KEBEBASAN PERS

Hadi Wahono

Demokrasi perwakilan menyandarkan diri pada persetujuan mereka yang diperintah, atau paling tidak pada keputusan dari mereka yang diperintah mengenai siapa yang akan dipilih untuk mewakili mereka (yang sesungguhnya adalah memilih mereka yang akan memerintah). Untuk dapat menyatakan kehendaknya dan memilih orang-orang yang terbaik yang dianggap akan mewakili rakyat (pemilih), maka rakyat dalam negara demokrasi harus memiliki berbagai informasi yang penting, yang benar, lengkap dan akurat, baik mengenai issue yang menyangkut kepentingan pemilih maupun mengenai baik buruknya (track record) mereka yang mencalonkan diri sebagai wakil rakyat. Dalam kerangka inilah maka Pers memainkan peran penting didalam demokrasi. Untuk dapat memainkan peran inilah maka pers harus mempunyai kebebasan untuk memperoleh dan menyebarkan informasi yang selengkap-lengkapnya dan seakurat mungkin pada masyarakat mengenai berbagai isue yang dipandang penting oleh masyarakat. Hanya dengan penguasaan informasi yang lengkap dan akuratlah masyarakat dapat membuat keputusan yang cerdas dan benar.
Pasal 1 sub 1 Undang-Undang no. 40 tahun 1999 tentang Pers, merumuskan apa yang dimaksud dengan istilah pers, yaitu:
Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.

Dalam rangka masalah kebebasan pers dinegara-negara demokrasi, paling tidak ada lima masalah penting yang perlu mendapat perhatian. Kelima masalah tersebut menyangkut masalah perijinan penerbitan, lembaga sensor, lembaga pembredelan, pembagian perolehan dari iklan, dan kemudahan untuk memperoleh informasi.
1.      Tak Adanya Perijinan Penerbitan
Para pendukung sistem demokrasi memandang adanya ketentuan perijinan penerbitan disuatu negara sebagai salah satu pertanda tidak demokrasinya negara tersebut. Dalam faham demokrasi, kebebasan pers berarti kebebasan bagi siapa saja untuk menyelenggarakan penerbitan dan pemerintah tidak boleh menghalang-halangi keinginan warganegara untuk menyelenggarakan penerbitan. Berdasarkan pemikiran ini, maka adanya lembaga perijinan dipandang dapat menghalang-halangi pelaksanaan kebebasan, karena bisa saja pemerintah atau pemegang kekuasaan perijinan tidak akan memberi ijin pada penerbitan yang diusahakan oleh orang-orang atau kelompok yang tidak mereka senangi, atau yang dipandang bisa menentang atau mengganggu kekuasaan mereka.
Adanya lembaga perijinan ini pernah kita alami pada masa Orde Baru, dimana setiap orang yang ingin menyelenggarakan penerbitan harus meminta ijin pada pemerintah, yang dalam hal ini adalah Departemen Penerangan. Dalam hal ini, Departemen Penerangan dapat menolak permohonan ijin mendirikan perusahaan penerbitan tanpa harus memberikan penjelasan apapun juga, atau dapat tidak melakukan apapun (tidak secara tegas mengijinkan dan juga tidak menolak), yang maknanya sama dengan tidak mengijinkan. Sementara itu, celakanya, pada masa Orde Baru, Menteri Penerangan dipegang oleh pimpinan salah satu surat kabar. Akibatnya, ada kecenderungan pada Menteri Penerangan untuk mencegah semakin bertambahnya penerbitan surat kabar, atau bahkan ada kecenderungan untuk semakin terus mengurangi jumlah surat kabar yang ada, demi untuk menghindari persaingan dengan surat kabar yang dipimpinnya. Disamping itu, dari pengalaman yang terjadi pada masa itu, lembaga perijinan juga sering dimanfaatkan sebagai alat pemerasan bagi mereka yang ingin meminta ijin usaha penerbitan, dengan mengenakan biaya-biaya tambahan yang tidak jelas bagi mereka yang ingin mendirikan perusahaan penerbitan. Karena itu, dalam setiap negara demokrasi, tidak adanya lembaga perijinan untuk menyelenggarakan penerbitan surat kabar, majalah, dan sebagainya merupakan persyaratan mutlak. Kalaupun pemerintah ingin mengetahui penerbitan yang ada, misalnya untuk penarikan pajak bagi penerbitan komersial, maka mereka yang akan menerbitkan majalah atau surat kabar bisa saja diwajibkan untuk melakukan pemberitahun mengenai penerbitan yang mereka selenggarakan, tetapi kewajiban untuk menyampaikan pemberitahuan ini tidak bisa digunakan untuk mengenakan larangan bagi seseorang atau suatu lembaga masyarakat untuk menyelenggarakan penerbitan.  Dengan kata lain, mereka yang akan mengusahakan penerbitan cukup melakukan pemberi tahuan, misalnya dengan mengisi formulir, dan dengan telah diterimanya formulit tersebut oleh pejabat yang mengurusinya, maka orang atau kelompok tersebut dapat menyelenggarakan penerbitan.
Tentu saja, kebebasan sebagaimana yang diuraikan dalam hal penerbitan pers tersebut tidak bisa dikenakan kepada usaha penyiaran, baik radio maupun televisi, karena kedua media massa ini menyangkut penggunaan ruang yang terbatas, yang harus diatur. Karena itu, lembaga perijinan menjadi tak terhindarkan dalam hal penyelenggaraan siaran. Namun demikian, untuk menjaga fairnya pengaturan penyiaran, dalam negara-negara demokrasi, pemberian ijin dan penentuan gelombang siaran, dan sebagainya dipegang oleh lembaga yang independen.
Setelah reformasi dan dilakukannya empat kali amandemen atas UUD RI., masalah kebebasan pers di indonesia mendapatkan kemajuan yang cukup berarti.  Didalam UUD RI (hasil amandemen) masalah kebebasan untuk berkomunikasi dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia, diatur didalam pasal 28F dan pengaturan yang lebih detail terdapat didalam UU. No. 40 tahun 1999. Terlepas dari banyak kelemahan dalam kedua ketentuan tersebut, masalah kebebasan pers di Indonesia telah mengalami banyak kemajuan dibanding dengan masa Orde Baru.
Didalam UUD RI memang tidak ada ketentuan yang jelas yang mengatur masalah perijinan usaha pers. Masalah perijinan pers, kemudian diatur didalam pasal 9 dan pasal 12 Undang-Undang no. 40 tahun 1999 tentang Pers, yang pada prinsipnya menentukan bahwa setiap warganegara Indonesia berhak mendirikan perusahaan pers, tetapi harus berbadan hukum, dan wajib mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan; khusus untuk penerbitan pers ditambah nama dan alamat percetakan.
Pasal 9 dan 12 UU no. 40 tahun 1999 tersebut tidak menentukan secara tegas bahwa untuk mendirikan perusahaan pers harus mendapatkan ijin khusus. Namun demikian, dari pengaturan yang bisa bersifat mendua tersebut, dapat kita simpulkan secara sebaliknya, yaitu karena tidak adanya ketentuan yang mengatur keharusan pendirian perusahaan pers harus meminta ijin pada pemerintah, maka berarti bahwa untuk mendirikan perusahaan pers tidak disyaratkan harus mendapat ijin (dari penguasa sebagaimana yang terjadi pada masa Orde Baru).
2.      Tak Adanya Lembaga Sensor
Pasal 1 sub 8 Undang-Undang no. 40 tahun 1999 tentang Pers, mengartikan sensor sebagai penghapusan secara paksa sebagian atau seluruh materi informasi yang akan diterbitkan atau disiarkan, atau tindakan teguran atau peringatan yang bersifat mengancam dari pihak manapun, dan atau kewajiban melapor, serta memperoleh izin dari pihak berwajib, dalam pelaksanaan kegiatan jurnalistik.
Sensor, yang merupakan pelarangan atas penerbitan atau penyiaran sebelum dilakukannya penerbitan atau penyiaran, biasanya dilakukan dinegara-negara yang penguasanya bersifat otoriter. Alasan penyensoran biasanya adalah demi mencegah tulisan, berita, atau siarah lain yang dapat mengganggu atau membahayakan ketertiban umum, keamanan nasional, atau paling tidak dapat menimbulkan keresahan masyarakat atau berbagai alasan muluk-muluk yang lain. Padahal, alasan yang sesungguhnya adalah mencegah penerbitan dan penyiaran yang dapat membongkar kebobrokan penguasa, kegagalan program penguasa, dan berbagai berita dan siaran yang dapat merugikan atau membahayakan kekuasaan penguasa. Karena itu, prinsip demokrasi melarang pengenaan sensor oleh negara.
Pasal 1 sub 8 Undang-Undang no. 40 tahun 1999 tentang Pers, mengartikan sensor sebagai penghapusan secara paksa sebagian atau seluruh materi informasi yang akan diterbitkan atau disiarkan, atau tindakan teguran atau peringatan yang bersifat mengancam daripihak manapun, dan atau kewajiban melapor, serta memperoleh izin dari pihak berwajib, dalam pelaksanaan kegiatan jurnalistik.
UUD RI tidak mengatur secara tegas mengenai masalah penyensoran. Yang ada adalah ketentuan dalam pasal 28F yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoeh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Masalah penyensoran kemudian mendapatkan kejelasannya didalam pasal 4 ayat (2) Undang-Undang no. 40 tahun 1999 tentang Pers, yang menyatakan bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran. Dengan adanya ketentuan dalam undang-undang tersebut maka kita tidak lagi mengenal lembaga penyensoran, bahkan didalam pasal 18 ayat (1) UU. No. 40 tahun 1999 ditentukan bahwa setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi ketentuan pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
3.      Tak Adanya Pembredelan
Pasal 1 sub 9 Undang-Undang no. 40 tahun 1999 tentang Pers, mengartikan pembredelan atau pelarangan penyiaran adalah penghentian penerbitan dan peredaran atau penyiaran secara paksa atau melawan hukum. Pembredelan yang intinya adalah pelarangan terbit pers (surat kabar, tabloid, majalah, dan sebagainya) atau pencabutan ijin penyiaran, biasanya terjadi sebagai  akibat penerbitan atau usaha penyiaran tersebut menerbitkan atau menyiarkan bahan-bahan yang melanggar larangan atau pelanggaran lain yang ditentukan oleh penguasa. Pembredelan dilakukan tanpa melalui proses pengadilan dan biasanya dilakukan oleh penguasa-penguasa yang otoriter sebagai ancaman bagi usaha penerbitan dan penyiaran untuk tidak melakukan kritik, membuka kebobrokan mereka, dan sebagainya. Pada negara-negara demokratis, tidak berarti penerbitan boleh menerbitkan apa saja sesuka mereka. Ada beberapa batasan yang biasanya dikenakan pada penerbitan dan penyiaran, seperti misalnya atas materi yang mengancam keamanan negara (membuka rahasia negara), pornografi anak-anak, fitnah, dan sebagainya. Hanya saja, didalam negara demokrasi, pelanggaran hukum yang dilakukan melalui penerbitan atau penyiaran hanya dapat dikenai hukuman melalui tuntutan pengadilan, bukannya atas keputusan sewenang-wenang dari aparat pemerintah.  Dalam peristiwa demikian, hukuman tidak dapat dikenakan pada usaha penerbitan atau penyiaran, tetapi kepada redaksi, wartawan atau bahkan (jika secara sukarela menghendakinya), narasumber berita yang menjadi permasalahan tersebut, bukannya dengan mengenakan larangan terbit pada surat kabar, majalah, tabloid atau usaha penyiaran yang bersangkutan.
Sebagaimana telah dikutip diatas, berdasarkan ketentuan dalam pasal 4 ayat (2) Undang-Undang no. 40 tahun 1999 tentang Pers, sekarang kita telah tidak mengenal lagi lembaga sensor dan pembredelan maupun pelarangan penyiaran. Bahkan dengan adanya pasal 18 ayat (1), sebagaimana telah dikutip diatas, pelaku pembredelan dikenai ancaman pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
Ketentuan dalam pasal 18 ayat (1) tersebut berlaku bagi pejabat negara yang melakukan pembredelan, maupun kepada orang-orang, yang bukan pejabat negara, yang menghalang-halangi atau menghentikan penerbitan dan peredaran atau penyiaran secara paksa, misalnya sekelompok orang yang menduduki kantor penerbitan pers yang mengakibatkan terhentinya penerbitan.
Kiranya perlu dicatat disini bahwa sebetulnya, isi pengaturan dalam UU. No. 40 tahun 1999, khususnya pasal 4 ayat (2) mengenai larangan penyensoran dan pembredelan atau pelarangan penyiaran telah cukup memadai didalam menjamin kebebasan pers, tetapi sayang pengaturan mengenai masalah kebebasan yang penting ini tidak dilakukan didalam UUD., sehingga akan lebih mempunyai kekuatan, baik secara politis maupun secara hukum.
4.      Pembatasan Penghasilan Dari Iklan
Yang seringkali luput dari perhatian banyak orang dalam hubungan dengan kebebasan pers ini adalah masalah iklan, khususnya kalau pemerintah memiliki penerbitan dan/atau stasiun penyiaran sendiri (baik radio maupun televisi). Dalam keadaan demikian, para pendukung demokrasi menghendaki agar penerbitan dan stasiun penyiaran yang dimiliki oleh pemerintah dibatasi penerimaan iklannya. Masalah pembatasan iklan pada penerbitan maupun stasiun penyiaran pemerintah ini penting, karena hidupnya penerbitan pers maupun penyiaran adalah dari iklan yang mereka peroleh. Tanpa pembatasan, pers dan stasiun siaran milik pemerintah dapat menjadi sangat kuat, dan sebaliknya, pers dan stasiun siaran yang dikelola swasta akan dapat menjadi sangat lemah. Bahkan melalui iklan ini, dengan berbagai cara, dapat digunakan oleh pemerintah untuk mematikan penerbitan atau stasiun siaran yang tidak mereka sukai.
Mengenai masalah ini, baik didalam UUD RI maupun UU no. 40 tahun 1999 tidak ada ketentuan sama sekali. Bagi Indonesia saat ini, ketentuan demikian memang belum merupakan masalah penting, karena stasiun siaran pemerintah di Indonesia saat ini tidak mampu bersaing dengan stasiun siaran (baik televisi maupun radio) swasta. Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan stasiun siaran pemerintah menjadi stasiun siaran yang sangat berpengaruh, seperti BBC (Inggris); ABC (Australia), Deutche Welle (Jerman) dan sebagainya. Dalam keadaan demikian, ketentuan batas perolehan iklan dari siaran pemerintah menjadi sangat penting untuk hidupnya stasiun-stasiun swasta.
  1. Adanya Kebebasan Memperoleh Informasi
Untuk dapat melaksanakan fungsinya dengan baik, yaitu menyebarkan informasi penting yang dibutuhkan masyarakat sebanyak-banyaknya, selengkap-lengkapnya, dan seakurat-akuratnya, maka pers juga harus bisa menjangkau sumber informasi, khususnya informasi yang dimiliki oleh pemerintah. Dalam hal ini, seringkali pemerintah banyak melakukan usaha untuk menutup-nutupi banyak informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Untuk dapat melaksanakan fungsinya dengan baik, yaitu menyebarkan informasi penting yang dibutuhkan masyarakat sebanyak-banyaknya, selengkap-lengkapnya, dan seakurat-akuratnya, maka pers juga harus bisa menjangkau sumber informasi, khususnya informasi yang dimiliki oleh pemerintah. Dalam hal ini, seringkali pemerintah banyak melakukan usaha untuk menutup-nutupi banyak informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Mengenai hak untuk mencari dan memperoleh informasi, didalam UUD RI diatur didalam pasal 28F yang selengkapnya berbunyi:
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoeh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Hak untuk mencari dan memperoleh informasi sebagaimana yang dirumuskan dengan kalimat yang sangat panjang tersebut sesungguhnya tidak berisi apapun. Yang pertama, setiap orang berhak untuk berkomunikasi. Masalah ini tidak perlu dirumuskan sebagai hak, karena berkomunikasi sudah menjadi fitrah manusia, yang tidak mungkin dilarang, kecuali ketika kita naik bis, dahulu sering ada tulisan yang berupa larangan: “dilarang berbicara dengan sopir ketika bis berjalan.” Apakah perlindungan atas larangan demikian ini yang dimaksudkan? Pasti bukan! Yang kedua, dari rumusan tersebut kita tidak dapat mengetahui misalnya, siapa yang berkewajiban untuk mewujudkan hak untuk mencari dan memperoleh informasi. Apakah ini berarti kalau orang mencari informasi kepada pejabat negara maka pejabat negara wajib memberikan informasi yang dimilikinya? Tampaknya juga tidak. Karena tak ada anak kalimat yang berbunyi: “mewajibkan pejabat untuk memberi informasi.” Padahal, dalam rangka mencari informasi, urusan dengan pejabat ini yang paling sulit. Perumusan yang hanya menyebutkan hak tanpa kejelasan siapa yang berkewajiban, menjadi hampir-hampir tidak berguna. Tampaknya masalah kebebasan untuk memperoleh informasi masih perlu mendapatkan catatan tersendiri dalam sistem demokrasi kita.
Sekedar sebagai sebuah pembanding, di Amerika Serikat, pada tahun 1966 presiden Johnson menandatangani “Freedom of Information Act,” yang menandai mulai dilindunginya dengan ketentuan hukum kebebasan untuk memperoleh informasi dari lembaga pemerintah. Didalam peraturan hukum ini ditentukan bahwa cabang eksekutif federal dan lembaga pengaturan (regulatory agency[1]) harus menyediakan informasi yang diperlukan bagi wartawan dan orang-orang lain yang memerlukan, kecuali jika informasi yang dibutuhkan tersebut termasuk dalam salah satu dari kategori kerahasiaan. Sebagai contoh, yang dibebaskan dari keharusan untuk disediakan sebagai informasi yang terbuka adalah informasi keamanan nasional, file pribadi, catatan-catatan penyelidikan, dan dokumen internal dari lembaga yang bersangkutan (Cummings and Wise, 1985: 106). Namun demikian, di Amerika Serikat pun, meskipun sudah ada Freedom of Information Act, berdasarkan catatan sub-komite House of Representative, birokrasi pemerintah sering menghambat pemberian informasi yang dibutuhkan oleh wartawan atau orang-orang lain dengan cara bekerja lamban (foot dragging), atau bahkan menolak untuk memberikan informasi, sehingga harus dipaksa melalui tuntutan pengadilan, sementara tuntutan pengadilan membutuhkan dana yang cukup banyak dan waktu yang tidak sedikit (Cummings and Wise, 1985: 106).
Mengenai publikasi file pribadi, ada ketentuan didalam Privacy Act dari tahun 1974 yang menentukan bahwa pemerintah tidak boleh mempublikasikan file yang dimilikinya mengenai catatan-catatan individu, seperti catatan-catatan medis, keuangan, kriminal, atau pekerjaan, tanpa persetujuan tertulis dari orang yang bersangkutan. Hukum demikian biasanya juga disertai dengan hak bagi warganegara untuk memperoleh informasi dari file yang dimiliki oleh pemerintah mengenai dirinya sendiri (Cummings and Wise, 1985: 107). Sebagai contoh file pribadi, misalnya berdasarkan file medis, ternyata A menderita HIV/aid. Tanpa persetujuan A pemerintah tidak boleh memberitahu siapapun mengenai penyakit yang diderita oleh A tersebut dengan alasan apapun juga.

Daftar Pustaka
Cummings, Milto C. dan David Wise, Democracy Under Pressure, Harcourt Brace Jovanovich Publishers, 1985




[1] Regulatory agency adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan quasi judicial dan quasi legislative. Secara administrative mereka tidak tergantung baik kepada presiden maupun kepada Congress. Tetapi secara politis mereka tergantung kepada keduanya.

0 comments:

Posting Komentar