NATION AND CHARACTER BUILDING


Hadi Wahono


Frasa “Nation and Character Building” merupakan frasa yang sering diungkapkan oleh Bung Karno, presiden pertama Republik Indonesia. Saya sengaja menggunakan judul ini, dengan mengingat situasi dan kondisi masyarakat, khususnya sebagian besar elite-elite bangsa kita yang sudah sedemikian runyamnya. Para elite bangsa ini dengan menghalalkan berbagai cara berusaha untuk menduduki kursi kepemimpinan pemerintahan, yang pada akhirnya melakukan berbagai tindak koruptif untuk memperkaya diri, keluarga, dan (kadang-kadang) golongan. Banyak kalangan elit yang mengupayakan untuk menduduki kursi kepemimpinan kenegaraan dengan berbagai cara yang tidak relevan dalam hubungannya sebagai pemimpin bangsa, seperti melalui pencitraan diri (dan sekedar hanya citra), pembelian suara pemilih, yang buntut-buntutnya biaya besar yang sudah dikeluarkannya harus dikembalikan melalui korupsi jika nanti mereka berkuasa.
Jika mereka bertengkar, bukan karena mereka berebut ingin menerapkan konsep atau ideology, atau apapun namanya, yang berbeda satu sama lain, tetapi hanya untuk memperebutkan kursi kepemimpinan. Sekali lagi, tidak lebih hanya untuk memperebutkan kursi kepemimpinan, yang seringkali tidak ada relevansinya dengan kehidupan rakyat banyak. Saat ini, kepemimpinan sudah tidak lagi dilihat sebagai amanat dari Yang Maha Kuasa, atau paling tidak sebagai mandat rakyat untuk membawa bangsa ini kearah kehidupan yang lebih baik, tetapi lebih sebagai karcis untuk meraih kekayaan yang melimpah dan kehormatan semu.
Sementara itu, non-governing elite (elit yang tidak memegang kekuasaan pemerintahan secara langsung), hanya memikirkan kepentingan mereka sendiri, bisnis mereka sendiri, dan hidup dalam hedonisme, tanpa memperdulikan nasib rakyat yang hidupnya semakin sulit. Saya khawatir, bangsa yang demikian sudah semakin mendekatkan diri pada jurang kehancurannya.
Pernyataan terakhir tersebut bukannya tanpa alasan, karena lebih dari dua ribu tahun yang lalu pernah dialami oleh sebuah imperium yang bernama Kartago. Sebagai sebuah imperium yang pada masanya sangat besar, yang meliputi wilayah Afrika Utara hingga Spanyol dan Portugis, dapat dihancurkan oleh kekuatan Romawi yang baru tumbuh, yang bahkan pada perang Punisia ke tiga, Kartago dibakar habis dan semua penduduknya, khususnya laki-laki yang kuat, dijadikan budak, sementara perempuannya kalau tidak dijadikan budak, diperkosa atau dibunuh. Padahal saat itu, sekitar tahun 200 sebelum Masehi, Kartago selain merupakan imperium besar, juga mempunyai seorang jenderal yang mempunyai nama besar, yaitu Hannibal, seorang panglima perang yang oleh banyak ahli sejarah militer disejajarkan dengan Alexander Agung, Julius Caesar, Scipio dan Pyrrhus dari Epirus. Napoleon Bonaparte memandangnya sebagai ahli strategi besar, yang menurut  Norman Schwarzkopf, komandan pasukan koalisi dalam perang Teluk, walaupun peralatan perang sudah berubah secara luar biasa, tetapi prinsip-prinsip pertempuran yang diterapkan pada jaman Hannibal masih diterapkan hingga hari ini. Padahal, karena kehebatan strategi dan taktik perang Hannibal, tentara Kartago (yang sebagaian besar, mulai dari perwira rendah hingga prajuritnya adalah tentara bayaran), pernah menguasai dan malang melintang di hampir seluruh daerah Itali selama 15 tahun. Dari kisah sejarah dua kekuatan besar dunia pada masanya tersebut, Kalau kita coba bandingkan keduanya, ada beberapa hal yang menarik untuk disimak, khususnya sehubungan dengan kekalahan Kartago atas Romawi, yang saat itu belum merupakan imperium besar.
Yang pertama, Elit penguasa Kartago, yang saat itu menganut system pemerintahan republic (atau lebih tepatnya Aristokratik) mengalami perpecahan, sehingga kemenangan Hannibal tidak mendapat sambutan baik, malah mengakibatkan kekhawatiran elit diluar kelompok Hannibal. Mereka takut, kemenangan Hannibal akan memperkuat pengaruh kelompoknya didalam negari, hingga usaha Hannibal untuk menaklukkan Romawi tidak pernah mendapat dukungan dari negerinya, baik financial, tenaga militer, maupun peralatan perang, bahkan sering mengalami penghianatan dari dalam, khususnya dari kelompok-kelompok elit yang tidak menyukai kemenangan Hannibal, sebagai akibat perebutan pengaruh didalam negeri. Disamping itu, rakyat Kartago sama sekali sudah tidak bisa berperang, mereka merasa hidup aman, dan cenderung hedonis.
Sementara itu, elit Romawi selama peperangan melawan Kartago selalu bersatu, tidak pernah ada kudeta, tidak pernah ada huru-hara, tidak pernah ada penghianatan. Para Elit Romawi selalu berebut, tetapi bukan sekedar berebut kursi kepemimpinan, mereka berebut untuk memimpin pasukan melawan Hannibal, walaupun sudah banyak konsul dan diktaror dan panglima-panglima perang Romawi yang gugur dimedan perang melawan pasukan Hannibal. Dalam perang Punisia ke dua, meskipun mereka sudah terdesak, bahkan pasukan Hannibal telah mengepung kota Roma, namun demikian elit Romawi tidak pernah berfikir untuk menyerah atau mengadakan perjanjian perdamaian sebagai pihak yang kalah perang. Bahkan mereka tidak pernah menarik pasukan mereka yang berada diluar Itali untuk memperkuat Roma. Tekat mereka bulat, menang atau hancur sama sekali.  Akibatnya, dalam keadaan kota Roma terkepung, pasukan Romawi yang ada di Afrika mampu melakukan usaha serangan balik dengan mengepung kota Kartago. Celakanya, elit Kartago langsung merasa ketakutan ketika pasukan Romawi mendekati kota Kartago, hingga memanggil pulang Hannibal. Untuk jelasnya dalam memperbandingkan mental kedua bangsa tersebut, dapat dibaca pada website tentang Hannibal dan link didalamnya yang banyak memuat kisah Hannibal secara cukup lengkap).

Dari perbandingan tersebut nampak betapa kemengangan hanya dapat diraih oleh bangsa yang elit-elitnya maupun masyarakatnya mempunyai mental yang baik, mental yang mementingkan kebesaran dan kejayaan bangsanya, bukannya (meminjam istilah Bung Karno) bangsa tempe. Dari sini Nampak pentingnya seruan Bung Karno mengenai Nation and Character Building untuk tidak hanya diserukan kembali, tetapi diupayakan oleh masyarakat yang menyadari runyamnya bangsa ini dan karena itu, perlunya dilakukan upaya dalam rangka meningkatkan pembangunan karakter bangsa.


0 comments:

Posting Komentar