KEBEBASAN SEBAGAI PILAR DEMOKRASI


Hadi Wahono

Dalam sistem demokrasi, baik dalam sistem demokrasi langsung maupun demokrasi perwakilan, adanya kebebasan tertentu bagi rakyat merupakan persyaratan mutlak bagi berlangsungnya sistem. Karena hanya dengan kebebasan, rakyat yang merupakan pemegang kekuasaan tertinggi, terutama dalam sistem demokrasi perwakilan, akan dapat dengan bebas menentukan pilihannya mengenai siapa yang akan didudukkan dalam jabatan publik. Agar seluruh rakyat dapat menentukan pilihannya dengan cerdas, dapat mencalonkan diri didalam pemilihan pejabat publik, dan dapat terlibat dalam berbagai kegiatan dalam rangka ikut menentukan jalannya pemerintahan negara (walaupun secara tidak langsung), maka demokrasi mensyaratkan adanya kebebasan memperoleh dan menyebarkan informasi, bebas untuk berserikat, seperti mendirikan partai politik yang dapat digunakan untuk ikut ambil bagian didalam usaha menduduki jabatan publik melalui pemilihan, atau mendirikan kelompok-kelompok kepentingan dalam rangka mengupayakan diperhatikan, dilindungi, dan direalisasinya kepentingan-kepentingan anggotanya. Karena pentingnya kebebasan didalam menentukan berlangsungnya sistem demokrasi, oleh para ahli ketatanegaraan pendukung demokrasi, kebebasan disebut sebagai pilar demokrasi.
Dalam hubungan dengan demokrasi, ada lima jenis kebebasan yang dipandang merupakan kebebasan minimal, yaitu kebebasan memilih dan mencalonkan diri didalam pemilihan umum, kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan pers, kebebasan berkumpul dan berserikat, dan kebebasan dari perlakuan sewenang-wenang oleh sistem politik dan hukum.
Sebagaimana dikemukakan diatas, kebebasan merupakan persyaratan mutlak agar rakyat dapat memainkan perannya yang terbaik dalam sistem demokrasi perwakilan. Karena hanya dengan kebebasan, rakyat dapat memainkan peran politiknya secara cerdas dan bertanggungjawab. Tanpa kebebasan, apapun alasan pengebiriannya, tak akan ada demokrasi.
Hanya masalahnya, apakah kebebasan dalam negara demokrasi berarti adanya kebebasan yang sebebas-bebasnya, atau mungkin untuk dibatasi? Nampaknya semua pendukung demokrasi setuju bahwa kebebasan dalam negara demokrasi tetap harus ada batasnya. Karena itu, memahami batas kebebasan sama pentingnya dengan memahami kebebasan itu sendiri, karena dalam kehidupan masyarakat beradab tidak akan ada kebebasan yang sempurna, kebebasan yang sebebas-bebasnya. Kebebasan dalam masyarakat beradab harus ada batasnya, karena kalau tidak, kebebasan seseorang akan dapat menjadi ketidak bebasan, bahkan merugikan, orang lain. Namun demikian, untuk adil dan fairnya penyelenggaraan negara, kemungkinan pembatasan kebebasan harus didasarkan pada ukuran yang jelas, tegas, dan mendekati kepastian.
Mengenai ukuran batas kebebasan ini, ada peribahasa lama yang diungkapkan oleh Hakim Mahkamah Agung Amerika Serikat, Oliver Wendel Holmes, Jr, yang mengatakan, “Hak untuk mengayunkan kepalan tangan saya berakhir dimana hidung orang lain mulai.” Hal senada diungkapkan oleh John F. Kennedy: “Hak setiap orang berkurang ketika hak orang lain terancam.” (Cummings and Wise, 1985: 95). Walaupun secara sederhana, peribahasa ini cukup memberi kepada kita gambaran, bahwa kebebasan anda tidak bisa anda gunakan seenak anda hingga akan merugikan saya (memukul hidung saya, mengancam saya).
Walaupun sebagai kalimat berbagai pernyataan mengenai batas kebebasan tersebut nampak sudah sangat jelas, namun demikian, dalam prakteknya, tidak semudah yang kita bayangkan. Dari kalimat yang diucapkan oleh John F. Kennedy tersebut saja, telah muncul permasalahan, seberapa besar suatu kebebasan dapat dipandang telah mengancam kebebasan orang lain? Apakah ancaman yang dapat membatasi kebebasan harus bersifat nyata, atau cukup hanya dengan “kemungkinan”? Artinya, suatu kebebasan sudah dapat dibatasi jika karena kebebasan tersebut ada kemungkinan dapat mengancam kebebasan orang lain.
Pembatasan Kebebasan Dalam Tatanegara Amerika Serikat
Di Amerika Serikat, yang oleh banyak orang dianggap sebagai negara paling demokratis (pernyataan yang masih dapat diperdebatkan), pengadilan juga seringkali melakukan pembatasan pada kebebasan berbicara. Beberapa jenis pernyataan yang oleh pengadilan pernah dinyatakan tidak memperoleh perlindungan konstitusional dari pengaturan pemerintah (artinya pemerintah boleh melakukan pembatasan), antara lain menyangkut iklan yang menyesatkan, kecabulan/pornografi (mengenai masalah pornografi ini lembaga peradilan telah mengalami kesulitan besar dalam mendefinisikannya), pornografi anak-anak, fitnah, dan dalam beberapa hal, orasi jalanan (Cummings and Wise, 1985: 98).
Sebagai contoh, Mahkamah Agung telah menentukan bahwa polisi dibenarkan untuk menangkap pembicara dipinggir jalan jika dia terlalu efektif didalam menggerakkan pendengarnya. Tiga dasawarsa sebelumnya, Hakim Mahkamah Agung Oliver Wendell Holmes Jr., telah membentuk ukuran klasik, yaitu “jelas dan mendatangkan bahaya” sebagai tes untuk menentukan masalah dimana pendapat kehilangan perlindungan dari Amandemen Pertama.[1] Menurutnya:
Sifat dari setiap tindakan tergantung atas keadaan dimana hal itu dilakukan. ........ perlindungan yang sangat kaku atas kebebasan berpendapat tidak akan melindungi orang dari teriakan yang salah akan adanya api disebuah pementasan dan yang menimbulkan kepanikan. ...... Pertanyaan untuk setiap masalah adalah apakah kata yang digunakan adalah digunakan dalam keadaan sedemikian rupa dan dari sifatnya yang demikian membentuk sesuatu yang jelas dan menghadirkan bahaya yang menyebabkan keburukan yang substantif sehingga Congress mempunyai hak untuk mencegahnya. (Cummings and Wise, 1985: 98).
Sebagai contoh mengenai kebebasan yang oleh pengadilan dipandang dapat merugikan keamanan negara adalah putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat mengenai dukungan atas tindakan pemerintah untuk mencabut paspor Philip Agee, bekas agen CIA yang telah membuka nama-nama pejabat CIA dan agen-agennya diluar negeri. Karena pembukaan nama-nama pejabat maupun agen-agen rahasia CIA diluar negeri oleh Agee dapat dipandang dirancang untuk mengganggu operasi intelejen, maka Mahkamah Agung Anerika Serikat berpendapat bahwa Hal itu dengan jelas tidak dilindungi oleh konstitusi (Cummings and Wise 1985: 99). Dalam masalah kebebasan untuk menyatakan pendapat ini, mayoritas anggota Mahkamah Agung mengambil posisi bahwa hak-hak yang terdapat didalam amandemen pertama harus di “diseimbangkan” terhadap kebutuhan yang beberbeda atau bahkan bertentangan dari komunitas untuk melindungi tatanan dan melindungi  negara (Cummings and Wise, 1985: 100).
Yang menjadi masalah dari pandangan Mahkamah Agung Amerika Serikat ini adalah, bagaimana menyeimbangkan kebutuhan yang berbeda, dan seberapa jauh sesuatu dapat dikatakan melindungi atau tidak melindungi negara.
Pembatasan Kebebasan Di Indonesia
Mengenai dimungkinkannya dilakukan pembatasan kebebasan di Indonesia dimuat didalam pasal 28J ayat (2) yang menyatakan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Sebagaimana telah diungkapkan diatas, kemungkinan dilakukannya pembatasan atas beberapa jenis kebebasan adalah hal yang wajar, karena dimanapun, didalam masyarakat beradab, tak ada kebebasan yang sebebas-bebasnya yang tanpa batas sama sekali. Namun demikian, untuk adil dan fairnya penyelenggaraan negara, kemungkinan pembatasan kebebasan harus didasarkan pada ukuran yang jelas, tegas, dan mendekati kepastian. Tetapi kenyataannya, ukuran yang ditentukan didalam pasal 28J ayat (2) UUD RI tersebut sangat tidak jelas dan tidak tegas, karena yang dijadikan ukuran sendiri masih dapat diperdebatkan. Sebagai contoh, apa yang dimaksud dengan frasa “pertimbangan moral?” Apakah ada ukuran moral yang universal?
Sebagai contoh, pornografi misalnya, tampaknya merupakan ukuran moral yang universal, karena semua masyarakat didunia tidak menghendakinya. Tetapi ketika tiba pada taraf penerapannya, akan nampak bahwa setiap masyarakat mempunyai ukurannya masing-masing. Pada masyarakat Jawa, seorang perempuan yang berpakaian minim, yang sampai memperlihatkan buah dadanya bisa dipastikan dipandang tidak bermoral. Tetapi di pedalaman Irian, perempuan sama sekali tidak dipandang melanggar norma susila ketika dia berpakaian tanpa menutupi buah dadanya sama sekali, dan kain bawahnya sangat minim. Sementara itu, laki-laki Irian yang hanya mengenakan koteka, yang nota bene hanya menutupi kemaluannya, betul-betul sebatas kemaluannya, tidak dipandang melanggar moral masyarakat.
Hal yang sama juga berlaku bagi ukuran yang berupa “norma-norma agama.” Yang menjadi pertanyaan, agama apa yang digunakan sebagai ukuran? Bahkan pertanyaannya dapat dilanjutkan, aliran apa dari agama tersebut yang norma-normanya akan dijadikan ukuran? Karena dari pemeluk agama yang sama tetapi dari aliran yang berbeda, akan menimbulkan norma yang berbeda. Sebagai contoh, ada aliran agama yang mengajarkan bahwa “jihad” adalah upaya memerangi orang-orang dari agama yang berbeda dengan kekerasan, sementara aliran lain, dari agama yang sama, mendengung-dengungkan kasih sayang sesama manusia. Norma agama yang mana yang akan kita pakai sebagai ukuran?
Dari uraian diatas, nampak pentingnya penentuan ukuran yang sejelas-jelasnya mengenai batas kebebasan, karena tanpa kejelasan akan dapat digunakan oleh penguasa untuk memberangus demokrasi.
Dalam hubungan dengan batas kebebasan, didalam pasal pasal 13 UU. No. 40 tahun 1999 tentang Pers, dimuat larangan, yang merupakan pembatasan kebebasan pers, yaitu:
Perusahaan pers dilarang memuat iklan:
a.                             yang berakibat merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu kerukunan hidup antar umat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat.
b.                            Minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c.                             Peragaan wujud rokok dan atau penggunaan rokok.

Sementara itu, walaupun di Indonesia tidak terdapat ketentuan khusus, namun demikian, berdasarkan ketentuan undang-undang dalam bidang lain, khususnya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, secara tidak langsung telah ada pembatasan mengenai pemuatan iklan yang menyesatkan, kecabulan/pornografi anak-anak, dan fitnah. Ketiga masalah tersebut telah diatur didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sehingga walaupun tanpa peraturan khusus, dengan sendirinya telah merupakan pembatasan bagi kebebasan di Indonesia.

Daftar Pustaka
Cummings, Milto C. dan David Wise, Democracy Under Pressure, Harcourt Brace Jovanovich Publishers, 1985




[1] Amandemen pertama adalah amandemen atas konstitusi Amerika Serikat yang pertama, yang langsung dilakukan segera setelah berlakunya konstitusi tersebut. Amandemen ini berisi pernyataan adanya kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan pers, kebebasan berkumpul, kebebasan mengajukan petisi secara damai, dan ketidak berpihakan negara terhadap agama, yang sering dikategorikan sebagai kebebasan beragama.

1 komentar: