IMPEACHMENT: DIBERHENTIKAN OLEH YANG DIANGKAT


Hadi Wahono

Dalam sistem pemerintahan presidensiel, tidak sebagaimana halnya dalam sistem pemerintahan parlementer, presiden sebagai pimpinan tertinggi lembaga eksekutif tidak bisa dijatuhkan oleh parlemen. Akibatnya kedudukan presiden sebagai pimpinan tertinggi lembaga eksekutif menjadi sangat kuat. Kuatnya kedudukan presiden/eksekutif inilah yang biasanya menjadi dasar pertimbangan mereka yang memilih system ini.  Menurut para pendukungnya, dengan stabilnya kekuasaan eksekutif, program-program yang telah dirancang oleh pemerintah akan dapat dilaksanakan dengan lebih baik, tidak perlu sebentar-sebentar ganti program sebagai akibat seringnya berganti pemerintahan (eksekutif).
Tetapi, bersamaan dengan sangat kuatnya eksekutif dalam sistem pemerintahan presidensiel, mengakibatkan eksekutif menjadi tidak peka terhadap aspirasi rakyat. Sebagaimana yang kita alami saat ini dalam sistem pemerintahan presidensiel, bagaimanapun rakyat berteriak-teriak keberatan ketika harga BBM dan tarif dasar listrik dinaikkan, tetapi kalau presiden tidak peduli, maka tak ada alat yang dapat menjatuhkannya kecuali melalui kudeta. Presiden Amerika Serikat-pun tidak perlu banyak perduli dengan pendapat rakyatnya mengenai keterlibatan Amerika Serikat dalam perang Irak, atau perang di Lybia, karena tak ada pihak yang dapat menjatuhkan presiden sebagai akibat kebijakannya yang tidak disetujui rakyat. Ada yang berpendapat, bahwa kepekaan pada kehendak rakyat akan muncul kalau mereka yang sedang menduduki jabatan presiden berkeinginan kuat untuk tetap menduduki jabatannya melalui kemenangan dalam pemilu berikutnya. Tetapi, realitas politik tidak mendukung pandangan ini, karena kenyataannya, kemenangan dapat diraih melalui program yang nampaknya memihak rakyat pada masa mendekati akhir masa jabatannya. Pada masa pemerintahan Ronald reagan, pengangguran di Amerika Serikat sangat tinggi, sementara defisit anggaran negara juga sangat tinggi. Tetapi mendekati akhir masa jabatannya, pemerintah dapat mengurangi pengangguran dengan sangat mengesankan, sehingga Reagan pada tahun 1984 dapat terpilih kembali[1].
Dalam sistem pemerintahan presidensiel, sebagaimana yang berlaku di Amerika Serikat, ada cara untuk menjatuhkan presiden sebelum berakhirnya masa jabatannya, yaitu melalui mekanisme impeachment. Tetapi, kiranya perlu dicatat, bahwa impeachment yang merupakan satu-satunya cara yang legal untuk menjatuhkan presiden dalam sistem pemerintahan presidensiel, tidak dapat dikenakan berdasarkan alasan kebijakan yang dibuat oleh presiden. Impeachment hanya bisa dikenakan dengan dasar bahwa presiden telah melakukan kejahatan pidana (baik ringan maupun berat), seperti korupsi, penyadapan telepon (sebagaimana halnya kasus presiden Nixon), atau perkosaaan atau pelecehan seksual (sebagaimana halnya kasus presiden Clinton, walaupun tidak sempat mengakibatkan impeachment).
Dalam sistem ketatanegaraan Amerika Serikat, penentuan dilakukan tidaknya impeachment atas seorang presiden dan pejabat tinggi yang lain adalah House of Representative berdasarkan suara terbanyak. Jika House of Representative menentukan untuk melakukan impeachement, maka impeachment dilaksanakan oleh Senat, yang dalam prosesnya dipimpin oleh ketua Mahkamah Agung. Keputusan Senat untuk menentukan apakah presiden bersalah atau tidak, harus didukung oleh dua pertiga dari jumlah suara Senat. Jika presiden dinyatakan bersalah dalam proses impeachement, maka presiden dipecat dari jabatannya. Pemecatan dengan melalui proses impeachment ini tidak menghilangkan sifat pidana dari perbuatan Presiden yang menjadi dasar impeachment tersebut.
Dasar pikiran pembentukan lembaga impeachment ini bukanlah untuk menggantikan lembaga peradilan, tetapi dimaksudkan sebagai upaya memecat pejabat sebelum diadili (kalau mereka dipandang bersalah). Dasar pikirannya adalah, karena pejabat yang melakukan pelanggaran hukum, khususnya pelanggaran jabatan, akan sukar untuk diadili jika dia masih memegang jabatan yang bersangkutan, paling tidak pejabat tersebut dapat menghilangkan bukti-bukti, misalnya, atau, khsus untuk presiden, orang Amerika merasa tidak enak mempunyai pemimpin yang diadili. Karena itu, sebelum diadili mereka harus dipecat dahulu (jika terbukti).
Di Indonesia pemberhentian presiden dalam masa jabatannya diatur didalam pasal 7A UUD RI yang menentukan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Sementara itu, pasal 7B UUD RI menentukan bahwa, usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden hanya dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat jika perkara yang menjadi dasar pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden tersebut telah diajukan terlebih dahulu kepada mahkamah Konstitusi. Dalam hal demikian, Mahkamah Konstitusi berkewajiban untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai apakah Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan dan tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden (ayat 1).
Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan rakyat (ayat 3). Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima Oleh mahkamah Konstitusi (ayat 4). Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau wakil Presiden, Dewan perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan rakyat (ayat 5).
Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut (ayat 6). Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat (ayat 7).
Dari pengaturan pasal 7A dan 7B UUD RI ini ada beberapa pertanyaan yang perlu diajukan, yaitu, apakah pemeriksaan oleh mahkamah konstitusi merupakan pemeriksaan peradilan atau pemeriksaan politis? Pertanyaan ini layak diajukan, karena dalam UUD RI Mahkamah Konstitusi di kategorikan kedalam Kekuasaan Kehakiman. Kalau pemeriksaan yang dilakukan dihadapan Mahkamah Konstitusi merupakan pemeriksaan peradilan, sementara melihat dari sifat perkara yang ditentukan didalam pasal 7A, yaitu pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, yang semuanya merupakan perbuatan pidana, mengapa pengajuan perkara tidak dilakukan oleh jaksa? Siapa yang berwenang untuk bertindak sebagai penuntut umum dalam perkara didepan Mahkamah Konstitusi tersebut? Pertanyaan selanjutnya adalah, jika betul perkaranya adalah perkara pidana, mengapa tidak disidangkan oleh peradilan biasa sebagaimana layaknya perkara-perkara pidana yang lain? Apakah memang Indonesia menganut ketidak samaan hukum bagi warganya sehingga seorang Presiden dan Wakil Presiden mempunyai keistimewaan didepan hukum?
Untuk menjawab berbagai pertanyaan tersebut, ada baiknya keberadaan Mahkamah Konstitusi ini kita fahami melalui UUD RI yang mengaturnya, yaitu dalam pasal 24C yang selengkapnya berbunyi:
(1)   Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenagannya diberikan oleh Undang-Undang dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
(2)   Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang dasar.
(3)   Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota Hakim Konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, tiga orang oleh Presiden.
(4)   Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh Hakim Konstitusi.
(5)   Hakim Konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara
(6)   Pengangkatan dan pemberhentian Hakim Mahkamah Konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang.

Dari ketentuan pasal 24C tersebut, khususnya ayat (5) nya, nampak bahwa kompetensi yang dituntut dari hakim Mahkamah Konstitusi bukan kemampuan dalam bidang hokum pidana, tetapi dalam bidang ketatanegaraan. Bagaimana mereka yang merupakan para ahli hukum ketatanegaraan diharuskan untuk mengadili perkara pidana? Kalau mereka tidak bertindak selaku badan peradilan atau menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman, dalam kapasitas apa tindakan mereka? Apa dasar hukumnya? Penulis tidak dapat menemukannya dalam UUD RI. Untuk menentukan apa kapasitas Mahkamah Konstitusi ketika memeriksa perbuatan pidana dari Presiden atau Wakil Presiden, dapat kita lihat dari ketentuan yang termuat didalam pasal 7A dan 7B ayat (1) UUD RI.
Pasal 7A menentukan:
Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Pasal 7B ayat (1) menentukan:
Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan dan tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenyhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Sebagaimana kita lihat dari bunyi pasal tersebut, didalam pasal 7A terdapat anak kalimat yang berbunyi: “apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum.” Ini berarti Mahkamah Konstitusi harus melakukan pemeriksaan dan membuat keputusan hukum, apakah tuduhan yang diajukan oleh DPR (agak aneh) terbukti atau tidak. Sementara dalam pasal 7B ada anak kalimat yang berbunyi: “terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus”. Disini pasal 7B jelas-jelas menyebut pemeriksaan yang dilakukan oleh mahkamah Konstitusi adalah dalam rangka mengadili dan memutus.
Dengan jelasnya posisi Mahkamah Konstitusi, yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, karena Mahkamah Konstitusi didalam memeriksa dan memutus perkara presiden atau wakil presiden bertindak dalam rangka melaksanakan fungsi kehakiman (mengadili),  maka dalam putusannya, jika terbukti presiden bersalah, maka  tentunya akan dicantumkan juga hukuman yang dikenakan kepada presiden atas kesalahannya. Jika demikian, masalahnya, apakah Majelis Permusyawaratan Rakyat harus tunduk kepada putusan Mahkamah Konstitusi atau tidak? Kalau harus tunduk kepada putusan Mahkamah Konstitusi, maka akan timbul dua masalah sekaligus. Sebagai contoh, misalnya Mahkamah Konstitusi menyatakan Presiden bersalah, dan menjatuhi hukuman pidana pada Presiden (sebetulnya aneh, kalau Mahkamah Konstitusi mengadili perkara pidana), maka MPR (kalau harus tunduk pada putusan Mahkamah Konstitusi), maka mau tidak mau harus memberhentikan Presiden. Keharusan ini menimbulkan masalah, karena didalam pasal 7B ayat (7) dinyatakan bahwa pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden baru bisa dilakukan oleh MPR setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat. Kalau dalam hal ini MPR harus tunduk kepada putusan Mahkamah Konstitusi, maka apa gunanya Presiden dan/atau Wakil Presiden masih didengar lagi pendapatnya, padahal putusan yang akan dijatuhkan sudah jelas. Masalah yang kedua, kalau MPR sebagai lembaga gabungan dari wakil-wakil yang dipilih rakyat secara politis (menentukan memberhentikan presiden atau tidak adalah masalah politis, bukan masalah hukum) harus tunduk pada lembaga yang dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden dan Mahkamah Agung. Bagaimana mungkin pilihan rakyat harus kalah dari pilihan eksekutif, yudikatif, dan sebagian lembaga legislatif?
Sementara itu, kalau MPR tidak harus tunduk pada putusan Mahkamah Konstitusi, maka akan menjadi masalah apabila MPR berdasarkan ketentuan pasal 7B ayat (6) dan ayat (7) menolak pemberhentian Presiden, misalnya karena penjelasan yang disampaikan oleh presiden dapat mempengarhui atau meyakinkan anggota MPR bahwa dirinya tidak bersalah, sementara Mahkamah Konstitusi telah menjatuhkan hukuman penjara, misalnya empat tahun, maka kita selama sisa jabatan presiden akan mempunyai seorang presiden nara pidana. Berbeda dengan misalnya Sukarno, yang sebagai presiden Republik Indonesia pernah mendapat hukuman pembuangan oleh Belanda. Hukuman atas Soekarno jelas bersifat politis, dan dengan dihukumnya Soekarno menambah rasa patriotisme rakyat. Sementara, rakyat akan mendapat malu luar biasa kalau mempunyai seorang presiden yang dihukum misalnya karena korupsi (walaupun menurut MPR tidak terbukti). Padahal, kalau Mahkamah Konstitusi tidak sekaligus menetapkan hukuman penjara bagi presiden, ini akan berarti perbuatan presiden tidak akan bisa dihukum, karena perbuatan yang sudah diputus oleh pengadilan (dalam hal ini Mahkamah Konstitusi)  tidak boleh diperiksa kembali (nebis in idem) oleh pengadilan.
Mengenai masalah pemeriksaan oleh Mahkamah Konstitusi masih menyisakan permasalahan sehubungan dengan ketentuan dalam pasal 24C ayat (3) yang menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota Hakim Konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, tiga orang oleh Presiden. Karena Hakim Mahkamah Konstitusi diangkat dan dipilih oleh Presiden (yang tiga orang), maka layak kiranya untuk dipertanyakan,  apakah Mahkamah ini akan mampu dan layak untuk mengadili Presiden, sebagai lembaga yang mengangkat dan memilihnya?
Sekedar sebagai tambahan, disini perlu kiranya kami kemukakan mengenai kejanggalan keberadaan Mahkamah Konstitusi. Sebagaimana dapat dibaca dari pasal 24C UUD RI., Pengangkatan dan pemberhentian Hakim Mahkamah Konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang (pasal 24C ayat (6)). Padahal, berdasarkan ketentuan pasal 24C ayat (1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenagannya diberikan oleh Undang-Undang dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Berdasarkan ketentuan dua pasal tersebut, maka Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan putusan mengenai kewenangan, hak dan kewajiban, bahkan hukum acara yang berlaku bagi dirinya, kalau mereka merasa tidak senang, karena berbagai ketentuan tersebut hanya diatur dalam undang-undang.
Tampaknya, dimunculkannya Mahkamah Konstitusi bukan berdasarkan pertimbangan yang masak, tetapi sebagaimana halnya dengan Dewan Perwakilan Daerah, tak lebih dari sekedar memperluas dan memperbesar roti untuk bisa dibagi-bagi. Akibatnya, tidak aneh kalau banyak kejanggalan menyangkut mahkamah yang satu ini.

Menggagas Lembaga Impeachment

Sebagaimana telah disinggung diatas, didalam sistem pemerintahan Amerika Serikat dikenal apa yang dinamakan Impeachment, yang merupakan upaya untuk memberhentikan presiden sebelum habis masa jabatannya karena telah melakukan kejahatan, seperti pengkhianatan, suap, atau kejahatan berat lainnya, dan beberapa jenis kejahatan ringan (misdemeanor). Lembaga yang berwenang untuk menentukan apakah akan dilakukan impeachment atau tidak adalah House of Representative, berdasarkan keputusan yang didukung dengan suara terbanyak. Berdasarkan keputusan ini, House of Representative mengajukan permintaan dilakukannya impeachment kepada Senat, dan Senatlah yang akan memeriksa perkaranya dibawah pimpinan Ketua mahkamah Agung. Keputusan Impeachment adalah antara boleh melanjutkan menjabat sebagai presiden dan/atau wakil presiden atau pejabat tinggi lainnya, atau diberhentikan dari jabatannya. Senat, dalam impeachment, hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dari jabatannya jika putusan tersebut didukung oleh dua pertiga suara.
Dalam sistem ketatanegaraan Amerika serikat, Impeachment bukan proses peradilan, walaupun untuk membuat keputusan terbukti tidaknya perbuatan yang dituduhkan harus dengan bukti-bukti yang secara yuridis sah, karena itu proses impeachment walaupun dilaksanakan oleh Senat, dipimpin oleh Ketua Mahkamah Agung. Karena bukan proses peradilan, maka keputusannya tidak berupa hukuman pidana, tetapi hanya diberhentikan atau tidak. Bahkan pengambilan putusan lebih bersifat politis dari pada yuridis, karena diputuskan berdasarkan suara mayoritas mutlak (dua pertiga suara), sehingga bisa terjadi, walaupun seorang presiden sudah terbukti melakukan perbuatan yang dituduhkan, dan perbuatan tersebut dapat menjadi dasar untuk dilakukannya pemberhentian seorang presiden dan/atau wakil presiden dari jabatannya, tetapi keputusan Senat tidak selalu memberhentikan, tergantung apakah presiden masih mendapatkan dukungan politik atau tidak. Karena bukan proses peradilan, maka Impeachment tidak menghentikan pemeriksaan perkara pidananya.
Ada dua fungsi impeachment dalam sistem ketatanegaraan Amerika Serikat tersebut. Yang pertama, fungsi legal. Dalam hal ini Impeachment berfungsi untuk memenuhi persyaratan hukum dalam memecat para pejabat yang menduduki jabatannya berdasarkan pemilihan oleh rakyat. Karena pejabat yang bersangkutan dipilih rakyat, maka yang dapat memberhentikannya juga rakyat sendiri. Karena tidak mungkin untuk menunggu hingga pemilu mendatang, maka proses pemberhentian dilakukan oleh lembaga pilihan rakyat, yaitu house of Representative dan Senat, yang dipandang sebagai representasi rakyat. Fungsi yang kedua adalah fungsi politis. Khususnya dalam kasus impeachment terhadap presiden, proses penyidikan perkara hingga pemeriksaan peradilannya hanya bisa dilakukan jika presiden telah di berhentikan dari jabatannya. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari keadaan dimana seorang presiden memimpin negaranya dari dalam penjara atau dari Rumah Tahanan (dari negaranya sendiri). Disamping itu, pemberhentian sebelum perkaranya diperiksa secara hukum, akan membantu proses pemeriksaan, karena akan tidak mudah bagi seorang jaksa yang realitasnya diangkat dan diberhentikan oleh presiden, kemudian diberi tugas untuk memeriksa presiden yang berwenang mengangkat dan memberhentikannya. Impeachement juga akan memudahkan pemeriksaan, karena jika ketika seseorang yang masih menduduki jabatan sebagai presiden diperiksa, dengan kekuasaannya yang sedemikian besar, dia dapat memerintahkan untuk menghilangkan berbagai bukti yang akan merugikannya, sementara secara yuridis formal tidak mungkin seorang polisi akan melakukan penggeledahan istana presiden (kecuali melakukan makar).
Mengingat pentingnya impeachment, khususnya terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden, maka ada baiknya lembaga ini digunakan di Indonesia, sehingga tidak terjadi kerancuan sebagaimana ketentuan yang ada saat ini. Hanya saja, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan disini. Yang pertama, bahwa Dewan Perwakilan Daerah yang seolah-olah menyerupai Senat di Amerika Serikat, tampaknya tidak memadai sebagai lembaga yang akan memeriksa impeachment, karena realitasnya mereka memang bukan senator, (dan tidak memiliki kewenangan dan kualifikasi sebagaimana halnya seorang senator). Dengan kata lain, impeachment model Amerika Serikat, dimana House of representatif yang menentukan (berdasarkan suara terbanyak) perlu tidaknya dilakukan impeachment, dan Senat yang memeriksa dan memutuskan, tidak bisa diambil alih begitu saja dengan menentukan bahwa DPR yang membuat keputusan mengenai perlu tidaknya impeachment, dan Dewan Perwakilan Daerah yang memeriksa dan memutuskan perkaranya. Untuk struktur pemerintahan Indonesia, kalau kewenangan Dewan Perwakilan Daerah tidak dirobah, maka impeachment sebaiknya diperiksa oleh MPR yang anggotanya terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah.
Yang kedua, karena impeachment menyangkut pemeriksaan perbuatan pidana yang dilakukan oleh seorang presiden dan/atau wakil presiden, maka pimpinan persidangannya harus dipimpin oleh ketua Mahkamah Agung. Karena Mahkamah Agung merupakan lembaga peradilan yang paling kompeten untuk menyelesaikan perkara pidana.
Yang ketiga, sebagaimana halnya sistem ketatanegaraan Amerika Serikat, impeachment untuk Indonesia seharusnya juga tidak dipandang sebagai lembaga peradilan, tetapi sebagai cara untuk memeriksa apakah tindakan presiden dan/atau wakil presiden telah melanggar hukum pidana atau tidak, yang akan dijadikan dasar pemecatannya. Sementara perkara pidananya sendiri, kalau terbukti dan diberhentikan dari jabatannya, karena impeachment tidak menghapuskan perbuatan pidananya, harus diperiksa oleh lembaga peradilan sebagaimana layaknya yang berlaku bagi setiap warganegara (dimulai dari pemeriksaan oleh pengadilan Negeri hingga tingkat kasasi pada Mahkamah Agung).
Walaupun dengan amandemen sudah mulai mengalami berbagai perbaikan, tetapi masih banyak hal yang oleh UUD diatur secara sumir, secara ringkas, yang untuk pengaturannya lebih lanjut diserahkan kepada peraturan undang-undang. Sementara itu, celakanya, pembuat undang-undang di Indonesia sudah mempunyai kebiasaan untuk juga mengatur pokok-pokoknya saja, dan untuk pengaturan lebih lanjut diserahkan kepada Peraturan Pemerintah untuk mengaturnya. Sementara itu, Peraturan pemerintah merupakan peraturan yang dibuat sendiri oleh Presiden. Hal ini tidak ada bedanya dengan menyerahkan kewenangan mengatur pada presiden sendiri. Padahal, banyak masalah yang diatur didalam UUD merupakan pembatasan atau pengenaan kewajiban kepada Presiden. Akibatnya, presiden menjadi orang yang harus melaksanakan peraturan yang dibuatnya sendiri. Dari sini kita bisa memaklumi jika banyak peraturan yang mendua, yang lebih meringankan dan menguntungkan eksekutif dengan kerugian dipihak rakyat.



[1] Tentusaja banyak factor yang mempengaruhi terpilihnya untuk kedua kalinya Ronald Reagan sebagai presiden Amerika Serikat. Namun demikian, pengurangan pengangguran pada masa mendekati masa jabatannya tidak bisa dikesampingkan sebagai salah satu factor pendukung terpilihnya Ronald Reagan untuk kedua kalinya.

0 comments:

Posting Komentar