PERJUANGAN PANJANG MENUJU DEMOKRASI

Hadi Wahono

Edmund Burke (1729 – 1797) seorang politisi dan pemikir kenegaraan dari Inggris, dalam sebuah pidatonya yang terkenal pernah menyatakan bahwa parlemen bukannya merupakan kongres para duta besar dari berbagai kepentingan yang berbeda dan berlawanan, dimana masing-masing kepentingan tersebut harus dipertahankan, sebagai agen dan pembela, melawan agen dan pembela yang lain. Tetapi Parlemen adalah dewan pertimbangan dari suatu negara nasional, dengan satu kepentingan, yang merupakan kepentingan keseluruhan, dimana tak ada tujuan lokal, prasangka lokal, yang harus membimbingnya, melainkan kebaikan umum yang dihasilkan dari pemikiran akal sehat semua orang (Sargent, Lyman Tower, 1987: 44).
Gambaran yang diberikan oleh Edmund Burke tersebut merupakan gambaran yang ideal dari para wakil rakyat, tetapi yang sesungguhnya hampir-hampir tidak pernah ada (untuk tidak mengatakan ‘sama sekali tak ada”) dalam kenyataan kehidupan kenegaraan dimanapun. Realitasnya, mereka selalu mewakili kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat, bahkan seringkali mewaikili kepentingan diri mereka sendiri. Realitas demokrasi perwakilan lebih cenderung menunjukkan bahwa para wakil rakyat merupakan kelompok penguasa ketimbang sebagai wakil dalam arti yang sesungguhnya. Karena itu, mereka juga mempunyai kepentingan untuk mengekalkan kekuasaan dan kedudukan mereka dengan berbagai cara. Kiranya sudah dapat dibayangkan bahwa para wakil rakyat, yang nota bene adalah petinggi partai politik, tidak mungkin akan dengan sukarela menerima berbagai usulan yang akan mengurangi kewenangan mereka, sebagaimana halnya usulan dilaksanakannya system referendum, inisiatif rakyat, maupun hak recall rakyat, hanya dengan menunjukkan baiknya sistem dan lembaga tersebut bagi kehidupan masyarakat yang demokratis. Bahkan tak tertutup kemungkinannya, partai-partai politik besar akan kompak menentang usulan demikian. Hal yang sama telah dikemukakan oleh Max Weber dimana Weber memberi alasan-alasan bagi posisi kekuasaan elite birokrasi dan politik ini pada pemilikan mereka atas sarana pemerintahan dan fakta bahwa mereka adalah kelompok kecil yang dengan mudah mencapai kesepakatan atas setiap tindakan yang perlu dilakukan untuk mengekalkan kekuasaan mereka (Tom Bottomore, terjemahan, 1983: 9).
Tuntutan untuk memperluas ruang partisipasi rakyat tersebut akan merupakan tuntutan yang lebih sulit lagi bagi kita di Indonesia, karena otonomi daerah yang berlaku di Indonesia tidak memberi kesempatan kepada daerah untuk mengembangkan sistem pemerintahannya sendiri. Tidak sebagaimana dengan Amerika Serikat, yang susunan ketatanegaraannya menganut sistem federal, dimana masing-masing negara bagian dapat mengatur sistem pemerintahannya sendiri, walaupun dalam bingkai besar yang sudah ditentukan didalam konstitusi. Karena itu, di Amerika Serikat, tuntutan akan sistem inisiatif, referendum, dan recall dapat dilakukan dari negara bagian masing-masing, sehingga hak-hak yang memperluas ruang partisipasi rakyat tersebut dapat berlangsung dibeberapa negara bagian, walaupun di tingkat negara federal tidak diterima.
Tetapi kesulitan tersebut tidak perlu menyurutkan hati para pejuang demokrasi, karena demokrasi realitasnya memang bukan hanya sebuah wacana, sebuah teori, tetapi lebih sebagai praktek kenegaraan yang pernah berlangsung dalam sejarah kehidupan manusia. Namun demikian, walaupun sistem ketatanegaraan demokrasi telah pernah dilaksanakan orang pada lebih kurang dua ribu lima ratus tahun yang lalu, tetapi sebagai sebuah sistem ketatanegaraan, dibanding dengan sistem lain, yaitu feodalisme dan abolutisme, demokrasi relatif tidak berlangsung lama. Realisasi sistem demokrasi dalam sejarah ketatanegaraan berlangsung dalam kondisi pasang surut, tidak stabil, dengan sistem yang (dalam prakteknya) terus menerus berubah-ubah. Hal ini disebabkan karena, sebagai sebuah sistem yang membatasi kekuasaan penguasa se-minimal mungkin dan memberi kekuasaan kepada rakyat semaksimal mungkin (walaupun realitasnya sangat terbatas), tidak pernah lepas dari usaha elit politik untuk merongrongnya. Praktek sistem demokrasi disuatu masyarakat, disuatu negara, bukan merupakan sistem yang dikembangkan oleh penguasa secara sukarela, tetapi selalu merupakan hasil dari tarik menarik kekuatan antara rakyat jelata dengan elit politik masyarakat (yang juga rakyat, walaupun bukan jelata). Pernyataan ini dapa kita buktikan dari pengalaman sejarah perkemabangan demokrasi mulai dari perkembangan demokrasi dinegara kota Athena, demokrasi di kekaisaran Romawi, perkembangan demokrasi di Inggris, hingga demokrasi modern di Eropa.
Sebetulnya untuk menentukan kapan demokrasi Athena mulai dirintis sangat sulit, karena sistem demokrasi Athena merupakan sistem yang berkembang  sedikit demi sedikit dan dengan pasang surutnya selama ratusan, bahkan lebih dari seribu tahun. Sebagai gambaran, ketika negara kota Athena telah berbentuk kerajaan (monarchia) pada lebih kurang tahun 1.500 sebelum Masehi, sesungguhnya raja tidak memegang kekuasaan absolut sebagaimana sistem kerajaan di Eropa setelah abad pertengahan. Pada masa kerajaan, sudah dikenal dewan rakyat (Ekklesia), walaupun wewenangnya terbatas, yaitu untuk dimintai dukungan oleh raja (Basileus) jika terjadi peperangan (baik ketika diserang maupun akan menyerang musuh), dan jika akan dibuat peraturan perundang-undangan baru.
Sebagaimana negara-negara kota lainnya di Yunani, negara kota Athena merupakan hasil pertumbuhan dari masyarakat yang semula merupakan masyarakat kecil. Hal ini disebabkan karena Yunani merupakan daerah pegunungan dan berbukit-bukit dengan banyak sungai-sungai kecil, lembah-lembah, lereng-lereng, dan jurang-jurang, sehingga daerah-daerah tersebut pada awalnya dihuni oleh kelompok-kelompok masyarakat kecil-kecil yang satu sama lain dipisahkan oleh sungai, gunung, jurang, dan sebagainya. Negara kota biasanya tumbuh ketika seorang pemimpin gerombolan keluarga mendirikan sebuah rumah batu yang besar diatas bukit. Rumah batu besar dengan pagar batu tersebut dinamakan polis, yang dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan sebagai puri. Para pengikut tuan polis yang tidak dapat tinggal didalam polis mendirikan rumah mereka disekitar polis. Juga orang-orang lain yang ingin mencari perlindungan pada tuan polis mendirikan rumah-rumah mereka disekitar polis. Dengan berlangsungnya waktu dan bertambah banyaknya rumah-rumah disekitar polis, maka berkembanglah sebuah kota dengan polis sebagai pusatnya. Pada saat itu, polis mulai berubah arti menjadi kota, dan akhirnya menjadi negara (kota). Hal yang sama juga terjadi pada negara kota Athena, dimana menurut Syahibul hikayat, polis (puri) Athena yang terletak diatas bukit Akropolis didirikan oleh seorang raja yang bernama Kekrops, yang kemudian penduduknya menjadi semakin membesar dan berkembang menjadi kota dan negara (kota).
Karena kota-kota di Yunani kuno pada awalnya merupakan komunitas-komunitas kecil yang berdiri sendiri-sendiri sebagai sebuah negara kota, maka kehidupan mereka selalu terancam oleh serangan dari luar, baik dari masyarakat polis lain maupun dari kelompok-kelompok pengembara diluar polis yang banyak malang melintang didaratan Eropa dan Asia. Untuk menghadapi serangan dari luar ini, para tuan polis, atau biasanya berkedudukan semacam raja (yang disebut Basileus), walaupun berstatus sebagai pelindung, harus meminta bantuan kepada para pemuda yang ada diseluruh kota. Untuk memperoleh bantuan, tuan polis atau raja harus mendapat persetujuan dari rakyatnya, apakah mereka setuju untuk berperang atau tidak. Untuk dapat meminta persetujuan rakyat tersebut, maka mereka dikumpulkan dalam satu tempat. Dari pengumpulan rakyat untuk dimintai bantuannya tersebutlah kemudian berkembang menjadi lembaga yang tetap, yang kewenangannya semakin meluas untuk membahas berbagai permasalahan penting polis, yang disebut Ekklesia atau Majelis rakyat. Karena raja dalam banyak hal bergantung pada persetujuan rakyat, maka kekuasaan raja, walaupun secara teoritis bersifat absolut, tetapi praktis tidak dapat menggunakan kekuasaannya sesuka hati mereka. Nampaknya, dari sejarah panjang kehidupan masyarakat negara kota Athena yang diwarnai dengan kesaling tergantungan antara raja dan rakyatnya tersebut yang menumbuhkan sistem kenegaraan yang demokratis.
Sistem demokrasi dinegara kota Athena mulai menampakkan wajahnya yang jelas pada sekitar tahun 500 sebelum Masehi, ketika Solon (638 - 558 sebelum Masehi) memegang jabatan sebagai Archon (semacam perdana menteri) Athena. Dengan kekuasaan penuh ini Solon mengadakan aturan-aturan kearah perbaikan perekonomian dan mengubah aturan tata-negara. Yang menarik dari perombakan yang dilakukan oleh Solon ketika mulai memegang jabatan sebagai Archon adalah selain diselenggarakan perombakan dalam sistem ketatanegaraan, juga dibuatnya aturan-aturan kearah perbaikan perekonomian. Aturan yang terpenting dalam soal perekonomian ialah aturan Seisachtheia, yang artinya menghapuskan segala beban. Beban-beban yang dihapuskan adalah, yang pertama, segala hutang, baik yang kepada negara maupun yang kepada perseorangan. Kedua jenis hutang ini dinyatakan hapus. Yang kedua, orang tidak boleh menjadi hamba sahaya (mirip budak, tetapi tidak berstatus sebagai budak) karena hutang. Ketiga, jumlah bunga dari pinjaman diturunkan. Keempat, hal mata uang diatur kembali. Kelima, soal tanah diatur kembali. Aturan Seisachtheia itu berakibat bahwa orang-orang yang dahulu menggadaikan tanahnya, dapat mengambil kembali tanahnya tanpa harus membayar pinjamannya. Orang-orang yang menjadi hamba karena hutang menjadi orang bebas tanpa membayar hutangnya. Solon juga membatasi luas tanah yang boleh dimiliki seseorang. Maksudnya ialah mencegah tumbuhnya orang-orang yang terlalu kaya disamping orang yang menjadi miskin.
Ada dua alasan mengapa orang-orang kaya Athena tidak menentang aturan Solon tersebut, baik yang berupa perombakan sistem ketatanegaraan maupun perekonomian, yang realitasnya sangat membatasi kewenangan para penguasa, terutama Basileus dan para aristokrat. Yang pertama, disebabkan oleh kepatuhan mereka pada keputusan yang dibuat berdasarkan kesepakatan. Mereka memandang bahwa Solon memang sudah diberi kewenangan penuh untuk memperbaiki berbagai keadaan masyarakat, karena itu, keputusan-keputusannya dalam rangka memperbaiki kehidupan rakyat harus dipatuhi.[1] Yang kedua, dan alasan kedua ini sesungguhnya merupakan alasan yang penting, yaitu karena mereka sadar bahwa tanpa perombakan demikian mereka akan menghadapi kehancuran, karena dari luar mereka terancam oleh serangan dari negara kota tetangga, terutama Sparta, dan dari dalam mereka menghadapi ancaman pemberontakan rakyat yang merasa tersingkirkan dari bidang politik dan eonomi. Karena kalau kemiskinan dalam masyarakat itu tidak dicegah, maka tidak lama lagi pasti akan timbul pemberontakan rakyat miskin. Dengan bijak, para bangsawan dan elite negara kota Athena lebih menerima perombakan, sekalipun dalam jangka pendek perombakan tersebut merugikan mereka, tetapi dalam jangka panjang menyelamatkan negara, termasuk kekayaan dan kehidupan mereka.
Sebagaimana bisa kita baca dari buku-buku teks sejarah, kejayaan negara kota Athena dengan sistem demokrasi langsungnya hanya berlangsung hingga tahun 338 sebelum Masehi, dengan jatuhnya negara tersebut ketangan raja Philip dari Macedonia. Kota Athena menjadi semakin surut arti pentingnya, yang statusnya turun hingga semacam pemerintahan daerah kecil, terutama ketika Macedonia menjadi imperium luas dibawah Alexander Agung, anak raja Philip, yang memperluas kekuasaannya hingga menjangkau sebagian daratan India. Penaklukan Alexander Agung dimotivasi oleh cita-citanya untuk menyebarkan kebudayaan Yunani (Helas) keseluruh dunia (tentu saja dunia yang difahami oleh orang-orang Yunani pada waktu itu). Cita-cita Alexander Agung tersebut disebut sebagai helenisme, yang pada masanya secara nyata mampu menyebarkan budaya Helas keseluruh wilayah yang ditaklukkannya.
Sepeninggal Alexander Agung, lebih kurang tahun 323 sebelum Masehi, Macedonia terpecah belah hingga mengalami kehancurannya sebagai negara berdaulat pada sekitar tahun 200 sebelum Masehi dengan ditaklukkannya seluruh Yunani oleh kekaisaran Romawi. Sejak saat itu, Romawi terus berkembang menjadi imperium besar yang menguasai wilayah dari Itali hingga Mesir. Menurut para ahli sejarah, Romawi kuno terdiri dari dua bangsa, yaitu penduduk asli semenanjung Apenina di Italia, dan bangsa Etruska, yang datang ke semenanjung Apenina sebelah utara, dan menduduki Latium dan sekitarnya. Mereka datang dari daratan Asia Barat lebih kurang tahun 1000 sebelum Masehi, yang kemudian mendesak penduduk asli. Dalam perkembangan selanjutnya, penduduk pendatang berkembang lebih maju dan lebih kuat, sehingga mereka menduduki posisi yang tinggi didalam lapisan sosial masyarakat. Merekalah yang kemudian menjadi kaum bangsawan Romawi, yang disebut sebagai patricia (bangsawan) dan penduduk asli yang menduduki posisi rendahan dalam masyarakat, disebut sebagai Plebeia (rakyat jelata). Diantara mereka, ada pelapisan sosial yang lebih jauh lagi, dimana baik golongan patricia maupun plebeia dibagi lagi kedalam golongan patricia atas dan patricia bawah, dan plebeia atas dan plebeia bawah. Kedudukan sosial kedua golongan masyarakat ini mempunyai pengaruh dalam ketatanegaraan Romawi, baik pada masa perkembangan awal maupun ketika mereka telah mencapai posisi kekaisaran. Sebagai negara, Romawi didirikan lebih kurang pada tahun 800 sebelum Masehi (yang secara resmi diakui berdiri pada tahun 753 sebelum Masehi, tepatnya pada tanggal 21 April), yang menurut legenda didirikan oleh dua orang yang pada masa bayinya disusui oleh serigala, yaitu Romus dan Romulus.
Sistem kenegaraan yang dianut oleh masyarakat Romawi, paling tidak hingga sekitar tahun 33 masehi, adalah sistem Republik dengan berbagai lembaga kenegaraannya. Pada masa Republik Romawi ini, organisasi politik berkembang menjadi sangat kompleks dan berubah-ubah. Hal ini disebabkan oleh karena terjadinya konflik dan tarik menarik antara golongan patricia (bangsawan) dan Plebeia (rakyat jelata), dimana golongan patricia memiliki hak-hak istimewa dalam bidang politik yang didasarkan pada kelahiran dan tradisi. Didalam sistem ketatanegaraan Romawi, ada tiga kekuasaan yang penting, yaitu magistratur, dimana pemegang jabatan magistratur tertinggi bisa disebut Diktator[2], atau Konsul, atau Praetor. Kekuasaan kedua adalah Senat, yang didalam masa Republik Senat memegang kekuasaan tertinggi dan dapat memilih magistratur atas (diktator, konsul, praetor), dan kekuasaan ketiga adalah permusyawaratan rakyat. Sementara itu, permusyawaratan rakyat dibedakan antara comitia curiata, yang merupakan wakil unit-unit komunitas masyarakat Romawi, yang merupakan suatu dewan agung tanpa kekuasaan de facto, dan comitia centuriata, semula berasal dari dewan prajurit, yang kemudian merupakan permusyawaratan yang bertanggung jawab kepada seluruh rakyat serta comitia tributa yang juga disebut concilium plebis. Comitia tributa atau concillium plebis ini merupakan dewan rakyat jelata yang anggota-anggotanya dipilih sendiri oleh rakyat diantara mereka sendiri, yang dalam hal ini berfungsi untuk melindungi rakyat jelata dari kekuasaan para bangsawan (patricia).
Semula, kepemimpinan sesungguhnya berada ditangan kaum bangsawan, dan juga didalam Senat, yang merupakan lembaga yang mencerminkan kelompok-kelompok dalam masyarakat. Kaum bangsawan inilah yang sesungguhnya memilih pimpinan tertinggi eksekutif, dan mempengaruhi keputusan-keputusan yang dibuat oleh dewan rakyat. Keputusan-keputusan yang dibuat oleh Concillium Plebis (dewan rakyat jelata) dan comitia centuriata harus disetujui oleh para Patres, yaitu kepala keluarga-keluarga aristokrat (kaum ningrat). Setelah terjadi perang saudara berkali-kali dan sebagai hasil perjuangan internal antara kaum bangsawan dan rakyat jelata, akhirnya dicapai keseimbangan yang rumit, dimana pada akhirnya concilium plebis (dewan rakyat jelata) memiliki wewenang yang makin bertambah untuk menciptakan peraturan yang mengikat semua orang dan tanpa harus mendapatkan persetujuan para Patres. Dalam kekuasaan eksekutif juga terjadi perubahan, dimana konsul harus terdiri dari dua orang, yang seorang dari golongan patricia (golongan bangsawan), dan yang seorang dari golongan plebeia (golongan rakyat jelata). Kemudian konsesi-konsesi juga lambat laun diberikan kepada rakyat jelata, hingga mereka dapat dipilih untuk menduduki semua jabatan tinggi negara. Yang menarik dalam konflik dan tarik menarik kekuasaan didalam imperium Romawi ini, para kaisar secara formal tidak pernah berusaha untuk mengubah sistem ketatanegaraan yang berlaku, dengan mengambil posisi membiarkan ketatanegaraan berjalan tanpa mengusiknya.
Sistem demokrasi perwakilan juga kemudian berkembang di Inggris, yang diawali dengan ditandatanganinya Magna Carta pada tahun 1215 oleh raja John. Sebetulnya raja John tidak menghendaki ada kekuasaan lain dinegaranya selain dirinya sendiri. Karena itu, Magna Carta bukannya konsep yang dibuat oleh Raja John, tetapi disusun oleh para bangsawan, para baron, yang dibantu oleh para rohaniawan, yang kemudian diajukan kepada Raja John, yang dipaksa untuk menandatanganinya. Gambaran proses pemaksaan penandatanganan Magna Carta dapat kita baca dari tulisan Woodrow Wilson yang menggambarkan dengan indah proses penandatanganan dokumen tersebut:

Para baron menemui raja John di Runnymede, suatu lembaga penasehat dari para militer,  dimana pertemuan tersebut sesungguhnya merupakan awal dari sebuah pemberontakan. Mereka tidak menuntut hukum baru atau hukum yang lebih baik, tetapi pelaksanaan yang konsisten dan benar dari hukum-hukum yang mereka pandang telah ditetapkan, hak sebagai orang Inggris yang timbul sejak kelahiran. Mereka telah mendapati bahwa raja John adalah orang yang tidak menentu, sewenang-wenang, tak layak untuk dipercaya, tak pernah memperhitungkan untuk mengikuti suatu preseden atau membatasi diri dengan suatu pemahaman umum, tuan dari segala kebohongan yang tidak pernah menghormati hak-hak seseorang dan hanya berfikir untuk memenuhi keinginannya sendiri; dan mereka telah memutuskan untuk melakukan perhitungan dengannya. Dan karena itu mereka mengajukan Magna Carta untuk ditandatangani raja John (Wilson, Woodrow, 1961: 2)

Disamping itu, bentuk pemaksaan terhadap raja John untuk menandatangani Magna Carta tersebut dapat kita lihat dari kalimat-kalimat yang terdapat didalam dokumen itu sendiri, yang secara terang-terangan bersifat mengancam untuk melakukan pemberontakan (dengan mengangkat raja lain jika raja tidak bersedia menandatangani dokumen yang mengurangi kewenangan raja tersebut):

Berilah kami janji tuan yang bersungguh-sungguh sebagai raja sehingga dokumen ini akan menjadi pembimbing tuan dan peraturan dalam seluruh urusan tuan dengan kami, buktikan janji itu dengan tandatangan tuan dan bubuhkan dengan bersungguh-sungguh, akuilah sejumlah tertentu dari antara kami sebagai panitia untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian, dan kami adalah warga tuan yang damai dan taat; tolaklah, dan kami akan menjadi musuh tuan, kami akan membebaskan kesetiaan kami dan menjadi bebas untuk memilih raja yang akan memerintah kami sesuka hatinya (dikutip dan diterjemahkan dari: Wilson, Woodrow, 1961: 2 – 3).

 Dengan indah, Woodrow Wilson menggambarkan penandatanganan dokumen Magna Carta tersebut: “Pedang menjadi bergerak-gerak tidak tenang di sarungnya, dan raja John tidak mempunyai pilihan lain selain menandatanganinya” (Wilson, Woodrow, 1961: 3). Sebagai catatan, kiranya perlu diungkapkan disini, bahwa satu tahun kemudian, raja John meninggal dalam pertempuran melawan para baron yang memberontak, karena raja John berusaha untuk membatalkan Magna Carta yang dengan terpaksa telah ditandatanganinya tersebut.
Sebagai dokumen kenegaraan yang dipandang sebagai tonggak sejarah sistem demokrasi di Inggris, Magna carta sebetulnya tidak memberikan hak kepada rakyat untuk ikut memerintah. Para baron hanya menuntut, agar raja mengakui dan melindungi hak-hak feodal mereka, yang sesungguhnya merupakan hak istimewa (privilege) para bangsawan dan gereja, sehingga sesungguhnya (pada awalnya) tidak dimaksudkan untuk mengurangi kesewenang-wenangan yang dipandang sebagai hak para vasal (para bangsawan/para baron) terhadap rakyat diwilayah kekuasaan mereka (didaerah pedesaan). Walaupun Magna Carta tidak menghasilkan demokrasi sistem perwakilan yang sesungguhnya, namun demikian, keberhasilan tuntutan para baron agar dalam menentukan pajak raja harus berkonsultasi dahulu dengan para baron, merupakan awal dari sistem perwakilan, karena pada masanya mereka akan berkembang sebagai badan para bangsawan, yang dalam ketatanegaraan Inggris kemudian menjadi house of lord.
Didalam Magna Carta juga dicantumkan pemberian perlindungan bagi warganegara bebas dari penangkapan yang sewenang-wenang. Namun demikian, perlindungan yang diberikan kepada warganegara bebas didalam Magna Carta sebetulnya hanya dimaksudkan untuk memperoleh dukungan dari masyarakat kota London, yang pada waktu itu dikategorikan sebagai “warga negara bebas.” Dan dari sejarah dapat kita lihat bahwa usaha memperoleh dukungan tersebut memang berhasil, karena masyarakat kota London mendukung usaha para Baron dengan memberi peluang bebas masuknya rombongan para baron beserta pengawal-pengawalnya ke kota London. Bagaimanapun, larangan untuk bertindak secara sewenang-wenang kepada rakyat “bebas” yang semula hanya dimaksudkan untuk masyarakat penduduk kota London dan kota-kota lain yang mempunyai pemerintahan sendiri yang pimpinannya (Mayor atau walikota) dipilih oleh rakyat, kemudian diberlakukan juga bagi penduduk pedesaan yang berada dibawah kekuasaan para vasal.
Perkembangan parlemen Inggris, sebagai parlemen yang merupakan perwakilan rakyat, semakin menampakkan sosoknya setelah berakhirnya masa kekuasaan raja Henry III (1216 – 1271), yang memerintah secara sewenang-wenang, yang menimbulkan ketidak puasan dikalangan para bangsawan dan warlord, yang mengakibatkan perang sipil. Hasil dari perang sipil inilah yang menimbulkan pemerintahan konstitusional, dalam arti pemerintah yang dibatasi oleh hukum, dan timbulnya parlemen yang sesungguhnya. Perang sipil dalam menentang raja yang dipimpin oleh Simon de Monfort, yang merupakan kelompok reformasi yang lebih bersifat kerakyatan daripada para baron dalam menuntut ditandatanganinya Magna carta. Kaum kelas menengah kota dan pedesaan, para bangsawan rendahan dan borjuasi yang mulai timbul, bahkan elemen-elemen keagamaan yang dipimpin oleh para biarawan, mendukung gerakan ini, walaupun Paus membangun persekutuan tak suci (unholy) dengan raja. Gerakan ini telah membangun konsep hukum yang besar pada masa itu, yang menyatakan bahwa bukan raja yang membentuk hukum, tetapi sebaliknya, rajalah yang harus tunduk pada hukum. Walaupun umur gerakan hanya satu tahun, karena setelah kemenangan Simon de Monfort yang kemudian menjadi penguasa Inggris, dikalahkan lagi oleh Edward, anak raja Henry III, tetapi ide gerakan ini dilanjutkan oleh raja Edward I yang menggantikan kedudukan ayahnya sebagai raja Inggris pada tahun 1272. Edward I (1272 – 1307) sejak dia naik tahta sebagai raja Inggris telah belajar dari kemenangan Simon de Monfort, bahwa raja Inggris harus memerintah dibawah dan berdasarkan hukum, dan bahwa raja yang menentang masyarakat nasional akan lebih lemah dari pada raja yang menerima parlemen. Istilah Parlemen yang masuk dalam kosa kata Inggris, yang mungkin berasal dari kata “Parliementum” yang oleh Carlyle diterjemahkan sebagai “warung/bengkel bicara” (talking shop), atau mungkin berasal dari bahasa Perancis, “Parler” yang berarti berbicara, atau kata “Parley,” yang berarti “konperensi,” pada masa raja Edward I tersebut menjadi bentuk perwakilan yang lebih nyata.
Namun demikian, perkembangan parlemen Inggris hingga menjadi parlemen sebagaimana yang dikenal dalam masyarakat modern sesungguhnya merupakan perkembangan yang panjang, yang tidak bisa ditentukan kapan dia dimulai dan siapa yang menggagasnya atau mengembangkannya. Bahkan pada awalnya, banyak masyarakat (komunitas) yang menganggap mengirimkan wakilnya ke Parlemen merupakan beban, karena biaya pengiriman wakil ke parlemen merupakan beban masing-msing komunitas. Pada masanya, para wakil yang terpilih bukannya merupakan keistimewaan atau merupakan hak istimewa, atau dipandang sebagai hak, tetapi lebih sebagai beban, khususnya bagi komunitas yang letaknya jauh dari pusat kerajaan. Bahkan, raja Edward III ketika berkuasa menetapkan bahwa masyarakat dari komunitas yang letaknya jauh “diperbolehkan” untuk tidak mengirimkan wakilnya ke parlemen. Bagaimanapun, parlemen Inggris merupakan hasil sejarah panjang, hasil sejarah tarik menarik antara raja, para baron, dan rakyat, khususnya masyarakat kelas menengah (borjuasi) yang terus bertumbuh dan berkembang (mengenai sejarah parlemen Inggris, lihat: Trevelyan, G.M., 1959: 150 – 153).
Dari peninjauan singkat atas sejarah perkembangan demokrasi di negara kota Athena, di kekaisaran Romawi, dan di Inggris tersebut, dapat kita tarik kesimpulan, bahwa tegaknya demokrasi dimasing-masing masyarakat dan negara tersebut selalu sebagai hasil dari perjuangan panjang, yang seringkali berupa perang sipil, yang menyadarkan penguasa berikutnya, bahwa keharusan untuk mengembangkan system demokrasi sudah tak terhindarkan lagi. Sesungguhnya, sejarah tak pernah menyaksikan adanya elite kekuasaan dimanapun diseluruh dunia yang mempunyai kepercayaan bahwa rakyat jelata akan mempunyai kemampuan untuk memegang pemerintahan. Demokrasi di negara kota Athena hanya bisa berkembang ketika para penguasa merasa khawatir akan terjadinya pemberontakan rakyat jelata. Sementara itu, pada masa kekaisaran Romawi, concilium plebis (dewan rakyat jelata) memiliki wewenang yang makin bertambah untuk menciptakan peraturan yang mengikat semua orang dan tanpa harus mendapatkan persetujuan para Patres, terjadi setelah perang saudara berkali-kali dan sebagai hasil perjuangan internal antara kaum bangsawan dan rakyat jelata. Lembaga perwakilan di Inggris muncul setelah terjadinya dan sempat berhasilnya pemberontakan yang dipimpin oleh Simon de Monfort. Bahkan para elit politik modern dan teoritisi elit yang dipelopori oleh Parteto, Mosca, dan Michels, yang pada masa modern dianut oleh Manheim, Schumpeter, dan lain-lain sama sekali tidak percaya bahwa rakyat banyak akan mampu untuk mengawasi, apalagi mengendalikan pemerintahan negaranya. Munculnya pemerintahan modern yang semakin meraksasa dan menggurita nampaknya semakin memperkuat thesis para teoritisi elit.
Yang kedua, baik dari kasus negara kota Athena, kekaisaran Romawi, maupun kerajaan Inggris, sistem ketatanegaraan yang demokratis sebagaimana yang dikenal oleh masyarakat saat ini merupakan hasil sejarah panjang, bukannya suatu sistem yang sekali jadi, yang berkembang berdasarkan kebutuhan, dan dalam rangka mengupayakan sistem yang terbaik, yang memungkinkan kehidupan politik yang stabil.
Dengan belajar dari pengalaman sejarah perkembangan demokrasi tersebut, dan membayangkan betapa sulitnya untuk mengharapkan kesediaan para pembuat keputusan politik untuk memperluas ruang partisipasi rakyat, yang sama artinya dengan mengurangi kewenangan mereka dan menyediakan senjata bagi rakyat yang berupa kesempatan untuk mengawasi mereka secara langsung, tampaknya, hanya ada dua cara yang dapat menentukan keberhasilan usulan untuk memperluas ruang partisipasi rakyat tersebut. Yang pertama, para pengusul harus dapat meyakinkan para petinggi partai, bahwa penerimaan atau penolakan usulan tersebut akan mempunyai pengaruh yang signifikan atas perolehan suara mereka didalam pemilihan umum mendatang. Dengan kata lain, para pengusul harus dapat meyakinkan para petinggi partai bahwa mereka akan kalah didalam pemilihan umum kalau mereka menolak untuk mengakomodasi tuntutan perluasan ruang partisipasi rakyat, atau sebaliknya mereka akan menang dalam pemilihan umum kalau mereka bersedia menerimanya.
Yang kedua, para pengusul harus meyakinkan pemerintah, anggota-anggota DPR dan para petinggi partai besar, bahwa mereka memiliki kemampuan untuk melakukan aksi besar-besaran yang akan memacetkan sendi-sendi kehidupan kenegaraan maupun kehidupan masyarakat, jika usulan mereka ditolak. Hanya dengan menunjukkan dan meyakinkan para pembuat keputusan bahwa para pengusul memiliki kemampuan nyata untuk melakukan aksi-aksi besar yang kemungkinan dapat menggulingkan pemerintahan, maka usulan yang sangat bertentangan dengan kepentingan semua orang yang duduk didalam pemerintaha berdasarkan pilihan rakyat tersebut, dapat diwujudkan.
Tekanan demikian hanya mungkin dilakukan oleh kekuatan rakyat terorganisir (organisasi massa) yang bukan merupakan bagian dari partai politik (non-partisan) atau mealui gerakan sosial yang cukup besar yang secara signifikan mampu menekan para pemegang kekuasaan. Karena pertaruhan para wakil rakyat adalah kemenangan didalam pemilihan umum, maka organisasi massa yang dapat mendesakkan berbagai keinginannya pada partai peserta pemilu adalah adanya jaminan kemenangan atau sebaliknya kekalahan (kalau mereka menolak). Karena itu, organisasi massa yang demikian haruslah organisasi massa yang kuat, yang mempunyai anggota dalam jumlah yang besar, yang cukup signifikan untuk memenangkan pemilihan, dan sekaligus solid, yang mampu untuk melakukan aksi besar-besaran dalam jangka panjang, atau adanya suatu gerakan sosial yang cukup besar yang terus menerus menuntut perluasan ruang partisipasi rakyat. Tanpa dukungan organisasi artau gerakan sosial demikian, berbagai lembaga yang diharap dapat memperluas ruang partisipasi rakyat tersebut akan tetap menjadi cita-cita yang tak pernah menjadi kenyataan.

Daftar Pustaka
1.     Bottomore, Tom, terjemahan Sahat Simamora, Sosiologi Politik, P.T. Bina aksara, 1983.
2.     Sargent, Lyman Tower, terjemahan A.R. Henry Sitanggang, Ideologi-Ideologi Politik Kontemporer, Penerbit Erlangga, 1987.
3.     Trevelyan, G.M., A Shortened Hostory of England, Penguin Books Pty. Ltd., 1959.
4.     Wilson, Woodrow, Constitutional Government in the United States, Columbia University Press, 1961.





[1] Kepatuhan akan keputusan yang didasarkan pada kesepakatan merupakan salah satu kunci dari berlangsungnya system demokrasi. Tak adanya kepatuhan inilah yang membuat kita tidak pernah bisa melaksanakan demokrasi dengan baik. Sebagai contoh, ketika mencalonkan diri, seorang calon, misalnya calon bupati, tentunya sudah menyetujui prosedur yang harus dilalui dalam penentuan hasil pemilihan. Tetapi ketika mereka kalah, mereka mengerahkan pendukung mereka untuk membatalkan pemilihan. Inilah yang selalu merusak upaya kita untuk mengembangkan demokrasi. Bisa jadi system yang kita gunakan mempunyai banyak kelemahan, tetapi begitu kita sudah sepakat untuk mengikuti system yang lemah tersebut, maka menjadi kewajiban kita untuk mentaatinya, apapun hasilnya.
[2] Pada masa kekaisaran Romawi, kata diktator tidak berkonotasi buruk, karena seseorang oleh Senat bisa diangkat secara resmi sebagai diktator, sebagaimana yang terjadi pada diri Julius Caesar, yang pada tahun 47 sebelum Masehi diangkat sebagai diktator untuk sepuluh tahun.

0 comments:

Posting Komentar