PEMISAHAN KEKUASAAN DAN DEMOKRASI


Hadi Wahono

Dalam hubungan dengan sistem pemerintahan Indonesia, berdasarkan ketentuan dalam UUD 1945 sebelum dilakukannya amandemen, sistem pemerintahan Indonesia sukar untuk dikategorikan kedalam kategori yang sudah lazim. Dalam ilmu ketatanegaraan, secara tradisional dikenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem pemerintahan presidensiel dan sistem pemerintahan parlementer. Dalam hubungan dengan kategori tradisional tersebut, sistem pemerintahan Indonesia pra-amandemen tidak dapat dikategorikan kedalam salah satu dari dua sistem tersebut. Didalam sistem pemerintahan yang dianut berdasarkan UUD 1945 pra-amandemen, Presiden selain menjabat sebagai kepala negara, juga sebagai kepala pemerintahan. Tetapi Presiden tidak dipilih secara langsung oleh rakyat, melainkan dipilih oleh MPR yang dipandang sebagai penjelmaan kedaulatan dan kehendak rakyat. Tetapi setelah memilih presiden, MPR tidak segera bubar (tidak sebagaimana halnya lembaga “electoral college” dalam pemilihan presiden Amerika serikat), karena sebagai lembaga pelaksana kedaulatan rakyat, lembaga ini merupakan lembaga yang bersifat tetap (permanen) yang mempunyai tugas selain memilih presiden, juga menyusun “Garis-garis Besar Haluan Negara” yang dipandang sebagai amanat rakyat yang harus dilaksanakan oleh Presiden sebagai pimpinan tertinggi lembaga eksekutif. Disamping itu, MPR juga mengeluarkan berbagai “ketetapan” yang dipandang sebagai pegangan bagi semua penyelenggara negara didalam melaksanakan tugas mereka, melakukan perubahan Undang-Undang Dasar (walaupun sebelum reformasi tidak pernah dilakukan), dan meminta pertanggungjawaban Presiden, termasuk memberhentikan presiden sebelum masa jabatannya berakhir. Dengan demikian, didalam sistem pemerintahan Indonesia pra-amandemen UUD, dalam sistem pemerintahan Indonesia terdapat ciri sistem pemerintahan parlementer sekaligus juga ciri sistem pemerintahan presidensiel, karena presiden dapat diberhentikan oleh MPR sebelum masa jabatannya berakhir (seolah-olah seperti sistem pemerintahan parlementer), tetapi Presiden tidak dapat membubarkan parlemen (MPR atau DPR), dimana hal ini merupakan ciri sistem pemerintahan presidensiel. Karena itu, oleh banyak ahli ketatanegaraan Indonesia, sistem tersebut dianggap rancu, atau bahkan ada yang menyebutnya sebagai sistem yang banci, karena tidak jelas apakah menganut sistem presidensiel atau parlementer. Berdasarkan pandangan tersebut, maka pada masa pasca reformasi terdengar tuntutan yang gencar untuk memperbaiki sistem pemerintahan Indonesia, dimana banyak pendapat menginginkan untuk menganut sistem pemerintahan presidensiel yang murni, dengan pemisahan kekuasaan yang tegas, yang akan memberikan kejelasan pada sistem yang dianut. Nampaknya, dipilihnya sistem presidensiel sebagai sistem pengganti daripada yang didasarkan pada UUD 1945 (pra-amandemen) tidak lepas dari semakin Amerika sentrisnya acuan para pemikir kenegaraan dan politisi kita.
Dengan adanya tuntutan mengenai dilakukannya pemisahan kekuasaan yang tegas pada masa awal reformasi dan selama usaha untuk melakukan amandemen atas UUD 1945, yang menjadi permasalahan adalah, seberapa besar peran pemisahan kekuasaan dalam menentukan keberlangsungan sistem demokrasi? Dengan kata lain, apakah pemisahan kekuasaan merupakan persyaratan bagi berlangsungya sistem demokrasi?
Salah satu dasar dari dikembangkannya pemikiran mengenai perlunya pemisahan kekuasaan adalah banyaknya anggapan dari para ahli ketatanegaraan yang menganggap bahwa kediktatoran akan terjadi pada negara dimana berbagai kekuasaan penting kenegaraan dipegang disatu tangan. Orang, atau lembaga yang memegang berbagai kekuasaan ditangannya sendiri, akan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan tersebut. Hal ini pernah diungkapkan oleh Lord Acton, seorang bangsawan dan ahli sejarah Inggris pada abad kesembilan belas, yang menyatakan bahwa “kekuasaan cenderung jahat, dan kekuasaan yang absolut pastilah sangat jahat” (power tends to corrupt, and absoloute power corrupts absolutely). Ungkapan senada juga pernah diungkapkan oleh seorang filsof Perancis dari abad ke delapan belas, Montesquieu, yang didalam ‘the Spirit of Laws” menyatakan bahwa: “Setiap orang yang memiliki kekuasaan terdorong untuk menyalah gunakannya.” (Cummings and Wise, 1995: 15). Bagi para ahli ketatanegaraan, Louis XIV dari Perancis merupakan contoh terbaik dari seorang diktator. Dia memegang semua kekuasaan negara, bahkan membubarkan parlemen, dan menyatakan bahwa negara adalah dirinya (L’etat c’est moi). Berdasarkan pemikiran untuk mencegah kediktatoran, yang kemungkinan akan terjadi apabila satu orang atau satu badan memegang berbagai fungsi kenegaraan sekaligus tersebutlah maka John Locke dan Montesquieu  mengemukakan idenya mengenai arti pentingnya pemisahan kekuasaan. Namun demikian, sesungguhnya pembedaan kekuasaan dalam arti pemisahan baru dimulai oleh Montesquieu, sementara John Locke sesungguhnya hanya ingin menguraikan bahwa kekuasaan dalam negara dapat dibagi-bagi dalam berbagai fungsi, yang tidak selalu terpisah. Dalam arti demikian, yaitu pembagian kekuasaan (yang tidak selalu terpisah) sesungguhnya merupakan konsep yang pernah disusun oleh Aristoteles.
Konsep Pemisahan Kekuasaan
Setelah mempelajari tak kurang dari 150 konstitusi berbagai negara kota pada masanya, menurut Aristoteles, ada tiga unsur atau kekuasaan didalam setiap konstitusi. Yang pertama adalah unsur pertimbangan (deliberative), yang berkenaan dengan urusan umum; yang kedua adalah unsur pelaksana atau magistrat, dan yang ketiga unsur peradilan (judicial). Unsur pertimbangan berdaulat dalam hal, (1) issue peperangan dan perdamaian dan membentuk dan membubarkan persekutuan; (2) untuk mengundangkan hukum; (3) dalam kasus-kasus dimana hukuman mati, pembuangan, dan yang melibatkan penyitaan, dan (4) didalam menunjuk pejabat pelaksana, dan meminta pertanggungjawaban mereka setelah berakhirnya masa jabatan mereka. Jika semua kedaulatan yang terdapat dalam unsur pertimbangan (deiberative) tersebut diberikan kepada seluruh rakyat, maka hal itu merupakan ciri khas dari negara demokrasi.
Hampir dua ribu tahun kemudian, pembagian fungsi kekuasaan negara dikemukakan kembali oleh John Locke[1] (1632 – 1704), seorang filsof dan pemikir politik dari Inggris. John Locke membedakan tiga fungsi kekuasaan, yaitu legislatif, eksekutif, dan federatif. Tidak sebagaimana yang banyak dikira orang, dalam hal ini sebetulnya John Locke, sebagaimana halnya Aristoteles, tidak menekankan pada pemisahan kekuasaan, tetapi hanya membagi fungsi negara kedalam tiga jenis kekuasaan. Kekuasaan yang pertama, menurut John Locke adalah kekuasaan legislatif, yang merupakan kekuasaan yang tertinggi dalam suatu negara. Kekuasaan legislatif merupakan kekuasaan yang berfungsi sebagai kekuasaan untuk membentuk undang-undang negara. Namun demikian, walaupun kekuasaan legislatif merupakan kekuasaan yang tertinggi, tidak berarti kekuasaan legislatif dapat membuat peraturan hukum secara sewenang-wenang. Kekuasaan legislatif didalam membenuk hukum dibatasi oleh hukum alam. Menurut Locke, hukum alam yang terpenting adalah adanya hak untuk hidup, hak atas kebebasan, dan hak atas milik pada setiap individu warganegara. Ketiga hak rakyat tersebut tidak dapat dilanggar oleh negara, oleh keputusan badan legislatif, karena tujuan negara menurut Locke adalah unuk melindungi ketiga hak rakyat tersebut. Dalam hal negara bertindak melanggar tujuannya, maka rakyat dapat mengambil kembali kekuasaannya melalui revolusi, dan mengganti negara dengan negara yang baru. Bagi Locke, pembubaran negara tidak membubarkan masyarakat pembentuk negara yang bersangkutan. Karena itu, dengan bubarnya negara, masyarakat dapat membentuk negara baru lagi yang sesuai dengan tujuannya, yaitu melindungi hak-hak rakyat negara yang bersangkutan. Dalam konsep pemisahan kekuasaan, selain kekuasaan legislatif tidak boleh bersifat sewenang-wenang, pemegang kekuasaan ini juga tidak boleh mendelegasikan fungsinya dan tidak boleh memerintah dengan titah.
Kekuasaan yang kedua adalah kekuasaan eksekutif, yaitu kekuasaan untuk melaksanakan aturan perundang-undangan (hukum) yang dibuat oleh kekuasaan legislatif. Sebagai kekuasaan pelaksanaan, maka kekuasaan eksekutif harus dibatasi dan tergantung pada legislatif. Namun demikian, dalam hal-hal tertentu, seperti dalam keadaan ketiadaan peraturan hukum atau dalam hal peraturan hukum tidak dapat diterapkan, kekuasaan eksekutif dapat melakukan perinah-perintah (decree) untuk kepentingan umum.
Kekuasaan yang ketiga adalah kekuasaan federatif. Yang dimaksud Locke dengan kekuasaan federatif adalah kekuasaan unuk melakukan hubungan antar negara, seperti kekuasaan menyatakan dan mengadakan perang, kekuasaan membuat perjanjian dengan negara lain, dan melakukan berbagai bentuk hubungan dengan negara lain. Kekuasaan federatif ini sebetulnya merupakan kekuasaan, yang dalam praktek kenegaraan modern selalu diselenggarakan oleh badan eksekutif.
Sementara itu, Montesquieu (1689 – 1755), seorang ahli ketatanegaraan Perancis mengemukakan pemisahan kekuasaan kedalam kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif. Yang dimaksud dengan kekuasaan legislatif, sebagaimana yang dikemukakan oleh John Locke, adalah kekuasaan untuk membentuk undang-undang negara. Sementara itu, kekuasaan yang kedua, adalah kekuasaan eksekutif, yaitu kekuasaan untuk menyatakan dan melakukan peperangan dengan negara lain, mengadakan perjanjian dan perdamaian dengan negara lain, menerima dan mengirimkan duta besar, dan berbagai kekuasaan yang dalam masyarakat modern masuk kedalam kategori hukum Internasional. Dalam hal ini, kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan yang oleh John Locke dikategorikan sebagai kekuasaan federatif. Sedang kekuasaan yang ketiga, yaitu kekuasaan Yudikatif yaitu kekuasaan peradilan, atau kekuasaan untuk memutuskan sengketa berdasarkan peraturan hukum.
Kalau ketiga jenis kekuasaan kenegaraan tersebut dipegang oleh satu orang atau satu badan yang sama, maka orang atau badan tersebut akan mempunyai kekuasaan yang sangat besar, yang tidak terkontrol, yang karenanya akan menjadi penguasa yang sewenang-wenang. Oleh karena itu, untuk mencegah kesewenang-wenangan akibat dipegangnya ketiga kekuasaan tersebut dalam satu tangan, maka Montesquieu mengusulkan agar ketiga jenis kekuasaan tersebut dipisahkan dan dipegang oleh orang atau badan yang berbeda-beda, sehingga masing-masing dapat mengontrol dan menyeimbangkan pelaksanaan dari kekuasaan yang lainnya.
Montesqueue menyatakan bahwa sistem pemisahan kekuasaan yang diungkapkannya tersebut merupakan praktek yang dilaksanakan di Inggris. Pemahaman ini diperoleh Montesqueue ketika dia pada tahun 1728 hingga 1731 melakukan perjalanan ke Eropa dalam rangka melakukan studi mengenai kondisi politik berbagai negara Eropa. Dalam perjalanan ini, Montesqueue sempat untuk beberapa waktu tinggal di Inggris, dimana dia melihat bahwa dalam sistem ketatanegaraan Inggris terjadi pemisahan kekuasaan negara kedalam ketiga kekuasaan, yaitu kekuasaan Legislatif, kekuasaan Eksekutif, dan kekuasaan Yudikatif.
Sesungguhnya, pemisahan kekuasaan yang terjadi di Inggris tidak berlangsung lama, karena Inggris lebih banyak mengembangkan sistem pemerintahan parlementer, yang berarti tidak adanya pemisahan kekuasaan. Pemisahan kekuasaan di Inggris terjadi mulai sekitar tahun 1689 ketika revolusi damai disana telah berhasi menyingkirkan raja Inggris dari kekuasaan untuk membuat undang-undang, telah melarang anggota badan eksekutif untuk menduduki jabatan anggota parlemen atau badan pembuat undang-undang, dan menjamin kemerdekaan hakim dengan menjadikan mereka tidak dapat diganti oleh raja hanya karena dipandang salah dalam membuat keputusan.
Kalau kita membandingkan konsep pembagian kekuasaan yang dikemukakan oleh John Locke dengan konsep pemisahan kekuasaan yang diungkapkan oleh Montesqueue, baik dari sudut istilah yang digunakan maupun pada isi yang diberikan kepada istilah-istilah yang mereka gunakan masing-masing, nampaknya pembagian kekuasaan mereka berbeda. Tetapi sesungguhnya, kalau kita kaji lebih mendalam, ternyata pembagian kekuasaa mereka tidak banyak berbeda (kecuali dalam peristilahan) dan terpisah tidaknya pemegang ketiga kekuasaan negara tersebutlah yang membedakan antara pembagian kekuasaan menurut John Locke dan Montesqueue. Hal ini disebabkan karena kekuasaan dan kegiatan kenegaraan yang terjadi pada waktu kedua penulis tersebut menulis karyanya, yaitu sekitar akhir abad 17 dan awal abad 18, kegiatan negara kedalam negeri adalah membuat peraturan hukum, yang itu hanya meliputi bidang keamanan, pajak, hak milik, perkawinan, dan perdagangan. Sementara itu, kegiatan negara didalam negeri diluar pembuatan hukum, adalah menjaga keamanan dan ketertiban, memutuskan sengketa yang terjadi yang diajukan kepadanya, dan menarik pajak. Negara pada masa itu, tidak merasa berkewajiban dan tidak ada orang yang memandang negara berkewajiban, untuk mengurusi kesejahteraan warganya. Bahkan, pada masa dimana daerah-daerah pedesaan dikuasai oleh para vasal dan tuan tanah, dimana berlaku peraturan-peraturan setempat, dan dalam hubungan dengan perkotaan bebas, kota-kota demikian telah mengatur dirinya sendiri (di Inggris, seperti kota London), maka kewajiban negara (kerajaan Inggris misalnya) terhadap rakyatnya sama sekali tidak dikenal. Kekuasaan negara yang terpenting adalah kekuasaan keluar, yaitu menjaga negara dari serangan dan pendudukan oleh negara lain, atau kelompok-kelompok perampok yang berkeliaran di Eropa, atau mengamankan laut dari pada bajak laut, dan berbagai kegiatan yang bersifat internasional yang lain.
Satu-satunya yang membedakan konsep kekuasaan menurut John Locke dan Montesqueue adalah dalam hal terpisahnya pemegang ketiga kekuasaan negara, dimana konsep John Locke tidak mengacu pada pemisahan, tetapi hanya bermaksud untuk membagi berbagai kekuasaan yang ada pada negara, sementara Montesquieu mengacu pada pemisahan kekuasaan. Bagi Montesquieu, kalau ketiga jenis kekuasaan kenegaraan tersebut dipegang oleh satu orang atau satu badan yang sama, maka orang atau badan tersebut akan mempunyai kekuasaan yang sangat besar, yang tidak terkontrol, yang karenanya akan menjadi penguasa yang sewenang-wenang. E.C.S. Wade dan G. Godfrey Phillips menafsirkan pernyataan Montesquieu mengenai pemisahan kekuasaan tersebut sebagai berikut:
Jika ekskutif dan legislatif berada pada orang atau badan yang sama, pastilah akan ada bahaya dimana legislatif akan menetapkan hukum-hukum yang menindas yang akan dilaksanakan oleh eksekutif untuk mencapai tujuannya sendiri. Terutama ini terjadi pada eksekutif yang bersifat personal, yang tidak bertanggung jawab secara hukum kepada pengadilan, atau secara politis pada lembaga perwakilan. Karena hukum yang dipaksakan oleh badan yang sama degan yang mengundangkannya akan menghasilkan hukum yang sewenang-wenang dan menjadikan hakim sebagai seorang pembuat hukum dari pada seorang penafsir hukum. Jika satu badan atau orang dapat melaksanakan baik kekuasaan eksekutif dan yudikatif pada masalah yang sama, akan ada kekuasaan yang sewenang-wenang yang akan menjadi tirani yang sempurna, jika kekuasaan legislatif juga ditambahkan pada kekuasaan dari orang atau badan tersebut.
Dalam hal ini perlu dicatat bahwa Montesquieu tidak bermaksud bahwa lembaga legislatif dan eksekutif sama sekali tidak boleh mempengaruhi atau mengontrol atas tindakan masing-masing, tetapi hanya bahwa baik lembaga legislatif maupun lembaga eksekutif tidak seharusnya melaksanakan keseluruhan fungsi dari yang lainnya. (22 – 23).

Karena mereka membagi dan memisahkan kekuasaan negara kedalam tiga jenis kekuasaan yang terpisah, maka teorinya biasa disebut sebagai teori Trias Politica.  Yang menjadi masalah dalam hal ini adalah, apakah memang ada hubungan yang signifikan antara demokrasi dengan pemisahan kekuasaan, dalam arti apakah jika suatu negara menganut sistem pemisahan kekuasan akan lebih demokratis dari pada negara yang tidak menganut sistem pemisahan kekuasaan? Atau dengan kata lain, apakah negara yang tidak menganut sistem pemisahan kekuasaan akan menjadi negara yang tidak demokratis? Atau, apakah suatu negara demokrasi selalu menganut sistem pemisahan kekuasaan? Dalam rangka menilai, apakah suatu negara menganut sistem pemisahan kekuasaan atau tidak, E.C.S. Wade (1961: 22) mengemukakan tiga prinsip pemisahan kekuasaan, yaitu:
1.      Bahwa orang yang sama seharusnya tidak menjadi bagian lebih dari pada satu dari tiga organ pemerintahan. Sebagai contoh, Menteri tidak boleh duduk di Parlemen.
2.      Bahwa, satu organ pemerintahan tidak seharusnya mengendalikan atau ikut campur dengan pelaksanaan fungsi yang dilakukan oleh organ yang lain. Sebagai contoh, lembaga Judikatif harus bebas dari eksekutif atau menteri tidak bertanggung jawab kepada Parlemen.
3.      Bahwa satu organ pemerintahan seharusnya tidak melaksanakan fungsi dari organ yang lain. Sebagai contoh, bahwa menteri tidak boleh mempunyai kekuasaan legislatif.

Didalam kehidupan ketatanegaraan modern, konsep pemisahan kekuasaan ini biasanya dianggap terlaksana didalam sistem pemerintahan presidensiel, yaitu sistem pemerintahan dimana kepala negara dan kepala pemerintahan berada ditangan seorang yang disebut presiden. Dalam sistem pemerintahan presidensiel, presiden tidak dipilih atau diangkat oleh parlemen, tetapi dipilih langsung oleh rakyat untuk masa jabatan tertentu (4; 5; atau 6 tahun). Karena itu, presiden tidak bertanggung jawab kepada parlemen, dan presiden dan menteri-menterinya tidak boleh merangkap jabatan legislatif. Bahkan, karena realitasnya presiden dipilih oleh lebih dari separoh pemilih dari negara yang bersangkutan. Kenyataan ini membuat posisi presiden secara politis menjadi sangat kuat. Tak ada alat apapun yang dapat digunakan untuk menjatuhkan presiden, kecuali melalui impeachment,[2] tetapi bersamaan dengan itu, presiden juga tidak dapat membubarkan parlemen. Walaupun dalam sistem pemerintahan presidensiel ada pemisahan kekuasaan, tetapi masyarakat bernegara modern, khususnya Amerika Serikat, mengembangkan upaya agar diantara ketiga lembaga pemegang ketiga fungsi kenegaraan tersebut (Legislatif, eksekutif, dan yudikatif) ada mekanisme yang memungkinkan mereka saling mengawasi, sehingga tidak akan ada satu lembaga yang memegang kekuasaan yang terlalu besar, sehingga terjadilah keseimbangan (check and balances).
Pemisahan Kekuasaan Dalam Ketatanegaraan Amerika Serikat
Negara yang paling pertama dan dianggap paling konsekwen didalam melaksanakan teori trias politica ini, sehingga seringkali dijadikan contoh praktek bagi banyak negara yang berkeinginan melaksanakan teori ini, adalah Amerika Serikat. Dalam struktur ketatanegaraan Amerika Serikat, sebagaimana halnya Indonesia saat ini, pimpinan tertinggi lembaga eksekutif yang sekaligus juga sebagai kepala negara, dipegang oleh Presiden, dan merupakan pejabat yang dipilih langsung oleh rakyat (sistem electoral college, yang semula merupakan lembaga pemilih presiden, sudah dihapuskan). Karena itu, presiden bukan, dan tidak boleh merangkap jabatan sebagai anggota dewan perwakilan rakyat, yang dalam sistem ketatanegaraan Amerika Serikat bersifat be-cameral, yaitu dipegang oleh lembaga yang disebut Congress, yang terdiri dari Senat dan House of Representative. Presiden juga tidak dapat dijatuhkan (diturunkan) oleh Dewan Perwakilan Rakyat, misalnya dengan mosi tidak percaya, tetapi sebaliknya, juga Dewan Perwakilan Rakyat tidak boleh dibubarkan oleh Presiden.
Sementara itu, kekuasaan Yudikatif, kekuasaan yang memegang wewenang peradilan, yang pada tingkatan tertinggi dipegang oleh Mahkamah agung (Supreme Court), juga merupakan lembaga yang terpisah, yang anggotanya (teridiri dari 9 orang hakim agung) tidak boleh merangkap baik jabatan legislatif maupun eksekutif. Anggota Mahkamah Agung diangkat baik oleh lembaga eksekutif maupun lembaga legislatif secara bersama-sama. Dalam hal ini, presiden mencalonkan calon-calon anggota yang lowong, yang diajukan kepada Congress, sedang Congress yang akan menentukan pilihan, siapa yang akan diangkat sebagai Hakim Agung.
Dalam sistem ketatanegaraan Amerika Serikat dikenal sistem checks and balances, yaitu sistem dimana masing-masing lembaga walaupun terpisah tetapi saling mengawasi, sehingga membentuk keseimbangan yang dapat mencegah salah satu lembaga memegang kekuasaan yang sangat besar. Sistem checks and balances ini terwujud dalam mekanisme pembuatan peraturan undang-undang, pengangkatan anggota Mahkamah Agung dan pejabat penting lainnya, dan pembatalan Undang-Undang oleh Mahkamah Agung.
Fungsi legislatif, yang dipegang oleh congress, mempunyai kewenangan utama sebagai pembuat undang-undang, yang merupakan kebijakan publik yang paling penting dalam sistem ketatanegaraan. Walaupun kewenangan membuat undang-undang ada pada Congres, tetapi presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang. Disamping itu, rancangan undang-undang yang sudah dihasilkan oleh Congres tidak otomatis menjadi undang-undang. Untuk menjadi undang-undang, rancangan undang-undang tersebut harus diserahkan kepada presiden. Dalam hal ini presiden mempunyai tiga pilihan, yaitu menandatangani rancangan undang-undang yang diajukan oleh Congress, yang berarti rancangan undang-undang tersebut menjadi undang-undang, atau mem-veto-nya, yaitu menolak rancangan undang-undang tersebut, atau membiarkan (tidak menandatangani atau mem-veto).
Dalam hal presiden memveto sebuah rancangan undang-undang, Congress dapat menyidangkan kembali undang-undang yang bersangkutan, dan bila kedua kamar dalam Congress (Senat dan House of Representative) menyetujui rancangan undang-undang tersebut dengan perolehan suara dimasing-masing kamar sebanyak dua pertiga dari jumlah anggota, maka rancangan undang-undang yang telah di-veto oleh presiden tersebut menjadi undang-undang (tanpa persetujuan presiden). Dalam hal presiden membiarkan rancangan undang-undang (tidak menandatangani maupun tidak menyatakan mem-veto), dalam waktu sepuluh hari kerja, Congress dapat menetapkan rancangan tersebut sebagai undang-undang.
Yang menjadi permasalahan didalam sistem hukum Amerika Serikat adalah, apakah presiden boleh membiarkan sebuah peraturan perundang-undangan pada saat Congress sedang reses? Dengan membiarkan sebuah rancangan undang-undang sementara Congress sedang reses (yang biasa disebut sebagai pocket veto), sama artinya membunuh rancangan tersebut, karena dalam keadaan reses Congress tidak dapat mengesahkan rancangan undang-undang tersebut, sementara setelah reses mereka tidak bisa membahas kembali rancangan undang-undang yang telah dibiarkan oleh Presiden, tidak sebagaimana halnya jika rancangan tersebut ditolak (di-veto). Hal ini menjadi masalah, karena banyak rancangan undang-undang yang dibunuh oleh presiden melalui cara ini.
Di Amerika Serikat, khususnya sejak Perang Dunia II pemisahan kekuasaan juga sudah tidak dianut secara tegas, bahkan semakin tidak jelas lagi. Mengenai anggapan dianutnya sistem pemisahan kekuasaan dalam ketatanegaraan Amerika Serikat, Cummings dan Wise menyatakannya sebagai agak menyesatkan (Cummings and Wise, 1985: 44). Alasan yang dikemukakan oleh Cummings dan Wise adalah bahwa walaupun konstitusi menetapkan kelembagaan yang saling mengawasi dan kekuasaan yang terpisah, Amerika Serikat adalah juga pemerintahan dengan saling berbagi kekuasaan (shared Power). Cabang-cabang pemerintahan terpisah, tetapi kekuasaan dan fungsi-fungsi mereka bercampur dan saling tumpang tindih. Konstitusi menyediakan banyak cara dimana ketiga cabang (kekuasaan) saling berinteraksi. Sebagai contoh, walaupun Congress membuat undang-undang, tetapi presiden dapat mengajukan rancangannya kepada mereka, dan presiden dimungkinkan untuk mengumpulkan Congress dalam sesi khusus. Presiden juga mungkin mem-veto rancangan undang-undang yang dibuat oleh Congress. Dengan jelas presiden terlibat didalam fungsi legislatif.
Secara sama, Congress juga terlibat didalam proses eksekutif dalam perannya sebagai penjaga (watchdog) dan melalui kekuasaannya untuk membentuk lembaga-lembaga eksekutif federal dan untuk memberi saran dan persetujuan dalam pengangkatan pejabat tinggi federal. Karena Congress menentukan pembagian keuangan untuk menjalankan pemerintahan federal, mereka mungkin melakukan penyelidikan yang mendalam melalui komite-komitenya, kedalam bekerjanya lembaga-lembaga eksekutif.
Melalui proses Judicial Review, pengadilan memutuskan apakah suatu peraturan hukum yang dikeluarkan oleh Congress atau apakah tindakan-tindakan yang diambil oleh presiden konstitusional atau tidak. Bahkan, sebagai akibat kewenangan Supreme Court (Mahkamah Agung Amerika Serikat) untuk membatalkan undang-undang yang telah diundangkan oleh Presiden (dan/atau Congress), Presiden Woodrow Wilson pernah menyebut Supreme Court sebagai “sejenis konvensi konstitusi yang berlangsung dalam sesi yang terus-menerus.” Dalam masalah judicative ini, Presiden Amerika Serikat juga ikut serta didalam proses peradilan melalui kekuasaannya untuk mencalonkan hakim-hakim federal, termasuk anggota Mahkamah Agung (Supreme Court).
Faham mengenai pemerintahan yang terpisah kedalam tiga cabang tetapi setara telah terkikis oleh tekanan-tekanan dari abad keduapuluh. Pada masa lalu, Presiden Amerika Serikat, pada berbagai kesempatan, telah melaksanakan kekuasaan yang besar, sebagaimana Abraham Lincoln dalam Perang Saudara Amerika Serikat. Tetapi didalam masa modern, kekuasaan, khususnya kekuasaan diplomasi-militer, sebagian besar telah terpusat ditangan presiden. Sebagai contoh, kekuasaan Congress untuk menyatakan perang, arti pentingnya telah sangat dikurangi sejak Perang Dunia Kedua. Dan dalam hal serangan nuklir dengan jelas presiden tidak akan mempunyai waktu untuk membahasnya dengan Congress. Tetapi bahkan juga didalam konflik yang berlarut-larut, sebagaimana di Korea (1950 –1953) dan di Vietnam (1964 – 1073), Congress tidak pernah menyatakan perang. Frustrasi didalam Congress atas kemampuan presiden untuk melaksanakan perang tanpa persetujuan Congress mengakibatkan pada tahun 1973 diterimanya cepat-cepat “Resolusi Kekuasaan Perang”, yang menentukan batas waktu mengenai penggunaan kekuatan tempur diluar negeri oleh presiden.
Juga diwilayah lain, garis diantara ketiga cabang pemerintahan telah menjadi kabur. Sebagai contoh, saat ini tugas yang kompleks dalam mengelola ekonomi telah didelegasikan sebagian kepada komite dan lembaga yang diatur secara independen yang sulit untuk dimasukkan dengan tepat kedalam salah satu kategori – legislatif, eksekutif, dan peradilan – jika dipandang dari sudut konstitusi dan pada kenyataannya menunjukkan ciri dari ketiganya. Pendek kata, walaupun ketiga cabang pemerintahan didasarkan atas kekuasaan yang terpisah, tetapi mereka juga saling berbagi kekuasaan (Cummings and Wise, 1985: 44).
Pemisahan Kekuasaan: Artinya Bagi demokrasi
Dari uraian diatas nampak bawah Amerika tidak menerapkan sistem pemisahan kekuasaan secara ketat, bahkan ada kecenderungan untuk semakin saling berbagi. Sementara itu, negara-negara Eropa Barat kebanyakan menganut sistem pemerintahan parlementer, yang jelas-jelas tidak mengenal pemisahan kekuasaan, bahkan yang terjadi adalah bahwa pemegang kekuasaan eksekutif sekaligus anggota lembaga Legislatif. Akibatnya, yang terjadi bukannya saling kontrol dan keseimbangan (check and balances), tetapi adalah supremasi parlemen. Dari gambaran ini, nampak bahwa sesungguhnya pemisahan kekuasaan tidak ada hubungannya dengan pelaksanaan demokrasi dan sama sekali bukan merupakan ciri sebuah negara demokrasi. Pemisahan kekuasaan hanya berhubungan dengan stabilitas pemerintahan, dalam hal ini adalah stabilitas eksekutif. Orang tidak bisa secara semena-mena menyatakan bahwa sistem pemerintahan parlementer adalah sistem pemerintahan yang tidak demokratis.
Pilihan orang pada sistem pemerintahan presidensiel atau parlementer bukan didasarkan pada sifat demokratis tidaknya atau mana yang paling demokratis dari kedua sistem tersebut, tetapi lebih didasarkan pada pertimbangan stabil tidaknya pemerintahan, kepekaan pada kehendak rakyat, dan sebagainya. Sebagai ilustrasi, yang oleh banyak orang dipandang sebagai salah satu keuntungan dari sistem pemerintahan presidensiel adalah stabilnya eksekutif, karena tidak sebagaimana sistem pemerintahan parlementer, termasuk sistem pemerintahan Indonesia pasca-reformasi, eksekutif tidak dapat dijatuhkan oleh parlemen. Menurut para pendukungnya, dengan stabilnya kekuasaan eksekutif, program-program yang telah dirancang oleh pemerintah akan dapat dilaksanakan dengan lebih baik, tidak perlu sebentar-sebentar ganti program sebagai akibat seringnya berganti pemerintahan (eksekutif).
Tetapi, bersamaan dengan sangat kuatnya eksekutif dalam sistem pemerintahan presidensiel, mengakibatkan eksekutif menjadi tidak peka terhadap aspirasi rakyat. Sebagaimana yang kita alami saat ini dalam sistem pemerintahan presidensiel, bagaimanapun rakyat berteriak-teriak keberatan ketika harga BBM dan tarif dasar listrik dinaikkan, tetapi kalau presiden tidak peduli, maka tak ada alat yang dapat menjatuhkannya kecuali melalui kudeta. Presiden Amerika Serikat-pun tidak perlu banyak perduli dengan pendapat rakyatnya mengenai keterlibatan Amerika Serikat dalam perang Irak, karena tak ada pihak yang dapat menjatuhkan presiden sebagai akibat kebijakannya yang tidak disetujui rakyat. Ada yang berpendapat, bahwa kepekaan pada kehendak rakyat akan muncul kalau mereka yang sedang menduduki jabatan presiden berkeinginan kuat untuk tetap menduduki jabatannya melalui kemenangan dalam pemilu berikutnya. Tetapi, realitas politik tidak mendukung pandangan ini, karena kenyataannya, kemenangan dapat diraih melalui program yang nampaknya memihak rakyat pada masa mendekati akhir masa jabatannya. Pada masa pemerintahan Ronald reagan, pengangguran di Amerika Serikat sangat tinggi, sementara defisit anggaran negara juga sangat tinggi. Tetapi mendekati akhir masa jabatannya, pemerintah dapat mengurangi pengangguran dengan sangat mengesankan, sehingga Reagan pada tahun 1984 dapat terpilih kembali[3].
Dalam sistem pemerintahan presidensiel, sebagaimana yang berlaku di Amerika Serikat, ada cara untuk menjatuhkan presiden sebelum berakhirnya masa jabatannya, yaitu melalui mekanisme impeachment. Tetapi, kiranya perlu dicatat, bahwa impeachment, yang merupakan satu-satunya cara yang legal untuk menjatuhkan presiden dalam sistem pemerintahan presidensiel, tidak dapat dikenakan berdasarkan alasan kebijakan yang dibuat oleh presiden. Impeachment hanya bisa dikenakan dengan dasar bahwa presiden telah melakukan kejahatan pidana (baik ringan maupun berat), seperti korupsi, penyadapan telepon (sebagaimana halnya kasus presiden Nixon), atau perkosaaan atau pelecehan seksual (sebagaimana halnya kasus presiden Clinton, walaupun tidak sempat mengakibatkan impeachment).
Sementara itu, salah satu alasan yang sering dikemukakan di Indonesia mengenai kelemahan sistem pemerintahan parlementer adalah mudah jatuhnya atau bergantinya eksekutif. Sebagaimana yang banyak dialami oleh negara-negara yang menganut sistem pemerintahan parlementer, sebagaimana halnya yang dianut indonesia sejak tahun 1950 hingga 1959 pada masa berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara. Sistem pemerintahan parlementer, terutama yang dibarengi dengan system sistem multi partai, kabinet setiap saat dengan mudah dijatuhkan oleh parlemen. Dengan sering jatuh bangunnya pemerintah, maka program yang dicanangkan oleh pemerintah sering tidak dapat dilaksanakan, atau baru terlaksana sebagian kecil, pemerintah telah berganti, yang berarti juga berganti kebijakan.
Dari pengalaman Indonesia saat menganut sistem pemerintahan parlementer, ada kabinet yang hanya berumur tiga bulan. Tetapi pengalaman demikian bukannya pengalaman khas Indonesia. Pengalaman sering jatuh bangunnya pemerintahan bisa dialami oleh semua negara yang menganut sistem pemerintahan parlementer yang bersifat multi partai. Hal yang sama, misalnya, juga dialami oleh negeri Belanda, yang parlemennya terdiri dari banyak partai, sehingga tidak ada satu partai mayoritas. Sebagai contoh, pada tahun 1970-an pernah terjadi seorang ketua partai, yaitu van Aght, oleh raja diangkat sebagai formatur kabinet (yang sebetulnya berarti diangkat sebagai perdana menteri). Tetapi hanya dalam waktu 1 bulan, kabinet yang dibentuknya jatuh. Entah dengan pertimbangan apa, raja mengangkat kembali van Aght, dan dalam waktu tidak sampai satu bulan, kabinet yang dibentuknya jatuh lagi.
Ketidak stabilan kabinet inilah yang membuat banyak orang tidak menyukai sistem pemerintahan parlementer. Tetapi para pendukung sistem ini menyatakan bahwa mudah jatuhnya kabinet ini merupakan upaya untuk mendemokratisir pemerintahan, karena dengan mudah jatuhnya kabinet oleh mosi tidak percaya dari parlemen, mengakibatkan setiap kabinet untuk memperhatikan dengan sungguh-sungguh pendapat rakyat, karena jika mereka membuat kebijakan yang tidak disukai rakyat, akan digunakan oleh partai lawan untuk menjatuhkan kabinet dengan mengajukan mosi tidak percaya.[4] Sementara itu, dalam kondisi yang tidak populer, kalau pemerintah bersikeras bertahan dan presiden atau raja bersedia membubarkan parlemen, yang berarti harus segera menyelenggarakan pemilihan umum, kemungkinan besar partai pendukung kabinet akan mengalami kekalahan sebagai akibat kebijakannya yang tidak populer. Oleh para pendukung sistem pemerintahan parlementer, hal ini merupakan salah satu alasan yang dipandang sebagai kekuatan sistem tersebut (keharusan pemerintah peka terhadap tuntutan rakyat).
Dari uraian diatas, nampak bahwa pemisahan kekuasaan tidak mempunyai pengaruh pada demokratis atau tidaknya negara yang menganutnya. Bahkan, sistem parlementer bisa jadi lebih demokratis, dalam arti pemerintah dan parlemen lebih tanggap dengan keinginan publik, dari pada sistem pemerintahan presidensiel, walaupun harus dibayar dengan tidak stabilnya pemerintahan.


Daftar Pustaka

  1. Cummings, Milto C. dan David Wise, Democracy Under Pressure, Harcourt Brace Jovanovich Publishers, 1985
  2. Curtis, Michael, The Great Political Theories, Avon Books, 1961.
  3. Sabine, G.H., terjemahan Drs. Soewarno Hadiatmodjo, Teori-Teori Politik, jilid 1 dan 2, Penerbit Binacipta, 1992.
  4. Theimer, Walter dan Peter Campbell, Encyclopaedia of World Politics, Faber and Faber Limited.
  5. Wade, E.C.S. dan G. Godfrey Phillips, Constitutional Law, Longmans Library, 1960.




[1] Mengenai John Locke, lihat Theimer, Walter and Peter Campbell, Encyclopaedia of World Politics, Faber and Faber Limited, London; Curtis, Michael, The Great Political Theories, Avon Book, New York, 1961: 337 – 354; Sabine, George H., Teori-Teoiri Politik (terjemahan), Bina Cipta, 1981: 173 –190.
[2] Impeachment adalah suatu lembaga yang dikembangkan dalam sistem pemerintahan Amerika Serikat, sebagai suatu cara untuk memberhentikan presiden dari jabatannya sebelum masa jabatannya habis. Tetapi pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden melalui mekanisme lembaga impeachment tidak dapat digunakan untuk memberhentikan presiden karena alasan politik. Alasan yang bisa digunakan sebagai dasar untuk melakukan impeachement adalah bahwa presiden telah melakukan pelanggaran hukum, baik pelanggaran hukum berat maupun ringan.
[3] Tentusaja banyak factor yang mempengaruhi terpilihnya untuk kedua kalinya Ronald Reagan sebagai presiden Amerika Serikat. Namun demikian, pengurangan pengangguran pada masa mendekati masa jabatannya tidak bisa dikesampingkan sebagai salah satu factor pendukung terpilihnya Ronald Reagan untuk kedua kalinya.
[4] Tentu saja mosi tidak percaya dapat saja dimanfaatkan oleh partai-partai yang ingin memegang jabatan menteri, tetapi hal ini tidak mengurangi kekuatan system parlementer dalam hal kepekaannya pada pendapat rakyat.

2 komentar: