DEMOKRASI PERWAKILAN: Siapa Mewakili Siapa?

Hadi Wahono

Masyarakat modern sudah tidak mengenal system pemerintahan demokrasi langsung sebagaimana yang pernah berlangsung di Negara kota Athena lebih kurang dua ribu lima ratus tahun yang lalu. Hampir semua system demokrasi dinegara-negara modern dilaksanakan melalui system perwakilan, dimana rakyat tidak lagi langsung ikut ambil bagian didalam pemerintahan, tetapi memilih orang-orang yang dipandang akan mewakili mereka didalam membuat keputusan-keputusan public bagi mereka. Dalam hubungan dengan sistem demokrasi perwakilan ini, pertanyaan yang mengkedepan adalah, apakah kehendak (rakyat) dapat diwakilkan? Kalaupun para wakil rakyat tersebut betul-betul berkeinginan untuk mewakili kehendak para pemilih mereka, yang menjadi pertanyaan, apakah ada cara untuk mengetahui kehendak para pemilih mereka? Kalaupun ada cara untuk mengetahui kehendak para pemilih mereka, apakah kehendak para pemilih mereka dapat dikenali? Kalau dapat dikenali, apakah kehendak para pemilih yang banyak tersebut merupakan satu kesatuan yang bulat dan sama dalam suatu isu tertentu?
Karena dalam demokrasi perwakilan wewenang rakyat dilaksanakan oleh wakil, maka masalah penting lain yang mengkedepan dalam sistem perwakilan ini adalah, seberapa besar wewenang mereka yang disebut sebagai wakil rakyat tersebut untuk membuat keputusan secara bebas? Atau dengan kata lain, bagaimana hubungan antara wakil rakyat dengan rakyat yang mereka wakili? Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, ada baiknya kita coba memahami apa makna istilah “wakil rakyat”.
Dari arti katanya, Lyman Tower Sargent membedakan adanya paling tidak tiga pengertian yang dapat difahami dari istilah mewakili yang dapat kita gunakan untuk membantu kita memahami permasalahan ini. Yang pertama, kita sering mengatakan sesuatu mewakili sesuatu lainnya bila ia merupakan suatu reproduksi atau kopi persis dari aslinya. Yang kedua, kita menggunakan istilah mewakili untuk sesuatu yang melambangkan sesuatu lainnya. Yang ketiga, kita menggunakan istilah mewakili dalam arti seorang pengacara bertindak untuk dan atas nama kliennya (Sargent, Lyman Tower, 1987: 43). Sebagai contoh dari pengertian mewakili yang pertama, yaitu reproduksi atau kopi persis dari yang diwakili, misalnya reproduksi lukisan Affandi dalam bentuk foto yang sama ukuran dengan aslinya. Hasil foto yang biasanya disebut sebagai reproduksi ini, bisa dikatakan mewakili lukisan Affandi yang difoto tersebut (tetapi tidak mewakili seluruh lukisan afandi). Jika lukisan Affandi aslinya hilang, hal yang sering terjadi pada benda-benda seni yang telah menjadi antik, maka untuk memamerkan seluruh karya lukisan yang pernah dihasilkan oleh Affandi, misalnya dalam rangka memperingati meninggalnya sang maestro lukisan tersebut, reproduksi lukisan tersebut dapat digunakan untuk mewakili lukisan Affandi. Atau, jika suatu buku misalnya dicetak 1.000 eksemplar, maka satu buku dapat mewakili keseluruhan buku.
Sebagai contoh pengertian mewakili yang kedua, yaitu sesuatu yang melambangkan sesuatu lainnya, misalnya, kursi, yang pengertiannya adalah tempat duduk yang berkaki empat dan bersandaran, maka satu tempat duduk yang berkaki empat dan bersandaran dapat dinyatakan mewakili apa yang disebut sebagai kursi. Sedang pengertian mewakili yang ketiga, yaitu dalam arti seorang pengacara bertindak untuk dan atas nama kliennya, dapat dijelaskan demikian: Didalam sidang yang tidak bersifat pidana, para pihak didalam perkara dapat tidak menghadiri persidangan sama sekali, selama kehadirannya diwakili oleh seorang pengacara. Pengacara ini, walaupun mewakili kliennya, dan dalam persidangan selalu dianggap bertindak untuk dan atas nama kliennya (walaupun kliennya tidak hadir), tetapi apa yang dikatakan, apa yang dilakukan, biasanya sama sekali tidak didekte oleh kliennya. Dia akan melakukan apa saja yang dipandangnya perlu dan merupakan langkah yang terbaik untuk mewakili kepentingan kliennya, walaupun kliennya tidak menentukan langkah-langkah yang harus diambilnya. Bahkan biasanya memang klien dari seorang pengacara tidak tahu apa yang harus dilakukan, karena justru pengacara inilah yang dianggap lebih tahu dari pada klien yang diwakilinya akan apa yang harus dilakukan untuk kepentingan sang klien. Karena itu seorang klien akan selalu menyerahkan permasalahan yang dihadapinya dan langkah-langkah apa yang akan diambil, termasuk apa yang akan dikatakan dimuka sidang pengadilan (jika perkaranya disidangkan di pengadilan), sepenuhnya diserahkan ketangan sang pengacara.
Kembali pada permasalahan pokok kita diatas, khususnya dalam masalah peran wakil rakyat, ada dua teori yang saling bertentangan, yaitu teori mandat dan teori independen. Menurut teori mandat, wakil rakyat (yang dipilih oleh rakyat) adalah alat yang pasif dari para pemilihnya. Para wakil tersebut semata-mata merupakan agen atau jurubicara bagi mereka yang diwakilinya. Kalau kita hubungkan dengan ketiga pengertian istilah wakil ini, maka menurut teori ini, wakil adalah kopi atau duplikat yang sama persisi dengan mereka yang diwakilinya. Dasar pemikiran teori ini adalah bahwa para wakil ini dianggap sebagai pencerminan dari perwujudan keinginan para pemilihnya. Dalam rangka untuk mewujudkan keinginan para pemilihnya itulah maka mereka mendapatkan mandat atau serangkaian perintah-perintah yang harus diserap dari para pemilihnya. Maka, dalam hal para wakil rakyat tersebut tidak menyuarakan kehendak, keinginan atau pemikiran para pemilihnya, maka mereka dapat ditarik kembali (recall) oleh pemberi suara, sebagai pihak yang mewakilkan suaranya kepada mereka. Karena itu, menurut teori ini, seharusnya ada mekanisme untuk menarik mereka kembali dari jabatannya, yang sayangnya, biasanya kewenangan ini dipegang oleh partai politik dari mana sang wakil itu berasal. Cara recall oleh partai politik ini sebetulnya tidak tepat, karena partai politik tidak dapat dikatakan mencerminkan suara pemilih, karena pemilih seorang wakil rakyat tidak terbatas pada aktifis partai saja, tetapi (bahkan sebagian besar) para pemilihnya adalah orang-orang tak berpartai (massa mengambang).
Para pendukung teori independen menganggap teori mandat sebagaimana diuraikan diatas tidak tepat, karena hanya menganggap para wakil rakyat tidak lebih sebagai pesuruh (kacung) yang terhormat, bukan seorang pemimpin dan negarawan yang mengupayakan berlangsungnya pemerintahan secara baik dan efektif. Disamping itu, mewakili kehendak rakyat banyak hampir-hampir tidak mungkin (sekedar untuk tidak mengatakan sama sekali tidak mungkin), karena pendapat orang banyak tidak mungkin padu, tidak mungkin selalu sama dalam segala hal. Bahkan perbedaan pendapat merupakan ciri kehidupan bersama yang tak terhindarkan. Bahkan kepentingan mereka dalam isue-isue tertentu seringkali saling bertentangan. Kalau pendapat rakyat atau pendapat sebagian rakyat tidak padu, tidak sama, bahkan seringkali saling bertentangan  dalam berbagai isue, maka permasalahannya, pendapat yang mana yang  harus diwakili oleh seorang wakil rakyat?
Berdasarkan pemikiran ini, maka para pendukung teori independen mengemukakan teori sebagaimana yang diungkapkan oleh salah seorang pelopornya, yaitu Edmund Burke (1729 – 1797) seorang politisi dan pemikir kenegaraan dari Inggris, yang didalam sebuah pidatonya yang terkenal menyatakan:
Menyampaikan pendapat adalah hak seriap orang; pendapat para pemilih merupakan pendapat yang berbobot dan terhormat, yang harus didengar oleh para wakilnya, dan seyogyanya dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh. Akan tetapi, semua instruksi yang bersifat otoritatif, yang berupa mandat yang dikeluarkan, yang harus dipatuhi, dipilih dan diperdebatkan secara membabi-buta dan implisit oleh para wakil rakyat, sekalipun bertentangan dengan keyakinan kata putus (judgement) dan hati nuraninya – secara keseluruhan jelas tidak dikenal dalam undang-undang di negeri ini, dan timbul dari kesalahan mendasar dari keseluruhan tatanan dan ajaran Konstitusi kita.
Parlemen bukannya merupakan kongres para dutabesar dari berbagai kepentingan yang berbeda dan berlawanan; yang masing-masing kepentingan tersebut harus dipertahankan, sebagai agen dan pembela, melawan agen dan pembela yang lain; Tetapi Parlemen adalah dewan pertimbangan dari suatu negara nasional, dengan satu kepentingan, yang merupakan kepentingan keseluruhan, dimana tak ada tujuan lokal, prasangka lokal, yang harus membimbingnya, melainkan kebaikan umum yang dihasilkan dari pemikiran akal sehat semua orang. Sesungguhnya anda memilih seorang anggota parlemen (wakil rakyat); tetapi bila anda telah memilihnya ia bukan lagi anggota Bristol, tetapi sudah menjadi anggota Parlemen. Apabila para pemilih lokal membentuk pendapat gegabah yang terbukti bertentangan dengan kemaslahatan umum, anggota tersebut harus berusaha keras untuk tidak mewujudkan kepentingan pribadi itu. (dikutip dari Sargent, Lyman Tower, 1987: 44).
Edmund Burke yakin bahwa suatu usaha untuk mengikat tangan para wakil dengan perintah-perintah yang dimandatkan akan bertentangan dengan fungsi keseluruhan dewan perwakilan, yaitu untuk menemukan kebaikan bersama dengan pertimbangan dan perundingan yang bebas. Karena itu, peran perwakilan adalah untuk secara bebas melaksanakan penyelidikan dalam rangka mengupayakan cara demi untuk kebaikan bersama. Peran demikian mengharuskan mereka untuk tetap bebas dan mempergunakan kebijaksanaan mereka dengan sebaik-baiknya. Dia harus menguji hati nuraninya, bertanya pada kebijaksanaan dan pengalamannya, dan membuat keputusan yang jauh melebihi batas distrik pemilihan. Dia harus mendengarkan keinginan para pemilihnya, memperhatikannya jika dia bisa, tetapi dengan tegas menolaknya jika kepentingan umum memang mengharuskannya. Karena itu, para pemilih seharusnya memilih wakil bukannya berdasarkan ketaatan mereka yang membuta untuk menyuarakan kehendak mereka, tetapi karena mereka memiliki kualitas hati dan pikiran yang diperlukan untuk memenuhi panggilan mereka yang sulit dan rumit (Hagopian, Mark N., 1985: 18).
Dari pengertian yang diberikan oleh Edmund Burke tersebut, tampak bahwa menurut teori independen, peran wakil rakyat adalah seperti peran seorang pengacara dalam hubungan dengan kliennya. Pada kenyataannya, peran wakil rakyat didalam sistem demokrasi perwakilan negara-negara modern memang berlangsung sebagaimana yang digambarkan oleh edmund Burke, yaitu sebagai wakil yang independen, bukan wakil yang memegang mandat untuk menyampaikan pendapat, pikiran, dan pandangan tertentu dari para pemilihnya.
Karena peran wakil rakyat didalam sistem demokrasi perwakilan negara-negara modern memang berlangsung sebagaimana yang digambarkan oleh edmund Burke, yaitu sebagai wakil yang independen, maka didalam membuat keputusan-keputusan publik, para wakil rakyat tidak harus, dan memang tidak pernah, bertanya dahulu kepada rakyat, khususnya para pemilihnya, apa pendapat mereka mengenai isue yang akan mereka putuskan. Selama menjadi wakil, dalam membuat keputusan-keputusan publik, mereka sama sekali tidak terikat pada kehendak kelompok masyarakat yang telah memilih mereka. Dalam keadaan demikian, yang menjadi pertanyaan adalah, apa ukuran atau berdasarkan apa keputusan para wakil dibuat?

Utilitarianisme: Kebahagiaan Yang Terbesar Bagi yang Terbanyak?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut diatas, Jeremy Bentham (1748 – 1832) seorang filsof sosial Inggris, mengungkapkan teorinya yang disebut sebagai utilitarianisme. Menurut Bentham, tujuan negara (dan demokrasi) adalah untuk menjamin kebahagiaan yang terbesar bagi jumlah yang terbanyak. Karena itu, masyarakat negara yang baik adalah negara yang dapat memuasi sebesar-besarnya kepentingan individu-individu sebagian terbesar rakyatnya.
Rumusan yang nampaknya jelas ini sesungguhnya dalam realisasinya menjadi sangat tidak jelas. Sebagai contoh, pemerintah melakukan penggusuran tanah milik rakyat untuk kepentingan pembangunan terminal. Untuk kebutuhan pembangunan terminal tersebut pemerintah harus menggusur sebanyak misalnya seratus rumah milik penduduk. Karena dana yang dimiliki pemerintah terbatas, maka pemerintah memberi ganti kerugian yang lebih rendah dari harga pasaran tanah setempat, dengan perhitungan toh mereka bisa membeli ditempat lain yang lebih murah, bahkan lebih murah dari ganti rugi yang diberikan pemerintah. Selain itu, dasar pikirannya adalah bahwa pembangunan terminal tersebut untuk kepentingan umum, untuk kepentingan orang banyak, yang jauh lebih banyak dari pada 100 keluarga pemilik tanah tersebut. Sebagaimana yang sering digembar-gemborkan oleh rezim Orde Baru, setiap pembangunan selalu harus ada korbannya, dan jumlah orang yang sedikit harus rela berkorban demi kepentingan orang banyak.
Dengan mengacu pada teori utilitarianisme, maka tindakan menggusur tersebut harus dinilai apakah tindakan penggusuran dan pembangunan terminal tersebut akan benar-benar memberikan kebahagiaan yang terbesar pada orang yang terbanyak (jumlahnya)?  Untuk menjawab pertanyaan ini dengan menggunakan teori utiliterianisme bukan hal mudah, karena kita harus menghitung seberapa banyak orang yang akan diuntungkan dari penggusuran tersebut, dan seberapa banyak orang yang dirugikan. Sementara itu, yang seringkali disebut diuntungkan belum tentu sungguh-sungguh diuntungkan, sementara yang dirugikan sudah dapat dipastikan. Disamping itu, teori yang menyederhanakan persoalan ini, kalaupun dapat diterapkan dengan benar sekalipun, dipandang dapat mengakibatkan terjadinya tirani mayoritas atas minoritas. Padahal, tirani, sekalipun merupakan tirani mayoritas, sama bahayanya dengan tirani minoritas. Sebagai contoh, untuk melindungi masyarakat yang mengatakan diri sebagai rakyat asli bangsa Indonesia, pemerintah membuat keputusan yang disetujui oleh parlemen dengan suara mayoritas, untuk melarang etnis Cina untuk berdagang, menidirikan toko, dan tinggal ditempat-tempat strategis dipedesaan dengan maksud untuk berdagang (lihat Peraturan Pemerintah no. 10 tahun 1960). Kebijakan demikian dibuat dengan alasan untuk melindungi usaha kecil yang dilakukan oleh rakyat desa yang merupakan mayoritas rakyat Indonesia. Kebijakan demikian ternyata juga mendapat dukungan suara mayoritas di parlemen, dan kemungkinan akan sangat membahagiakan banyak orang etnis non Cina, yang selama masa Orde Baru telah terbiasa menumpahkan rasa frustrasi mereka pada etnis Cina. Ini artinya, keputusan tersebut memberikan kebahagiaan yang terbesar bagi jumlah yang terbanyak, sesuai dengan prinsip utilitarianime dari Jeremy Bentham. Padahal, realitasnya, keputusan demikian jelas merupakan keputusan yang diskriminatif, yang tidak sesuai dengan prinsip demokrasi.
Sebuah contoh nyata pernah terjadi di Jerman pada masa Hitler memenangkan kursi parlemen dalam pemilihan umum yang demokratis pada tahun 1932. Dengan menguasai suara mayoritas dalam parlemen (yang diperkuat dengan koalisi dengan kaum nasionalis), dia oleh Presiden von Hindenburg diangkat sebagai Perdana Menteri. Setelah diangkat sebagai Perdana Menteri, Hitler dengan persetujuan mayoritas dalam parlemen, melarang partai-partai lain selain partainya sendiri (“Partai Nazi”). Bahkan Hitler melancarkan gerakan anti semitisme (gerakan anti Yahudi). Gerakan ini mendapat dukungan rakyat Jerman yang pada waktu itu merasa frustrasi, karena perdagangan dan usaha perekonomian di Jerman banyak dikuasai oleh orang-orang Yahudi. Program ini mendapat dukungan rakyat, terbukti partai Nazi dapat memenangkan pemilihan umum anggota parlemen, padahal program anti Yahudi sudah dia canangkan sejak tahun 1920 sebagai salah satu dari 25 point program partai Nazi. Ini berarti kebahagiaan yang terbesar bagi yang terbanyak bisa menjadi kesedihan yang mendalam bagi minoritas. Apakah ini masih demokratis? Demokrasi yang berarti kehendak bebas mayoritas malah dapat digunakan untuk menghancurkan demokrasi itu sendiri. Sebagai contohnya adalah peristiwa pelarangan partai-partai lain oleh Hitler sebagaimana contoh diatas, yang sesungguhnya membawa Jerman menjauh dari demokrasi. Dalam hal ini, demokrasi telah melakukan bunuh diri secara demokratis.
Berdasarkan kesulitan penggunaan rumusannya tersebut, Bentham menambahkan pada rumusannya, berupa pembatas atas pemuasan kepentingan individu. Menurut Bentham, pemuasan kepentingan individu harus ada batasnya. Batasnya adalah, apabila untuk memuasi kepentingan seseorang, kepentingan orang lain harus menjadi korbannya. Dengan kata lain, pemuasan kepentingan seseorang tidak boleh mengakibatkan kerugian pada orang (individu) lain. Karena menurut Bentham semua tindakan negara harus diukur dari prinsip pemuasan yang terbesar bagi kepentingan dari yang terbanyak, sementara pemuasan yang terbesar kepentingan dari yang terbanyak (mayoritas) ini harus dibatasi agar tidak merugikan kepentingan individu (kelompok) lain (minoritas), maka yang diperlukan adalah adanya peraturan hukum yang mengatur agar berbagai kepentingan dalam masyarakat tidak saling berbenturan yang mengakibatkan adanya kepentingan yang dirugikan oleh pemuasan kepentingan dari individu yang lain. Karena itu, Bentham mengandalkan pada akal sehat para individu yang bekerja dalam suatu negara demokrasi dalam rangka membentuk kebijakan publik (peraturan-peraturan) dalam rangka memenuhi kebutuhan dan keinginan rakyat yang berubah-ubah. Bagi Bentham, analisis kebijakan negara per-negara (legislasi) menjadi sangat penting dalam analisis politik.
Namun demikian, permasalahan kita, yaitu mengenai ukuran, masih saja tetap tidak jelas, karena teori Bentham sesungguhnya tidak memberi ukuran yang jelas bagi wakil rakyat didalam membuat kebijakan publik, karena dalam kenyataan kehidupan masyarakat bernegara modern, permasalahan untung berbanding rugi dan bahagia berbanding pengorbanan bukan hanya sekedar masalah yang menyangkut dua pihak yang saling berhadap-hadapan, tetapi merupakan masalah banyak pihak yang seringkali sulit diidentifikasi keuntungan dan kerugiannya secara pasti. Menyeimbangkan berbagai kepentingan pihak-pihak yang terlibat didalam suatu kebijkan publik, yang harus memenuhi kriteria memberikan keuntungan atau kebahagiaan individu yang terbanyak tanpa merugikan atau menimbulkan pengorbanan pada individu yang lain bukan saja merupakan masalah yang tidak mudah, bahkan seringkali tidak mungkin. Keputusan-keputusan politik yang merupakan kebijakan publik seringkali mengharuskan pembuat keputusan harus memilih antara berbagai kepentingan, yang mana yang akan dipenuhi (diuntungkan) dan yang mana yang akan dikorbankan.

Kepentingan Bangsa dan Negara

Disamping utiliterianisme, ada yang berpandangan, termasuk Edmund Burke sebagaimana yang pandangannya telah kita kutip diatas, bahwa dasar bagi setiap keputusan wakil rakyat bukan sekedar kepentingan mayoritas rakyat, tetapi adalah seberapa besar keputusan tersebut akan mendukung atau sesuai dengan atau akan menguntungkan kepentingan umum atau kepeningan seluruh rakyat, atau kepentingan nasional, atau kepentingan bangsa dan negara. Mengenai hal ini, sebagaimana dikutip diatas, Edmund Burke menyatakan bahwa seorang wakil rakyat harus mendengarkan keinginan para pemilihnya, memperhatikannya jika dia bisa, tetapi dengan tegas menolaknya jika kepentingan umum memang mengharuskannya. Membuat keputusan dengan berpedoman pada kepentingan nasional atau kepentingan umum, atau kepentingan bangsa dan negara, yang seringkali diartikan juga sebagai kepentingan seluruh rakyat, nampaknya memang indah. Tetapi masalahnya, apakah frasa tersebut (“kepentingan umum”, “kepentingan nasional”, “kepentingan bangsa dan negara”, dan “kepentingan seluruh rakyat”) merupakan frasa yang jelas maknanya? Kenyataannya, keempat frasa tersebut merupakan frasa yang tidak jelas, yang multi tafsir. Bagaimana mungkin seluruh rakyat Indonesia misalnya, mempunyai kepentingan yang sama? Jelas ini tidak masuk akal. Karena itu, ada yang berargumen bahwa kepentingan umum dan kepentingan nasional berbeda dengan kepentingan seluruh rakyat dalam arti penjumlahan kepentingan semua rakyat satu persatu. Kepentingan umum atau kepentingan nasional adalah kepentingan rakyat dalam keseluruhan, dalam kebulatan. Tetapi masalahnya, bagaimana cara memahami kepentingan umum atau kepentingan nasional yang bukan merupakan penjumlahan kepentingan rakyat satu persatu, tetapi merupakan kebulatan? Masalah lain, kalau kepentingan nasional dan kepentingan umum tidak identik dengan kepentingan seluruh rakyat dalam arti penjumlahan seluruh kepentingan rakyat satu persatu, maka pertanyaannya, apakah kepentingan yang demikian nyata ada? Pada akhirnya, pertanyaannya adalah, kedua kepentingan tersebut sesungguhnya merupakan kepentingan siapa?
Sebagai contoh, sebuah pabrik besar akan dibangun disuatu tempat yang ternyata telah dihuni oleh banyak orang (realitasnya, ijin lokasi mendirikan pabrik besar selalu diberikan didaerah-daerah tempat tinggal orang-orang miskin, tidak pernah diperumahan-perumahan elite). Untuk mendirikan perusahaan yang kalau sudah berdiri akan dapat menampung banyak tenaga kerja tersebut, mereka harus menggusur pemukiman masyarakat miskin. Dalam kasus ini, kalau para penghuni perumahan yang akan digusur tersebut menolak untuk digusur, kepentingan manakah yang yang dapat disebut sebagai kepentingan umum, kepentingan bangsa dan negara dan kepentingan seluruh rakyat? Para penghuni perumahan yang akan digusur adalah rakyat, dan kalau kepentingan rakyat bukan penjumlahan dari kepentingan masing-masing rakyat, yang berarti rakyat sebagai kata penunjuk tidak dapat dipisah-pisahkan, maka kepentingan para penghuni perumahan yang akan digusur tersebut juga kepentingan seluruh rakyat.
Pihak yang mendukung pendirian pabrik juga dapat mengatakan bahwa pendirian pabrik yang bersangkutan merupakan kepentingan rakyat, kepentingan bangsa dan negara, karena dengan didirikannya pabrik, sekian ratus atau bahkan mungkin sekian ribu pekerja akan tertampung sebagai pekerja dipabrik tersebut. Selain itu, dengan adanya pabrik tersebut, maka devisa dapat dihemat, karena pabrik akan memproduksi barang-barang substitusi import atau bahkan meningkatkan devisa negara jika barang-barang yang diproduksi pabrik yang bersangkutan direncanakan akan dieksport. Dengan alasan ini, apakah pendirian pabrik tersebut bukannya merupakan kepentingan bangsa dan negara dan kepentingan seluruh rakyat? Walaupun, orang juga dapat mengatakan bahwa pendirian pabrik tersebut merupakan kepentingan pemilik modal untuk mengembangkan modalnya dalam rangka memperoeh keuntungan bagi diri pribadi mereka sendiri. Sampai disini, pengertian kepentingan umum, kepentingan nasional, kepentingan bangsa dan negara, kepentingan bersama rakyat, dan berbagai istilah yang muluk-muluk yang lain, sesungguhnya masih tetap merupakan frasa yang tidak jelas pengertiannya, dan sesungguhnya mewakili kepentingan siapa.
 Karena ketidak jelasan pengertian kepentingan umum dan kepentingan nasional, atau kepentingan bangsa dan negara, maupun kepentingan seluruh rakyat, maka pada akhirnya, didalam menyusun kebijakan publik, para wakil rakyat menggunakan ukuran-ukuran mereka sendiri, pandangan mereka sendiri, dan bahkan tidak tertutup kemungkinan berdasarkan kepentingan mereka sendiri atau kelompok mereka sendiri, yang dibungkus dengan rapi dalam istilah kepentingan bangsa dan negara, kepentingan seluruh rakyat.
Dari pelaksanaan sistem demokrasi perwakilan yang demikian ini, timbul masalah, apakah demokrasi perwakilan tidak sama dengan sistem absolutisme yang dasar teorinya dikembangkan oleh Thomas Hobbes? Apakah pemilihan umum dalam sistem demokrasi perwakilan tidak mirip dengan kontrak sosial dalam konsep Hobbes, dimana rakyat menyerahkan kekuasaan untuk membuat dan melaksanakan peraturan kepada seorang penguasa? Baik dalam sistem demokrasi perwakilan maupun model kontrak sosial Hobbes, penguasa yang telah diberi kekuasaan untuk membuat peraturan bagi rakyat, bebas untuk membuat peraturan berdasarkan pertimbangan dan kebijaksanaan mereka sendiri. Perbedaan kedua sistem tersebut hanyalah bahwa dalam teori kontrak sosial hobbes, kontrak sosial dilaksanakan sekali untuk selama-lamanya, sementara dalam demokrasi perwakilan, kontrak sosial dilaksanakan secara berkala, beberapa tahun sekali sesuai dengan jangka waktu penyelenggaraan pemilihan umum. Bahkan Gwendolen M. Carter, salah seorang pembela demokrasi dalam masa modern, sesungguhnya meragukan apakah sistem demokrasi perwakilan sebagaimana yang diidealkan masih dapat berlangsung didalam negara modern:
“Bagaimanapun juga, kadang-kadang dipersoalkan apakah satu orang sanggup mewakili kepentingan dan pikiran orang lain, dan apakah gagasan pemerintah berdasarkan perwakilan tidak didasarkan atas dalil yang palsu (Miriam Budiardjo, (ed), 1982: 95).
Karena itu, tak anehlah kalau orang mengatakan bahwa sistem demokrasi perwakilan merupakan absolutisme bentuk baru, absolutisme dengan label demokrasi. Karena itu Rousseau menolak sistem perwakilan dengan alasan:
Kedaulatan tidak bisa diwakilkan, dan dengan alasan yang sama, kedaulatan juga tidak dapat dicabut (alienated). Intinya adalah bahwa kehendak umum, dan suatu kehendak tidak dapat diwakilkan: hal itu (kehendak umum) ada pada dirinya sendiri atau tidak ada sama sekali; tidak ada jalan tengah. Karena itu para utusan rakyat tidaklah dan tidak dapat menjadi wakilnya; mereka hanya agennya dan tak dapat membuat keputusan apapun yang mengikat. Suatu hukum yang tidak diratifikasi sendiri oleh rakyat secara pribadi adalah tidak valid; itu bukanlah hukum (Rousseau, 1974: 79).
Karena itu, bagi Rousseau, sistem demokrasi perwakilan dianggap sebagai sistem yang tidak masuk akal, dan mengakibatkan perbudakan pada rakyat yang katanya diwakili tersebut. Mengenai sistem perwakilan yang pada saat itu tercermin dalam parlemen Inggris, rousseau berkomentar:
Orang Inggris percaya bahwa mereka adalah orang-orang bebas; mereka sungguh-sungguh salah, karena mereka hanya bebas selama pemilihan anggota-anggota parlemen, dan didalam waktu diantara dua masa pemilihan tersebut, rakyat berada dalam perbudakan, mereka tak berarti apa-apa. Dalam masa pendek dari kebebasan mereka, orang-orang Inggris menggunakannya sedemikian rupa sehingga mereka memang patut untuk kehilangan kebebasan mereka (Rousseau, 1974: 79)

Daftar Pustaka
1.     Budiardjo, Prof. Miriam, editor, Masalah Kenegaraan, Gramedia, 1982.
2.     Hagopian, Mark N., Ideals and Ideologies of Modern Politics, Longman Inc., 1985.
3.     Rousseau, The Essensial Rousseau, Penterjemah: Lowell Bair, The New American Library Inc, 1974.
4.     Sargent, Lyman Tower, terjemahan A.R. Henry Sitanggang, Ideologi-Ideologi Politik Kontemporer, Penerbit Erlangga, 1987.




0 comments:

Posting Komentar