THOMAS HOBBES: ABSOLUTISME SEBAGAI KEHARUSAN


Hadi Wahono

Akibat realitas kehidupan bersama umat manusia yang dipenuhi dengan kehidupan yang tidak tenang, yang penuh dengan peperangan, penindasan, ketidak tentraman, banyak filsof dan para pemikir kenegaraan yang mencoba mencari bentuk kehidupan bersama yang paling baik, yang dapat menjamin kehidupan yang tenteram dan baik sehingga kehidupan bersama akan mendukung perkembangan anggota-anggotanya kearah kesempurnaan hidup. Salah seoran dari filsof dan pemikir kenegaraa tersebut adalah Thomas Hobbes (1588 – 1679), seorang filsof dan pemikir kenegaraan yang berasal dari Inggris. Mengenai Thomas Hobbes, G.H. Sabine berkomentar:
"Hobbes adalah ahli filsafat modern yang pertama yang telah mencoba membawa teori politik kedalam hubungan yang lebih rapat dengan sistem pemikiran modern dan dia telah berusaha untuk membuat agar sistem ini mempengaruhi cukup luas, berdasar prinsip-prinsip ilmiah, terhadap semua kenyataan kodrat, termasuk kelakuan manusia baik dalam aspek perseorangannya ataupun kemasyarakatan. .................... Meskipun demikian adalah suatu kenyataan bahwa dia telah menelurkan sesuatu yang tepat disebut sebagai ilmu politik yang merupakan bagian integral dari konsepsi keseluruhan tentang dunia kodrat dan telah diuraikannya dengan jelas dan gamblang. .................. Disebabkan karena jelasnya dan tak kurang pula karena ketajaman cara menulisnya, barangkali Hobbes adalah penulis terbesar tentng filsafat politik yang pernah dihasilkan oleh bangsa-bangsa berbahasa Ingris." (Sabine, G.H., jilid 2, 1992: 112).
Pemikiran Thomas Hobbes didasarkan pada realitas kehidupan masyarakat masanya dan usahanya untuk memperbaiki keemahan-kelemahan masyarakat bernegara pada masanya, yaitu abad pertengahan Eropa. Sebagaimana diketahui, pada masa abad pertengahan Eropa berlangsung tata kehidupan dengan sistem yang hampir-hampir sama, yaitu  feodalisme. Kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan abad pertengahan ditandai dengan ketidak stabilan politik, banyaknya peperangan, baik peperangan perebutan kekuasaan antara raja yang lemah dengan para bangsawan yang ingin menggantikan kekuasaan raja, maupun peperangan antara raja dengan Paus sebagai pemimpin agama Kristen (Katholik).
Sebagaimana diketahui, setelah runtuhnya kekaisaran Romawi Barat pada abad kelima Masehi (sekitar tahun 476 Masehi), Eropa memasuki babak baru sejarah kenegaraan, yang oleh para ahli sejarah biasanya disebut sebagai abad pertengahan. Abad pertengahan ditandai dengan bermunculannya kerajaan-kerajaan bebas yang tidak stabil dan berkembangnya feodalisme. Hal ini terjadi sebagai akibat keruntuhan pusat kekuasaan Romawi, sementara kerajaan-kerajaan yang bermunculan belum sempat mengukuhkan diri sebagai kekuasaan pusat yang kuat. Akibatnya terjadi anarki kekuasaan. Ada dua faktor yang memperlemah kekuasaan pusat, atau kekuasaan raja dalam masa abad pertengahan Eropa ini. Yang pertama adalah berlangsungnya sistem feodalisme yang berlaku di seluruh Eropa yang mengakibatkan tak adanya suatu kekuasaan pusat dari kerajaan yang cukup kuat untuk mengendalikan kepentingan dan keinginan berbagai kelompok masyarakat untuk berkuasa. Yang kedua, adanya kekuasaan tandingan dari Paus sebagai pimpinan agama Kristen yang meliputi seluruh dunia. Kekuasaan keagamaan ini mempunyai pengaruh pada kelemahan nyata atas kekuasaan seorang raja. Tanpa kekuasaan pusat yang kuat, kekuasaan wilayah-wilayah setempat dari para baron dan warlord muncul sebagai kekuasaan pengganti. Hubungan antara raja dengan para baron dan warlord sebagai vasalnya menggantikan hubungan raja dengan kaisar pada masa kekaisaran Romawi. Walaupun nampaknya mereka menundukkan diri pada kekuasaan raja, tetapi secara nyata, diwilayah mereka masing-masing, sesungguhnya merekalah yang nyata-nyata memegang kekuasaan.
Sebagaimana halnya masyarakat tradisional, kekuasaan masyarakat abad pertengahan terutama ditopang dari tanah dan hasil tanah. Bahkan kota-kota mengalami kemerosotan karena perdagangan di kota-kota bukan saja tidak mampu berkembang, malah sebaliknya, terus mengalami kemunduran. Sebagai masyarakat yang ditopang oleh tanah dan hasil tanah, ekonomi desa yang berdasarkan sistem pertuan tanahan berkembang. Para petani yang tidak memiliki tanah harus menyediakan upeti dan pelayanan mereka kepada para tuan tanah, dan secara sama, para tuan tanah memiliki kewajiban menyediakan upeti dan pelayanan kepada bangsawan penguasa tanah (para baron, warlord atau para ksatria perang, dan gereja) dengan imbalan perlindungan. Demikian juga hubungan antara para baron dengan raja. Salah satu pelayanan yang harus disediakan oleh masyarakat desa adalah tenaga tentara. Karena itu, masyarakat abad pertengahan tidak mengenal tentara profesional. Hal ini juga mempunyai pengaruh pada lemahnya kekuasaan raja pada abad pertengahan. Karena itu, pada puncak sistem feodalisme, sesungguhnya orang tidak bisa berbicara mengenai negara, karena realitasnya kekuasaan negara tidak ada. Yang ada adalah hubungan upeti, pelayanan, dan perlindungan. Dalam kondisi kehidupan masyarakat negara yang demikian, sebetulnya orang tidak bisa mengatakan mengenai negara feodal, karena feodalisme sesungguhnya melemahkan negara hingga pada titik paling rendah.
Lemahnya kekuasaan nyata raja dalam kehidupan politik atas rakyatnya, selain disebabkan oleh kehancuran mereka pada masa kekaisaran Romawi, dan belum sempatnya mereka mengkonsolidasikan kekuatannya setelah keruntuhan kekaisaran Romawi Barat, yang mengakibatkan berkembangnya sistem feodalisme, juga didukung oleh berkembangnya agama Kristen (Katholik) diseluruh Eropa. Agama Kristen yang memiliki pusat kekuasaan dalam diri Paus, walaupun kekuasaan Paus dipandang sebagai kekuasaan rohani, tetapi keberadaan kekuasaan tersebut memecah kesetiaan rakyat dan kaum bangsawan. Mereka tidak hanya tunduk pada raja, tetapi juga kepada otoritas keagamaan. Sementara itu, antara otoritas duniawi (para raja) dengan otoritas rohani (Paus dan para Uskup) seringkali tidak sejalan, bahkan tidak jarang bertentangan. Adanya dua pusat kekuasaan ini yang memperlemah kekuasaan raja, sehingga para raja, untuk membuat berbagai keputusan penting kenegaraan, dengan terpaksa, mau tidak mau, harus bergantung pada para baron dan warlord (para ksatria), dan yang tak terhindarkan, juga dari para uskup. Ketergantungan para raja kepada pusat-pusat kekuasaan diluar dirinya tersebut yang dibeberapa negara diwujudkan dalam bentuk dewan, yang dikemudian hari memberi inspirasi penyelenggaraan negara demokrasi, mengakibatkan raja tidak mempunyai kekuasaan yang absolut, bahkan seringkali tidak mempunyai kekuasaan yang berarti untuk mengatur negaranya, hingga mengakibatkan terjadinya anarki kekuasaan.
Dengan memahami sistem inilah kita bisa membayangkan bagaimana para bangsawan, para baron dan ksatria kerajaan Inggris pada tahun 1215 mampu memaksa raja John untuk menandatangani Magna Carta. Demikian juga sistem perwakilan rakyat yang berkembang di Inggris sejak tahun 1272 pada masa naik tahtanya raja Edward I (1272 – 1307) dalam tampuk kekuasaan di kerajaan Inggris, dapat difahami jika kita memahami feodalisme yang berlangsung saat itu. Baik Magna Carta maupun sistem parlemen (perwakilan rakyat) di Inggris merupakan hasil pemberontakan para baron yang didukung oleh rakyat maupun para biarawan (walaupun bertentangan dengan kehendak Paus).
Thomas Hobbes merupakan salah seorang yang berusaha untuk membangun konsep kenegaraan yang memungkinkan munculnya kekuasaan yang mampu mengatasi anarki kekuasaan dan mampu menjamin keamanan kehidupan umat manusia, khususnya warganegaranya. Ketidak stabilan politik yang terjadi pada masa hidupnya, menurut pandangan Hobbes disebabkan karena lemahnya atau bahkan tak adanya kekuasaan pusat (kekuasaan raja) yang dapat memaksakan ditaatinya peraturan-peraturan yang dibuatnya. Tanpa adanya kekuasaan pusat yang kuat, tak akan mungkin ada kestabilan politik. Dalam hal ini dia dengan setulus-tulusnya percaya bahwa kerajaan merupakan pola pemerintahan yang paling kokoh dan teratur (Sabine, G.H., jilid 2, 1992: 111).
Berangkat dari kondisi masyarakat negara sebagaimana tersebut diatas, Thomas Hobbes mengembangkan teori kenegaraannya. Teori dan pemikiran Hobbes didasarkan pada pandangan mengenai kodrat manusia, dimana berdasarkan kodratnya, didalam diri manusia terdapat dua azas, yaitu naluri dan akal. Naluri mendorong manusia untuk merebut apa yang dikehendaki orang lain, dan dengan demikian mengacaukan mereka. Sementara akal, bukan menentang naluri, tetapi memberi kekuatan mengatur dan penghati-hati sebagai cara untuk menjamin keamanan dirinya. Akal juga mengajar orang untuk menghindarkan diri dari penghancuran yang tidak wajar. Berdasarkan nalurinya, setiap manusia digerakkan oleh selera, keinginan, ketakutan, dan kepentingan pribadinya. Mereka selalu mencari kesenangan dan menghindari hal-hal yang tidak mengenakkan. Apa yang disebut sebagai baik semata-mata adalah obyek selera dan keinginannya. Keinginannya yang utama dan hukum alamnya yang paling penting adalah pemenuhan kepentingan diri sendiri dan penghindaran kematian yang mengerikan. Menurut Hobbes, ini merupakan akar dari semua hak dan moralitas. Mengenai dasar pikiran Thomas Hobbes, A.D. Lindsay menulis:
"Manusia, kata Hobbes, hatinya setiap hari digerogoti oleh ketakutan akan kematian, kemiskinan, atau bencana yang lain lagi, dan tidak pernah beristirahat atau berhenti dari kecemasannya kecuali selama dia tidur. Hanyalah akal yang membedakan manusia dari binatang yang memungkinkannya untuk membentuk masyarakat. Akal menjadikan manusia merasa tidak puas dengan segala sesuatu yang tidak unggul. Akal membuat mereka berbohong dan menipu satu sama lain. Akal menghasilkan dalam diri mereka semua “keinginan yang tak pernah berhenti akan kekuasaan dan kekuasaan” (restless desire of power after power). Tidak seperti tentara, mereka dibayang-bayangi oleh ketakutan akan kematian yang mengerikan, tetapi ketidak percayaan antara orang yang satu terhadap orang lain yang mengakibatkan usaha mereka yang terus menerus untuk mencari keamanan, mengalahkan ketakutan dalam dirinya sendiri dan hanya menghasilkan peperangan.
Induvidunya Hobbes adalah merupakan atom dari masyarakatnya. Mereka semua untuk maksud praktis sama dalam kekuatannya. Setiap orang secara sama mampu untuk membunuh yang lain. Karena itu, semua orang secara sama merupakan obyek dari ketidak percayaan dari semua orang yang lain. Perbedaan alamiah mereka mungkin tidak diperhatikan, karena semua secara sama ditipu. Tak ada seseorang yang mempunyai kewenangan yang diakui dan dihormati oleh yang lain. Masing-masing orang yang dihubungkan dengan ikatan yang tidak nyata dengan orang lain, hanya mengusahakan pemenuhan kepentingannya sendiri".(Dikutip dengan diterjemahkan secara bebas dari: Lindsay, A.D., 1951: 81 - 82).
Bagi Hobbes, nafsu kekuasaan pada manusia bukan sekedar nafsu, tetapi merupakan dorongan dari situasi untuk menyelamatkan diri, karena hanya dengan pengejaran kekuasaan yang terus menerus tersebutlah manusia akan merasa terjamin keamanannya. Tetapi, karena jaminan harus terus menerus diperkuat, maka pengejaran akan kekuasaan jadi tiada henti-hentinya. Dengan memakai kalimat Hobbes:
"Saya anggap keinginan umum dari pada kemanusiaan adalah kehausan akan kekuasaan yang satu disusul dengan kekuasaan yang lain seara terus menerus tiada hentinya, yang berakhir hanya dengan kematian. Sebabnya tidak selalu terleak bahwa orang mengharap untuk mendapat kesenangan berlebih lagi dari pada yang sudah didapatkan sekarang, atau bahwa dia tidak mendapat kepuasan tanpa tambahan kekuasaan secukupnya lagi, tetapi disebabkan karena dia tidak merasa yakin terhadap kekuasaannya dan cara-cara untuk kehidupan yang cukup yang dimiliki sekarang, tanpa mendapat tambahan kekuasaan lagi".(Sabine, G.H., Jilid 2, 1992: 118).

Akibat kekuatan setiap orang relatif sama, sementara semua orang berusaha untuk berkuasa, maka setiap orang selalu melihat orang lain sebagai ancaman, sebagai serigala yang siap memangsa dirinya (homo homini lupus). Dalam keadaan demikian, situasi yang terjadi adalah peperangan antara semua orang melawan semua orang (bellum omnium contra omnes). Untuk menghindari situasi yang tak tertanggungkan ini, agar setiap orang dapat memenuhi kehidupannya sendiri, dan untuk mendapatkan kedamaian dan ketertiban, menurut Hobbes, orang setuju untuk membentuk masyarakat. Maka, menurut Hobbes, dibuatlah “kontrak sosial”, dimana masing-masing orang menyerahkan hak mereka agar dapat membentuk kekuasaan yang mampu memaksakan wewenangnya, yang oleh Hobbes disebut sovereign (penguasa) (Lihat: Michael Curtis, 1961: 294). Dengan membuat kontrak sosial ini manusia menciptakan penguasa (sovereign), sehingga dapat lolos dari keadaan yang bahaya (dalam bentuk homo homini lupus maupun bellum omnium contra omnes), tetapi bersamaan dengan itu juga menyerahkan hak alamnya untuk mempertahankan diri mereka. Perjanjian masyarakat tersebut oleh Thomas Hobbes digambarkan sebagai demikian:
"Saya beri kuasa dan saya lepaskan hak untuk memerintah diri saya sendiri, kepada orang ini, atau kepada sidang dari orang-orang tersebut, dengan suyarat-syarat, bahwa tuan memberikan hak kepadanya, dan menguasakan semua tindakan-tindakannya sebagai kelakuannya .............. ini adalah generasi dari Leviathan Agung, atau (untuk menyatakan secara sindiran) dari Dewa Maut, dimana kita berhutang budi pada Tuhan Yang Abadi tentang perdamaian dan pertahanan kita." (Dikutip dari: Sabine, G.H., jilid 2, 1992: 123).
Karena dalam konsep Hobbes pemegang kekuasaan tersebut harus mampu memaksakan wewenangnya kepada semua orang, maka dia harus mempunyai kekuasaan yang sangat besar, yang kuat, yang tidak dapat dibatasi. Menurut Hobbes, tindakan-tindakan individulah yang menciptakan negara berdaulat. Kemudian hukum dan keadilan diciptakan oleh penguasa. Tak ada syarat yang dikenakan pada penguasa yang berdaulat; ketidak taatan adalah sesuatu yang sama sekali tidak diijinkan. Semua orang harus tunduk dan patuh pada penguasa yang berdaulat. Dari konsep kekuasaan tersebut tampak bahwa penguasanya Thomas Hobbes adalah penguasa yang dapat dengan bebas membuat peraturan yang berlaku diseluruh wilayah kekuasaannya, sementara dirinya tidak tunduk dan terikat oleh hukum yang dibuatnya sendiri tersebut, bahkan yang sama sekali tidak tunduk dan terikat pada hukum apapun. Menurut Hobbes, kekuasaan yang demikian harus ada pada diri seorang raja. Hal ini didasarkan pada teorinya bahwa yang dapat mempunyai keinginan, yang dapat mempunyai kehendak hanyalah orang, hanya manusia. Lembaga, dewan, perkumpulan, perserikatan, sebagai suatu kesatuan tidak dapat mempunyai kehendak.
"Suatu serikat bukanlah sama sekali sebuah badan penggabungan, melainkan seorang, yaitu kepalanya atau yang memerintah; dan kehendak orang ini harus diterima sebagai kehendak semua anggota badan tersebut. ................. Sebab masyarakat mempunyai satu mulut saja, yang dapat dipergunakan untuk berbicara dan satu kehendak yang dapat dipaksakannya, yaitu kepunyaan yang berdaulat, yang membuatnya menjadi masyarakat. Secara amat layak yang berdaulat oleh Hobbes dinamakan suatu Dewa Maut, dan dalam tangannya dipersatukan pedang dan lambang uskup satu sama lain." (Sabine, G.H., terjemahan, jilid 2, 1992: 124).
Dalam hubungan dengan kekuasaan gereja, yang pada abad pertengahan Eropa merupakan kekuasaan yang menjadi pesaing dan memperlemah kekuasaan raja, Hobbes berpendapat bahwa gereja tidak ada bedanya dengan badan-badan keduniawian yang lain. Karena itu, gereja juga tidak dapat mempunyai kekuasaan, selain yang diberikan kepadanya oleh yang berdaulat. Segala ajaran agama, segala ketentuan moral yang diajarkan oleh gereja, segala peraturan gereja, semuanya hanya berlaku atas persetujuan dan kehendak yang berdaulat, yaitu raja. Dengan demikian, tidak akan ada lagi pertentangan antara hukum agama, hukum Tuhan, dengan hukum raja, karena semua hukum agama, semua isi kitab agama hanya bisa ada atas perkenan raja.
Bagi Hobbes, tidak ada kekuasaan apapun yang dapat membatasi kekuasaan yang berdaulat, kecuali kedaulatan itu sendiri. Karena itu, kedaulatan tidak dapat dibagi, tidak dapat diasingkan, dan tidak dapat dibatasi. Karena itu, konsep kekuasaan yang diusulkan oleh Thomas Hobbes tersebut biasanya disebut sebagai absolutisme, yang berasal dari bahasa latin: “Legibus absolutus”, yang berarti terbebas dari segala peraturan hukum. Bagi Hobbes, keadaan nyata masyarakat hanya memberi kita pada dua pilihan, yaitu mengakui dan menerima kekuasaan yang berdaulat, yang tanpa batas, sehingga berakibat adanya negara yang akan memberikan jaminan keamanan dan keteraturan, atau menolak kekuasaan yang berdaulat yang berarti akan membawa kehidupan kedalam kekacauan. Menurut Hobbes, kebaikan dari kekuasaan berdaulat memang masih dapat dipertanyakan, tetapi hal ini selalu lebih baik daripada perang sipil, kondisi yang kacau dari orang-orang tak berpemimpin.
Namun demikian, menurut Michael Curtis, walaupun secara formal bentuk kekuasaan yang diusulkan oleh Thomas Hobbes tersebut tidak dibatasi oleh hukum, tetapi tidak berarti betul-betul tidak terbatas. Mengenai hal ini, Michael Curtis menulis:

"Hobbes memang menciptakan kekuasaan yang maha kuat, tetapi bukan monster yang totaliterian. Penguasa, sebagaimana halnya semua orang, takut akan kematian. Karena itu, dia berusaha untuk memuasi kebutuhan kaulanya agar dirinya dapat terhindar dari akhir yang mengerikan, yaitu kematian. Ruang lingkup tindakan negara harus dibatasi. Negara memang sangat kuat, tetapi dimaksudkan hanya untuk menjamin tatanan dan keamanan, bukannya untuk kemuliaan dirinya sendiri. Perhatian penguasa dibatasi hanya pada tingkah laku luar manusia, dia tidak dapat mengendalikan kepercayaan pribadi orang. Dan sebagai senjata pamungkas, seorang individu dapat melawan jika kehidupannya berada dalam bahaya, karena penguasa tidak seharusnya melaksanakan fungsi-fungsi diluar maksud dari keberadaannya." (Dikutip dengan diterjemahkan secara bebas dari: Curtis, Michael, 1961: 294 – 295).
Walaupun perlawanan atas kekuasaan yang berdaulat secara yuridis formal tidak dapat dibenarkan, karena perlawanan terhadap yang berdaulat harus mendapatkan persetujuan dari yang berdaulat. Namun demikian, ada realitas terjadinya perlawanan terhadap yang berdaulat sebagai akibat dari kegagalan yang berdaulat untuk menjamin keamanan kaulanya, dan kenyataannya juga adanya pendirian negara-negara baru. Karena itu, menurut Hobbes, jikalau yang berdaulat telah gagal menjamin keamanan kaulanya, yang merupakan satu-satunya tujuan kedaulatan, maka para kaula tersebut dapat melawan dan menggulingkan yang berdaulat, dan jika perwalawanan atau penggulingan tersebut berhasil, maka yang berdaulat berhenti sebagai yang berdaulat, dan kaula berhenti sebagai kaula. Dalam keadaan demikian, kemudian kaula boleh memilih orang lain sebagai yang berdaulat.
Kritik Atas Teori Thomas Hobbes
Teori Thomas Hobbes yang membenarkan kekuasaan yang absolut tersebut banyak mendapatkan tentangan, khususnya tentang kontrak social, dan dasar pikiran atas teorinya yang mendasari pandangannya mengenai perlunya penguasa yang absolut yang akan melindungi rakyatnya. Dalam hubungan dengan kontrak sosial sebagaimana konsep yang dikembangkan oleh Thomas Hobbes, dimana dalam kontrak tersebut masyarakat telah menyerahkan hak-hak alamnya sendiri dan keturunannya pada penguasa, jelas-jelas tidak pernah ada dalam kehidupan nyata. Kontrak sosial tersebut hanya khayalan hukum belaka. Disamping itu, seandainyapun pernah ada kontrak sosial yang demikian, kontrak tersebut tidak berlaku lagi karena tidak bisa seseorang membuat perjanjian selain untuk dirinya sendiri dan juga untuk dan atas nama anak cucunya yang belum lahir. Kontrak khayal demikian ditinjau dari sudut hukum, moralitas, dan sekedar akal sehat sekalipun,  adalah tidak sah dan batal demi hukum.
Sementara itu, dasar pikiran atas teori Hobbes sangat lemah. Salah satu kelemahan teori Hobbes adalah tidak mempertimbangkan watak orang yang diserahi kekuasaan yang absolut tersebut. Kalau teorinya tentang manusia benar, yaitu bahwa setiap manusia digerakkan oleh selera, keinginan, ketakutan, dan kepentingan pribadinya, dan hanya mencari kesenangan dan menghindari hal-hal yang tidak mengenakkan, maka berarti pemimpin yang diserahi kekuasaan mutlak yang diharapkan akan melindungi rakyat haruslah bukan manusia, atau paling tidak bukan manusia biasa. Karena kalau diserahkan kepada manusia, maka kekuasaan tersebut bisa dipastikan akan digunakan untuk memenuhi selera, keinginan, dan mencari kesenangan pribadi sang pemimpin tersebut, yang pada akhirnya tidak akan memberikan perlindungan, malah akan mengakibatkan penindasan terhadap rakyat.

Masalah selanjutnya, kalau masyarakat harus mencari pemimpin yang bukan manusia, atau manusia yang sangat istimewa, apakah manusia demikian ada? Karena keberadaan manusia demikian akan bertentangan dengan teorinya sendiri tentang manusia. Kalaupun ada, bagaimana cara mencarinya diantara hutan belantara manusia biasa? Tampaknya berdasarkan pemikiran ini, maka untuk mendapatkan keabsahan sebagai penguasa, banyak penguasa lama yang lalim mengidentifikasikan diri mereka dengan dewa, dengan anak dewa, dan sebagainya. Ken Arok, seorang pendiri kerajaan Singosari sekitar tahun 1222 dalam rangka untuk mengesahkan kekuasaannya yang direbutnya dari Tunggul Ametung, seorang Akuwu Tumapel, menyatakan dirinya sebagai anak dewa (yang dititipkan pada maling, yang katanya kemudian menjadi ayahnya). Bahkan, kaisar Caligula (14 – 37 Masehi) salah seorang kaisar dari kekaisaran Romawi yang saat ini sering dijuluki sebagai kaisar yang epileptik, gila, megalomaniak, adalah kaisar Romawi yang demi untuk mengesahkan kekuasaan dan perbuatannya yang gila-gilaan, menuntut penyembahan dirinya sebagai dewa. Sekali setahun setiap orang diwilayah kekaisaran Romawi harus datang ke pejabat pemerintah untuk membakar dupa bagi kaisar yang didewakan. Mereka harus mengatakan, “Kaisar adalah Tuhan.” (William Barclay, 2001: 23). Tenno Heika, kaisar Jepang, dahulu dipercaya sebagai keturunan dewa. Demikian juga raja-raja Eropa abad ketujuh belas selalu berlindung pada kekuasaan Tuhan untuk memperkuat kekuasaannya. “Raja berada di ruang Tuhan,” begitu kata Tyndale, “dan hukumnya adalah hukum Tuhan” (Lindsay, A.D.; 1951: 73).

Pada kenyataannya, dalam sejarah kehidupan kenegaraan, raja-raja yang absolut tidak pernah tumbuh berdasarkan persetujuan rakyat atau berdasarkan kontrak sosial. Mereka merupakan hasil konflik panjang antara raja dengan vasalnya dalam masyarakat feodal, dan dengan Paus dari abad pertengahan yang merasa sebagai penguasa dunia dalam segi rohani (yang selalu dipandang sebagai: “berarti juga meliputi yang jasmani”). Kemenangan raja atas para vasalnya dan atas kekuasaan Paus pada abad ke tujuh belas, mempunyai konsekwensi, raja sebagai penguasa tunggal yang tak mempunyai tandingan lagi. Karena itu, raja menjadi absolut, dan menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadinya, bukan kepentingan rakyat. “L’etat c’est moi” (negara adalah saya) merupakan pernyataan yang dapat menggambarkan dengan baik pandangan raja Louis XIV dari Perancis yang mempunyai kekuasaan yang absolut tentang dirinya, kekuasaannya, negara, dan rakyatnya.


Daftar Pustaka
Curtis, Michael, The Great Political Theories, Avon Books, 1961.
Lindsay, A.D., The Modern Democratic State, jilid 1; Oxford University Press, 1951.
Sabine, G.H., terjemahan Drs. Soewarno Hadiatmodjo, Teori-Teori Politik, jilid 1 dan 2, Penerbit Binacipta, 1992.

1 komentar:

  1. Absolutisme tidak baik dalam sebuah negara, kunjungan balik ya ke blog saya www.belajarbahasaasing.com

    BalasHapus