LANDREFORM: Relevansinya Saat ini

Hadi Wahono

Sebagaimana telah disinggung didalam postingan terdahulu, dalam judul UUPA: Faktor Pendorong Pembentukannya, pemerintah Indonesia pada masa awal kemerdekaannya selain dihadapkan pada masalah kemiskinan, terutama kemiskinan pedesaan yang serius, juga masalah pertanahan, khususnya tanah pertanian.  Dalam rangka memecahkan masalah kemiskinan pedesaan, ada tiga pola pembangunan pedesaan yang bisa dipilih oleh pemerintah, yaitu yang pertama, berupa kebijakan-kebijakan yang berdasarkan strategi pertumbuhan dalam bentuk usaha peningkatan produktifitas petani dan buruh tani disektor pertanian. Menurut pandangan ini daerah pedesaan didiami oleh petani-petani besar maupun kecil yang tetap miskin akibat teknologi primitif, tidak tersedianya irigasi dan lain-lain prasarana pedesaan, kekurangan input pelengkap seperti pupuk dan kredit dan struktur harga serta insentif yang tidak layak. Karena itu, tugas pembangunan pedesaan pada dasarnya adalah menyediakan input-input dan insentif yang tidak ada tersebut. Proses modernisasi pertanian tradisionil ini diharapkan dapat meningkatkan produktifitas pertanian dan pendapatan pedesaan serta melancarkan pertumbuhan pertanian atas daya sendiri, yang kemudian akan dapat menyediakan sumber-sumber daya untuk menggerakkan industri. Keberhasilan program pembangunan pedesaan dengan pola ini membutuhkan dukungan paket-paket pendukung yang berupa kredit lunak, subsidi pupuk dan berbagai input pertanian (saprotan) lainnya.
            Yang kedua, mengupayakan pemerataan melalui pola pendekatan kelompok sasaran, dimana kelompok sasaran (masyarakat miskin desa) yang secara langsung akan menerima keuntungan dari paket-paket pembangunan yang dikembangkan. Dengan kata lain, paket-paket pembangunan harus ditujukan secara langsung kepada kaum miskin pedesaan yang merupakan kelompok sasaran (target group) program yang bersangkutan. Pola ini dilandasi pemikiran bahwa paket program yang ditujukan pada masyarakat petani secara umum dan tidak pilih-pilih (sebagaimana pola pembangunan pedesaan yang pertama) seringkali tidak berhasil mengurangi kemiskinan pedesaan, karena seringkali hanya masyarakat kelas atas desa yang mampu memanfaatkannya, sementara masyarakat miskinnya tetap tertinggal. Hal ini bisa menimbulkan gap kaya miskin yang cukup lebar, yang dalam rangka kehidupan masyarakat pedesaan bisa mengakibatkan terjadinya pemiskinan lanjutan akibat pemerasan oleh mereka yang kaya terhadap yang miskin.
            Yang ketiga adalah pembangunan dengan pemerataan asset. Dalam produksi pertanian, tanah pertanian merupakan faktor produksi utama. Karena itu, pembangunan dengan pemerataan asset berarti pembangunan dengan pemerataan atas penguasaan dan pemilikan tanah pertanian. Pola ini menghendaki pembangunan pedesaan yang didahului dan didasarkan pada landreform.
Dari pemahaman pemerintah pada masa akhir tahun 1950-an, kemiskinan, khususnya kemiskinan pedesaan disebabkan oleh ketimpangan penguasaan tanah dan penggunaan tanah sebagai alat pemerasan. Karena itu, pada tahun 1960 dalam sistem pemerintahan yang menamakan dirinya sebagai Demokrasi Terpimpin, pemerintah memilih pembangunan model ketiga, yaitu pembangunan pedesaan dengan didahului dengan Landreform. Ada tiga tujuan yang ingin dicapai dari pilihan model ini, yaitu:
  1. Memberantas kemiskinan pedesaan.
  2. Mengurangi ketidak adilan penguasaan sumber daya terpenting dalam sistem produksi masyarakat desa, yaitu tanah.
  3. Menghapuskan penggunaan tanah sebagai alat pemerasan.
Tetapi upaya Landreform yang dilancarkan oleh pemerintah Orde Lama tersebut mengalami kegagalan. Hingga berakhirnya pemerintahan Orde Lama yang didahului dengan huru-hara tahun 1965, Landreform sama sekali tidak dapat dilaksanakan. Penyebab kegagalan landreform Indonesia tahun 1960 adalah karena tak adanya cukup dukungan politik dari kekuatan-kekuatan politik yang ada saat itu. Akibatnya, sebagai hasil kompromi dari tarik-menarik berbagai kepentingan elite politik dan masyarakat, perundang-undangan landreform yang dihasilkan juga sangat tidak memadai. Terlalu banyak cacat-cacat bawaan yang mengakibatkan tidak memungkinkannya perundang-undangan yang ada untuk dilaksanakan.
Rezim Orde Baru, sebagai pengganti Orde Lama, walaupun tidak secara terang-terangan, tidak memberlakukan lagi program landreform, memilih pola pembangunan pedesaan yang pertama, yaitu usaha peningkatan produktifitas petani dan buruh tani disektor pertanian melalui program intensifikasi pertanian. Saat itu pilihan ini tampaknya sangat realistis karena upaya meningkatkan intensifikasi pertanian mendapatkan materinya dari Revolusi Hijau yang sedang dipromosikan dengan gencarnya pada saat itu. Dari sinilah Revolusi Hijau masuk dalam kosa kata bahasa Indonesia.
Meskipun rejim Orde Baru sama sekali tidak memberlakukan landreform, tetapi mereka juga tidak pernah mencabut berbagai peraturan perundang-undangan landreform. Cara Orde Baru tidak memberlakukan landreform adalah dengan membuat peraturan atas nama pelaksanaan landreform, tetapi yang sesungguhnya memandulkan sama sekali program landreform.
Ada tiga alasan yang dipakai Orde Baru sebagai dasar penolakan secara diam-diam program landreform. Yang pertama, landreform secara ekonomis dipandang tidak tepat. Dalam kondisi kelangkaan tanah, pembagian tanah hanya akan mengakibatkan pemerataan kemiskinan. Pandangan ini didukung oleh hasil Sensus Pertanian tahun 1973 dimana tergambar betapa sempitnya rata-rata penguasaan tanah pertanian usaha tani di Indonesia. Dari hasil Sensus Pertanian tahun 1973 nampak untuk seluruh Indonesia, rata-rata usaha tani hanya menguasai tanah pertanian seluas 0,98 ha dengan jumlah usaha tani sebanyak 14.373.000  Sementara untuk Jawa dan Madura, usaha tani sebanyak 8.665.000 (yang merupakan 60% dari seluruh usaha tani di Indonesia) penguasaan rata-rata tanah pertaniannya hanya 0,64 ha. Bahkan Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi yang pulaunya demikian luas dan jumlah usaha taninya relatif sedikit (masing-masing 19,8%, 4,8%, dan 7,7% dari seluruh usaha tani di Indonesia), luas rata-rata lahan yang dikuasai hanya 1,34 ha untuk Sumatra, 2,71 ha untuk Kalimantan, dan 1,52 ha untuk Sulawesi.

TABEL 2.1.
JUMLAH DAN LUAS RATA-RATA USAHA TANI, 1973
Pulau
Luas rata-rata (ha)
Jumlah Usaha Tani
(ribuan)
Persen
Jawa – Madura
0,64
8.665
60,3
Sumatra
1,34
2.846
19,8
Kalimantan
2,71
689
4,8
Sulawesi
1,52
1.102
7,7
Nusa Tenggara
1,37
951
6,6
Maluku
2,17
120
0,8
Indonesia
0,98
14.373
100,0
Sumber:         BPS, Sensus Pertanian, 1973
Dikutip dari:   Mubyarto, 1982, hal 18
Dengan dukungan data yang menunjukkan luas rata-rata penguasaan tanah usaha tani di Indonesia dan diberbagai pulau sangat sempit, penguasa menganggap landreform sangat tidak rasional dan hanya akan mengakibatkan pemerataan kemiskinan semata.
Dengan nada yang sama, Joan Harjono menulis: “Walaupun merupakan kebenaran yang meyakinkan bahwa keadilan yang lebih besar dalam distribusi akses sumberdaya baik secara global maupun regional akan meningkatkan standard hidup orang-orang miskin secara memadai, pencapaian tujuan keadilan tidak dengan sendirinya menjamin standar hidup yang lebih tinggi jika sumberdaya itu sendiri tetap terbatas” (Joan Harjono, hal. 1).
Dalam rangka membantah pandangan bahwa landreform yang dilaksanakan dalam masyarakat yang mengalami kelangkaan tanah pertanian hanya akan berarti pembagian kemiskinan, Eddy Lee menyangkal dengan menyatakan bahwa argumen kelangkaan tanah biasanya didukung oleh perhitungan sederhana dengan maksud untuk menunjukkan bahwa seluruh areal tanah yang tersedia, bila dibagi sama diantara penduduk yang memenuhi syarat, akan menghasilkan usaha-usaha tani dibawah ukuran yang bisa hidup (minimum viable size). Beberapa bantahan kiranya dapat diajukan terhadapnya. Pertama, hanya sedikit sekali negara dimana bukti perhitungan seperti itu berlaku, namun bukti itu diajukan sebagai dasar penolakan terhadap kemungkinan land reform dimanapun. Kedua, tersedianya tanah hanya ditentukan sehubungan dengan tingkat teknologi sekarang ini sehingga ukuran yang dapat hidup (minimum viable size) bukan merupakan data yang tidak dapat ditawar lagi. Kenyataannya tingkat teknologi itu sendiri merupakan akibat ketimpangan pembagian tanah yang memperlambat kemajuan teknis perluasan tanah. Ketiga, terdapat suatu paradoks dalam argumen itu. Jumlah produksi pangan di daerah-daerah yang bahkan kekurangan tanah adalah ditingkat dimana tersedianya pangan per jiwa melebihi kebutuhan gizi minimum. Karena tiada dis-ekonomi skala, tetapi sebaliknya seluruh faktor produktivitas lebih tinggi dalam unit-unit yang lebih kecil, maka tidak dapat dikatakan bahwa landreform akan menghasilkan suatu situasi dimana penghidupan minimum tidak dapat diperoleh semata-mata karena kelangkaan tanah. Mungkin juga dapat ditanyakan mengapa dalam suatu situasi sesudah reform dimana ketidak sempurnaan pasar telah disingkirkan, perangsang-perangsang baru diberikan dan tersedia jumlah tanah dan tenaga kerja yang sama, hasilnya harus lebih rendah dan nasib buruh tani harus lebh buruk. Yang keempat adalah bantahan pengalaman; Cina dan Korea Selatan mencapai sukses dalam land reform dalam keadaan kelangkaan tanah yang lebih hebat dari pada di negara-negara seperti India dimana argumen kelangkaan tanah diterapkan. Akhirnya, hambatan ukuran minmum, bahkan kalau berlaku, hanya akan mengikat kalau usaha tani perorangan adalah sat-satunya pilihan yang mungkin. Itu jelas tidak benar, landreform dapat disusul dengan pembentukan usaha-usaha tani kolektif atau kelompok-kelompok yang lebih luwes dalam penyerapan tenaga kerja dan pembagian pendapatan. Momok “massa buruh tani tanpa tanah yang terlalu banyak” dapat diatasi dengan inovasi pengaturan kelembagaan (Eddy Lee, Analisa no. 3 tahun 1981, hal 199 – 200).
            Alasan yang kedua atas penolakan pelaksanaan program landreform adalah karena program Landreform dipandang akan menghambat pembangunan. Alasan ini dilandasi pemikiran bahwa dalam upaya membawa masyarakat desa memasuki era modernisasi dan pembangunan, keberadaan orang-orang kaya desa menjadi sangat penting dan dibutuhkan. Pandangan ini dilandasi asumsi yang salah, yang menganggap masyarakat desa, khususnya masyarakat kelas bawah desa, adalah masyarakat yang kolot, yang selalu berpegang pada tradisi, tidak rasional[1],  dan karenanya tidak mau menerima inovasi. Berlandaskan pada asumsi yang salah ini, muncul pandangan bahwa untuk memperlancar dan mempercepat proses pembangunan desa yang memerlukan masuknya banyak inovasi kedesa, diperlukan orang-orang kaya desa sebagai wahana penyebaran inovasi. Pemikiran ini didasarkan pada pandangan bahwa masyarakat desa yang kaya adalah masyarakat yang relatif modern, yang telah bersentuhan secara luas dengan dunia luar, yang karenanya mudah menerima berbagai pembaharuan. Karena itu, gangguan terhadap asset orang kaya desa dipandang tidak akan menguntungkan, malah sebaliknya akan menjadi kontra produktif.
            Pembagian kekayaan yang berupa tanah yang akan menimbulkan pemilikan dan penguasaan tanah sempit dipandang tidak menguntungkan pembangunan. Pada masa penyitaan dan pembagian tanah (redistribusi) akan terjadi kekacauan pedesaan yang dapat dipastikan akan berimbas pada kekacauan usaha pertanian. Setelah masa pembagian tanah selesai, yang akan terjadi adalah bahwa kebanyakan petani hanya menguasai lahan pertanian yang sempit. Penguasaan lahan pertanian yang sempit tidak memungkinkan berkembangnya pertanian modern (mekanisasi pertanian), dan petani berlahan sempit tidak akan terangsang untuk menanam tanaman yang laku dipasaran internasional. Petani berlahan sempir akan cenderung untuk melaksanakan pola pertanian subsisten. Hal ini tidak menguntungkan dari sudut ekonomi makro karena tidak bisa mengharap perolehan devisa dari sektor pertanian.
            Disamping itu, yang merupakan pemikiran yang tidak pernah diungkapkan secara terang-terangan, adalah bahwa ketunakismaan dan kemiskinan sebagian besar masyarakat desa merupakan faktor yang menguntungkan dalam mempercepat proses industrialisasi yang sedang giat-giatnya diupayakan pada awal tahun 1970-an. Masyarakat desa yang miskin dan tak bertanah merupakan sumber buruh murah bagi industri diperkotaan yang baru tumbuh tersebut. Ironisnya, dalam rangka menarik minat investor asing menanamkan modalnya di Indonesia, melimpahnya buruh murah ini oleh penguasa Orde Baru tanpa malu-malu selalu didengung-dengungkan, dan dipandang sebagai keuntungan komparative[2].
Argumen yang nampaknya demikian kuat, ternyata tidak didukung oleh bukti empiris. Pengalaman banyak negara yang melaksanaan landreform dengan baik malah menunjukkan bukti sebaliknya.  Hal ini terbukti dari pengalaman negara-negara di Asia Timur yang melaksanakan program pembangunan pedesaan yang didahului dengan landreform yang luas, yang berhasil membagikan tanah secara lebih merata kepada para petani yang menggarap tanah, juga berhasil didalam program pembangunan pedesaannya.
Salah satu pengalaman pelaksanaan landreform yang menunjukkan bukti sebaliknya, yaitu berhasilnya pembangunan setelah pelaksanaan landreform, adalah Taiwan. Salah satu penyebabnya adalah bahwa dengan reforma agraria, penyebaran pendapatan menjadi lebih merata dan produktifitas meningkat. Bahkan, produktifitas tanah yang tertinggi terdapat pada usaha-usaha tani yang luasnya dibawah 0,5 hektar (Gunawan Wiradi, dalam Sediono M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (penyunting), 1984: 321). Pengalaman Taiwan ini memberi pelajaran berharga pada kita bahwa penguasaan tanah yang sempit tidak mengakibatkan penggarapan tanah yang tidak efisien, tetapi yang terjadi malah sebaliknya.
Cina, negara dengan jumlah penduduk yang terbesar di dunia, yang dalam jangka waktu sedikit kurang daripada satu generasi telah berhasil dalam memenuhi kebutuhan dasar dari mayoritas besar dari penduduknya, malahan mungkin seluruh penduduknya. Khususnya didaerah-daerah pedesaan dimana lebih dari tiga perempat penduduk Cina masih bermukim, Cina selama tahun-tahun 1950-an telah berhasil meningkatkan pendapatan 20 persen dari golongan termiskin penduduk pedesaan dengan hampir 90 persen, dibanding dengan pendapatan riil mereka pada tahun-tahun 1930-an. Mekanisme utama yang dipakai untuk mencapai redistribusi ini adalah landreform konvensional yang dilaksanakan selama awal dasawarsa 1950-an. (DR. Thee Kian Wie (1) hal 29 – 30).
Hambatan pembangnan terjadi bukan akibat pembagian tanah yang mengakibatkan rata-rata penguasaan tanah pertanian menjadi sempit, tetapi malah sebaliknya, hambatan pembangunan akan terjadi jika terdapat ketimpangan penguasaan tanah pertanian. Ketimpangan penguasaan tanah (kekayaan) yang besar, yang berarti juga terdapatnya ketimpangan kekuasaan di pedesaan akan menghambat pembangunan pedesaan dengan berbagai cara. Pertama, dalam konteks pertumbuhan penduduk pedesaan di negara-negara yang terbatas tanah pertaniannya, meningkatnya pemusatan pemilikan tanah dan/atau membekunya kemungkinan mendapat tanah berarti pemecahan milik-milik tanah dan marginalisasi petani. Kedudukan tanpa tanah adalah akibat langsung dari pemusatan pemilikan tanah. Kedua, mengingat eratnya kaitan antara kekuatan ekonomi dan kekuatan politik, ketimpangan melestarikan dan memperkuat kepentingan-kepentingan yang mapan. Sebagai contoh, landreform dan pembaruan sistem sewa di blokir dengan menggunakan kekuatan politik; kebijaksanaan pajak dan harga dimanipulasikan oleh tuan-tuan tanah dan petani-petani kaya, dan keuntungan pemberian kredit dan koperasi sebagian disadap sebelum sampai pada kaum miskin. Ketiga, distorsi-distorsi pasar yang serius menghambat perataan rangsangan-rangsangan pembangunan. Pemasukan teknik biasanya meningkatkan ketimpangan karena petani-petani kaya berada dalam kedudukan yang lebih menguntungkan untuk menyambut teknologi baru dan adanya distorsi pasar dapat menjurus ke mekanisasi yang menggeser tenaga kerja. Terakhir, penting dicatat bahwa bermacam-macam mekanisme saling memperkuat dan tidak dapat dipatahkan dengan campur tangan selektif pemerintah. Inilah salah satu sebab utama mengapa bermacam-macam perubahan paket pembangunan gagal semuanya untuk melakukan terobosan yang diharapkan dalam pembangunan pedesaan yang menyeluruh. Pemberian modal, teknologi baru dan pelayanan baru saja ternyata tidak memadai untuk mengurangi kemiskinan massa, bila tidak ada instrumen untuk mempengaruhi pembagian akhirnya dalam ekonomi pedesaa (Eddy Lee, Analisa, 190).
Bagaimanapun juga, program pembangunan pedesaan baru akan efektif dan berhasil jika bantuan dan fasilitas yang disediakan oleh pemerintah tidak hanya terbatas pada para petani yang lebih berada, tetapi juga terjangkau oleh kalangan petani yang luas, termasuk petani-petani kecil. Dengan demkian maka program pembangunan pedesaan yang didahului dengan landreform yang efektif bukan saja akan berhasil mewujudkan pembagian kekayaan dan pendapatan yang lebih merata, tetapi juga merupakan sumber pertumbuhan ekonomi yang pesat, karena berhasil mendorong proses industrialisasi yang pesat, yang terutama diarahkan kepada kebutuhan dasar rakyat, dan bukan saja kepada kebutuhan golongan atasan yang berada. (DR. Thee Kian Wie (1) halaman 56).
Dalam hubungan dengan pengaruh program landreform terhadap pembangunan, kiranya perlu disebut pekerjaan kelompok bersama dari Bank Dunia dan Lembaga Studi Pembangunan pada Universitas Sussex. Pekerjaan kelompok ini kemudian dimuat dalam terbitan bersama IBRD/IDS, yaitu Redistribution With Growth (Redistribusi dengan Pertumbuhan Ekonomi) yang disunting oleh Hollis Chenery at.al. Dalam buku ini disajikan empat cara untuk meningkatkan kesejahteraan golongan miskin melalui redistribusi dengan pertumbuhan (RWG), yaitu dengan jalan memaksimalkan pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan tabungan serta alokasi sumber-sumber daya yang lebih efisien yang menguntungkan seluruh golongan masyarakat, tetapi khususnya golongan-golongan yang berpendapatan rendah, terutama melalui realokasi dana investasi yang menguntungkan golongan-golongan ini, dan redistribusi harta (assets) produktif (misalnya landreform) serta redistribusi pendapatan, melalui sistem fiskal atau alokasi barang-barang konsumsi yang langsung kepada golongan-golongan ini. (DR. Thee Kian Wie (1) hal. 26 – 27).
Pertumbuhan ekonomi yang pesat dan pemerataan hasil-hasil pembangunan tidak selalu saling bertentangan. Walaupun di kebanyakan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, pertumbuhan ekonomi yang pesat dibarengi oleh pembagian pendapatan yang makin timpang, dibeberapa negara berkembang lainnya seperti Korea selatan dan Taiwan, pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat (malah termasuk yang paling pesat diantara negara-negara berkembang) dibarengi oleh pembagian pendapatan yang makin merata. Bukan itu saja, tetapi pemerataan hasil-hasil pembangunan juga dibarengi oleh perbaikan dalam mutu hidup (quality of life) di negara-negara tersebut, seperti terlihat dari beberapa indikator, misalnya angka pengangguran yang relatif rendah dan angka kematian yang relatif rendah, harapan hidup (life expectancy) yang tinggi, dan lain-lain.
Penelitian yang dilakukan oleh profesor Harry Oshima, guru besar tamu pada Universitas Filipina, menunjukkan bahwa negara-negara kawasan Asia Timur, yang meliputi Jepang, Taiwan, Korea Selatan, dan Hong Kong, selama kurun waktu 1950 – 1975 mengalami kenaikan dalam GNP per kapita yang rata-rata berjumlah 6 persen setahun. Dilain pihak negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand, selama kurun waktu yang sama mengalami kenaikan dalam GNP per kapita sebanyak 3 persen setahun, sedangkan negara-negara Asia Selatan, termasuk India, Pakistan, Bangladesh, dan Nepal, telah bertumbuh dengan lebih lamban lagi, yaitu rata-rata hanya 1,5 persen setahun.
            Walaupun negara-negara Asia Timur bertumbuh dengan paling pesat, namun dalam hal pembagian pendapatan memperlihatkan pola yang lebih merata daripada negara-negara Asia tenggara dan Asia Selatan. Angka indeks Gini, yang merupakan salah satu indeks dari ketimpangan pembagian pendapatan, untuk negara-negara Asia timur adalah 0,4, sedangkan untuk negara-negara Asia Tenggara dan Asia Selatan adalah lebih tinggi, yaitu 0,5.
            Dengan demikian maka pengalaman dari negara-negara Asia Timur memperlihatkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang pesat tidak otomatis bertentangan dengan pemerataan hasil-hasil pembangunan. (DR. Thee Kian Wie (1) halaman 55).
Alasan yang ketiga dalam menolak program Landreform adalah bahwa program landreform secara politis dianggap sebagai program yang kontra produktif, yang lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Kerusuhan-kerusuhan pedesaan pada masa awal hingga pertengahan tahun 1960-an sebagai akibat konflik-konflik landreform selalu dijadikan alasan pembenar atas penolakan program landreform. Dengan nada yang sedikit berbeda, DR. A.T. Birowo menulis bahwa pilihan (pembangunan) yang menyangkut kebijaksanaan yang berorientasikan pemerataan dan mencakup redistribusi kekayaan dan pendapatan sangat sukar dilaksanakan karena menyangkut perubahan-perubahan dalam struktur kekuasaan yang ada sekarang. Landreform dan agrarian reform telah dikumandangkan sejak tahun 1960-an, tetapi hasilnya boleh dikatakan mengecewakan (A.T. Birowo, Prisma no. 10 tahun 1982, hal. 40).
            Dasar alasan yang pertama yang menggunakan pengalaman landreform Indonesia tahun 1960 jelas tidak dapat dibenarkan. Kerusuhan-kerusuhan pedesaan yang terjadi pada tahun 1960-an sebagai akibat konflik masyarakat dalam soal pelaksanaan landreform sesungguhnya disebabkan karena landreform yang tidak dilaksanakan, bukannya sebagai akibat pelaksanaan landreform itu sendiri. Bahkan, hingga akhir kekuasaan rejim Orde Lama, landreform boleh dikata belum pernah dilaksanakan dengan bersungguh-sugguh. Hambatan malah muncul dari panita landreform dan penguasa sendiri, yang berkerjsama dengan para pemilik tanah luas di desa dan orang-orang kota pemilik tanah guntai. Bahkan para anggota panita pelaksana itu sendiri atau keluarga mereka seringkali adalah pemilik-pemilik tanah luas atau tanah guntai.
            Kalau di negara-negara lain, seperti Rusia, Cina, Cuba, Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Mesir, dan masih banyak lagi negara-negara yang melaksanakan landreform tanpa harus mengalami huru-hara pedesaan sebagaimana yang pernah kita alami pada tahun 1960-an yang berujung pada huru-hara besar tahun 1965, mengapa pada masa Indonesia modern kita tidak dapat mengikuti jejak negara-negara lain yang telah melaksanakan landreform tanpa harus mengalami huru-hara besar?
Alasan yang kedua, bahwa landreform sangat sukar dilaksanakan karena menyangkut perubahan-perubahan dalam struktur kekuasaan yang ada sekarang, tidak dapat dijadikan alasan penolakan program landreform. Bagaimanapun, masalah ini sangat tergantung sepenuhnya pada goodwill penguasa. Yang harus dipertanyakan adalah, apakah penguasa Indonesia saat ini betul-betul mempunyai kehendak untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur, atau hanya ingin mempertahankan kekuasaan dan kekayaannnya semata-mata? Kalau di Rusia, Cina, Jepang, taiwan dan Korea Selatan dan diberbagai negara lain penguasa negara bisa melaksanakan landreform, mengapa penguasa Indonesia tidak bisa?
Berdasarkan ketiga alasan tersebut oleh penguasa Orde Baru program landreform dihentikan sama sekali. Tetapi penghentian dan penolakan program landreform hanya dilakukan secara diam-diam, tidak pernah dinyatakan secara terbuka. Penguasa Orde Baru tetap mengesankan kepada masyarakat miskin desa yang jumlahnya memang sangat besar, bahwa mereka masih memiliki komitmen dengan upaya mencapai keadilan sosial yang salah satunya diupayakan melalui landreform.
LANDREFORM, PEMBANGUNAN, DAN KEADILAN SOSIAL
Dari uraian diatas sebetulnya sudah nampak jelas hubungan landreform, keberhasilan pembangunan dan terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan. Landreform yang mampu menyediakan dan meningkatkan penguasaan faktor produksi utama bagi golongan miskin pedesaan yang berupa tanah, bisa dipastikan akan menggerakkan suatu rantai perubahan positif dalam skala luas. Pendapatan buruh tani dan petani berlahan sempit yang berjumlah sangat banyak akan meningkat. Menurut pengalaman, sebagaimana yang terjadi di Taiwan, usaha-usaha petani kecil mempunyai faktor produktivitas yang lebih tinggi daripada usaha-usaha tani besar. Ini berarti program landreform yang menimbulkan perubahan ke arah lebih banyak unit-unit produksi yang lebih kecil dengan semakin meningkatnya jumlah pemilik tanah yang semula adalah petani tak bertanah, akan meningkatkan jumlah produktivitas pertanian. Meningkatnya produktifitas pertanian yang berarti meningkatnya daya beli sangat banyak penduduk pedesaan akan memungkinkan masyarakat pedesaan untuk menyerap hasil produksi teknologi perkotaan (teknologi modern).
Pemilikan tanah rata-rata yang lebih kecil juga mencegah mekanisasi prematur yang menggeser tenaga kerja. Lebih dari itu, perataan kemajuan teknis dan keuntungan-keuntungan investasi pemerintah yang lebih luas dimungkinkan oleh penyingkiran distorsi-distorsi pasar dan rintangan-rintangan politik maupun ekonomi yang menghambat kemajuan dibawah pola pemilikan tanah yang sangat terpusat. Dengan meratakan pembagian kekayaan, landreform menghilangkan ketergantungan, mengurangi pemerasan dan menciptakan prasyarat-prasyarat bagi partisipasi massa pedesaan yang sungguh-sungguh dalam kehidupan politik dan ekonomi. Diatas semuanya itu, landreform menciptakan dasar bagi pertumbuhan dalam pertanian yang tidak mengakibatkan kemiskinan pedesaan yang endemis. Ini akan berlaku apakah sistem agraris sesudah reform akan mengambil bentuk pertanian kolektif atau pertanian sama rata (egaliterian); unsur kuncinya ialah bahwa penduduk desa sama-sama dapat menguasai tanah. Persamaan penguasan ini adalah jaminan terbaik dalam menghadapi marginalisasi dan pemiskinan. Bahkan kalau pola pertumbuhan sesudah reform itu lebih mengutamakan sektor industri, beban sektor pedesaan akan dibagi lebih luas dan pembagiannya tidak terpusat dalam bentuk kesengsaraan golongan miskin pedesaan. Pengalaman pertanian kolektif di Cina dan pertanian sama rata di Korea Selatan merupakan ilustrasi kebenaran rumus ini (Eddy Lee, Analisa no. 3 tahun 1981). Satu hal yang pasti, program landreform yang memungkinkan terjadinya pembagian yang merata atas sumberdaya utama pertanian (tanah) akan sangat mengurangi ketimpangan kekayaan dan pembagian pendapatan masyarakat.
Pada dasarnya ketimpangan dalam pembagian pendapatan mencerminkan kepincangan dalam pembagian harta (assets), baik harta fisik (modal, mesin, dan sebagainya) maupun harta bukan fisik, yaitu ketrampilan manusia. Harta ini menghasilkan pendapatan (income-earning assets), sehingga makin banyak seseorang memiliki harta, makin tinggi pendapatannya. Pola pembagian pendapatan yang sangat timpang untuk sebagian besar disebabkan oleh ketimpangan besar dalam pembagian harta. Sebaliknya ketimpangan yang relatif rendah dalam pembagian pendapatan di Indonesia pada tahun 1969 mencerminkan pula pola konsentrasi harta yang relatif rendah, sedikit-sedikitnya jika dibandingkan misalnya dengan India atau Filipina. Dibanding dengan kedua negara diatas, maka di Indonesia golongan pemilik tanah yang besar atau golongan pengusaha/industrialis yang besar masih relatif kecil.
            Jika pembagian harta banyak menentukan pembagian pendapatan, maka hal ini berarti bahwa usaha pemerataan pendapatan hanya dapat digarap secara efektif dengan usaha pemerataan pembagian harta, baik harta fisik maupun harta bukan fisik. Pengalaman di negara-negara lain telah menunjukkan bahwa usaha pemerataan pendapatan melalui pajak progresif dan pembayaran transfer (subsidi) kepadaa golongan miskin termasuk apa yang dinamakan kebijaksanaan lunak (soft policies) yang dalam jangka panjang tidak banyak berhasil untuk mengadakan perubahan yang berarti daam pembagian pendapatan. Dengan demikian maka usaha sungguh-sungguh untuk memeratakan pendapatan mau tidak mau memerlukan kebijaksanaan keras (hard policies) yang ditujukan pada redistribusi harta, baik harta fisik maupun harta bukan fisik. (DR. Thee Kian Wie (1) halaman 70 – 71). Salah satu bentuk hard polcies tersebut adalah program landreform.

Kepustakaan
  1. Mubyarto, Pengantar Ekonomi Pertanian, LP3ES, Jakarta, 1982.
  2. Hardjono, Joan, Land, Labour and Livelihood In a West Java Vilage, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1993.
  3. “Analisa”, majalah, no. 3 tahun 1981
  4. Tjondronegoro, Sediono M.P. dan Gunawan Wiradi (penyunting), Dua Abad Penguasaan Tanah, PT. Gramedia, Jakarta, 1984
  5. Prisma no. 10 tahun 1982



[1] Pandangan demikian jelas salah, karena sulitnya mereka menerima inovasi sebetulnya menunjukkan bahwa mereka sangat rasional. Mereka tidak mudah tergiur oleh sesuatu yang baru, yang belum tentu hasilnya akan lebih baik dari apa yang selama ini mereka jalani. Kegagalan akibat terburu-burunya menerima sesuatu yang baru akan berarti kematian bagi mereka, sebagai akibat kondisi ekonomi mereka yang telah mendekati ambang batas kehancuran. 
[2] Yang patut dipertanyakan adalah, keuntungan untuk siapa? Yang pasti, bagi petani dan rakyat Indonesia pada umumnya, kemiskinan bukanlah keuntungan, tetapi merupakan kerugian dan penderitaan. 


0 comments:

Posting Komentar