DEMOKRASI, POLITIK, DAN WARGANEGARA

Hadi Wahono

Sudah sejak pertama diundangkannya UUD 1945 yang diundangkan sehari setelah diproklamirkannya berdirinya negara Republik Indonesia, nampak bahwa para pendiri negara Indonesia sudah menganut pemikiran bahwa negara tidak hanya berfungsi sebagai penjaga malam[1], tetapi harus terlibat didalam masalah perekonomian dan kesejahteraan warganya. Bahkan kesejahteraan rakyat menjadi tujuan pembentukan negara ini. Hal ini nampak jelas dari bunyi alinea keempat pembukaan UUD RI yang selengkapnya berbunyi:
Kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dari bunyi pembukaan UUD RI tersebut nampak bahwa kemajuan kesejahteraan umum dan kecerdasan kehidupan bangsa merupakan tujuan dari didirikannya negara Indonesia. Makna kalimat memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa mendapatkan warnanya didalam kalimat terakhir alinea keempat pembukaan tersebut, yang berbunyi: “dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Ini berarti bahwa tujuan negara yang berupa memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa harus didasarkan pada prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan akan dicapai melalui sistem pemerintahan yang demokratis, yang dalam pembukaan UUD RI diungkapkan dengan kalimat: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan.” Dianutnya demokrasi di Indonesia juga dapat kita lihat dari penegasan dalam alinea keempat pembukaan UUD RI yang menyatakan: “maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat ....” Pernyataan tersebut ditegaskan kembali didalam pasal 1 ayat (2) UUD yang setelah dilakukan amandemen yang ketiga, berbunyi: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Bunyi pembukaan dan pasal 1 ayat (2) UUD tersebut menegaskan bahwa sistem ketatanegaraan dan pemerintahan yang dianut oleh UUD adalah sistem demokrasi, yang dalam terminologi UUD disebut sebagai kedaulatan rakyat. Disamping itu, demokrasi yang diamanatkan oleh pembukaan UUD adalah demokrasi perwakilan.
Yang menjadi pertanyaan dari amanat pembukaan UUD sebagaimana dikemukakan diatas adalah, mengapa pembukaan UUD mengamanatkan bahwa usaha memajukan kesejahteraan rakyat harus dilaksanakan melalui penyelenggaraan negara yang demokratis, yang dalam terminologi pembukaan UUD dinyatakan sebagai “Kerakyatan”? Apakah demokrasi yang secara harafiah berasal dari bahasa Yunani, yaitu demos, yang berarti rakyat, dan kratein yang berarti memerintah, yang dengan kata lain berarti “pemerintahan rakyat,” atau dengan istilah yang digunakan oleh Abraham Lincoln sebagai pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat, merupakan sistem yang realistis? Apakah pemerintahan rakyat bukan hanya isapan jempol yang tidak pernah betul-betul menjadi kenyataan? Mengapa sistem demokrasi yang dipilih bukannya demokrasi langsung sebagaimana pernah dilaksanakan di negara kota Athena pada sekitar tahun 500 Sebelum Masehi, tetapi demokrasi perwakilan? Mengingat arti kata harafiahnya demokrasi berarti pemerintahan rakyat, maka pertanyaan yang lebih khas lagi yang layak diajukan dalam hubungan dengan demokrasi perwakilan adalah, apakah demokrasi perwakilan, dimana rakyat tidak langsung memegang pemerintahan negara masih demokratis? Kalau demokrasi perwakilan tidak demokratis, apakah masih ada harapan untuk mengupayakan menyempurnakannya sehingga mendekati ideal sebuah sistem demokrasi? Dalam hubungan dengan pencapaian tujuan negara yang berupa memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa yang dalam amanat pembukaan UUD harus dilakukan secara demokratis, timbul pertanyaan, apakah demokrasi tidak akan mempersulit bahkan bertentangan dengan upaya memajukan kesejahteraan umum? Sebaliknya, apakah usaha negara yang aktif untuk memajukan kesejahteraan umum tidak akan mematikan demokrasi?
Sehubungan dengan telah terjadinya empat kali amandemen atas UUD 1945, yang menjadi pertanyaan adalah, apakah hasil empat kali amandemen tersebut semakin mendekatkan Indonesia pada sistem yang demokratis, atau malah semakin menjauh? Apakah dengan empat kali amandemen atas UUD 1945 ketentuan dalam UUD semakin mengukuhkan usaha pencapaian tujuan negara, yaitu memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, atau malah semakin menjauhkan kita dari tujuan yang telah dicanangkan oleh para pendiri negara? Atau, paling tidak, amandemen yang telah dilakukan sebanyak empat kali sesungguhnya tidak mempunyai banyak pengaruh baik pada realisasi demokrasi maupun tujuan negara?
Kalau demikian, masalahnya, apakah arti yang sesungguhnya dari istilah demokrasi? Apakah setiap orang Indonesia telah memahami makna demokrasi? Apakah demokrasi, sebagaimana yang sering disangka orang awam (the men on the street), identik dengan kebebasan yang sebebas-bebasnya, kebebasan yang tanpa batas, yang boleh melakukan apa saja? Kita sering mendengar pernyataan orang yang ditegur karena melakukan sesuatu dengan mengatakan alasannya: “Lha wong demokrasi kok,” atau alasan seperti: “Ini kan negara demokrasi.”
Dari pernyataan populer tersebut, yang menjadi pertanyaan adalah, apakah benar bahwa demokrasi identik dengan kebebasan tanpa batas? Kalau begitu, mahluk macam apa sebetulnya demokrasi itu? Apakah kata itu memang mempunyai makna didalam kehidupan kita sehari-hari? Atau, masalah ini jangan-jangan hanya merupakan masalah mereka yang mempunyai nafsu kekuasaan, yang ingin bergabung dengan partai politik untuk menduduki jabatan dalam pemerintahan?
Demokrasi memang merupakan salah satu sistem dan sekaligus permasalahan politik. Karena itu, banyak orang yang sangat tidak suka untuk memahaminya, karena mereka merasa tidak tertarik dengan masalah politik. Ketidak tertarikan orang akan masalah politik, karena banyak orang yang menghubungkan kata politik dengan kata yang banyak disalah gunakan oleh masyarakat, yaitu “politiking,” atau dalam bahasa Jawa “molitiki,” yang biasanya mereka artikan sebagai memperdaya orang lain. Bahkan sangat banyak orang yang menghubungkan kata politik dengan usaha untuk mencari kekuasaan, untuk menduduki jabatan-jabatan publik semata-mata. Pendapat yang terakhir tersebut walaupun tidak benar, tetapi juga tidak sepenuhnya salah, karena salah satu kegiatan politik (praktis) adalah mengupayakan untuk dapat memegang kekuasaan negara agar dapat mengendalikan negar baik untuk kepentingan pribadi dan golongan atau kelompoknya sendiri, maupun untuk mengupayakan perubahan dan pembangunan negara berdasarkan konsep mereka.
Ketidak jelasan pemahaman orang mengenai masalah politik ini bukan hanya terjadi pada masyarakat Indonesia, atau hanya pada masyarakat yang terbelakang, masyarakat yang tidak berpendidikan, tetapi juga terjadi pada banyak masyarakat di belahan bumi yang lain, bahkan pada masyarakat yang terpelajar sekalipun. Mengenai masalah keragu-raguan dan ketidak tahuan orang akan makna politik yang sesungguhnya, Alan R. Ball memberikan gambaran yang terjadi pada masyarakat Inggris:
Seorang ibu rumah tangga Inggris ditanyai apakah seseorang seharusnya memberikan perhatiannya pada masalah politik, menjawab: “Ya, tetapi tidak perlu terlalu banyak. Perhatian yang secukupnya saja. Anda tentu tidak ingin membuang-buang terlalu banyak waktu untuk masalah itu. Masih ada masalah lain yang jauh lebih menarik ............ Anda harus memiliki perhatian yang cukup banyak ........... Saya kira setiap orang seharusnya tertarik tetapi tanpa menjadi keblinger. Setiap orang harus tertarik, karena hal itu mempengaruhi kehidupan anda. Pengakuan yang ragu-ragu mengenai arti pentingnya kegiatan politik telah mendapatkan gaungnya yang besar diantara para pimpinan politik.  Karena itu, Quintin Hogg, yang merumuskan sikap kaum Konservatif Inggris terhadap politik, telah menyatakan: “Kaum Konservatif tidak percaya bahwa perjuangan politik merupakan sesuatu yang paling penting didalam kehidupan. .............. Orang yang mengutamakan politik tidak cocok untuk disebut sebagai mahluk beradab, apalagi sebagai seorang Kristen.
(dikutip dengan diterjemahkan secara bebas dari: Alan R. Ball, 1985: 20)

Pernyataan-pernyataan mengenai politik tersebut tampaknya didasarkan pada pandangan bahwa masalah politik semata-mata sebagai masalah perebutan kekuasaan. Padahal, sesungguhnya masalah politik bukan semata-mata masalah memperebutkan kekuasaan, bahkan banyak kegiatan politik yang tidak didasarkan pada usaha untuk memperoleh kekuasaan. Politik muncul dari adanya perbedaan, atau adanya orang-orang yang merasakan adanya perbedaan (termasuk perbedaan pendapat), dan merupakan upaya untuk menyelesaikan berbagai perbedaan tersebut. Sebagai contoh, ketika pemerintah, dalam rangka meningkatkan pendapatan negara  memutuskan untuk menaikkan harga BBM., atau menaikkan prosentase penarikan pajak penghasilan, bisa jadi ada banyak orang yang tidak sependapat dengan keputusan pemerintah tersebut. Karena itu, mereka kemudian melakukan protes atas kebijakan pemerintah tersebut. Orang yang menyatakan protesnya atas kenaikan harga BBM atau kenaikan prosentase pernarikan pajak penghasilan tersebut sesungguhnya sedang berpolitik, walaupun mereka sama sekali tidak mempunyai tujuan menduduki kekuasaan negara, bahkan sama sekali tidak berfikir untuk mengganti kekuasaan. Namun demikian, mereka sesungguhnya sedang berpolitik, karena mereka sedang berusaha mempengaruhi jalannya politik negara, atau lebih tepatnya policy (kebijakan) negara.
Namun demikian, pendapat yang menyamakan politik semata-mata dengan upaya memperebutkan kekuasaan negara telah terlanjur membuat banyak orang enggan berbicara dan memikirkan masalah politik. Bagi mereka, seolah-olah politik tidak ada gunanya sama sekali didalam kehidupan nyata mereka. Kita sering mendengar orang mengucapkan pernyataan: “Untuk apa mengurusi masalah politik, toh sudah ada orang-orang yang mengurusinya. Buat saya, lebih baik kalau saya mengurusi masalah dan kepentingan saya sendiri saja.” Pernyataan ini menunjukkan seolah-olah tidak ada hubungan antara masalah politik dengan kepentingan kita dan dengan masalah kehidupan kita sehari-hari. Padahal, kenyataannya adalah sebaliknya. Banyak dari segi kehidupan kita ditentukan oleh masalah politik, dan kehidupan kenegaraan, yang merupakan bagian yang tak terhindarkan dari kehidupan kita dimasa modern ini, jelas mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan nyata keseharian kita. Norman Corwin menggambarkan dengan baik bagaimana kehidupan politik mempengaruhi kehidupan kita sehari-hari:
Politik adalah sesuatu yang sangat dekat dengan kehidupan keseharian kita, bukannya suatu pertunjukan di istana berlantai marmer yang berada nun jauh disana. Politik mempunyai pengaruh atas kehidupan dan keselamatan keluarga anda dan anda sendiri; politik berhubungan dengan masalah, apakah anda dapat melakukan pernikahan (resmi), atau jika anda sudah menikah, apakah anda dapat mempunyai anak (yang diakui sebagai anak yang sah). Politik adalah alat yang menentukan tidak hanya apakah sapi yang menyediakan susu bagi anda bebas dari tuberkulosis, dan apakah dikota anda ada tamannya dan jika ada, apakah ada bangku di taman, tetapi juga apakah anak anda akan harus mati didalam suatu pertempuran, atau apakah anda sendiri akan menguap didalam suatu ledakan senjata nuklir.
Orang yang tak pernah ambil bagian, yang tak pernah memberikan suaranya (didalam pemilihan umum), tak pernah menandatangani petisi, tak pernah menyatakan pikirannya, adalah warganegara pemalas. Panik, depresi, dan peperangan mendatangi anda seperti cuaca. Anda tiba-tiba memandang keluar dari jendela anda dan berkata, “Lihat, sedang terjadi peperangan.”
(dikutip dengan diterjemahkan secara bebas dari: Ferguson, John H. dan Dean E. McHenry, 1961: 1).

Bahkan Pericles, salah seorang panglima perang dan pemimpin Negara Kota Athena yang terkemuka pada dua ribu lima ratus tahun yang lalu telah mengecam secara pedas warganegara Athena, sebuah negara kota di Yunani pada sekitar tahun 500 sebelum masehi, yang tidak bersedia ikut ambil bagian didalam urusan politik negara (Athena). Menurut kecaman Pericles yang dilontarkannya dalam upacara pemakaman para pahlawan perang Athena yang gugur dalam tahun pertama perang Peloponesia, menyatakan:
“Kami tidak mengatakan bahwa seseorang yang tidak perduli dengan politik adalah seorang yang hanya memikirkan urusannya sendiri saja; kami mengatakan bahwa dia sama sekali tidak mempunyai urusan apapun disini.”
(dikutip dengan diterjemahkan secara bebas dari: Hagopian, Mark N., 1985: 16, untuk versi lengkap pidato pemakaman ini, lihat Toynbee, Arnold J., 1959: 37 - 43).

Dari kutipan diatas nampak betapa pentingnya keterlibatan setiap warganegara didalam urusan politik jika kita ingin agar negara berfungsi sebagaimana yang kita idealkan, yaitu sebagai alat kekuasaan untuk mencapai kesejahteraan dan kebaikan bersama, bukannya malah menjadi alat penindasan dari segolongan orang tertentu. Bahkan, menurut pandangan Rousseau (1712  1778), meluasnya kemalasan warganegara untuk ikut ambil bagian didalam urusan-urusan publik merupakan awal keruntuhan negara yang bersangkutan:
Sekali pengabdian publik berhenti sebagai urusan utama dari warganegara dan mereka memilih mengabdi dengan kekayaan mereka dari pada dengan pribadi mereka, maka negara telah mendekati keruntuhannya. Jika tentara dibutuhkan untuk perang, warganegara membayar tentara (bayaran) dan tetap tinggal dirumah; jika dewan harus diadakan, mereka menunjuk wakil dan tinggal dirumah. Dengan menjadi malas dan membelanjakan uang, mereka pada akhirnya memperoleh tentara untuk memperbudak negeri dan wakil untuk menjualnya.
(Rousseau, 1974: 78).

            Agar kita tidak menjadi budak tentara yang dijual oleh wakil kita, maka dalam blog ini saya mencoba menuliskan pikiran-pikiran dan pengetahuan saya tentang demokrasi dan politik, dengan harapan bisa menggugah diskusi yang lebih mendalam sehingga kita tidak buta politik.

Daftar pustaka
  1. Ball, Alan R., Modern Politics and Government, MacMillan Publishers Ltd., 1985.
  2. Ferguson, John H. dan Dean E. McHenry, The American Federal Government, McGraw Hill Book Company Inc, 1961.
  3. Hagopian, Mark N., Ideals and Ideologies of Modern Politics, Longman Inc., 1985.
  4. Toynbee, Arnold J., Penterjemah dan editor, Greek Civilization and Character, The New American Library of World |Literature, 1959.
  5. Rousseau, The Essential Rousseau, terjemahan Lowell Bair, New American Library, New York, 1974




[1] Istilah negara penjaga malam adalah istilah yang diberikan kepada negara yang menganut liberalisme tradisional, dimana negara hanya berperan untuk menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat  dan berlangsungnya kehidupan yang damai diantara kelompok-keklompok masyarakat yang saling bersaing. Masalah ekonomi dan kesejahteraan rakyat harus diserahkan kepada rakyat sendiri untuk mengelolanya. Faham demikian dikenal dengan rumusannya sebagai: Leissez faire, leissez passer. Karena itu negara demikian digambarkan seperti penjaga malam., yang tugasnya menjaga keamanan semata.  

0 comments:

Posting Komentar