DEMOKRASI: Pemerintahan Untuk Rakyat?

Hadi Wahono

Kalau demokrasi Athena merupakan demokrasi langssung, maka sebagian besar demokrasi yang berlangsung di masyarakat modern adalah demokrasi perwakilan. Celakanya, sebagian pendukung demokrasi modern sendiri percaya bahwa kehendak dan kedaulatan tidak dapat diwakilkan. Dengan nada yang keras, Gwendolen M. Carter mengomentari demokrasi perwakilan:
……….. apakah satu orang sanggup mewakili kepentingan dan pikiran orang lain, dan apakah gagasan pemerintah berdasarkan perwakilan tidak didasarkan atas dalil yang palsu (Miriam Budiardjo, (ed), 1982: 95).
Sementara itu, para pendukung teori elit menganggap bahwa masyarakat tidak pernah setara, tetapi selalu terdiri dari kelas penguasa dan kelas yang dikuasai, yang tunduk pada kehendak penguasa. Kelas penguasa berjumlah sedikit, sementara kelas yang dikuasai berjumlah banyak. Ini artinya rakyat banyak tunduk pada kehendak segelintir orang yang merupakan elit penguasa (governing elite), bukan sebaliknya, sebagaimana yang dipercaya oleh para pendukung demokrasi, bahwa rakyat banyak yang berkuasa (yang berdaulat) yang mewakilkan kekuasaannya pada para waktil rakyat. Kalau memang demikian keadaannya, maka pertanyaannya kemudian adalah, apakah demokrasi masih mempunyai makna sebagai sebuah konsep sistem pemerintahan rakyat?
Sehubungan dengan keberatan atas system perwakilan yang dipandang sebagai mewakili kehendak rakyat, beberapa penulis mengatakan bahwa istilah demokrasi harus digunakan hanya untuk mengacu pada salah satu jenis demokrasi, yang dinamakan demokrasi langsung. Para penulis ini biasanya memandang bahwa sistem perwakilan tidak lagi bisa disebut sebagai demokrasi. Karena itu, dalam rangka sistem perwakilan, mereka ingin menggantikan istilah demokratis dengan istilah republik, yang mereka rasakan lebih tepat mengacu pada sebuah sistem pemerintahan oleh para wakil rakyat dibanding istilah demokrasi (Sargent, Lyman Tower, 1987: 29). Namun demikian, penggantian istilah demokrasi dengan republik tetap tidak menjawab pertanyaan diatas, karena istilah republikpun masih merupakan istilah yang berhubungan dengan publik dan wakil rakyat. Karena itu, para penulis lain, yang merupakan pendukung demokrasi modern yang biasanya merupakan demokrasi perwakilan, dalam rangka menjawab pertanyaan tersebut, sepakat bahwa demokrasi bukan lagi berarti pemerintahan oleh rakyat, bahkan tidak lagi menghubungkan demokrasi dengan pemerintahan rakyat, atau partisipasi rakyat didalam pemerintahan, tetapi lebih sebagai pemerintahan untuk rakyat.
Salah seorang penulis yang berpandangan demikian adalah Max Weber, yang menyatakan bahwa demokrasi harus dipandang hanya sebagai sarana yang berfungsi untuk memilih para pemimpin politik, dan bukan sebagai rejim dimana terdapat semacam pemerintahan langsung oleh rakyat. Sementara itu, demokrasi langsung hanya dapat diterapkan didalam masyarakat yang kecil dan relatif sederhana, sedangkan di luar ini, yaitu didalam masyarakat yang telah menjadi besar, kompleks dan lebih beragam khususnya di masyarakat modern – pemerintahan langsung oleh rakyat berada diluar jangkauan. Ia digantikan oleh demokrasi perwakilan, dan ini berarti – menurut Weber – bahwa rakyat berhenti mempunyai pengawasan nyata atas keputusan-keputusan politik yang (realitasnya) menjadi prerogatif atau hak istimewa administrasi birokratis, disatu pihak, dan para pemimpin partai politik, dipihak yang lain. Weber memberi alasan-alasan bagi posisi kekuasaan elite birokrasi dan politik ini pada pemilikan mereka atas sarana pemerintahan dan fakta bahwa mereka adalah kelompok kecil yang dengan mudah mencapai kesepakatan atas setiap tindakan yang perlu dilakukan untuk mengekalkan kekuasaan mereka. Didalam kasus lain, Weber tidak demikian tertarik terhadap alpanya pengawasan rakyat atas elit-elit politik. Bagi dia nilai demokrasi perwakilan terletak pada fakta bahwa demokrasi memungkinkan pemilihan pemimpin-pemimpin politik secara efektif, serta memberikan suatu latihan bagi masyarakat. Dibawah kondisi yang berlangsung dalam masyarakat industri, dengan adanya partai-partai massa, satu-satunya tipe demokrasi yang dapat hidup hanyalah “presbiterian leaders democracy”, dimana para pemimpin kharismatik merumuskan tujuan-tujuan yang kemudian ditawarkan kepada rakyat melalui mesin partai, dan kemudian diterapkan dengan bantuan birokrasi pemerintahan (Bottomore, Tom, 1983: 8 – 9).
Pandangan yang relatif sama juga diungkapkan oleh Joseph Schumpeter (1883 – 1950), salah seorang yang paling dihubungkan dengan demokrasi elitisme. Schumpeter (Hagopian, Mark N., 1985: 28), telah menemukan bahwa kegagalan utama dari teori demokrasi klasik adalah didalam pemahamannya yang tidak memadai atas kenyataan yang penting mengenai kepemimpinan. Bagi Schumpeter konsepsi demokrasi yang realistis akan didefinisikan sebagai “rancang bangun kelembagaan untuk sampai pada keputusan politik dimana individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan dengan alat perjuangan persaingan untuk memperoleh suara rakyat.” Faham yang demikian telah memperbaiki beberapa nilai dan dugaan teori demokrasi klasik dengan lebih memilih untuk memberikan perhatian yang lebih sempit mengenai bagaimana caranya untuk memilih pemerintah.
Demokrasi tidak lagi dilihat sebagai suatu sistem kedaulatan rakyat, dimana mayoritas mengenali kepentingan bersama – apakah sesuai dengan garis Rousseau atau Bentham. Hal ini lebih mengambil segi sejenis tempat pasar dimana elite yang saling bersaing menunjukkan barang-barang mereka kepada publik sebagai konsumen. Rakyat memilih diantara elit-elit yang bersaing tepat seperti mereka memilih nama merek dan produk yang berbeda dalam perdagangan, tetapi produk yang sesungguhnya (yaitu kebijakan publik) dibuat oleh elit (elite sebagai produsen, dan rakyat sebagai konsumennya). Schumpeter secara terbuka mengakui bahwa dalam hubungan dengan pembuatan keputusan, semua maksud dan tujuan demokrasi adalah untuk “kekuasaan politisi.”
Dengan kata lain, menurut Joseph Schumpeter, peran “rakyat” dalam suatu masyarakat demokratis adalah tidak untuk memerintah, atau bahkan untuk menjalankan keputusan-keputusan umum atas kebanyakan masalah politik. Peranan pemilihan umum adalah “untuk menghasilkan suatu pemerintah atau suatu badan penengah lainnya yang pada gilirannya menghasilkan suatu eksekutif nasional atau pemerintah”. Peran para pemilih adalah bukan untuk memutuskan masalah-masalah politik dan memilih wakil-wakil yang akan melaksanakan keputusan-keputusan tersebut; peran mereka lebih pada untuk memilih orang-orang yang akan membuat keputusan (bagi mereka) (dikutip dari: S.P. Varma, Teori Politik Modern, 213).
Senada dengan Schumpeter, khususnya dalam hubungan dengan memilih orang-orang yang akan membuat keputusan bagi para pemilih, Anthony Downs menulis, bahwa partai-partai politik didalam kehidupan politik demokrasi adalah sama dengan wiraswastawan dalam suatu ekonomi yang memburu laba. Seperti halnya mengusahakan laba, mereka merumuskan politik apapun yang mereka yakini akan meraih suara terbanyak, persis seperti para pedagang yang berusaha menghasilkan produk-produk yang diyakininya akan memberikan keuntungan tertingi dengan alasan yang sama. Karena kelompok-kelompok orang yang berbeda mencari jalan yang berlainan untuk mendapatkan dukungan dari massa, maka partai-partai politik yang bereda pun dibentuk dan masuk kedalam kompetisi satu sama lain. Hal inilah yang membawa pluralitas (kemajemukan) dalam tubuh elit dan sejenis sitem check and balances dalam masyarakat demokratis, yang dalam hal ini, sering digambarkan sebagai masyarakat majemuk. Berbagi jenis perhimpunan, profesional ataupun politik, dibentuk dan pemerintah pun kemudian melakukan bisnis kompromi. Pluralitas elit, yang melibatkan kegaduhan publik antara para pemilik alat-alat produksi, para pemimpin serikat buruh, semuanya telah mendorong pembentukan asosiasi masing-masing, yang masing-masingnya berusaha untuk mempertahankan kepentingan anggotanya.
Bagi demokrasi elitisme “kekuasaan politisi” merubah salah satu sikap terhadap kebutuhan demokrasi untuk partisipasi publik yang maksimum dalam politik. Sesungguhnya, perubahan ini dapat berlangsung hingga sedemikian jauh, hingga “apatisme” politik  bahkan dapat memainkan peran positif didalam politik. Beberapa penganut demokrasi elitisme melihat apatisme sebagai hal penting sepanjang apatisme dapat bertindak sebagai sejenis pengimbang yang mencegah perubahan jauh kearah kiri atau jauh kearah kanan yang cepat dan dapat menimbulkan ketidak stabilan. Mereka menuduh bahwa teori demokrasi klasik salah mengenai hal ini karena mereka membuat tuntutan yang tinggi yang tidak realistis mengenai tingkat pengetahuan dan kepentingan politik dari rata-rata warganegara.
Tak adanya realisme yang sama ini didalam teori demokrasi klasik mengakibatkan mereka menolak prasyarat fungsional dari masyarakat bernegara yang demokratis secara keseluruhan. Bagi para penganut faham demokrasi elitisme (pluralisme), demokrasi (dalam arti pemerintahan untuk rakyat) menuntut adanya beberapa persyaratan pluralisme dalam masyarakat yang bersangkutan. Persyaratan tersebut antara lain, yang pertama, didalam masyarakat yang bersangkutan harus ada konsensus atas prosedur (kenegaraan tertentu). Konsensus atas prosedur akan tumbuh jika masyarakat menerima “budaya” demokrasi konstitusional, sehingga setiap orang akan melakukan kegiatannya berdasarkan hukum, dan hukum yang ada harus dipandang adil (sebelum dirubah). Perubahan atas hukum yang dipandang tidak adil, juga harus melalui prosedur yang telah disepakati sebelumnya, betapapun kurang fair-nya hukum yang mengatur prosedur tersebut. Budaya demokrasi konstitusional juga menghendaki agar setiap orang bersedia menerima kekalahan baik dalam rangka perdebatan dan proses pembuatan keputusan maupun pemilihan, selama proses pembuatan keputusan dan pemilihan tersebut sudah dilksanakan sesuai dengan ketentuan atau hukum yang ada.
Menilik kasus pelaksanaan demokrasi Indonesia selama ini, khususnya pelaksanaan demokrasi pasca reformasi, budaya menerima kekalahan inilah yang tidak dimiliki oleh elite politik Indonesia, sehingga mereka yang kalah didalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah, sering mengerahkan massa untuk membatalkan hasil pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah yang bersangkutan. Padahal ketika dia mengikuti proses pemilihan, dia sudah menerima dan menyepakati prosedur yang berlaku. Tetapi ketika dia mengalami kekalahan, dia mengatakan bahwa prosedur yang ada tidak fair.
Bahkan Robert Dahl menengarai, bahwa di Amerika Serikat, selain adanya konsensus atas prosedur, juga terdapat banyak konsensus mengenai substansi. Menurut Dahl, di Amerika Serikat terdapat kesesuaian sikap yang masif atas banyak isue-isue penting yang biasanya dinegara lain sering menimbulkan perpecahan. Sebagai akibat adanya konsensus atas banyak isue penting tersebut, cara hidup masyarakat tidak merasa terancam oleh kebijakan yang dari lawan-lawan politik mereka (Gamson, William A; 1975: 7).
Yang kedua, adanya solidaritas yang saling bersilangan. Setiap individu mempunyai indentifikasi dan afiliasi yang kuat dengan kelompok-kelompok solidaritas pada tingkatan yang berbeda dibawah masyarakat sebagai keseluruhan, yang meliputi primary group, komunitas, organisasi formal, kelompok keagamaan, kelompok etnis, kelas-kelas sosial, dan sebagainya. Akibatnya, berbagai solidaritas ini saling tumpang tindih dan saling bersilang satu sama lain dalam suatu jaringan yang kompleks yang menciptakan keanggotaan dibanyak organisasi (solidaritas) yang menghubungkan individu-individu dari satu kelompok solidaritas pada kelompok solidaritas yang lain. Akibatnya, satu kelompok tidak mungkin membuat keputusan yang akan menindas sama sekali kepentingan kelompok solidaritas yang lain, karena sebagian anggota kelompok solidaritas yang bersangkutan juga menjadi bagian dari kelompok solidaritas lain yang akan ditindas kepentingannya tersebut.
Yang ketiga, terbukanya akses pada arena politik bagi setiap kelompok. Didalam masyarakat demokrasi pluralis harus tidak boleh ada rintangan bagi setiap keompok untuk didengarkan suaranya. Kelompok-kelompok yang merasa tidak puas didorong untuk menterjemahkan tketidak puasan merea kedalam tuntutan-tuntutan politik, untuk membangun koalisi dengan banyak partner diantara kelompok-kelompok yang dipandangnya cukup kuat dan bersedia menuarakan ketidak puasannya, dan untuk menciptakan reformasi politik untuk memperbaiki kekuarangannya yang mengakibatkan kondisi ketidak puasan tersebut. Dahl berpendapat, bahwa sistempolitik Amerika Serikat menyediakan bagi minoritas kesempatan untuk mem-veto putusan-putusan dimana mereka merasa sangat keberatan, maka dalam jangka panjang kesepakatan antara semua pihak akan dapat dicapai. Lembaga-lembaga politik menawarkan banyak jalur untuk mengajukan tuntutan. Berbagai lembaga menyediakan minoritas yang terorganisasi saluran-saluran untuk perjuangan mereka, bahkan mungkin untuk mengalahkan lawan-lawan mereka, pendek kata untuk mengalahkan koalisis yang menentang mereka.
Yang keempat, adanya keseimbangan kekuatan atau paling tidak adanya kekuatan pengimbang yang ikut beroperasi didalam sistem politik yang ada. Dalam masyarakat demokrasi pluralis harus terdapat banyak kelompok, sehingga tidak ada satu kelompokpun yang dapat mempunyai posisi yang dominan. Koalisi bersifat cair dan tidak permanen, yang dibentuk lebih kurang berdasarkan kesamaan pandangan pada masing-masing issue (bukan berdasarkan kesamaan ideologi). Atau paling tidak pada setiap kelompok isue. Akibatnya, kelompok-kelompok saling terpecah-pecah dalam isue-isue yang berbeda, sehingga banyak kelompok yang tidak menjadi koalisi pada isue yang sedang berkembang saat ini berpotensi sebagai partner koalisi pada isue lain dikemudian hari. Menurut Dahl, krena satu pusat kekuasaan saling berhadapan dengan pusat-pusat kekuasaan yang lain, maka kekuasaan tersebut akan dijinakkan, diperadabkan, dikontrol, dan dibatasi hingga pada maksud manusia yang sewajarnya, sementara itu paksaan, yang merupakan bentuk paling buruk dari kekuasaan, akan di kurangi hingga tingkat minimum.
Disamping itu, beberapa penulis demokrasi pluralisme ada yang menambahkan persyaratan, yaitu adanya pembatasan atas “intensitas konflik”, tingkat perubahan harus ditekan, dan stabilitas dalam struktur sosial dan ekonomi harus di jaga. Jika berbagai persyaratan tersebut tidak dipenuhi, demokrasi akan mengalami kegagalan karena masyarakat akan memilih jalan kekerasan. Karena itu, ada penulis pluralis yang memandang bahwa apatisme rakyat dalam tingkat tertentu dapat membantu untuk melemahkan konflik, membatasi perubahan, menstabilkan kebijakan dan mencerminkan konsensus. Rakyat tidak begitu mudah diagitasi mengenai politik tanpa adanya hal-hal yang menurut mereka berlangsung sangat buruk yang menimpa mereka.
Menurut Karl Manheim, walaupun keputusan-keputusan politik dibuat oleh elit, tepi tidak berarti masyarakat yang bersangkutan tidak demokratis. Selama masih cukup bagi demokrasi bahwa warga negara secara individual, meskipun dicegah untuk menjalankan peran pemerintah secara langsung selamanya, paling tidak mempunyai keinginan untuk menjadikan aspirasi merek dapat terasakan pada inerval tertentu ...... dalam suatu negara demokrasi, yang diperintah dapat selalu bertindak untuk mengganti para pemimpin mereka atau untuk memaksakannya mengambil keputusan-keputusan atas dasar kepentingan masyarakat banyak.
Sejalan dengan itu, Peter L. Berger memberi pengertian demokrasi dengan pengertian yang jauh lebih longgar dari hubungannya dengan partisipasi rakyat: Mengenai demokrasi, cukuplah jika dikatakan bahwa ia mencakup paling tidak sifat-sifat antara lain adanya lembaga-lembaga untuk mengadakan oposisi politik serta untuk mengubah pemerintahan melalui pemilihan umum, dan adanya sejumlah hak serta kebebasan yang setiap saat terlindungi terhadap kesewenang-wenangan pemerintah yang sedang berkuasa” (Budiardjo, Miriam, (penyunting), 1984: 52).
Mereka yang mengkritik teori elit (dan teori pluralisme) menyatakan bahwa pendekatan mereka pada analisis kekuasaan politik memiliki cacat metodologi. Mereka berpendapat bahwa pendekatan pluralis pada pembuatan keputusan mengabaikan kemungkinan bahwa para elit politik mungkin akan membatasi perdebatan mereka pada isu-isue yang aman dan mencegah isue-isue penting (mengandaikan bahwa hal itu bisa diidentifikasi) dari menjadi dasar untuk perdebatan politik. Menurut mereka, elit dapat dengan mudah mengeluarkan dari proses poliik isue-isue yang mungkin mengakibakan tantangan nyata pada tatanilai dan dasar dari kekuasaan mereka. Disamping itu, kaum pluralis dituduh telah mengabaikan kelas-kelas sosial sebagai dasar untuk kekuasaan elit (Alan R Ball, 1985: 29 – 30).
Kalau kita lihat dari konsep demokrasi yang dikembangkan oleh kaum pluralis tersebut,  sesungguhnya konsep demokrasi yang mereka kembangkan telah sama sekali lepas dari masalah keterhubungan antara rakyat dengan kekuasaan. Dalam hal ini, rakyat bukan saja tidak memegang kekuasaan atau mengendalikan kekuasaan atau mengendalikan para pemegang kekuasaan, bahkan rakyat tidak lagi mengawasi penyelenggaraan negara yang dilakukan oleh para elit pemegang kekuasaan. Dalam hubungan dengan kekuasaan, hal ini sama artinya dengan bahwa peran rakyat sama sekali tidak ada selain memilih diantara elit-elit politik yang ada, siapa yang oleh rakyat saat ini dipandang layak untuk memegang kekuasaan.
Namun demikian tidak semua orang berfikir pesimistis sama sekali dengan peran rakyat didalam mempengaruhi jalannya pemerintahan. Bagi mereka, masih ada cara untuk mempengaruhi jalannya pemerintahan, walaupun bukan merupakan peran ideal yang dekat dengan arti “pemerintahan rakyat”, dan dilakukan secara tidak langsung. Salah satu peran yang bisa dilakukan oleh rakyat didalam usaha mereka untuk (secara relatif) melibatkan diri dalam pemerintahan negaranya adalah melalui kegiatan memilih wakil (wakil rakyat).
Salah satu hak rakyat yang paling mendasar dari sistem demokrasi perwakilan adalah memilih orang-orang yang akan menduduki jabatan publik tertentu, yang dipandang sebagai wakil rakyat, atau kadang-kadang dipandang sebagai wakil dari mereka yang telah memilih (konstituent). Karena itu, disamping adanya kebebasan dan persamaan hak untuk memilih, demokrasi juga menghendaki agar setiap warganegaranya yang memang dikehendaki oleh rakyat (artinya didukung oleh rakyat) mempunyai hak yang sama untuk menduduki jabatan publik. Namun demikian, pernyataan tersebut adalah pernyataan kondisi ideal, yang hanya pernah dipraktekkan dalam masyarakat Athena kuno, yang menerapkan sistem demokrasi langsung. Dalam sistem ketatanegaraan negara kota Athena kuno, setiap warganegara bebas, laki-laki yang telah berusia 20 tahun (atau 30 tahun untuk jabatan tertentu) berhak untuk mengikuti undian untuk menduduki jabatan-jabatan publik. Dalam negara dengan sistem demokrasi langsung tersebut, bahkan ditentukan pengangkatan pejabat-pejabat publik dilakukan melalui undian untuk menghindari kemungkinan tersisihnya orang-orang tertentu dari kesempatan untuk dipilih menduduki jabatan-jabatan publik. Dengan kata lain, dalam sistem demokrasi langsung sebagaimana yang diterapkan oleh negara kota Athena tersebut, setiap orang tanpa kecuali, dapat menduduki jabatan publik. Menurut mereka, sistem undian merupakan sistem yang paling adil, karena hasil undian berada diluar kehendak manusia, sehingga siapapun memiliki kesempatan yang sama untuk menduduki jabatan-jabatan publik.
Sementara itu, masyarakat modern yang memandang urusan kenegaraan sebagai urusan yang sulit, yang harus diurus oleh orang yang profesional, sistem undian yang memberi kesempatan yang betul-betul sama kepada setiap orang untuk menduduki jabatan-jabatan publik malah dipandang tidak tepat. Masyarakat modern, yang menghendaki para pemegang jabatan publik adalah seorang profesional yang mempunyai “dedikasi” untuk mengabdi pada bangsa dan negara, mengembangkan sistem pemilihan dalam mendudukkan warganya pada jabatan-jabatan publik. Bagi masyarakat modern sistem pemilihan dipandang lebih baik dari pada sistem undian sebagaimana yang dipraktekkan di negara kota Athena dimasa Yunani kuno. Paling tidak ada dua keuntungan dari sistem pemilihan dibanding dengan sistem undian, yaitu, yang pertama, melalui sistem pemilihan, rakyat dapat memilih wakil-wakil mereka dari antara orang-orang yang terbaik, yang profesional, yang memiliki kemampuan untuk menduduki jabatan yang dimaksudkan. Paling tidak, rakyat pemilih dapat memilih orang-orang yang sesuai dengan pandangannya atau yang dipandang dapat mewakili atau membela kepentingan mereka. Berbeda dengan sistem undian, yang tidak dapat menentukan orang-orang pilihan, karena sepenuhnya tergantung pada nasib, atau untung-untungan. Yang kedua, dengan melalui sistem pemilihan (dan kemungkinan untuk dapat dipilih kembali) mendorong orang-orang yang ingin terpilih harus berusaha untuk mengasah dan menunjukkan kemampuannya kepada para pemilih, dan bagi yang telah memegang kekuasaan, untuk melakukan yang terbaik bagi rakyat agar dalam pemilihan dimasa depan dapat terpilih kembali (walaupun hal ini lebih bersifat teoritik, karena banyak faktor yang mempengatuhi pilihan orang).
Namun demikian, ada yang memandang bahwa sistem pemilihan dapat mengakibatkan demokrasi bersifat elitisme, karena mereka yang dapat dipilih, yang mampu untuk mencalonkan diri didalam pemilihan hanyalah orang-orang dari kelas elite masyarakat. Apalagi, untuk mengusahakan agar seseorang dapat dipilih seringkali diperlukan kegiatan kampanye, yang didalam masyarakat modern kampanye demikian selalu membutuhkan dana yang cukup besar. Karena itu, hanya mereka yang mampu membiayai kampanye yang ternyata tidak murah tersebut sajalah yang akan mampu mencalonkan diri didalam pemilihan. Adanya partai, seringkali tidak dapat mengurangi sifat elitisme demokrasi, karena selain untuk dapat dicalonkan oleh partai seseorang seringkali diminta kesediaannya untuk mengeluarkan dana kampanyenya sendiri, walaupun selalu ada para penyumbang, khususnya mereka yang berkepentingan untuk menitipkan kepentingannya pada pihak yang disumbang, juga watak kepemimpinan partai itu sendiri selalu bersifat oligarkis.
Disamping itu, dengan semakin canggihnya kemampuan dan penguasaan tehnik komunikasi para elit politik, layak untuk diragukan apakah sesungguhnya rakyat masih memiliki kemampuan untuk memilih wakil-wakil mereka secara tepat, dalam arti merupakan orang-orang yang sesuai yang diharapkan oleh para pemilih. Gwendolen M. Carter, seorang penulis pendukung demokrasi modern merupakan salah seorang yang meragukan hal itu:
.............. Tambahan lagi dengan adanya tuduhan, bahwa informasi yang menjadi pegangan bagi warganegara, baik untuk menilai kebijaksanaan umum maupun untuk memilih wakil-wakil rakyat, dengan mudah dapat dirombak untuk kepentingan mereka yang menguasai media komunikasi seperti pers, radio dan TV” (Budiardjo, Miriam (ed), 1982: 95).
Karena kemampuan elit yang hampir sama untuk menggunakan media massa demi kepentingan mereka sendiri, sebagaimana yang telah diungkapkan diatas, dimana melalui pencitraan yang baik, rubah akan nampak sebagai anjing pudel yang lucu dan jinak, singa akan nampak sebagai kucing yang manja, maka akibatnya, seringkali sesungguhnya rakyat mengalami kebingungan ketika hendak memilih diantara elit yang layak untuk menjadi pemimpin negara atau pemegang jabatan pemerintahan negara. Pada saat pemilihan umum, semua elit politik akan tampak oleh rakyat seperti anjing pudel yang lucu atau kucing yang manja, walaupun sesungguhnya mereka adalah rubah dan singa. Karena itu, ketika melakukan pilihan, sesungguhnya mereka seperti orang melempar undi, untuk menentukan siapa yang beruntung mendapatkan kekuasaan.
Peran rakyat yang lain, menurut pandangan mereka yang optimis akan peran rakyat didalam demokrasi perwakilan, adalah mengupayakan untuk membentuk pendapat umum (public opinion). Usaha untuk menentukan atau mempengaruhi terbentuknya pendapat umum (public opinion) merupakan salah satu bentuk usaha yang dapat dilakukan oleh rakyat didalam upaya mereka untuk (secara relatif) melibatkan diri dalam pemerintahan negaranya, khususnya dalam sistem demokrasi perwakilan. Bahkan banyak pakar kenegaraan yang memandang bahwa pendapat umum merupakan faktor penting didalam menentukan arah penyelenggaraan pemerintahan dan pembuatan keputusan publik. Dasar alasan mereka adalah bahwa karena pejabat dalam sistem demokrasi perwakilan dipilih secara berkala, maka jika mereka menginginkan untuk tetap duduk pada jabatannya, mereka harus memperhatikan pendapat umum. Bisa dipastikan, pejabat yang kebijakan-kebijakannya tidak sesuai dengan pendapat masyarakat pemilih, pada pemilihan berikutnya akan besar kemungkinan tidak akan terpilih kembali. Berdasarkan pemikiran ini, maka pembentukan pendapat umum dipandang sebagai salah satu cara bagi rakyat untuk mempengaruhi pemerintahan dan mengendalikan wakilnya (orang-orang yang telah mereka pilih) dari jarak jauh. Karena itu, pendapat umum menjadi bagian kehidupan politik yang penting.
Didalam literatur ilmu politik, istilah pendapat umum merupakan istilah yang paling menyesatkan, karena yang dimaksud dengan istilah pendapat umum (dalam literatur ilmu politik) seringkali bukanlah pendapat yang dianut oleh mayoritas masyarakat luas, atau oleh umum, tetapi lebih merupakan pendapat yang dilontarkan kepada umum. Hal ini disebabkan karena sangat sulitnya (dan hampir-hampir tidak ada gunanya) untuk mengukur seberapa luas suatu pendapat dianut oleh masyarakat, atau paling tidak untuk mengukur apakah pendapat tersebut dianut oleh mayoritas anggota masyarakat atau sebetulnya hanya oleh minoritas, tetapi dilontarkan secara masif dan oleh orang-orang yang mempunyai pengaruh (opinion leader). Karena itu, apa yang dimaksud dengan pendapat umum seringkali adalah pendapat yang banyak dilontarkan di surat-surat kabar, majalah, dan media massa yang lain, terlepas apakah mayoritas rakyat sependapat dengan pendapat tersebut atau tidak.
Menurut Cummings and Wise, orang seorang dapat ikut ambil bagian didalam pembentukan pendapat umum melalui usaha menulis pandangannya pada surat kabar, mengeluarkan pers release, melakukan public hearing (dengar pendapat) dengan pejabat, khususnya pejabat yang dipilih, mengajukan surat, baik protes maupun dukungan, ikut menandatangani petisi, mengisi polling (jajak pendapat) politik, dan sebagainya. Melalui kegiatan tersebut, pendapat rakyat akan muncul keluar dan dapat difahami oleh pembuat keputusan untuk menjadi bahan pertimbangan. Pendapat yang tidak pernah dimunculkan dengan berbagai cara, tidak mungkin akan diketahui oleh pejabat publik.
Namun demikian, bersamaan dengan itu, juga banyak para pemikir kenegaraan yang meragukan kemampuan rakyat, bukan saja untuk terlibat didalam pemerintahan secara langsung atau melakukan pengawasan atas bekerjanya pemerintah, dan melakukan penilaian atas apa yang telah dilakukan oleh wakil yang telah mereka pilih, tetapi bahkan meragukan kemampuan rakyat hanya untuk membentuk pendapat umum sekalipun (yang betul-betul pendapat rakyat). Dengan kata lain, patut dipertanyakan, apakah rakyat masih memiliki kemampuan untuk membentuk pendapat umum yang akan mempengaruhi pandangan pemegang kekuasaan negara, atau malah sebaliknya, pendapat mereka ditentukan oleh elit politik yang memegang kekuasaan dan media informasi massa yang malah dapat membentuk pendapat umum?
Bagi masyarakat modern, terutama dengan semakin canggihnya media rekam informasi, perombakan informasi oleh media massa maupun politisi bukan hanya merupakan tuduhan, tetapi merupakan kenyataan. Bahkan, sudah menjadi kebiasaan yang hampir-hampir terjadi dimanapun, para politisi mapir-hampir tidak pernah berbicara secara terbuka, terus terang. Kata-kata yang digunakan selalu bersifat “diplomatis,” yang sesungguhnya berarti penyesatan. Para pakar komunikasi mengenal istilah “doublespeak”, yang oleh Charles U Larson diartikan sebagai: “bahasa kebalikan: yang digunakan untuk tidak mengkomunikasikan; yang digunakan untuk menyembunyikan kebenaran dan membingungkan. Asal kata tersebut dihubungkan dengan istilah yang diciptakan oleh George Orwell untuk gambarannya yang mengerikan mengenai dunia yang diramalkannya dalam novelnya yang terkenal yang berjudul 1984. Ada “newspeak” yang digunakan untuk membingungkan dan menyesatkan warganegara hingga “perang” berarti “damai” dan “kebebasan” berarti “perbudakan” (Larson, Charles U., 1986: 5 – 6).
Bahkan, dengan semakin canggihnya media informasi dan kemampuan pelaku (bisnis) informasi, memungkinkan mereka melakukan pengecohan rakyat melalui pencitraan atas seorang calon dalam pemilihan umum. Melalui pencitraan yang baik, rubah akan nampak sebagai anjing pudel yang lucu dan jinak, singa aka nampak sebagai kucing yang manja. Dengan kecanggihan demikian, bahkan untuk memilih saja rakyat sudah mengalami kesulitan, apa lagi untuk membentuk pendapat umum yang bertentangan dengan keinginan dan kepentingan para elit. Bisa dipastikan, sekali lagi, bukannya rakyat yang membentuk pendapat umum, tetapi sesungguhnya pendapat rakyat yang dibentuk oleh elit melalui media massa.
Karena itu, Gwendolen M. Carter, seorang penulis pendukung demokrasi modern meragukan apakah dalam jaman modern ini masih mungkin bagi rakyat untuk melakukan pengawasan atas wakil-wakil yang telah mereka pilih:
.............. kesemrawutan dan luasnya ruang lingkup dari operasi-operasi pemerintah dewasa ini membuat kita agak ragu-ragu, sejauh mana terbukalah kesempatan bagi masyarakat untuk mengawasi kegiatan-kegiatan pemerintah. Kalau ditambah dengan kenyataan, bahwa lembaga-lembaga pemerintah dewasa ini dapat mengadakan campur tangan apa saja dalam kehidupan pribadi seseorang – seperti umpamanya penyadapan elektronis dalam rumah atau tempat kerja – kita mungkin sampai pada kesimpulan bahwa pemerintah semacam ini hampir menyerupai khayalan Orwell dengan Big Brother-nya dalam karya “Seribu sembilan ratus delapan puluh empat”. (Budiardjo, Miriam (ed), 1982: 80).
.............. Tambahan lagi dengan adanya tuduhan, bahwa informasi yang menjadi pegangan bagi warganegara, baik untuk menilai kebijaksanaan umum maupun untuk memilih wakil-wakil rakyat, dengan mudah dapat dirombak untuk kepentingan mereka yang menguasai media komunikasi seperti pers, radio dan TV” (Budiardjo, Miriam (ed), 1982: 95).
Karena itu, sebagaimana halnya dengan Gwendolen M. Carter, sungguh diragukan, apakah sistem demokrasi perwakilan sebagaimana yang diidealkan masih dapat berlangsung didalam negara modern, sekalipun hanya diartikan sebagai pemerintahan untuk rakyat.
Peran rakyat yang lain, menurut pandangan mereka yang optimis akan peran rakyat didalam demokrasi perwakilan, adalah mengupayakan untuk membentuk pendapat umum (public opinion). Usaha untuk menentukan atau mempengaruhi terbentuknya pendapat umum (public opinion) merupakan salah satu bentuk usaha yang dapat dilakukan oleh rakyat didalam upaya mereka untuk (secara relatif) melibatkan diri dalam pemerintahan negaranya, khususnya dalam sistem demokrasi perwakilan. Bahkan banyak pakar kenegaraan yang memandang bahwa pendapat umum merupakan faktor penting didalam menentukan arah penyelenggaraan pemerintahan dan pembuatan keputusan publik. Dasar alasan mereka adalah bahwa karena pejabat dalam sistem demokrasi perwakilan dipilih secara berkala, maka jika mereka menginginkan untuk tetap duduk pada jabatannya, mereka harus memperhatikan pendapat umum. Bisa dipastikan, pejabat yang kebijakan-kebijakannya tidak sesuai dengan pendapat masyarakat pemilih, pada pemilihan berikutnya akan besar kemungkinan tidak akan terpilih kembali. Berdasarkan pemikiran ini, maka pembentukan pendapat umum dipandang sebagai salah satu cara bagi rakyat untuk mempengaruhi pemerintahan dan mengendalikan wakilnya (orang-orang yang telah mereka pilih) dari jarak jauh. Karena itu, pendapat umum menjadi bagian kehidupan politik yang penting.
Didalam literatur ilmu politik, istilah pendapat umum merupakan istilah yang paling menyesatkan, karena yang dimaksud dengan istilah pendapat umum (dalam literatur ilmu politik) seringkali bukanlah pendapat yang dianut oleh mayoritas masyarakat luas, atau oleh umum, tetapi lebih merupakan pendapat yang dilontarkan kepada umum. Hal ini disebabkan karena sangat sulitnya (dan hampir-hampir tidak ada gunanya) untuk mengukur seberapa luas suatu pendapat dianut oleh masyarakat, atau paling tidak untuk mengukur apakah pendapat tersebut dianut oleh mayoritas anggota masyarakat atau sebetulnya hanya oleh minoritas, tetapi dilontarkan secara masif dan oleh orang-orang yang mempunyai pengaruh (opinion leader). Karena itu, apa yang dimaksud dengan pendapat umum seringkali adalah pendapat yang banyak dilontarkan di surat-surat kabar, majalah, dan media massa yang lain, terlepas apakah mayoritas rakyat sependapat dengan pendapat tersebut atau tidak.
Menurut Cummings and Wise, orang seorang dapat ikut ambil bagian didalam pembentukan pendapat umum melalui usaha menulis pandangannya pada surat kabar, mengeluarkan pers release, melakukan public hearing (dengar pendapat) dengan pejabat, khususnya pejabat yang dipilih, mengajukan surat, baik protes maupun dukungan, ikut menandatangani petisi, mengisi polling (jajak pendapat) politik, dan sebagainya. Melalui kegiatan tersebut, pendapat rakyat akan muncul keluar dan dapat difahami oleh pembuat keputusan untuk menjadi bahan pertimbangan. Pendapat yang tidak pernah dimunculkan dengan berbagai cara, tidak mungkin akan diketahui oleh pejabat publik.
Namun demikian, bersamaan dengan itu, juga banyak para pemikir kenegaraan yang meragukan kemampuan rakyat, bukan saja untuk terlibat didalam pemerintahan secara langsung atau melakukan pengawasan atas bekerjanya pemerintah, dan melakukan penilaian atas apa yang telah dilakukan oleh wakil yang telah mereka pilih, tetapi bahkan meragukan kemampuan rakyat hanya untuk membentuk pendapat umum sekalipun (yang betul-betul pendapat rakyat). Dengan kata lain, patut dipertanyakan, apakah rakyat masih memiliki kemampuan untuk membentuk pendapat umum yang akan mempengaruhi pandangan pemegang kekuasaan negara, atau malah sebaliknya, pendapat mereka ditentukan oleh elit politik yang memegang kekuasaan dan media informasi massa yang malah dapat membentuk pendapat umum?
Bagi masyarakat modern, terutama dengan semakin canggihnya media rekam informasi, perombakan informasi oleh media massa maupun politisi bukan hanya merupakan tuduhan, tetapi merupakan kenyataan. Bahkan, sudah menjadi kebiasaan yang hampir-hampir terjadi dimanapun, para politisi mapir-hampir tidak pernah berbicara secara terbuka, terus terang. Kata-kata yang digunakan selalu bersifat “diplomatis,” yang sesungguhnya berarti penyesatan. Para pakar komunikasi mengenal istilah “doublespeak”, yang oleh Charles U Larson diartikan sebagai: “bahasa kebalikan: yang digunakan untuk tidak mengkomunikasikan; yang digunakan untuk menyembunyikan kebenaran dan membingungkan. Asal kata tersebut dihubungkan dengan istilah yang diciptakan oleh George Orwell untuk gambarannya yang mengerikan mengenai dunia yang diramalkannya dalam novelnya yang terkenal yang berjudul 1984. Ada “newspeak” yang digunakan untuk membingungkan dan menyesatkan warganegara hingga “perang” berarti “damai” dan “kebebasan” berarti “perbudakan” (Larson, Charles U., 1986: 5 – 6).
Bahkan, dengan semakin canggihnya media informasi dan kemampuan pelaku (bisnis) informasi, memungkinkan mereka melakukan pengecohan rakyat melalui pencitraan atas seorang calon dalam pemilihan umum. Melalui pencitraan yang baik, rubah akan nampak sebagai anjing pudel yang lucu dan jinak, singa aka nampak sebagai kucing yang manja. Dengan kecanggihan demikian, bahkan untuk memilih saja rakyat sudah mengalami kesulitan, apa lagi untuk membentuk pendapat umum yang bertentangan dengan keinginan dan kepentingan para elit. Bisa dipastikan, sekali lagi, bukannya rakyat yang membentuk pendapat umum, tetapi sesungguhnya pendapat rakyat yang dibentuk oleh elit melalui media massa.
Karena itu, Gwendolen M. Carter, seorang penulis pendukung demokrasi modern meragukan apakah dalam jaman modern ini masih mungkin bagi rakyat untuk melakukan pengawasan atas wakil-wakil yang telah mereka pilih:
.............. kesemrawutan dan luasnya ruang lingkup dari operasi-operasi pemerintah dewasa ini membuat kita agak ragu-ragu, sejauh mana terbukalah kesempatan bagi masyarakat untuk mengawasi kegiatan-kegiatan pemerintah. Kalau ditambah dengan kenyataan, bahwa lembaga-lembaga pemerintah dewasa ini dapat mengadakan campur tangan apa saja dalam kehidupan pribadi seseorang – seperti umpamanya penyadapan elektronis dalam rumah atau tempat kerja – kita mungkin sampai pada kesimpulan bahwa pemerintah semacam ini hampir menyerupai khayalan Orwell dengan Big Brother-nya dalam karya “Seribu sembilan ratus delapan puluh empat”. (Budiardjo, Miriam (ed), 1982: 80).
.............. Tambahan lagi dengan adanya tuduhan, bahwa informasi yang menjadi pegangan bagi warganegara, baik untuk menilai kebijaksanaan umum maupun untuk memilih wakil-wakil rakyat, dengan mudah dapat dirombak untuk kepentingan mereka yang menguasai media komunikasi seperti pers, radio dan TV” (Budiardjo, Miriam (ed), 1982: 95).
Karena itu, Gwendolen M. Carter, sesungguhnya meragukan apakah sistem demokrasi perwakilan sebagaimana yang diidealkan masih dapat berlangsung didalam negara modern, sekalipun hanya diartikan sebagai pemerintahan untuk rakyat. Bahkan secara keras, Carter menulis:
 “Bagaimanapun juga, kadang-kadang dipersoalkan apakah satu orang sanggup mewakili kepentingan dan pikiran orang lain, dan apakah gagasan pemerintah berdasarkan perwakilan tidak didasarkan atas dalil yang palsu (Miriam Budiardjo, (ed), 1982: 95).

Daftar Pustaka
1.     Ball, Alan R., Modern Politics and Government, MacMillan Publishers Ltd., 1985.
2.     Bottomore, Tom, terjemahan Sahat Simamora, Sosiologi Politik, P.T. Bina aksara, 1983.
3.     Budiardjo, Prof. Miriam, editor, Masalah Kenegaraan, Gramedia, 1982.
4.     Budiardjo, Prof. Miriam, penyunting, Simposium Kapitalisme, Sosialisme, Demokrasi, Pt. Gramedia, Jakarta, 1984.
5.     Cummings, Milto C. dan David Wise, Democracy Under Pressure, Harcourt Brace Jovanovich Publishers, 1985
6.     Gamson, William A; The Strategy of Social Protest, The Dorsey Press, Chicago, Illinois 1975.
7.     Hagopian, Mark N., Ideals and Ideologies of Modern Politics, Longman Inc., 1985.
8.     Larson, Charles U., Persuasion: Reception and Responsibility, Wadsworth Publishing Company, 1986
9.     Sargent, Lyman Tower, terjemahan A.R. Henry Sitanggang, Ideologi-Ideologi Politik Kontemporer, Penerbit Erlangga, 1987.
10. Varma, S.P., (terjemahan), Teori-Teori Politik Modern, Rajawali Pers.




0 comments:

Posting Komentar