejabat local menunjukan kurangnya perhatian untuk menjalankan tugasnya (dalam menjadikan pekerjaan dilaksanakan). Tambahan, komite yang dibangun di tingkat desa untuk melaksanakan redistribusi mewakili kepentingan pemilik tanah. Mereka yang memperoleh tanah dalam banyak kasus adalah saudara pemilik tanah atau anggota komite. Kenyataan bahwa ganti rugi jika dibayarkan, sangat tidak memadai yang mengakibatkan usaha tersebut gagal sejak awal. Akibatnya, banyak pemlik tanah yang kehilangan sebagian tanahnya memperolehnya kembali setelah huru-hara politik tahun 1965 (Joan Harjono, 1993: 8-9).

Daftar Pustaka
  1. Furet, Francois dan Denis Richet, Revolusi Perancis, Gajahmada University Press, Yogyakarta, 1989.
  2. Hardjono, Joan, Land, Labour and Livelihood In a West Java Vilage, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1993.
  3. Harsono, Boedi, SH., Hukum Agraria Indonesia: Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Jambatan, Jakarta, 1982, 1990, 2000.
  4. Tjondronegoro, Sediono M.P. dan Gunawan Wiradi (penyunting), Dua Abad Penguasaan Tanah, PT. Gramedia, Jakarta, 1984






[1] Lihat Francois Furet dan Denis Richet, 1989.
[2] Lihat: Edgar Snow, dalam Red Star Over China.

1 komentar:

  1. Do this hack to drop 2 lbs of fat in 8 hours

    At least 160 000 women and men are losing weight with a easy and secret "liquids hack" to drop 1-2 lbs each and every night in their sleep.

    It's very simple and works all the time.

    This is how to do it yourself:

    1) Take a clear glass and fill it with water half full

    2) And now use this awesome hack

    and you'll be 1-2 lbs thinner as soon as tomorrow!

    BalasHapus